Kedua tangan Mas Yusuf menangkup kedua pipiku. Dia semakin tersenyum lebar bahkan tertawa. “Gak bisa masak, kok, nangis?”
“Kalau aku dimarahi gimana? Dianggap menantu yang gak berguna gimana?”Mas Yusuf menyeka air mataku dengan jempolnya kemudian mempertemukan dua jempolnya tepat di hidungku. Dia mencapit hidungku hingga ada sedikit cairan yang keluar. “Idiiiih, udah besar masih ingusan.” Mas Yusuf terkekeh. Cepat-cepat aku mengusap cairan itu dengan lengan pakaian. “Mira! Pakai tissue!”“Kelamaan,” kataku kesal. Mas Yusuf mengambil tissue kemudian mengusap bagian bawah hidungku. Memang, jika aku menangis, selalu ada cairan yang keluar dari hidung. Baru menangis sedikit, hidungku bahkan sudah terlihat sangat merah. Dia telaten membersihkan wajahku. “Mulai sekarang, biasakan kalau ngelap apa-apa pakai tissue. Jangan pakaian yang digunakan! Lihat, lengan bajumu kotor!” Mas Yusuf membuang tissue itu ke tempat sampah. “Jijik, ya?” tanyaku. “Sayang, aku nggak jijik. Kamu itu lucu. Udah gede, tapi masih seperti bocah SD yang ngusap ingus sembarangan. Mana belepotan lagi ke pipi.” Mas Yusuf kembali terkekeh. “Setelah ini, ganti baju! Terus pergi ke dapur, lihat apa yang dilakukan Ibu! Semakin sering kalian mengobrol, kalian akan semakin dekat dan akrab,” titahnya. Aku menggeleng pelan. “Takut.”“Astaga, Almira! Lama-lama aku gigit kamu, ya! Ayo sama aku! Ganti bajunya dulu!”Setelah mengganti baju dan mencuci muka, aku kembali ke dapur. Ditemani Mas Yusuf tentunya. Jika tidak, aku tak akan berani memasuki dapur.“Udah, Mir?”“Udah, Bu. Maaf lama!” “Gak apa-apa, Mir.”Kulihat bumbu-bumbu di kresek kecil tadi sudah ada di wadah yang berjejer itu. Syukurlah jika Ibu sendiri yang meletakkannya.“Yusuf, minum kopi apa teh?” tanya Ibu kepada suamiku.“Kopi, Bu, tapi biar Almira saja yang membuatnya.”“Mir, itu air panasnya bentar lagi mendidih. Kamu siapkan bubuk kopinya di gelas, ya!” Ibu memerintah diriku. Aku mengangguk dan mengambil gelas. Kulihat Mas Yusuf menjauh sembari mengacungkan jempol. Ya, dia suamiku. Seharusnya aku yang melayaninya, bukan Ibu. Kemarin-kemarin memang Mbak Dewi yang membuat minuman untuk seluruh orang di rumah ini dan bodohnya, aku tidak mau tahu soal itu. “Mir, tahu gak kopinya di mana?”“Tahu. Itu ada tulisannya, Bu.” Kopi, gula, garam, dan teh ada tulisannya. Seharusnya wadah untuk bumbu dapur, seperti kencur dan kawan-kawannya pun diberi tulisan. Nanti aku akan menyarankan ini kepada Ibu. Masih kulirik Ibu yang lincah sekali memasak. Rupanya, aku memang harus belajar banyak dari Ibu. “Berapa sendok, ya?” Aku membatin sambil memasukkan satu sendok makan bubuk kopi. “Kok, kayak sedikit? Hmm.” Aku kembali menambahkan satu sendok makan bubuk kopi sampai munjung. Tekonya berbunyi. Ibu memintaku mematikan kompor. Aku yang tidak pernah menyentuh kompor pun mencoba memutarnya dengan ngawur. “Bu, kok, tambah gede apinya?” tanyaku panik. ‘Klek!’ Ibu mematikan kompor dengan sangat anggun dan tersenyum melihatku. “Begitu caranya. Diputar pol ke atas. Mungkin kompor di rumah kamu lebih canggih, ya? Bukan kompor modelan seperti punya ibu.”Aku yang tidak pernah memperhatikan kompor di rumahku hanya tersenyum dan meringis. “Tuang airnya pelan-pelan ke dalam gelas, ya! Kalau gak bisa, ibu saja.” “Bisa, Bu.” Hanya menuang air panas, kurasa itu bukan sesuatu yang sulit. Aku mengangguk dan menuang air panas itu perlahan. Yeay! Berhasil! Aku berhasil membuat kopi untuk pertama kalinya dan ini spesial untuk suamiku tercinta. Setelah mengaduknya dengan penuh perasaan, aku menghampiri Mas Yusuf dan memberikan secangkir kopi ini untuknya. Dia menerimanya kemudian mencium aroma kopi dan mendongak menatap wajahku dengan senyuman yang khas. “Makasih, istriku.”Aku tersenyum lebar. Pasti dia akan menyukai kopi buatanku. Mas Yusuf mulai menyeruputnya perlahan. Kulihat ekspresi wajahnya, Mas Yusuf begitu menikmati. Matanya terpejam sembari menggigit bibir bahkan sesekali menyapu bibirnya sendiri dengan lidahnya. “Enak, ya? Besok aku buatkan lagi,” kataku. Tanpa mengatakan apapun, Mas Yusuf tersenyum sangat lebar dan kembali mengacungkan jempol. Dia meraih tanganku dan menciumnya dengan cepat. “Mau bantuin Ibu?” tanyanya sambil mengusap punggung tanganku lembut. Aku mengangguk mendengar pertanyaannya. “Mau aku ajari pekerjaan lain, Sayang?” Aku menatapnya penuh tanya. Mas Yusuf menggandeng tanganku kemudian mengajakku ke ruang laundry. “Waktunya dibilas, setelah itu dikeringkan, lalu dijemur,” ucapnya. “Caranya?” Untung saja suamiku memiliki kesabaran setebal baja. Mas Yusuf mengajariku dengan sangat telaten, meski aku berulang kali menanyakan hal yang sama. Jujur saja, memang cara berpikirku terkadang sedikit lemot. Bersyukur, Mas Yusuf menerima segala kekurangan dalam diriku.“Ini nunggu lama, Mas?” “Tunggu beberapa menit. Mau kamu tinggal bantuin Ibu?” Aku mengangguk. Daripada aku diam menunggu mesin cuci begini, lebih baik aku unjuk diri di dapur. Keberhasilan membuat kopi tadi membuat diriku semangat memasuki dapur. “Kalau mau bantuin, tanya dulu, ya! Jangan malu bertanya kalau memang gak bisa! Minta Ibu mengajari! Ibu gak akan marah, kok.”“Oke.” Kuberikan acungan jempol kepada Mas Yusuf kemudian pergi menemui Ibu di dapur. “Ibu, aku bantu apa?”“Mir, kasih garam, gula, dan penyedap untuk sayur sopnya, ya!” Kulihat Ibu memang repot sendiri. Apa setiap hari Ibu begini? Kasihan juga. “Garamnya berapa sendok, Bu?”“Kamu kira-kira aja, Mir. Sambil diicip. Kalau dirasa udah pas, ya udah.”“Em ….” Aku masih sangat takut untuk mengatakan bahwa diri ini tidak bisa memasak sama sekali. Takaran gula dan garam untuk sayur sop pun aku tak tahu. Aku mencoba memasukkan seuprit garam ke dalam sayur sop. Rasanya hambar. Kutambah lagi seuprit, tetapi masih sangat hambar. Berarti ini memang kurang banyak. Kumasukkan lagi garam dengan sesuka hati, kira-kira lima sendok teh garam. Mungkin ini sudah pas. Saat kucicipi, aku cukup terkejut. Ini sangat asin. Ah, iya. Gula! Mungkin aku harus mengimbanginya dengan rasa manis. “Ibu, gulanya habis, ya?”“Oh, iya. Ibu lupa belum nuangin ke toples. Gulanya ada di laci bawah, Mir! Tuang ke toples juga, ya!”“Oh, di laci, ya?” Aku memeriksa laci yang ada di hadapanku kemudian mengambil satu bungkus gula. “Eh, tunggu!” Ibu mendadak mendekatiku dan melihat toples gula yang kosong. “Kenapa, Bu?” “Toples gula ini kosong dari semalam. Terus kamu buat kopi untuk Yusuf tadi gimana, Mir?” “Memangnya kalau buat kopi harus ditambah gula, ya? Bukannya udah ada rasa manisnya, Bu?”