“Astaga, Mira! Jangan dikucek! Tanganmu habis pegang bawang! Aduh, sini, sini!”
“Ibu, tolong! Ini perih sekali! Aku gak tahan!”Bukan aku yang mencuci muka, melainkan ibu mertua yang mencuci mukaku. Kedua tanganku bahkan disabun oleh beliau. Ibu membawaku keluar ruangan. Aku diminta merasakan embusan angin yang menerpa. Air mata tak hentinya mengalir sejak tadi.Sangat perih memang, tetapi rasa perih itu perlahan hilang. Saat kutatap Ibu, kulihat beliau tampak sangat khawatir terhadap diriku.“Udah mendingan?”“Udah, Ibu. Udah gak seperti tadi.”“Udah, bawang merahnya, ibu saja yang kupas,” kata ibu mertua.“Nggak, Bu. Aku saja. Semua ini proses. Namanya juga belajar. Perih, gak apa-apa. Sekarang aku sudah tahu kalau bawang merah itu bisa buat perih ke mata.”“Gak, Mir. Ibu aja. Kamu kupas bawang putih aja lebih mudah.”“Oh, begitu? Baiklah.”Saat sudah memasuki dapur, aku mengupas bawang pu“Beda gimana, Suf?” Ibu menatap Mas Yusuf heran. “Ini enak banget, Bu. Beda dari biasanya.”Hah? Senyumku mengembang seketika. Tadinya, kupikir Mas Yusuf tak menyukainya. “Jadi, masakan Ibu udah kalah, nih?” tanya Ibu diiringi lirikan menggoda ke arahku. “Sayur bening dan sambalnya buatan Almira, loh,” jawab Ibu. Meski harus dikomando oleh Ibu, tetapi aku senang karena masakan itu kerja keras dari tanganku sendiri. Ibu hanya menambahkan garam sedikit pada sayur bening dan mengiris bagian tengah cabai. Itu saja. Selebihnya, aku yang melakukan. Huh! Akhirnya … jebol juga predikat memasak untuk diriku hari ini. Mas Yusuf menatapku yang sumringah sedari tadi. “Enak. Serius, ini enak, Sayang.”“Itu yang ngeracik bahan buat sambal dan sayur bening—Almira sendiri. Ibu cuma ngasih tahu ada bawang, tomat, dan lain-lain. Yang atur takarannya, istrimu sendiri, Suf,” jelas ibu mertua. “Seneng, ya, bisa masak
“Enggak, Mas,” jawabku lirih. Biarlah saat ini penanak nasi yang kusalahkan. Jujur, aku sangat takut dimarahi oleh mereka. Mas Yusuf berdiri kemudian bergegas pergi ke dapur dan aku mengikutinya dari belakang. Begitu pun dengan Ibu. “Waktunya ganti yang baru, deh, Mas,” kataku yang masih membela diri.Mas Yusuf membuka tutup penanak nasi sambil mengerutkan dahi. Dia menutupnya kembali dan memasukkan steker ke dalam stop kontak kemudian menekan tombol yang bertulisan cook. “Apanya yang error?” Mas Yusuf menatap diriku yang tengah mengalami senam jantung saat ini. “Penanak nasi yang error atau kamu lupa menekan tombol itu, hm?” Mas Yusuf mendekat dan berkacak pinggang di hadapanku. Aku mendongak kemudian menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Em tadi error, Mas.”“Apanya yang error? Itu nyala, bisa. Mana yang error?” tanyanya sambil memajukan wajahnya kepadaku. “Penanak nasi itu baru kuganti dua bulan yang lalu,
(POV YUSUF)Namanya Almira. Dia lucu, polos, dan menggemaskan. Saking polosnya, dia tidak sadar jika dimanfaatkan oleh para temannya. Bermula saat aku menunggu Ibu di depan minimarket setahun yang lalu. Saat itu ada tiga perempuan yang berada di luar toko. Mereka tertawa dan tampak bahagia. “Kalian malas, kan, dengan sifat lemotnya Almira? Kalau diajak ngumpul, selalu gak nyambung dengan obrolan kita. Taunya cuma jajan aja.”“Heh, jangan kencang-kencang! Nanti dia dengar. Lagian, selama ini yang bayarin kita-kita itu si Almira. Kalau sampai dia dengar ini, gak ada lagi yang traktir kita.”“Bener. Enaknya kalau ngajak Almira ke mana-mana itu semuanya hampir serba gratis. Disuruh bayarin apa aja mau. Cuma dimodali kata-kata pakai uang kamu dulu, ya, nanti kita ganti, dia udah percaya. Padahal, kita gak pernah ganti uangnya, tapi dia gak kapok bayarin kita.”“Iya, ih. Apalagi kalau dia sendiri yang pengin jajan, kita gak usah nge
