“Nek … bangun, tumben nenek tidur lagi habis subuh.” Salma melipat sajadahnya, baru selesai menunaikan wajib dua rakaat. Dia sengaja tidak membangunkan sang nenek yang tertidur menyandarkan lengan dan kepalanya di sisi tempat tidur, sebab Nek Minah tampak sangat lelap.“Nek … ayo bangun, sebentar lagi fajar,” ucap Salma sembari menyentuh lengan neneknya yang masih mengenakan mukena dan duduk di atas sajadah lusuhnya, menghadap ke arah jendela.Tak ada sahutan. Neneknya masih tertidur lelap. Salma berdiri, melangkah menuju jendela dan membuka tirainya agar udara sejuk masuk ke kamar.“Nek … Salma minta maaf atas ucapan Salma tadi malam. Nenek masih marah?” Salma kini duduk menghadap wajah sang nenek yang masih terpejam. “Salma bukan ingin menyembunyikan rahasia ini dari nenek, tapi Salma takut nenek terkejut dan sakit nenek kambuh lagi. Salma ingin, biar ini semua Salma yang menanggungnya. Salma sama sekali nggak marah sama nenek. Salma nggak punya siapa-siapa lagi selain nenek.”Rasa
“Mas, tadi malam sebelum Nek Minah pulang ke rumahnya, dia sempat menitipkan surat ini buat kamu.” Alya menyerahkan selembar kertas yang dilipat persegi.Yusuf meraih surat itu, lalu melipat sajadahnya. Mereka baru saja selesai menunaikan Sholat Subuh berjama’ah.“Kamu udah baca, Sayang? Apa isinya?”Alya menggeleng. “Belum, Mas. Karena ini amanah untuk kamu, jadi seharusnya kamu dulu yang baca.”Yusuf tersenyum. Dia semakin kagum dengan istrinya. Padahal bisa saja dia membaca surat itu lebih dulu karena kertas berisi pesan itu tidak dimasukkan ke dalam amplop.Yusuf membukanya perlahan lalu membacanya dalam hati. Alya memperhatikan raut wajah suaminya yang mengerutkan kening, matanya sesekali melebar, menunjukkan keterkejutan.“Sayang ….” Yusuf menatap Alya setelah selesai membaca surat itu. Suaranya tercekat, seolah sedang ditimpa beban berat.“Ada apa, Mas? Nek Minah bilang apa di surat itu?” Alya mulai penasaran.Yusuf tidak langsung menjawab, dia memeluk Alya. Membawa kepala istr
“Mas, jangan lupakan amanah dalam surat itu!” peringat Alya ketika Yusuf sama sekali belum mencoba untuk menghibur Salma setelah beberapa hari kepergian sang nenek.Alya berhasil membujuk Salma untuk tidak berbuat hal yang macam-macam setelah dirinya menyerah untuk hidup karena merasa tidak punya siapa-siapa lagi.“Mas, tolong bujuk Salma untuk makan, kasihan bayi dalam kandungannya,” pinta Alya lagi.Yusuf juga merasa kasihan pada Salma, tapi dia benci ditipu. Dia benci dibohongi. Kenapa Salma memanfaatkan dirinya untuk menutupi kehamilannya itu.Kalau bukan karena amanah dari Almarhumah Nek Minah, Yusuf sudah pasti akan menceraikannya. Dia tidak ingin menyakiti hati Alya yang harus menanggung beban akibat ulah Salma.“Mas ….” Alya menyentuh tangan suaminya yang masih melamun di kursi meja makan.“Oke, Sayang. Aku coba ajak dia makan,” ucap Yusuf seraya berdiri.“Mas.” Alya menggelengkan kepala pelan. “Dia pasti belum mau keluar dari kamar.”“Jadi aku harus berbuat apa?” Yusuf mengan
