Seharusnya memang aku bahagia di hari pernikahan ini. Namun, hatiku mendadak resah lantaran banyak orang yang menakutiku. Mereka bilang, tinggal bersama mertua itu tidak menyenangkan dan tidak akan membuat nyaman.
Mereka yang merupakan teman-temanku sekaligus perias diriku juga menceritakan kisah hidup mereka masing-masing. Satu dengan yang lainnya saling adu nasib. Sejurus kemudian mereka melotot ke arahku. “Habislah dirimu, Mir. Setelah ini giliranmu yang banyak mengeluh tentang hidup bersama mertua.”Sebal! Mereka membuat hariku sangat tidak nyaman. Aku pun menyahut, “Ibunya Mas Yusuf itu baik.”“Heleh, baik pas di depan doang. Dulu sebelum aku menikah, mertuaku juga kelihatan sangat baik. Kenyataannya, pas udah nikah malah baru ketahuan sifat aslinya.” Rini yang tengah menata rambutku pun menimpali.“Mana mau seorang mertua menerima kehadiran orang lain dengan tulus? Gak ada. Yang ada nanti kamu diperlakukan seperti pembantu. Pagi-pagi buta harus setor muka, ada paket datang dikira boros, terus ... lagi nyantai dikira malas. Aku sampai ngontrak saking lelahnya.” Kali ini ucapan itu datang dari Hela. Sambil menyapukan bedak di wajah, mulutnya dengan lincah berjoget ria menakuti diriku sejak tadi sambil menceritakan kisah hidupnya.“Gak semua mertua begitu. Ada juga yang baik, kok. Aku yakin kalau mertuaku akan bersikap baik,” ujarku mencoba menenangkan hati.Reaksi Rini dan Hela membuatku malas. Mereka tertawa seperti tak percaya dengan yang kuucapkan. “Ya udahlah. Kita lihat nanti! Kamu pasti akan adu nasib sama kita.”Aku hanya diam dan tak lagi menimpali ucapan Rini. Meski begitu, tetap saja aku merasa takut. Entah apa yang akan terjadi seandainya mertuaku tidak menyukai kehadiranku. Aku sudah terlanjur berjanji kepada Mas Yusuf untuk bersedia tinggal satu atap dengan orangtuanya karena Mas Yusuf anak terakhir dari tiga bersaudara. Sepanjang acara ngunduh mantu, aku merasa tidak tenang, apalagi saat melihat ibu mertuaku. Perkataan Rini dan Helen masih terngiang-ngiang di telinga. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran betapa menyesalnya diriku menikah muda.Usiaku tergolong muda untuk menikah, yaitu 21 tahun. Aku bukan gadis yang pandai memasak dan rajin seperti pada umumnya. Aku hanya gadis lemot dan sering malas-malasan. “Duh, seharusnya aku berubah jadi rajin dulu. Saking senangnya dilamar Mas Yusuf sampai lupa kalau diri ini pemalas tingkat tinggi.”**“Kok, bisa kamu pilih gadis yang gak bisa masak untuk dijadikan istri? Kamu itu bagaimana, sih, Yusuf?” tanya ibu mertua. “Mana malas, gak pernah bersih-bersih rumah, kerjanya tiduran pula," sambungnya.“Almira, kamu pilih mana? Yusuf nikah lagi atau kamu pergi dari hidupnya?” tanyanya lagi.“Almira!” Aku tersentak saat Mas Yusuf menepuk pahaku dengan pelan, tetapi penuh penekanan. Huh! Mas Yusuf membuyarkan lamunanku tentang ibu mertua.“Kamu kenapa? Dari tadi, kok, kelihatan cemas?” Aku hanya menggeleng pelan mendengar pertanyaan Mas Yusuf. Jujur, nyaliku menciut untuk tinggal satu atap dengan mertua. Kalau sampai ibu mertua tahu aku tidak bisa memasak, tamat sudah riwayatku. “Almira, kamu capek, ya?”