“Astaga, menantuku!”Aku meringis menatap Ibu seraya menggaruk kepala yang tak gatal. “Almira, kalau bubuk kopi yang ini harus dikasih gula. Kopi ini berbeda dengan kopi instan yang langsung ada campuran gulanya.” “Berarti yang aku buat untuk Mas Yusuf tadi ….” “Pahit, Nak. Coba kamu hampiri suamimu!”Aku menghampiri Mas Yusuf yang ternyata berada di ruang laundry. Mas Yusuf tengah berkutat dengan pakaian-pakaian yang baru saja dicuci itu. “Biar aku yang jemur.” Aku mengambil alih pakaian yang ada di tangan Mas Yusuf, tanpa membicarakan soal kopi. Nanti saja jika pekerjaan ini sudah selesai, aku akan bertanya soal kopi yang tadi kubuat. Aku mengernyit menatap jemuran baju itu. “Mas, tinggi amat. Aku gak nyampe.” Nasib bertubuh mungil sepertiku, menjemur baju saja susah. Lagian, Mas Yusuf membuat tali jemuran baju setinggi gedung pencakar langit. “Ini tali jemurannya gak bisa dipendekin apa, Mas? Istrimu pendek begini,” gerutuku yang ke
Walau sudah tiga kali ibu mertua memanggilku, tetapi aku tak berani melihat ke arahnya. Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu di pundak. Aku menoleh dan ternyata ibu mertua yang menepuk pundakku. Ibu mengusap air mataku dengan tangan kosong. “Jadi begini gadis yang Yusuf nikahi? Selucu ini? Sepolos ini, hm?” Sebuah senyum terukir di wajah Ibu. Kupikir beliau akan memarahiku. Nyatanya, Ibu justru menghapus air mataku. Ini bukan seperti ibu mertua, melainkan seperti ibu kandung.Ibu memegang kedua lenganku. “Almira, gak semua wanita itu pandai memasak. Dulu, ibu juga seperti kamu yang gak bisa memasak. Apa neneknya Yusuf marah? Gak. Neneknya Yusuf sama sekali gak marah. Neneknya Yusuf mengajari ibu bagaimana cara memasak dengan benar. Apa yang sudah neneknya Yusuf lakukan kepada ibu dulu, akan ibu terapkan ke kamu. Kamu bilang mau belajar, kan?”Aku mengangguk. Benar-benar lembut ibu mertua berbicara. “Ibu akan mengajari kamu bagaimana me
Sayangnya, aku tak mendengar sahutan ibu mertua. Suara Ibu terdengar sangat pelan seperti orang sedang bisik-bisik. Mungkin Ibu takut aku mendengar perbincangan mereka. Entah apa jawaban Ibu, yang jelas pikiran buruk mulai menghantui saat ini. Ibu pernah mendambakan gadis lain untuk dijadikan menantu? Jujur saja, aku sangat cemburu mendengar ucapan itu, apalagi saat mendengar gadis itu pernah jadi incaran Mas Yusuf. Aku ingin tahu, sesempurna apa gadis yang sedang dibicarakan itu. Sebelum keluar kamar, aku bercermin terlebih dahulu, memastikan bahwa tidak ada air mata yang keluar akibat perkataan wanita itu. “Ibu.”“Nah, ini Almira, istrinya Yusuf.” Ibu menarik diriku supaya mendekat dan menyalami wanita itu. “Mir, ini namanya Atika, adik kandung ibu. Kamu panggil saja Bibi Tika.”Oh, ternyata wanita itu adalah adik kandung ibu. Pantas saja wajahnya sama persis dengan ibu mertuaku. “Kemarin, waktu pernikahan kalian,
“Gimana kabarnya?” Wanita bernama Syafira itu mengulurkan tangan kepada Mas Yusuf. Namun, sebelum Mas Yusuf menerima uluran tangannya, aku sudah terlebih dahulu menjabatnya. Kini, aku dan Syafira saling berjabat tangan.“Baik,” jawabku.“Ini … siapa? Keponakan apa sepupu?”“Saya Almira, istrinya Mas Yusuf.” Aku melepaskan tangan wanita tersebut. Enak saja aku dibilang keponakan atau sepupu. “Oh, jadi Mas Yusuf udah nikah?”“Udah. Kan, udah jelas tadi saya bilang kalau saya ini istrinya,” kataku sewot.Aku pun menoleh ke arah Mas Yusuf. “Mas, katanya mau ke rumah Bunda?” “Fir, kami pergi dulu. Permisi!” ujar Mas Yusuf.Jangan ditanya lagi sekesal apa diriku di dalam mobil. Pantas saja jika Mas Yusuf mengincar Syafira. Wajahnya sangat cantik, seperti orang Arab. Tubuhnya tinggi, langsing, dan rambutnya tergerai panjang. Dia begitu wangi.“Mira … Sayang?”“Ternyata dia sangat cantik dan tinggi.