“Psstt ….” Suara itu berulang kali menggelitik di telinga Rico. Ia yang sedang tertidur, terpaksa harus membuka mata.Rico menoleh ke arah suara. Dia berdiri, mengintip dari luar jendela. Ternyata ada Arif di sana, sedang memanjat sebatang potong di belakang gudang, tempat Rico dikurung oleh Wahyu.Sudah beberapa hari ini Rico dikurung. Dia hanya diberi makanan sisa dan tidak diperbolehkan keluar. Gudang terbengkalai itu memang sangat lengang, di dalamnya juga ada kamar mandi yang masih berfungsi meski sudah lama tidak digunakan.“Pssstt ….” Arif berusaha memanggil Rico. Sebagai sahabat, dia tahu bahwa terjadi sesuatu dengan Rico, sebab sudah beberapa hari ini Rico tidak nongkrong bersamanya.Pagi ini, pasti Wahyu masih sibuk di kilang. Di belakang gudang ini terdapat kebun karet. Arif masih berusaha memanggil sahabatnya. Dahulu, Rico pernah menolong Arif saat dirinya hampir terseret banjir bandang di sungai. Mereka menjadi dekat sejak saat itu. Arif tinggal bersama kakaknya yang su
“Mbak Alya beruntung banget ya, Mas.” Salma menatap mata Yusuf. Terpaan angin menggoyangkan selendang merahnya.Mereka duduk di saung peristirahatan di kebun apel milik Yusuf.“Beruntung?” Yusuf tersenyum tipis, menoleh sejenak pada Salma sebelum mengalihkan kembali pandangannya ke depan. Pada pohon apel yang berjejer rapi.Salma mengangguk, matanya ikut mengarah ke depan, merasakan hembusan angin yang membawa aroma dedaunan.“Beruntung karena memilikimu selama ini, Mas.”Yusuf tertawa kecil. Kakinya dimainkan, menjulur ke bawah hampir menyentuh tanah. “Kamu salah,” ucap Yusuf seraya menoleh ke samping, melihat Salma yang sedang membenarkan selendangnya. “Saya yang beruntung memiliki Alya.”Senyuman Salma perlahan meredup. Ada rasa tak suka ketika Yusuf selalu memuji Alya.“Nanti malam, kamu bersamaku, kan, Mas?” Salma ingin memastikan lagi janji Yusuf. Dia mengalihkan pembicaraan.Yusuf berpikir sejenak. “Nanti kita tanya Alya dulu, ya.”Salma merengut, dia menahan rasa kesalnya.‘A
“Nggak usah, Mas. Alya beneran baik-baik aja. Alya cuman mau istirahat aja, pasti nanti juga enakan.” Alya menarik tangan Yusuf ketika lelaki itu masih bersikeras untuk membawa istrinya ke rumah sakit. Setelah sepuluh menit tak sadarkan diri, akhirnya Alya tersadar. Dia merasa akhir-akhir ini sering kelelahan.“Makanya kamu jangan kerjain semuanya sendirian, Sayang. Kan, ada aku ada Salma juga.” Yusuf duduk di tepi tempat tidur, Salma yang berdiri di bibir pintu kamar, ikut mengangguk.“Mas, Salma nggak boleh capek!” bisik Alya.“Ya tapi tetap aja ….”Ucapan Yusuf terhenti ketika Salma mendekat.“Ini semua gara-gara aku minta jalan-jalan ke luar desa. Seandainya saja tadi kita langsung pulang, Mas. Pasti Mbak Alya nggak akan kayak gini,” ucap Salma merasa bersalah.Alya segera menggeleng. Dia tidak mau ada yang menyalahkan diri karena keadaan dirinya yang saat ini tiba-tiba lemah.“Udah … udah! Sekarang kita makan asinannya, yuk! Udah nggak tahan dari tadi,” ucap Alya segera berdiri.