“I-iya, aku capek.” Akhirnya aku bisa menemukan jawaban yang tepat untuk mewakili ekspresi wajahku yang mungkin terlihat tak sedap dipandang. “Ini juga udah malam. Acara sebentar lagi selesai dan kamu bisa istirahat, Mir.” Pukul sebelas malam akhirnya aku bisa beristirahat di kamar Mas Yusuf. Kamarnya sangat rapi karena aku tahu Mas Yusuf itu orang yang rajin. Sebuah keberuntungan bagiku mendapatkan suami seperti dirinya. Sebelum tidur, aku memasang alarm di ponsel. Sebelum azan subuh berkumandang, aku harus bangun. Meski aku tidak melaksanakan ibadah karena sedang halangan, aku tetap harus bangun pagi untuk setor muka.**“Hah? Jam berapa ini? Mas Yusuf?” Aku gelagapan saat bangun tidur dan jam dinding di kamar menunjukkan pukul delapan. Mas Yusuf juga tidak ada di tempat. Gawat! Aku telat bangun. Pasti aku tidak dengar saat alarm ponsel berbunyi.Bergegas aku bangun dari tempat tidur dan mencuci muka. Bisa-bisanya aku kesiangan sampai pukul delapan. Biasanya tak pernah sesiang ini. Aduh! Entah apa yang akan mertuaku katakan. Tunggu! Keluar dari kamar mandi, aku berhenti melangkah. Tak mungkin jika aku hanya mencuci muka saja. Aku harus mandi secepat kilat dan memakai banyak minyak wangi agar disangka aku keluar kamar terlalu siang karena melakukan perawatan diri. Setelah mandi, aku segera berganti pakaian dan menyemprotkan banyak minyak wangi ke seluruh tubuh. Tak lupa aku memakai body lotion milik Mas Yusuf yang tinggal separuh itu. Pantas saja kulit Mas Yusuf tampak bersih dan cerah, ternyata dia pandai merawat diri. Entah sudah berapa lapis body lotion yang menempel di kulitku, yang jelas aku sudah sangat wangi sekarang. Rasa gugup mulai menjalar saat hendak menekan gagang pintu. Terdengar suara keramaian di luar kamar. Pasti semua orang sudah bangun sejak tadi. Aku cukup kecewa dengan Mas Yusuf yang tidak membangunkan diriku.Kutarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan diri. Akan aku coba berlatih terlebih dahulu sebelum menyapa mereka. “Selamat pagi, semuanya!”Ah, kurasa kata itu kurang tepat. “Maaf aku terlambat bangun.”Itu juga kurasa kurang pas. Jujur, aku tidak tahu apa yang harus aku katakan saat bangun siang seperti ini. Jika di rumah sendiri mungkin tidak masalah. Jika di rumah suami, apa kata mertua dan ipar-iparku?Rini dan Hela juga mengatakan jika bukan hanya mertua saja yang mengerikan, tetapi para ipar pun akan sangat mengerikan bagi kita. Saat ini aku hanya takut mereka mengomeliku secara bersamaan. “Tenang, Almira! Tenang!” Aku berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja meski aku tahu pikiran negatif sedang menyelimuti. Jika aku tak kunjung keluar, maka akan semakin siang dan entah bagaimana pandangan mereka kepadaku nantinya. Kuberanikan diri menekan gagang pintu secara perlahan. Sambil menelan ludah dengan kasar, aku melangkahkan kaki keluar kamar. “Almira?” “Ha, iya?” Aku memutar tubuh saat mendengar suara wanita memanggil. Ternyata dia adalah Mbak Diva, kakak ke dua Mas Yusuf yang rumahnya tak jauh dari sini.Dia menatapku aneh. “Kamu ....”“Maaf, Mbak, aku ... aku baru bangun. Mungkin karena kelelahan jadi bangunnya kesiangan,” ujarku sebelum Mbak Diva menyemprot diriku dengan berbagai pertanyaan.