“Udah ketemu Syafira, ya? Tadi Syafira udah cerita, kok. Kamu cemburu? Itu wajar, tapi kamu perlu tahu. Syafira itu hanya masa lalu. Dulu, ibu memang mendambakan dia, tapi setelah Ibu mendapatkan menantu seperti kamu, ibu sadar … kamu lebih baik dari siapapun. Kamu cantik, kamu baik, dan kamu sempurna. Dulu, memang ibu menginginkan dia, tapi sekarang ibu mendapatkan lebih dari yang ibu inginkan sebelumnya. Di dalam dirimu, ibu melihat kesempurnaan.”Entah dari sisi mana ibu mertua melihat adanya kesempurnaan dalam diriku. “Apa ucapan Ibu hanya untuk menghibur diriku saja?” Ibu tersenyum. Senyum itu terlihat sangat meneduhkan. “Ibu bicara jujur, Almira.”“Tapi aku sempurna dari mana, Ibu? Kekuranganku bahkan sangat banyak.”“Kamu belum menyadarinya untuk saat ini. Lambat laun, kamu pasti akan paham. Di balik kekurangan itu, ada kelebihan.”“Apa, Ibu? Aku bahkan tidak merasa memiliki kelebihan apapun,” kataku lirih.“Ada. Ibu dan
“Apa, sih? Sewot amat tanyanya? Tiga wanita itu, Ibu, kamu, dan Bunda,” jawabnya diiringi dengan menarik pipiku.“Hayo … katanya janji gak akan mikir macam-macam?” sambungnya. “Kirain. Kan, aku gak tahu.”“Makanya ….” Mas Yusuf pun duduk dan menggenggam kedua tanganku. Dia mendongak, menatap diriku yang masih berdiri. “Doain aku, ya! Dan dampingi aku dalam kondisi apapun. Kamu tahu, usahaku ini gak besar. Hanya sekedar coffe shop. Saingan di mana-mana pun banyak. Aku mau, kamu menemani langkahku. Aku mau, kamu selalu mendukungku melakukan apapun, termasuk mengembangkan bisnis ini. Jika aku salah melangkah, tolong tegur dan tarik aku!”Aku menggigit bibir bawah. Apa tidak salah Mas Yusuf mengatakan hal ini? Seharusnya aku yang butuh arahan darinya karena selama ini aku sudah salah kaprah dalam melangkah. “Tolong diperjelas, Mas! Aku gak paham.”Mas Yusuf tampak tertawa kecil. “Intinya kita jalan sama-sama. Kita berdampingan. Jik
“Yusuf, istrimu pengin jajan. Ambilin, dong!”“Enggak, Ibu. Serius,” kataku. Tiba-tiba saja Mas Yusuf mengambil satu batang coklat dan meletakkannya di troli. “Mau berapa, Sayang?”“Gak usah, serius.”“Mukamu itu, loh, bikin kasihan kalau lagi ngempet jajan,” bisiknya diiringi tawa kecil. “Mau berapa?”“Satu aja.”Kini, giliran kami yang akan membayar. Ternyata banyak juga. Kuperhatikan satu-satu saat mereka di-scan. Belum keluar total belanjanya pun sudah membuat diriku melotot. Saat kasir menyebut nominal yang tertera di layar, aku cukup terkejut. Ternyata kebutuhan bulanan, bisa mencapai jutaan. Segera aku membayarnya dengan non tunai. “Udah paham, Mir, berapa yang harus dikeluarkan untuk kebutuhan rumah selama satu bulan?” tanya Ibu setelah kami keluar dari supermarket. “Paham, Ibu.” “Masih ada lagi, Mir.”“Sayur dan lauk pauk, kan?” “Ada lagi selain itu.”“Apa itu, B