(POV YUSUF)Almiraku sangat polos dan lugu. “Hak kamu untuk menagih karena itu adalah uangmu. Mereka sendiri, kan, yang bilang kalau akan diganti?” tanyaku.Almira mengangguk. “Iya, tapi gimana caranya?”“Bilang aja kalau mereka punya hutang sama kamu. Bilang kalau hutang itu wajib dibayar. Kalau kamu diemin mereka, mereka akan semakin ngelunjak. Lihat! Mereka keterusan morotin kamu, kan?” Aku mencoba berbicara baik-baik dengan menatap matanya agar dia paham.“Tapi aku gak bisa ngomongnya. Gak nyampe hati aku mau nagih gitu. Kasihan juga, kan, kalau mereka memang benar-benar gak punya uang.”Istri kecilku yang menggemaskan. Entah terbuat dari apa hatinya sampai tidak memiliki prasangka buruk kepada teman-temannya. “Terus? Mau kamu relakan gitu?” tanyaku. “Ya … iya. Lagian, aku juga lupa berapa totalnya. Mereka terlalu sering, sih, minta bayarin. Dari sejak kami kenal sampai sekarang. Jadi, ya udahlah.”Pasti t
(POV YUSUF)Saat pagi menjelang dan istriku membuka mata, bergegas aku menciumi wajahnya. Dia memang tampak pucat dan suhu tubuhnya sedikit lebih hangat dari biasanya. “Nanti kita ke dokter, ya!” ajakku. “Gak usah, Mas. Ini jam berapa?” “Jam tujuh.”Almira terbelalak. “Loh, aku harus bantuin Ibu.”Cepat-cepat kudekap tubuhnya saat hendak beranjak. “Kamu itu lagi sakit. Gak usah bantuin Ibu, gak apa-apa. Ibu juga udah tahu dan minta kamu istirahat.”“Tapi aku gak enak sama Ibu. Aku tiduran begini, sedangkan Ibu mengerjakan apa-apa sendiri. Aku mau bantuin, aku udah gak apa-apa, kok. Serius.” Almira masih berusaha baik-baik saja meski kutahu dirinya berbohong. Kutatap matanya sedalam mungkin. Kubiarkan kedua tanganku tetap melingkar di tubuh mungilnya. “Untuk kali ini, istirahat! Dengarkan suamimu ini!”“Ibu gak marah?”“Ibu gak akan marah, Sayang. Tunggu di sini!”Aku beranjak dan p
(POV YUSUF)Saat ini kami tengah menunggu teman Almira. Aku dan Bunda sudah menghubunginya sebelum kemari. Kami bahkan sudah menyiapkan sesuatu untuk mereka. Bunda sudah mengambil tempat. Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya yang ditunggu pun datang. Ternyata mereka ada tiga orang, seperti yang pernah kulihat saat dulu. “Hai, Mir!”Wah, ternyata mereka mengira jika Bunda adalah Almira. Bunda memang duduk membelakangi pintu sambil tetap mengenakan masker. Aku yang masih memperhatikan mereka di dekat meja kasir pun hanya terdiam. Mereka masih tidak paham jika wanita itu adalah mertuaku alias ibunya Almira. “Ini, ya, barang kita?” Salah satu dari mereka meraih sebuah kantong kresek berisi paket. Iya, paket. Paket bodong. “Eh, Cit. Pesan minuman dan makanan! Bilang aja ke kasirnya kalau kita adalah temannya Almira. Biar dia yang bayar.” Yang lain pun ikut nyeletuk. “Enak, dong, kalau ke sini tiap hari. Kit