“Mas pulang aja, Mbak Alya kan, lagi kurang sehat!” titah Salma ketika Yusuf baru sampai mengantarnya ke rumah peninggalan sang nenek.Yusuf yang sejak tadi duduk di kursi ruang tamu, tidak mendengar ucapan Salma. Dia justru sibuk dengan ponselnya.Setelah Salma minta pulang ke rumah, Alya memberikan syarat, bahwa suaminya itu harus bergantian ke rumah Salma dan ke rumah Alya. Hari ini, Alya meminta Yusuf untuk bergantian ke rumah Salma, mengingat Salma masih diselimuti kabut duka. Meski dirinya sendiri membutuhkan perhatian, Alya lebih mementingkan keadaan orang lain.“Mas, ini kopinya.” Salma mendorong gelas berisi kopi hitam yang masih mengepulkan asapnya.Yusuf masih diam dan sibuk dengan ponselnya. Keningnya berkerut dan sesekali mengarahkan ponselnya ke telinga. Volume suara dari ponselnya sengaja dikecilkan agar Salma tidak mendengar.Salma melihat gelagat Yusuf yang aneh. Apalagi dari tadi suaminya itu mengabaikannya.“Mas ….” panggil Salma pelan.“Ya, Sayang. Eh, maksudnya, S
“Tadi Rico, kan? Tapi ini nomor siapa?”Sudah tengah malam, tapi Salma tidak bisa memejamkan mata. Malam ini, Yusuf tidak jadi membawanya pulang ke rumah nenek, Salma harus tidur di rumah itu lagi, sebab Alya tiba-tiba demam, Yusuf tidak bisa meninggalkan istri pertamanya itu sendirian. Sebenarnya Salma kesal, tapi mengingat kebaikan Alya, dia jadi kasihan. Malam ini, Yusuf harus tidur di kamar Alya. Sementara itu, Salma masih memikirkan seseorang yang tadi sempat menelepon dan menyebut namanya. Tetapi, sampai sekarang nomor itu tidak bisa dihubungi.“Apa yang terjadi sama dia?” Salma membalik badan ke kanan, beberapa detik kemudian dia berbalik ke kiri. Sungguh tidak tenang, dia sangat gelisah. Matanya masih terus menatap layar ponsel dan menunggu seseorang menelepon kembali.Sementara itu, Yusuf merasa sudah berhasil membuat istrinya tertidur. Sejak tadi dia mengompres kening Alya, menepuk lengannya dengan lembut dan mengusap kepalanya agar Alya terlelap. Berkali-kali dia menatap j
“Maaf, Yusuf. Aku harus sampaikan ini sama kamu,” kata Dokter Cindy dengan berat hati dan wajah muram.“Ada apa, Cin?” Yusuf tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi. Aku ngerti betapa hancurnya hati kalian, aku mau menjelaskan sebisa mungkin meskipun aku belum bisa memastikan tanpa adanya pemeriksaan lanjut.” Cindy menyampaikan dengan suara pelan dan hati-hati.Suara isakan terdengar dari Ibunya Alya. Pak Hamdan segera memeluk istrinya dan membuatnya tenang.“Kenapa bisa?!” Suara Yusuf meninggi, terdengar seperti membentak.Cindy seketika menunduk.“Maaf, Cin. Aku nggak bermaksud marah sama kamu.”“Aku ngerti perasaan kamu, Suf. Pecahnya ketuban yang terjadi pada Alya, menjadi faktor pemicu, tapi bukan hanya itu satu-satunya penyebab. Beberapa kemungkinan yang perlu kita investigasi lebih lanjut adalah infeksi yang menyebabkan aliran darah dan oksigen ke plasenta berkurang.”Yusuf terduduk dan membingkai kepalanya yang tiba-tiba berdenyut n
“Mas, perutku sakit.” Alya meringis sambil memegangi perutnya yang sudah membesar. Dia merasakan sensasi aneh dan rasa sakit yang luar biasa yang membuat dia harus segera menelepon sang suami yang saat ini sedang berada di kebun apel.Tangan kiri Alya bertopang pada jendela kamarnya, sedangkan yang satunya memegang ponsel. Matanya menatap pemandangan sawah di mana pepadian telah menguning dan tak lama lagi akan memasuki musim panen.“Aku pulang sekarang!” Yusuf mengakhiri panggilan. Enam bulan berlalu begitu cepat. Tetapi bagi Alya dan Yusuf, waktu berjalan begitu lambat. Tak sabar rasanya menunggu kehadiran buah hati. Saat ini, adalah masa-masa menegangkan di mana usia kehamilan Alya memasuki minggu ke 37. Selama waktu itu pula, Yusuf telah menjatuhkan talak pada Salma disaksikan Aldi, Alya dan Paman Didi. Dia akhirnya menuruti permintaan Salma pada surat itu, bukan karena Aldi ingin menggantikannya, tapi demi kesehatan mental mereka semua, jika memang itu yang diinginkan Salma.“