“Loh, loh, loh? Bhahaha ....” Mbak Diva terpingkal-pingkal kemudian mengendus tubuhku. “Kamu baru mandi?” Aku mengangguk. Baru hari pertama saja sudah ditertawakan. “Maaf, Mbak. Aku ....”Sambil tertawa renyah, Mbak Diva menarik tanganku kemudian mengajakku ke ruang tamu. “Hah? Kok ...?” Aku bingung saat melihat Mas Yusuf masih mengenakan jas semalam dan lampu di luar masih menyala terang. Kerabat dan teman-teman Mas Yusuf pun masih banyak di sana.Mbak Diva semakin tertawa saat melihat diriku, bahkan sembari memegang perutnya. “Yusuf, sini, deh! Apa kamu belum mengganti baterai jam di kamarmu?” “Apa?”“Astaga … lupa!” Mas Yusuf menepuk jidatnya sendiri. “Almira, kenapa kamu udah bangun? Katanya capek?” tanyanya kepadaku. Mbak Diva masih tertawa sambil melihat diriku kemudian beralih menatap Mas Yusuf. “Kamu tahu? Istrimu mengira kalau ini udah siang. Dia panik, padahal ini masih jam 1 malam. Bhahahaha ….”“Aduh, maaf, Almira! Nanti aku ganti baterainya.” Enteng sekali Mas Yusuf berujar. Aku sudah kelimpungan dan panik setengah mati karena melihat jam dinding di kamarnya yang ternyata mati. “Hm.” Hanya itu sahutan kecilku. Ingin marah juga segan karena ada Mbak Diva.Mas Yusuf mengusap pundakku sebelum akhirnya kembali ke ruang tamu. Kata Mbak Diva, wajar jika sampai larut malam sanak saudara maupun teman dekat Mas Yusuf masih begadang meski acara sudah usai. Itu sudah biasa di sini. Mbak Diva mengajakku kembali ke kamar. Semua perempuan di rumah ini sudah tidur, kecuali kami berdua. Ibu mertua juga sudah terlelap karena Mbak Diva bilang jika Ibu kelelahan. “Almira, kamu gak lih
Hari pertama, ke dua, dan ke tiga di rumah mertua rasanya aman-aman saja. Apa mungkin karena ada Mbak Dewi yang masih menginap di sini? Namun, di hari ke empat ini Mbak Dewi sudah kembali ke kota asal karena suaminya harus segera bekerja. Kedua kakak Mas Yusuf memiliki suami yang mapan. Hidup keduanya pun terbilang sangat cukup. Begitu pun dengan Mas Yusuf yang kurasa hidup berkecukupan. Mas Yusuf memiliki dua coffee shop dan aku adalah admin di salah satu coffee shop miliknya. Baru tiga bulan bekerja di tempatnya, Mas Yusuf sudah melamar diriku tanpa fase pacaran. Gadis mana yang akan menolak lamaran dari pria tampan sekaligus bos muda seperti Mas Yusuf? Sungguh, aku beruntung mendapatkannya. Sejujurnya, aku bekerja sebagai kasir di kedai kopinya karena dituntut mandiri oleh orangtua. Mungkin mereka lelah melihat anak gadisnya ini bermalas-malasan dan selalu menghabiskan uang. Namun, dalam tiga bulan itu aku sering melakukan kesalahan sampai membuat semua orang kesal dan mengingin
“Ibu-ibu, tolong berhenti mengatakan yang tidak-tidak tentang menantu saya. Menantu saya tidak seperti itu. Dia bisa melakukan apapun dan dia sangat rajin. Saya yang tinggal satu rumah dengannya. Jadi, saya yang lebih tahu tentangnya.” Mengharukan! Ibu mertua benar-benar membela diriku. “Baru beberapa hari tinggal serumah udah begini. Nanti kalau udah bertahun-tahun, Bu Ine akan lelah sendiri,” celetuk Bu Ajeng. “Jangankan bertahun-tahun, satu bulan kemudian mungkin Bu Ine akan tertekan.” Wanita di sebelah Bu Ajeng itu menimpali. Kalau saja tidak ada ibu mertua, sudah aku tonjok mereka berdua. Mulutnya tidak bisa di-filter. “Ibu, mereka menyebalkan,” gerutuku kesal. “Gak usah diladeni. Semakin mereka diladeni, semakin panjang obrolannya. Mereka memang doyan omong. Warga sini juga sering, kok, dikasih omongan pedas. Dua orang itu, jika ditimpali, akan semakin menjadi. Yuk, masuk aja! Yang di teras udah bersih.” Tanpa menimpali ucapan dua orang itu, aku dan Ibu memasuki rumah. Aku