(POV ALMIRA)Tak terasa, sudah lima bulan aku menyandang status sebagai istri. Sebentar lagi, aku juga akan menyandang status sebagai ibu. Iya, aku tengah berbahagia karena mengandung darah daging Mas Yusuf. Kehamilanku memang baru berusia tiga bulan. Perutku masih terlihat datar dan ajaibnya … aku tidak merasakan mual atau muntah seperti orang hamil pada umumnya. Jujur, aku sedikit bingung. Namun, kata ibu mertua, itu hal yang biasa. Tidak semua orang merasakan mual dan muntah semasa kehamilannya. “Mir, gak usah capek-capek! Kamu itu hamil muda. Harus banyakin istirahat dulu,” kata Ibu. Ah, Ibu tahu saja jika aku tengah meraih sapu. “Hayoo … jangan bandel! Letakkan sapunya! Ibu aja yang nyapu,” sambung beliau yang tengah mencuci peralatan dapur. “Ibu, aku hanya menyapu. Ini gak akan membuatku lelah.”“Mira ….” Ibu menatap diriku sambil bergeming. Baiklah, aku meletakkan kembali sapu itu kemudian mendekati Ibu yang
Aku dan Mas Yusuf akhirnya pergi setelah berpamitan kepada Ibu. Lumayan, jalan-jalan sore akan menghibur diriku dari tajamnya mulut tetangga. Saat di jalan, Mas Yusuf tak henti-hentinya menawarkan makanan. Belum juga dibeli, rasanya sudah kenyang mendengarkan Mas Yusuf menyebutkan aneka makanan sedari tadi. “Mas, ke rumah Bunda, yuk! Aku tiba-tiba kangen sama Ayah. Pasti Ayah udah di rumah kalau sore begini,” ajakku. Entah kenapa mendadak terbayang wajah Ayah dan aku ingin sekali menemuinya. “Oke, Sayang. Kita beli sesuatu dulu, ya.”Aku hanya mengangguk. Tak lama kemudian, kami berhenti di sebuah toko oleh-oleh. Setelah kami membeli makanan untuk dibawa ke rumah Bunda, kami segera meluncur ke sana. Jalanan sore ini sedikit padat karena banyak pekerja yang pulang dari kantor. Tatapanku tak sengaja melihat wajah Mas Yusuf yang tampak lesu. “Mas? Capek, ya?”Mas Yusuf menoleh cepat ke arahku kemudian tersenyum. “Capek
“Oh, ya?” Aku merasa ada sesuatu yang terlepas di bagian belakang bajuku. Tangan jahil Mas Yusuf ternyata sudah melepas tali punggung gaunku. Aku merasa gaunku sudah longgar sekarang.“Mas!” “Sst!”Saat aku berbalik badan, aku sudah disambut dengan sentuhan dari bibir hangatnya. Tidak, tidak. Ini terlalu mendebarkan. Mas Yusuf kian lincah melanjutkan aksinya saat aku mencoba menghindar.**“Zen!” Aku mendadak terbangun kemudian menatap setiap sudut ruangan. Yang pertama teringat dalam pikiranku adalah Zen. Kuperhatikan lagi isi ruangan ini. Ah, iya. Aku sedang berada di hotel bersama suamiku. Pria yang semalam telah membuat diriku remuk dan tak berdaya masih tertidur pulas di sampingku tanpa balutan baju. Aku tersenyum kala mengingat perlakuannya semalam. Dia cukup leluasa dan agresif daripada saat di rumah. Bahkan hasil permainannya semalam terasa lebih melelahkan daripada malam pertama. Aku membelai wajah
Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan kemudian kembali menatap Ibu. “Gimana dengan Zen, Bu?” tanyaku.“Ada saatnya kalian pergi bersama Zen, ada saatnya juga kalian hanya pergi berdua. Kalau kalian pergi berdua, Zen akan bersama ibu. Lagi pula, Bu Marissa juga sering kemari. Kakek dan dua neneknya Zen siap menemani kalau kalian pergi kencan.”“Jadi ….” Mas Yusuf melirikku. “Jadi, tunggu apa lagi? Zen sudah makan. Stok susu juga masih banyak. Bu Marissa juga mengabari akan ke sini malam ini. Jadi, gak perlu ditunda lagi! Kalian pergilah berdua! Habiskan malam ini bersama!” “Ibu, tapi gak apa-apa kalau aku meninggalkan Zen bersama Ibu dan Bunda?” tanyaku karena khawatir Zen rewel.“Gak apa-apa, Mira. Kamu butuh kesegaran. Kamu butuh suasana baru di luar sana. Siapa tahu, dengan kencan ini, pikiranmu berasa plong.” Kembali aku dan Mas Yusuf berpandangan. Namun, kami saling diam. “Kok, malah lihat-lihatan? Ayo! Almira, Y