“Astaga, Mira! Jangan dikucek! Tanganmu habis pegang bawang! Aduh, sini, sini!”“Ibu, tolong! Ini perih sekali! Aku gak tahan!”Bukan aku yang mencuci muka, melainkan ibu mertua yang mencuci mukaku. Kedua tanganku bahkan disabun oleh beliau. Ibu membawaku keluar ruangan. Aku diminta merasakan embusan angin yang menerpa. Air mata tak hentinya mengalir sejak tadi.Sangat perih memang, tetapi rasa perih itu perlahan hilang. Saat kutatap Ibu, kulihat beliau tampak sangat khawatir terhadap diriku. “Udah mendingan?”“Udah, Ibu. Udah gak seperti tadi.”“Udah, bawang merahnya, ibu saja yang kupas,” kata ibu mertua. “Nggak, Bu. Aku saja. Semua ini proses. Namanya juga belajar. Perih, gak apa-apa. Sekarang aku sudah tahu kalau bawang merah itu bisa buat perih ke mata.”“Gak, Mir. Ibu aja. Kamu kupas bawang putih aja lebih mudah.”“Oh, begitu? Baiklah.” Saat sudah memasuki dapur, aku mengupas bawang pu
“Oh, ya?” Aku merasa ada sesuatu yang terlepas di bagian belakang bajuku. Tangan jahil Mas Yusuf ternyata sudah melepas tali punggung gaunku. Aku merasa gaunku sudah longgar sekarang.“Mas!” “Sst!”Saat aku berbalik badan, aku sudah disambut dengan sentuhan dari bibir hangatnya. Tidak, tidak. Ini terlalu mendebarkan. Mas Yusuf kian lincah melanjutkan aksinya saat aku mencoba menghindar.**“Zen!” Aku mendadak terbangun kemudian menatap setiap sudut ruangan. Yang pertama teringat dalam pikiranku adalah Zen. Kuperhatikan lagi isi ruangan ini. Ah, iya. Aku sedang berada di hotel bersama suamiku. Pria yang semalam telah membuat diriku remuk dan tak berdaya masih tertidur pulas di sampingku tanpa balutan baju. Aku tersenyum kala mengingat perlakuannya semalam. Dia cukup leluasa dan agresif daripada saat di rumah. Bahkan hasil permainannya semalam terasa lebih melelahkan daripada malam pertama. Aku membelai wajah
Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan kemudian kembali menatap Ibu. “Gimana dengan Zen, Bu?” tanyaku.“Ada saatnya kalian pergi bersama Zen, ada saatnya juga kalian hanya pergi berdua. Kalau kalian pergi berdua, Zen akan bersama ibu. Lagi pula, Bu Marissa juga sering kemari. Kakek dan dua neneknya Zen siap menemani kalau kalian pergi kencan.”“Jadi ….” Mas Yusuf melirikku. “Jadi, tunggu apa lagi? Zen sudah makan. Stok susu juga masih banyak. Bu Marissa juga mengabari akan ke sini malam ini. Jadi, gak perlu ditunda lagi! Kalian pergilah berdua! Habiskan malam ini bersama!” “Ibu, tapi gak apa-apa kalau aku meninggalkan Zen bersama Ibu dan Bunda?” tanyaku karena khawatir Zen rewel.“Gak apa-apa, Mira. Kamu butuh kesegaran. Kamu butuh suasana baru di luar sana. Siapa tahu, dengan kencan ini, pikiranmu berasa plong.” Kembali aku dan Mas Yusuf berpandangan. Namun, kami saling diam. “Kok, malah lihat-lihatan? Ayo! Almira, Y
“Gimana gak tampan? Dua pabriknya saja unggul.” Tawa kami pecah saat Manda menyahut demikian. Manda berdiri kemudian beralih duduk di samping Om Arga. Mereka tampak sangat serasi, terlihat sama-sama dewasa. Wajah kebapak-bapakan Om Arga sangat cocok dengan wajah keibuan Manda. Aku dan Mas Yusuf sama-sama tersenyum. Di balik kejadian yang menimpa, ternyata ada banyak kisah menarik setelahnya. Cara Tuhan memang tak terduga. Dari yang awalnya diselimuti ego dan benci hingga berujung