“T–terima kasih, Ibu. Ma–maaf tadi aku ketiduran,” kataku yang dibalas senyuman oleh ibu mertua. “Gak masalah, Mir,” jawabnya kemudian berlalu. Aku memutar tubuh, menatap Mas Yusuf yang masih duduk di tepi kasur. Cengiran tipis pun aku tunjukkan padanya. “Maaf, aku gak tahu kalau Ibu menyetrika pakaian.”Mas Yusuf diam. Pasti dia marah karena telah membuat ibunya bekerja, apalagi sampai menyetrika pakaianku. Segera aku letakkan pakaian itu ke dalam lemari. Tiba-tiba saja sebuah tangan kekar melingkar di perutku. “Aku tahu, kamu belum terbiasa dengan keadaan ini. Pelan-pelan saja, kamu pasti bisa. Lihat apa yang Ibu lakukan dan minta Ibu untuk mengajari kamu. Bukan maksud aku untuk menuntut kamu supaya mengerjakan pekerjaan rumah, tapi aku ingin kamu bisa melakukan apa yang sebelumnya belum bisa kamu lakukan. Biasanya, jika aku gak pergi ke kedai, aku membantu Ibu apapun yang bisa kubantu. Aku harap kamu bisa mengerti itu, Sayang.”Aku tertunduk mendengar ucapan Mas Yusuf. Aku suda
Kedua tangan Mas Yusuf menangkup kedua pipiku. Dia semakin tersenyum lebar bahkan tertawa. “Gak bisa masak, kok, nangis?”“Kalau aku dimarahi gimana? Dianggap menantu yang gak berguna gimana?”Mas Yusuf menyeka air mataku dengan jempolnya kemudian mempertemukan dua jempolnya tepat di hidungku. Dia mencapit hidungku hingga ada sedikit cairan yang keluar. “Idiiiih, udah besar masih ingusan.” Mas Yusuf terkekeh. Cepat-cepat aku mengusap cairan itu dengan lengan pakaian. “Mira! Pakai tissue!”“Kelamaan,” kataku kesal. Mas Yusuf mengambil tissue kemudian mengusap bagian bawah hidungku. Memang, jika aku menangis, selalu ada cairan yang keluar dari hidung. Baru menangis sedikit, hidungku bahkan sudah terlihat sangat merah. Dia telaten membersihkan wajahku. “Mulai sekarang, biasakan kalau ngelap apa-apa pakai tissue. Jangan pakaian yang digunakan! Lihat, lengan bajumu kotor!” Mas Yusuf membuang tissue itu ke tempat sampah. “Jijik, ya?” tanyaku. “Sayang, aku nggak jijik. Kamu itu lucu.
Aku meringis menatap Ibu seraya menggaruk kepala yang tak gatal. “Almira, kalau bubuk kopi yang ini harus dikasih gula. Kopi ini berbeda dengan kopi instan yang langsung ada campuran gulanya.” “Berarti yang aku buat untuk Mas Yusuf tadi ….” “Pahit, Nak. Coba kamu hampiri suamimu!”Aku menghampiri Mas Yusuf yang ternyata berada di ruang laundry. Mas Yusuf tengah berkutat dengan pakaian-pakaian yang baru saja dicuci itu. “Biar aku yang jemur.” Aku mengambil alih pakaian yang ada di tangan Mas Yusuf, tanpa membicarakan soal kopi. Nanti saja jika pekerjaan ini sudah selesai, aku akan bertanya soal kopi yang tadi kubuat. Aku mengernyit menatap jemuran baju itu. “Mas, tinggi amat. Aku gak nyampe.” Nasib bertubuh mungil sepertiku, menjemur baju saja susah. Lagian, Mas Yusuf membuat tali jemuran baju setinggi gedung pencakar langit. “Ini tali jemurannya gak bisa dipendekin apa, Mas? Istrimu pendek begini,” gerutuku yang ke