“Gimana gak tampan? Dua pabriknya saja unggul.” Tawa kami pecah saat Manda menyahut demikian. Manda berdiri kemudian beralih duduk di samping Om Arga. Mereka tampak sangat serasi, terlihat sama-sama dewasa. Wajah kebapak-bapakan Om Arga sangat cocok dengan wajah keibuan Manda. Aku dan Mas Yusuf sama-sama tersenyum. Di balik kejadian yang menimpa, ternyata ada banyak kisah menarik setelahnya. Cara Tuhan memang tak terduga. Dari yang awalnya diselimuti ego dan benci hingga berujung saling bersaing, kini sudah berubah menjadi saling merangkul dan mendukung. Om Arga menepati janjinya. Dia mempromosikan kedai kopi Mas Yusuf kepada banyak rekannya. Bahkan selalu mampir ke sana hampir setiap hari. Begitu pun dengan Ayah dan para rekannya. Sekarang aku bersyukur, perolehan pendapat coffee shop memang sudah meningkat drastis. Mas Yusuf sudah berencana mengadakan kembali bonus untuk para karyawan apabila pendapatan selama lima bulan ke depan tetap stabi
Rencananya, kami akan begadang sampai Zen tertidur pulas. Nyatanya, setelah Zen pulas, kami justru terjaga. Aku dan Mas Yusuf malah asyik berbagi rasa dan cerita. Entah sepanjang apa obrolan kami malam ini, tahu-tahu sudah pukul 02.35. “Mas, bentar lagi Ibu bikin kue. Aku gak ngantuk. Bol—”“Gak boleh.” Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Mas Yusuf memangkas seenak jidat. “Cuma bantuin doang. Bisa sambil duduk.”“Nanti aku yang bantuin Ibu. Kamu tidur sekarang! Kamu dari tadi ngomong mulu, loh, Sayang. Jadi gak tidur-tidur, kan?”“Lah?” Aku mengernyit. Bisa-bisanya aku yang disalahkan. “Yang ngajak bercerita siapa? Mas Yusuf duluan.”“Aku bercerita supaya kamu tidur. Eh, malah kamu makin bersemangat.”“Loh, kan, ta—”“Udah, diam! Merem, Mira!”**Satu bulan sudah aku menjalani hari sebagai seorang ibu. Bahagia, kuakui sangat bahagia. Cara ibu mertua memperlakukanku, akan aku contoh kelak k
“Stop, Bibi!” Mas Yusuf dan Mbak Diva datang. Mas Yusuf dan Mbak Diva memegang tubuh Bibi Tika. Ibu mertua cepat-cepat mengambil Zen dan menyerahkannya Zen padaku. “Bawa ke kamar, Mir!” Aku ke kamar untuk menyusui Zen. Wajahnya sampai memerah gara-gara menangis. Aku mendengar Mas Yusuf memberi teguran kepada Bibi Tika. Begitu pun dengan Mbak Diva dan Ibu. “Aku hanya mau beri makan.”“Anakku belum waktunya makan, Bi. Dia anakku. Bibi gak usah ikut campur!”“Berani sama bibi sekarang kamu, Suf.”“Maaf, Bibi. Urusan anak itu nomor satu. Apapun yang menyangkut anak, aku tidak bisa abai begitu saja. Dia anakku. Kalau Bibi memaksa lalu terjadi sesuatu dengan anakku, apa Bibi mau bertanggung jawab?”Mbak Diva memasuki kamar. Dia mengunci kamar dari dalam sambil meletakkan jari telunjuk di bibir. Mbak Diva mendekat dan melihat Zen yang menyusu dengan begitu kuat. “Tenang, ya! Dulu aku juga sepert
