“SSST!” Awan mendesis, kemudian bergeser empat langkah ke kanan, pelan pelan.
Rosie tanpa banyak bertanya langsung mengikuti pergerakan Awan. Begitu juga Tegar, Cantigi dan Jhagad. Saat itu komando terpusat pada Awan. Apapun langkah yang ia buat akan langsung diikuti. Sesuai dengan yang telah mereka sepakati sebelumnya.
Setelah bergerak, Awan pun mengarahkan kameranya lagi ke depan, memastikan Mahluk Haus Darah melakukan perubahan arah atau tidak. Dan ternyata tidak. Sekarang mereka hanya tinggal diam, menunggu Mahluk Haus
Sementara itu, Mahluk Haus Darah di area itu pun mulai terpencar. Ada yang berlari menuju Jhagad, ada yang menuju Cantigi dan beberapa diantaranya juga ada yang menuju ke arah Tegar. Padang rumput yang tadinya sunyi sekarang dipenuhi dengan suara erangan Mahluk Haus Darah yang mulai berburu mangsanya.AAAAAARGGHHHH…Seketika itu juga, padang rumput menjadi area perburuan yang mencekam. Awan pun akhirnya menyerah sambil berkata,“Tidak ada pilihan lain. Kau sudah siap lari, Ros?”“Eh?!” Rosie tertegun.
Rosie yang juga menduga duga tentang teori yang sama dengan Awan pun lalu mencoba mempraktikkan teori tersebut untuk membuktikan kebenarannya. Ia langsung saja mendekat ke arah Awan yang sedang bergulat dengan Mahluk Haus Darah. Kemudian, ia siramkan sebagian air yang masih tersisa dalam botol ke tubuh Mahluk Haus Darah yang menyerang Awan.SPLASSH…Sayangnya tidak terjadi apa apa. Mahluk Haus Darah itu masih saja terus menyerang, berusaha mendekati leher Awan untuk menghisap darahnya. Rosie masih bingung, ‘Kenapa efeknya berbeda?’ gumamnya dalam hati.“Ros, siramkan airnya ke kepala mereka!” perintah Awan.
Cantigi dan Rosie saling tatap. Pikiran mereka mulai melayang.“Celaka, Mahluk Haus Darah yang mengerjar kita dari belakang tadi sudah mulai mendekat ke sini!" kata Jhagad.“Benar!” Awan juga melihatnya.Sekali lagi, Jhagad menggedor gedor pintu gerbang itu.DOK.. DOK.. DOK…“Hei, apa ada seseorang di dalam yang bisa mendengarku? Tolong buka pintunya, kami di depan!” kata Jhagad.
Seketika itu juga, Awan, Cantigi, Jhagad dan Tegar menoleh ke arah Padang Rumput, agak ke sisi kanan benteng tua. Mahluk Haus Darah terlihat berlarian begitu beringas, lebih jelas karena semakin dekat. Jarak yang tidak terlalu jauh, membuat Mahluk Haus Darah mungkin akan sampai di tempat mereka dalam hitungan menit saja.“Oi..oi.. banyak sekali!” kata Jhagad.“Apa mereka tidak lelah, berlarian seperti itu? Gila!” ucap Tegar.Sementara itu, di dalam benteng, Jazlan tertunduk. Entah kenapa di saat seperti ini, ia justru merasa terpukul dengan kata kata yang membangkitkan rasa bersalahnya. Para pendaki lain pun tidak gentar, tetap pada pen
“Apa pintunya rusak?” tanya Cantigi.“Bukan, lihatlah!” kata Jhagad sambil menunjuk ke arah celah pintu gerbang.Dari celah itu, terlihat para pendaki yang ada di dalam benteng tua menahan pintu gerbang agar tidak terbuka. Atau mereka bahkan berusaha untuk menutupnya kembali secara paksa.“Hei, apa yang kalian lakukan?!” tegur Cantigi kepada pendaki yang ada di dalam benteng tua.“Kalian yang apa apaan? Pergilah, kami tidak mau ada yang masuk ke benteng ini!” desak salah satu pendaki dari dalam benteng.
“Jangan mendekat, menjauh kalian semua!” kata salah seorang pendaki sambil menodongkan pisau yang dibawanya.Awan, Rosie, Cantigi, Tegar dan Jhagad pun menjauh dari mereka. Mengikuti apa yang mereka minta. Sebisa mungkin menghindari keributan, karena benda tajam sungguh bukan mainan. Sementara Jazlan mencoba berjalan mendekat.“Kau juga berhenti di situ, jangan mendekat!” kata pendaki lain kepada Jazlan.“Baik, baik. Aku diam. Tenang, tolong letakkan dulu pisau itu!” ucap Jazlan mencoba menenangkan.“Diamlah. Kalian, cepa
Sementara itu, keadaan di Basecamp Gunung Argon via Roc masih memanas. Massa penduduk lokal bersama Kakek Tua tetap bersikeras menolak tim evakuasi melakukan tugasnya. Semakin malam, justru semakin banyak penduduk lokal yang berdatangan, bergabung, melakukan penolakan di depan pintu gerbang jalur pendakian.“Bukankah cerita tentang Mahluk Haus Darah hanya sedikit saja orang yang mengetahui, Pak? Tapi, kenapa sekarang jadi sebanyak ini yang melakukan penolakan?” tanya Kakak Rosie kepada Kolonel Sagara di serambi Basecamp.“Pengetahuan penduduk lokal tentang Mahluk itu memang terbatas anak muda. Tapi, pengaruh Kakek Tua lah yang terlalu besar. Kalau sudah menyangkut Hutan Terlarang, para penduduk lokal di sini hanya akan mempercayai Kakek Tu
Kakak Rosie tetap berjalan, sekali lagi mengacuhkan sosok yang tidak lain adalah Kolonel Sagara itu. Langkahnya sudah mantap sekali, kali ini tidak ada yang bisa menghentikannya.“Sudah kuduga kau akan bertindak nekad begini!” kata Kolonel Sagara sekali lagi, sambil memainkan batu, bersandar di batang pohon mangga.Sebenarnya Kolonel Sagara sudah menebak, bahwa Kakak Rosie akan bertindak nekad dengan pergi melakukan evakuasi sendirian. Ia pun menyuruh salah satu anak buahnya untuk menguntit Kakak Rosie ke mana pun pergi.“Kupikir aku sudah salah menilaimu, anak muda. Di awal pertemuan kita, kau terlihat begitu tenang. Tapi lihat, sekarang kau justru bertindak gegabah sekali!” sekali lagi Kolonel Sagara bicara.Tapi, Kakak Rosie tetap tidak memberikan respon, terus saja berjalan. Lalu, Kolonel Sagara pun melemparkan batu yang sedari tadi dimainkannya ke tanah, tepat di depan ka