saling bersaing, kini sudah berubah menjadi saling merangkul dan mendukung. Om Arga menepati janjinya. Dia mempromosikan kedai kopi Mas Yusuf kepada banyak rekannya. Bahkan selalu mampir ke sana hampir setiap hari. Begitu pun dengan Ayah dan para rekannya. Sekarang aku bersyukur, perolehan pendapat coffee shop memang sudah meningkat drastis. Mas Yusuf sudah berencana mengadakan kembali bonus untuk para karyawan apabila pendapatan selama lima bulan ke depan tetap stabi
Rencananya, kami akan begadang sampai Zen tertidur pulas. Nyatanya, setelah Zen pulas, kami justru terjaga. Aku dan Mas Yusuf malah asyik berbagi rasa dan cerita. Entah sepanjang apa obrolan kami malam ini, tahu-tahu sudah pukul 02.35. “Mas, bentar lagi Ibu bikin kue. Aku gak ngantuk. Bol—”“Gak boleh.” Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Mas Yusuf memangkas seenak jidat. “Cuma bantuin doang. Bisa sambil duduk.”“Nanti aku yang bantuin Ibu. Kamu tidur sekarang! Kamu dari tadi ngomong mulu, loh, Sayang. Jadi gak tidur-tidur, kan?”“Lah?” Aku mengernyit. Bisa-bisanya aku yang disalahkan. “Yang ngajak bercerita siapa? Mas Yusuf duluan.”“Aku bercerita supaya kamu tidur. Eh, malah kamu makin bersemangat.”“Loh, kan, ta—”“Udah, diam! Merem, Mira!”**Satu bulan sudah aku menjalani hari sebagai seorang ibu. Bahagia, kuakui sangat bahagia. Cara ibu mertua memperlakukanku, akan aku contoh kelak k
“Stop, Bibi!” Mas Yusuf dan Mbak Diva datang. Mas Yusuf dan Mbak Diva memegang tubuh Bibi Tika. Ibu mertua cepat-cepat mengambil Zen dan menyerahkannya Zen padaku. “Bawa ke kamar, Mir!” Aku ke kamar untuk menyusui Zen. Wajahnya sampai memerah gara-gara menangis. Aku mendengar Mas Yusuf memberi teguran kepada Bibi Tika. Begitu pun dengan Mbak Diva dan Ibu. “Aku hanya mau beri makan.”“Anakku belum waktunya makan, Bi. Dia anakku. Bibi gak usah ikut campur!”“Berani sama bibi sekarang kamu, Suf.”“Maaf, Bibi. Urusan anak itu nomor satu. Apapun yang menyangkut anak, aku tidak bisa abai begitu saja. Dia anakku. Kalau Bibi memaksa lalu terjadi sesuatu dengan anakku, apa Bibi mau bertanggung jawab?”Mbak Diva memasuki kamar. Dia mengunci kamar dari dalam sambil meletakkan jari telunjuk di bibir. Mbak Diva mendekat dan melihat Zen yang menyusu dengan begitu kuat. “Tenang, ya! Dulu aku juga sepert
“Pak Yusuf, saya minta maaf.”“Saya sudah menduga, tapi saya tidak mau salah sangka. Ya sudahlah. Itu sudah berlalu,” kata Mas Yusuf dengan santainya. Aku pun pernah menduga jika Citra dan lainnya adalah antek-antek Om Arga. “Maafkan saya yang sengaja meniru usaha Pak Yusuf. Sekarang saya tahu, meski saya berusaha meniru dan menyaingi usaha Pak Yusuf, tetapi yang namanya rezeki itu sudah ada takarannya. Usaha saya tidak sesukses usaha Pak Yusuf. Bahkan saya pusing karena karyawan banyak yang semena-mena sehingga membuat pelanggan tidak betah. Kemungkinan saya akan menutupnya dan menggantinya dengan usaha yang lain.”Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan mendengar ucapan Om Arga. “Apapun usaha Pak Arga nantinya, semoga sukses,” timpal Mas Yusuf kemudian. “Aamiin. Terima kasih. Saya akan mengganti rugi apa yang sudah saya perbuat terhadap coffee shop Pak Yusuf.”“Tidak perlu. Biarlah, Pak Arga! Itu sudah berlalu. Yang