“Pak Yusuf, saya minta maaf.”“Saya sudah menduga, tapi saya tidak mau salah sangka. Ya sudahlah. Itu sudah berlalu,” kata Mas Yusuf dengan santainya. Aku pun pernah menduga jika Citra dan lainnya adalah antek-antek Om Arga. “Maafkan saya yang sengaja meniru usaha Pak Yusuf. Sekarang saya tahu, meski saya berusaha meniru dan menyaingi usaha Pak Yusuf, tetapi yang namanya rezeki itu sudah ada takarannya. Usaha saya tidak sesukses usaha Pak Yusuf. Bahkan saya pusing karena karyawan banyak yang semena-mena sehingga membuat pelanggan tidak betah. Kemungkinan saya akan menutupnya dan menggantinya dengan usaha yang lain.”Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan mendengar ucapan Om Arga. “Apapun usaha Pak Arga nantinya, semoga sukses,” timpal Mas Yusuf kemudian. “Aamiin. Terima kasih. Saya akan mengganti rugi apa yang sudah saya perbuat terhadap coffee shop Pak Yusuf.”“Tidak perlu. Biarlah, Pak Arga! Itu sudah berlalu. Yang
“Jika Bu Tami memperhatikan wajahnya betul-betul, Bu Tami akan mengetahui siapa ayahnya,” kataku yang memang sudah tahu masa lalu Manda. Manda menatap ke arahku sambil menggeleng pelan. Kurasa, sudah cukup Manda menyembunyikan semua ini. Ini saat yang tepat untuk mengatakan karena semua orang sedang berkumpul. Om Arga mendekati Cindy kemudian berlutut dan meraba wajah cantiknya. Om Arga berkaca-kaca lalu mendongak beralih menatap Manda yang masih berdiri.“Manda, dia … anakku?” Manda terdiam dan kembali menunduk. “Manda, jawab! Kenapa aku tidak pernah tahu hal ini?”Kudengar Manda sedikit terisak. Kasihan, pasti dia sedang teringat dengan masa lalunya. “Karena kamu pergi di saat aku mengandung dua bulan. Kamu menceraikan aku melalui telepon. Aku mau beritahu kehamilan ini, tapi kamu buru-buru menutup telepon. Kamu juga langsung menutup semua akses untuk kuhubungi, Mas. Aku menunggu berminggu-minggu, ternyata hanya s
(POV ALMIRA)“Atur napas, Bu! Ikuti saya! Tarik napas pelan-pelan lalu keluarkan!”Aku mencoba mengatur napas. Namun, karena saking sakitnya yang kurasa, aku kesulitan untuk mengambil napas dengan baik. Aku bahkan masih terengah-engah. Seorang bidan berlanjut mengajariku bagaimana cara mengejan. Aku pun mengikuti arahannya. “Ah, iya, benar.”“Semangat, Ibu!!! Sudah nampak. Rileks, ya, rileks! Ikuti lagi arahan saya!”“Ayo, Sayang! Kamu bisa.” Mas Yusuf berbisik di telinga. Aku kembali melakukan apa yang sudah dicontohkan oleh bidan tadi. Berusaha mengatur napas dan mengejan. “Alhamdulillah.” Serentak mereka mengucap hamdalah diiringi suara tangis bayi yang sangat kencang. “Hah? Sudah keluar?” Rasanya aku masih tidak percaya. Aku tak merasakan apapun di bawah sana saat bayiku keluar. Sakit yang kurasa hanya di perut dan pinggang saja. Kulihat Mas Yusuf menangis kemudian menciumi wajahku. E
(POV ARGA)“Apa ini? Gadis yang kucintai mengeluarkan darah?” Aku hanya bisa diam saat melihat Almira kesakitan. Ya, dia kesakitan. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari. Pria bernama Yusuf itu datang menghampiri Almira dan melepaskan ikatannya. Entah bagaimana bisa dia kemari, aku tak tahu. Tangan Almira meremas kerah kemeja suaminya. Wajahnya meringis kesakitan. Sesekali dia menjambak rambut suaminya sambil merintih dan berteriak. Kubiarkan pria yang telah menikahinya itu membawanya pergi. Namun, telingaku masih terasa sangat sakit mendengar jeritan Almira yang menggema di ruangan.“Apa aku setega ini?”Kutatap darah yang menetes di lantai. Itu darah Almira. Tenggorokanku seakan tercekat saat hendak menelan ludah. “Arga ….”Suara itu begitu lirih ketika memanggil. Aku berbalik badan. Seorang wanita tua yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkat karena postur tubuhnya sudah membungkuk. “Tega seka