Walau sudah tiga kali ibu mertua memanggilku, tetapi aku tak berani melihat ke arahnya. Tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu di pundak. Aku menoleh dan ternyata ibu mertua yang menepuk pundakku. Ibu mengusap air mataku dengan tangan kosong. “Jadi begini gadis yang Yusuf nikahi? Selucu ini? Sepolos ini, hm?” Sebuah senyum terukir di wajah Ibu. Kupikir beliau akan memarahiku. Nyatanya, Ibu justru menghapus air mataku. Ini bukan seperti ibu mertua, melainkan seperti ibu kandung.Ibu memegang kedua lenganku. “Almira, gak semua wanita itu pandai memasak. Dulu, ibu juga seperti kamu yang gak bisa memasak. Apa neneknya Yusuf marah? Gak. Neneknya Yusuf sama sekali gak marah. Neneknya Yusuf mengajari ibu bagaimana cara memasak dengan benar. Apa yang sudah neneknya Yusuf lakukan kepada ibu dulu, akan ibu terapkan ke kamu. Kamu bilang mau belajar, kan?”Aku mengangguk. Benar-benar lembut ibu mertua berbicara. “Ibu akan mengajari kamu bagaimana me
Sayangnya, aku tak mendengar sahutan ibu mertua. Suara Ibu terdengar sangat pelan seperti orang sedang bisik-bisik. Mungkin Ibu takut aku mendengar perbincangan mereka. Entah apa jawaban Ibu, yang jelas pikiran buruk mulai menghantui saat ini. Ibu pernah mendambakan gadis lain untuk dijadikan menantu? Jujur saja, aku sangat cemburu mendengar ucapan itu, apalagi saat mendengar gadis itu pernah jadi incaran Mas Yusuf. Aku ingin tahu, sesempurna apa gadis yang sedang dibicarakan itu. Sebelum keluar kamar, aku bercermin terlebih dahulu, memastikan bahwa tidak ada air mata yang keluar akibat perkataan wanita itu. “Ibu.”“Nah, ini Almira, istrinya Yusuf.” Ibu menarik diriku supaya mendekat dan menyalami wanita itu. “Mir, ini namanya Atika, adik kandung ibu. Kamu panggil saja Bibi Tika.”Oh, ternyata wanita itu adalah adik kandung ibu. Pantas saja wajahnya sama persis dengan ibu mertuaku. “Kemarin, waktu pernikahan kalian,
“Oh, ya?” Aku merasa ada sesuatu yang terlepas di bagian belakang bajuku. Tangan jahil Mas Yusuf ternyata sudah melepas tali punggung gaunku. Aku merasa gaunku sudah longgar sekarang.“Mas!” “Sst!”Saat aku berbalik badan, aku sudah disambut dengan sentuhan dari bibir hangatnya. Tidak, tidak. Ini terlalu mendebarkan. Mas Yusuf kian lincah melanjutkan aksinya saat aku mencoba menghindar.**“Zen!” Aku mendadak terbangun kemudian menatap setiap sudut ruangan. Yang pertama teringat dalam pikiranku adalah Zen. Kuperhatikan lagi isi ruangan ini. Ah, iya. Aku sedang berada di hotel bersama suamiku. Pria yang semalam telah membuat diriku remuk dan tak berdaya masih tertidur pulas di sampingku tanpa balutan baju. Aku tersenyum kala mengingat perlakuannya semalam. Dia cukup leluasa dan agresif daripada saat di rumah. Bahkan hasil permainannya semalam terasa lebih melelahkan daripada malam pertama. Aku membelai wajah
Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan kemudian kembali menatap Ibu. “Gimana dengan Zen, Bu?” tanyaku.“Ada saatnya kalian pergi bersama Zen, ada saatnya juga kalian hanya pergi berdua. Kalau kalian pergi berdua, Zen akan bersama ibu. Lagi pula, Bu Marissa juga sering kemari. Kakek dan dua neneknya Zen siap menemani kalau kalian pergi kencan.”“Jadi ….” Mas Yusuf melirikku. “Jadi, tunggu apa lagi? Zen sudah makan. Stok susu juga masih banyak. Bu Marissa juga mengabari akan ke sini malam ini. Jadi, gak perlu ditunda lagi! Kalian pergilah berdua! Habiskan malam ini bersama!” “Ibu, tapi gak apa-apa kalau aku meninggalkan Zen bersama Ibu dan Bunda?” tanyaku karena khawatir Zen rewel.“Gak apa-apa, Mira. Kamu butuh kesegaran. Kamu butuh suasana baru di luar sana. Siapa tahu, dengan kencan ini, pikiranmu berasa plong.” Kembali aku dan Mas Yusuf berpandangan. Namun, kami saling diam. “Kok, malah lihat-lihatan? Ayo! Almira, Y