“Itu Salma, Mas!” Alya menunjuk rekaman CCTV yang ditunjukkan Cindy pada layar komputernya.Kening perempuan berjas putih itu mengerut heran, kenapa dua temannya itu mengenal pasien yang ia tangani kemarin.Yusuf mengangguk, dia juga melihat Salma menangis sedangkan Rico berusaha menenangkannya.“Mas, telepon Rico, tanyakan di mana Salma. Aku mau ngomong sama dia,” pinta Alya, menarik lengan baju suaminya seperti anak kecil.Yusuf membawa istrinya duduk agar tenang. “Ingat kata Cindy barusan? Kamu nggak boleh stres!” peringat Yusuf dengan nada pelan.Alya akhirnya mengangguk patuh. Dia mengusap perutnya, menarik napas dan berusaha menenangkan diri.“Cin, makasih banyak, ya. Kita pamit dulu, nanti bakalan rutin periksa ke kamu,” ucap Yusuf berpamitan dengan senyum seolah tak ada masalah.Cindy dengan raut bingung, mengangguk saja. Padahal dia masih ingin mengobrol karena penasaran kenapa Yusuf dan Alya bisa mengenal perempuan itu, tapi dia tidak berhak tahu dan tidak berani bertanya le
“Mas, kenapa? Kok, kelihatannya lagi mikirin sesuatu?” Alya sejak tadi memperhatikan suaminya yang tampak berubah.Setelah menerima berita bahagia, ekspresi yang sebelumnya ceria tiba-tiba berubah redup setelah kembali dari rumah Salma.Yusuf menoleh sejenak, sedang tangannya sibuk mengemudikan mobil.“Nggak ada, Sayang.”“Kamu mikirin apa?” tanya Alya dengan nada tegas tapi lembut. Dia tahu, suaminya sedang menyembunyikan sesuatu.Ibu yang sejak tadi di belakang, hanya diam dan mendengarkan.Yusuf masih diam. Sesekali dia menarik senyum seperti dipaksakan.“Apa kamu masih marah sama aku, Mas? Tebak Alya.Yusuf menggeleng cepat. “Enggak, Sayang. Aku cuma ….”“Apa ada sesuatu yang kamu temukan di rumah Salma tadi?” Alya menebak lagi. Sekarang wajah Yusuf tampak terkejut, namun akhirnya mengangguk.“Salma meninggalkan surat.” Yusuf melirik kaca spion depan, melihat ibu mertuanya dengan tatapan sungkan.Sejak tadi dia menyembunyikan hal itu karena tidak ingin ibu mertuanya mendengar. Di
Beberapa hari kemudian, kondisi ibu semakin membaik dan diperbolehkan untuk pulang. Sementara ayah, masih dalam perawatan. Aldi mengabaikan tugas akhir kuliahnya untuk sementara demi menjaga sang ayah. Dia yang membantu mengisi memori baru ketika ayahnya tersadar dan tidak mengingat apa pun bahkan namanya sendiri.Kemarin, ibu ikut pulang ke Desa Pandan. Alya sangat senang bisa bersama sang ibu meski belum bisa berkumpul kembali dengan ayahnya.“Sayang, aku mau ke kebun dulu, ya. Sudah beberapa hari aku jarang mengontrol proyek. Kasihan Paman Didi,” ucap Yusuf berpamitan, ketika selesai sarapan.Alya mengangguk dan tersenyum, sambil membereskan piring di atas meja.“Bu, Yusuf pamit, nanti siang kita ke rumah sakit lagi, jengukin ayah, ya.” Yusuf mencium punggung tangan mertuanya.Wanita yang gemar memakasi songkok jika berada di dalam rumah itu mengangguk dan tersenyum hangat.Alya mengantarkan suaminya ke depan pintu setelah membereskan piring kotor. Dia berjalan pelan seperti tidak
“Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?” tanya Aldi seketika, setelah dokter keluar dari ruang operasi. Dari sisi lain, Yusuf berlari menghampiri Aldi. Dia meninggalkan Salma yang masih belum sadarkan diri dan dalam perawatan di ruang IGD sebelum dokter menentukan ruangan rawat. Dengan napas terengah-engah. Yusuf berdiri di samping Aldi. “Kabar baiknya, Alhamdulillah pasien sudah berhasil ditangani.” “Kabar buruknya?” tanya Yusuf ragu. “Kemungkinan beliau akan mengalami amnesia,” jawab sang dokter. Yusuf menepuk bahu Aldi untuk menenangkannya. Dokter dan rekannya pamit dari sana. Tak lama kemudian, Pak Hamdan dibawa ke ruang ICU. Aldi terduduk lemah. Dia bersyukur ayahnya masih selamat, meski setelah sadar nanti, sang ayah tidak akan mengenalinya. “Terima kasih, Allah. Setidaknya ini akan membuat ayah melupakan masa lalu tersakitnya. Biarkan aku yang menanggung rasa bersalahnya ya Allah ….” Keluh Aldi sambil menangkupkan tangan dan menjatuhkan wajahnya di atas tangan yang
“Dokter ….” Aldi berteriak memanggil dokter yang sedang berjalan menuju ruangan ibunya.Setelah mendengar penjelasan sang ayah tentang masa lalu yang terjadi antara Salma dan dirinya, Salma tak cukup puas sampai di situ. Tanpa basa basi, dia menjelaskan secara langsung tentang siapa dirinya saat ini. Hal itu memicu kambuhnya penyakit ibunya Alya. Dadanya sesak dan sulit bernapas.Saat semua orang panik dan beralih pada ibunya Alya, Salma keluar dari ruangan. Dia berharap Alya dan Aldi mengalami hal yang sama dengan dirinya. Dia ingin melihat, bagaimana kedua anak yang bahagia itu, ketika kehilangan orang yang paling dicintai.“Nggak adil, Tuhan, kalau mereka masih bahagia sementara aku menderita. Meski alasannya melakukan itu demi uang untuk berobat istrinya, tapi kenapa dia tega sampai harus menghilangkan nyawa orang tuaku? Apa semurah itu harga nyawa orang tuaku, Tuhan?” Hujan deras menerpa bumi. Salma berjalan sambil memeluk lengannya. Tubuhnya menggigil dan ia biarkan basah kuyub
“Gimana hasilnya, Sayang?” Yusuf mengulurkan tangan, meminta alat tes kehamilan yang masih disembunyikan oleh Alya di belakang punggungnya.Perlahan Alya menutup kembali pintu kamar mandi, dia tersenyum kikuk pada suaminya dan sesekali melirik pada ibunya yang tersenyum sembari menaik turunkan alisnya.“Mana? Aku mau lihat,” pinta Yusuf sambil menggoyangkan tangannya yang terulur. “Apa hasilnya nggak sesuai harapan?” tanya Yusuf, dia menurunkan tangannya dan berhenti memaksa Alya yang ekspresi wajahnya tidak bisa dijelaskan.“Mas, sebenarnya aku ….”“Assalamu’alaikum ….” Suara Aldi membuyarkan semuanya. Dia tersenyum lebar, di belakangnya seorang pria yang selama ini sangat dirindukan oleh keluarga, ikut masuk dengan senyum penuh rindu.Selama ini, mereka hanya melepas rindu lewat panggilan suara atau video. Namun hari ini, raga seorang ayah dan suami yang pergi demi mencari nafkah, sudah dapat dipeluk.Semua kompak menjawab salam. Pak Hamdi pertama kali menghampiri sang istri. Memelu
“Apa yang harus aku lakukan, Al?” tanya Salma dengan perasaan putus asa. Kini, dia tidak punya lagi harapan untuk terus menempel pada rumah tangga Yusuf dan Alya. Matahari mulai naik. Cuaca hari ini sangat cerah. Terik cahayanya menerpa wajah Salma, membuat mata kecoklatannya seakan memancarkan sinar. Aldi terdiam dalam keterpesonaannya ketika Salma menatapnya dengan mata berkaca-kaca.“Aku tahu, sejak awal aku sudah salah melangkah. Tapi, berkat Mas Yusuf, aku bisa membuat Pakde Wahyu masuk ke dalam penjara. Walaupun nenek tidak bisa menyaksikan kemenanganku.” Salma menunduk sedih.Aldi menarik napas sembari memejamkan mata, menghirup oksigen yang dilepaskan oleh pohon-pohon di sekeliling taman rumah sakit.“Kamu harus pergi dari hidup mereka. Biarkan Mbak Alya bahagia.” Aldi membuang pandangan ke depan. Menatap lurus seolah sedang menerawang masa lalu. “Sejak kecil, hidupnya sudah banyak mengalah. Demi aku, dia rela tidak kuliah. Padahal dia bercita-cita menjadi seorang desainer.