“Jika Bu Tami memperhatikan wajahnya betul-betul, Bu Tami akan mengetahui siapa ayahnya,” kataku yang memang sudah tahu masa lalu Manda. Manda menatap ke arahku sambil menggeleng pelan. Kurasa, sudah cukup Manda menyembunyikan semua ini. Ini saat yang tepat untuk mengatakan karena semua orang sedang berkumpul. Om Arga mendekati Cindy kemudian berlutut dan meraba wajah cantiknya. Om Arga berkaca-kaca lalu mendongak beralih menatap Manda yang masih berdiri.“Manda, dia … anakku?” Manda terdiam dan kembali menunduk. “Manda, jawab! Kenapa aku tidak pernah tahu hal ini?”Kudengar Manda sedikit terisak. Kasihan, pasti dia sedang teringat dengan masa lalunya. “Karena kamu pergi di saat aku mengandung dua bulan. Kamu menceraikan aku melalui telepon. Aku mau beritahu kehamilan ini, tapi kamu buru-buru menutup telepon. Kamu juga langsung menutup semua akses untuk kuhubungi, Mas. Aku menunggu berminggu-minggu, ternyata hanya s
(POV ALMIRA)“Atur napas, Bu! Ikuti saya! Tarik napas pelan-pelan lalu keluarkan!”Aku mencoba mengatur napas. Namun, karena saking sakitnya yang kurasa, aku kesulitan untuk mengambil napas dengan baik. Aku bahkan masih terengah-engah. Seorang bidan berlanjut mengajariku bagaimana cara mengejan. Aku pun mengikuti arahannya. “Ah, iya, benar.”“Semangat, Ibu!!! Sudah nampak. Rileks, ya, rileks! Ikuti lagi arahan saya!”“Ayo, Sayang! Kamu bisa.” Mas Yusuf berbisik di telinga. Aku kembali melakukan apa yang sudah dicontohkan oleh bidan tadi. Berusaha mengatur napas dan mengejan. “Alhamdulillah.” Serentak mereka mengucap hamdalah diiringi suara tangis bayi yang sangat kencang. “Hah? Sudah keluar?” Rasanya aku masih tidak percaya. Aku tak merasakan apapun di bawah sana saat bayiku keluar. Sakit yang kurasa hanya di perut dan pinggang saja. Kulihat Mas Yusuf menangis kemudian menciumi wajahku. E
(POV ARGA)“Apa ini? Gadis yang kucintai mengeluarkan darah?” Aku hanya bisa diam saat melihat Almira kesakitan. Ya, dia kesakitan. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari. Pria bernama Yusuf itu datang menghampiri Almira dan melepaskan ikatannya. Entah bagaimana bisa dia kemari, aku tak tahu. Tangan Almira meremas kerah kemeja suaminya. Wajahnya meringis kesakitan. Sesekali dia menjambak rambut suaminya sambil merintih dan berteriak. Kubiarkan pria yang telah menikahinya itu membawanya pergi. Namun, telingaku masih terasa sangat sakit mendengar jeritan Almira yang menggema di ruangan.“Apa aku setega ini?”Kutatap darah yang menetes di lantai. Itu darah Almira. Tenggorokanku seakan tercekat saat hendak menelan ludah. “Arga ….”Suara itu begitu lirih ketika memanggil. Aku berbalik badan. Seorang wanita tua yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkat karena postur tubuhnya sudah membungkuk. “Tega seka