“Gimana gak tampan? Dua pabriknya saja unggul.” Tawa kami pecah saat Manda menyahut demikian. Manda berdiri kemudian beralih duduk di samping Om Arga. Mereka tampak sangat serasi, terlihat sama-sama dewasa. Wajah kebapak-bapakan Om Arga sangat cocok dengan wajah keibuan Manda. Aku dan Mas Yusuf sama-sama tersenyum. Di balik kejadian yang menimpa, ternyata ada banyak kisah menarik setelahnya. Cara Tuhan memang tak terduga. Dari yang awalnya diselimuti ego dan benci hingga berujung saling bersaing, kini sudah berubah menjadi saling merangkul dan mendukung. Om Arga menepati janjinya. Dia mempromosikan kedai kopi Mas Yusuf kepada banyak rekannya. Bahkan selalu mampir ke sana hampir setiap hari. Begitu pun dengan Ayah dan para rekannya. Sekarang aku bersyukur, perolehan pendapat coffee shop memang sudah meningkat drastis. Mas Yusuf sudah berencana mengadakan kembali bonus untuk para karyawan apabila pendapatan selama lima bulan ke depan tetap stabi
Rencananya, kami akan begadang sampai Zen tertidur pulas. Nyatanya, setelah Zen pulas, kami justru terjaga. Aku dan Mas Yusuf malah asyik berbagi rasa dan cerita. Entah sepanjang apa obrolan kami malam ini, tahu-tahu sudah pukul 02.35. “Mas, bentar lagi Ibu bikin kue. Aku gak ngantuk. Bol—”“Gak boleh.” Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Mas Yusuf memangkas seenak jidat. “Cuma bantuin doang. Bisa sambil duduk.”“Nanti aku yang bantuin Ibu. Kamu tidur sekarang! Kamu dari tadi ngomong mulu, loh, Sayang. Jadi gak tidur-tidur, kan?”“Lah?” Aku mengernyit. Bisa-bisanya aku yang disalahkan. “Yang ngajak bercerita siapa? Mas Yusuf duluan.”“Aku bercerita supaya kamu tidur. Eh, malah kamu makin bersemangat.”“Loh, kan, ta—”“Udah, diam! Merem, Mira!”**Satu bulan sudah aku menjalani hari sebagai seorang ibu. Bahagia, kuakui sangat bahagia. Cara ibu mertua memperlakukanku, akan aku contoh kelak k
“Stop, Bibi!” Mas Yusuf dan Mbak Diva datang. Mas Yusuf dan Mbak Diva memegang tubuh Bibi Tika. Ibu mertua cepat-cepat mengambil Zen dan menyerahkannya Zen padaku. “Bawa ke kamar, Mir!” Aku ke kamar untuk menyusui Zen. Wajahnya sampai memerah gara-gara menangis. Aku mendengar Mas Yusuf memberi teguran kepada Bibi Tika. Begitu pun dengan Mbak Diva dan Ibu. “Aku hanya mau beri makan.”“Anakku belum waktunya makan, Bi. Dia anakku. Bibi gak usah ikut campur!”“Berani sama bibi sekarang kamu, Suf.”“Maaf, Bibi. Urusan anak itu nomor satu. Apapun yang menyangkut anak, aku tidak bisa abai begitu saja. Dia anakku. Kalau Bibi memaksa lalu terjadi sesuatu dengan anakku, apa Bibi mau bertanggung jawab?”Mbak Diva memasuki kamar. Dia mengunci kamar dari dalam sambil meletakkan jari telunjuk di bibir. Mbak Diva mendekat dan melihat Zen yang menyusu dengan begitu kuat. “Tenang, ya! Dulu aku juga sepert
“Pak Yusuf, saya minta maaf.”“Saya sudah menduga, tapi saya tidak mau salah sangka. Ya sudahlah. Itu sudah berlalu,” kata Mas Yusuf dengan santainya. Aku pun pernah menduga jika Citra dan lainnya adalah antek-antek Om Arga. “Maafkan saya yang sengaja meniru usaha Pak Yusuf. Sekarang saya tahu, meski saya berusaha meniru dan menyaingi usaha Pak Yusuf, tetapi yang namanya rezeki itu sudah ada takarannya. Usaha saya tidak sesukses usaha Pak Yusuf. Bahkan saya pusing karena karyawan banyak yang semena-mena sehingga membuat pelanggan tidak betah. Kemungkinan saya akan menutupnya dan menggantinya dengan usaha yang lain.”Aku dan Mas Yusuf saling berpandangan mendengar ucapan Om Arga. “Apapun usaha Pak Arga nantinya, semoga sukses,” timpal Mas Yusuf kemudian. “Aamiin. Terima kasih. Saya akan mengganti rugi apa yang sudah saya perbuat terhadap coffee shop Pak Yusuf.”“Tidak perlu. Biarlah, Pak Arga! Itu sudah berlalu. Yang
“Jika Bu Tami memperhatikan wajahnya betul-betul, Bu Tami akan mengetahui siapa ayahnya,” kataku yang memang sudah tahu masa lalu Manda. Manda menatap ke arahku sambil menggeleng pelan. Kurasa, sudah cukup Manda menyembunyikan semua ini. Ini saat yang tepat untuk mengatakan karena semua orang sedang berkumpul. Om Arga mendekati Cindy kemudian berlutut dan meraba wajah cantiknya. Om Arga berkaca-kaca lalu mendongak beralih menatap Manda yang masih berdiri.“Manda, dia … anakku?” Manda terdiam dan kembali menunduk. “Manda, jawab! Kenapa aku tidak pernah tahu hal ini?”Kudengar Manda sedikit terisak. Kasihan, pasti dia sedang teringat dengan masa lalunya. “Karena kamu pergi di saat aku mengandung dua bulan. Kamu menceraikan aku melalui telepon. Aku mau beritahu kehamilan ini, tapi kamu buru-buru menutup telepon. Kamu juga langsung menutup semua akses untuk kuhubungi, Mas. Aku menunggu berminggu-minggu, ternyata hanya s
(POV ALMIRA)“Atur napas, Bu! Ikuti saya! Tarik napas pelan-pelan lalu keluarkan!”Aku mencoba mengatur napas. Namun, karena saking sakitnya yang kurasa, aku kesulitan untuk mengambil napas dengan baik. Aku bahkan masih terengah-engah. Seorang bidan berlanjut mengajariku bagaimana cara mengejan. Aku pun mengikuti arahannya. “Ah, iya, benar.”“Semangat, Ibu!!! Sudah nampak. Rileks, ya, rileks! Ikuti lagi arahan saya!”“Ayo, Sayang! Kamu bisa.” Mas Yusuf berbisik di telinga. Aku kembali melakukan apa yang sudah dicontohkan oleh bidan tadi. Berusaha mengatur napas dan mengejan. “Alhamdulillah.” Serentak mereka mengucap hamdalah diiringi suara tangis bayi yang sangat kencang. “Hah? Sudah keluar?” Rasanya aku masih tidak percaya. Aku tak merasakan apapun di bawah sana saat bayiku keluar. Sakit yang kurasa hanya di perut dan pinggang saja. Kulihat Mas Yusuf menangis kemudian menciumi wajahku. E
(POV ARGA)“Apa ini? Gadis yang kucintai mengeluarkan darah?” Aku hanya bisa diam saat melihat Almira kesakitan. Ya, dia kesakitan. Tubuhnya meliuk-liuk ke sana kemari. Pria bernama Yusuf itu datang menghampiri Almira dan melepaskan ikatannya. Entah bagaimana bisa dia kemari, aku tak tahu. Tangan Almira meremas kerah kemeja suaminya. Wajahnya meringis kesakitan. Sesekali dia menjambak rambut suaminya sambil merintih dan berteriak. Kubiarkan pria yang telah menikahinya itu membawanya pergi. Namun, telingaku masih terasa sangat sakit mendengar jeritan Almira yang menggema di ruangan.“Apa aku setega ini?”Kutatap darah yang menetes di lantai. Itu darah Almira. Tenggorokanku seakan tercekat saat hendak menelan ludah. “Arga ….”Suara itu begitu lirih ketika memanggil. Aku berbalik badan. Seorang wanita tua yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkat karena postur tubuhnya sudah membungkuk. “Tega seka