"Entahlah, tapi yang jelas aku harus istirahat sebentar. Stamina harus dikembalikan dulu. Bisakah kau berjaga sebentar?" tanya Jhagad sambil bersandar ke dinding gua, mengistirahatkan tubuh yang sedari tadi tidak henti hentinya dipaksa melawan Mahluk Haus Darah.
"Istirahatlah!" Tegar mempersilahkan, sambil duduk, di tengah tengah, memperhatikan ke luar, berjaga.Kondisi dalam gua itu cukup gelap. Semacam kaca hitam tidak tembus pandang yang bisa melihat keluar, namun dari luar tidak bisa melihat ke dalam. Jadi, tempat ini cukup aman menyembunyikan keberadaan mereka dari Mahluk Haus Darah yang mungkin berkeliaran di luar gua.Sementara itu, Awan diam diam memperhatikan Tegar. 'Bagaimana mungkin, bajunya masih cukup bersih. Jauh sekali dengan baju kami yang berlumuran darah?' gumam Awan dalam hati."Kau juga boleh istirahat, Wan!" kata Tegar, seperti mengetahui bahwa Awan diam diam memperhatikannya.'Siapa sebenarnya orang ini?' sekali lagSuasana kembali hening. Kepala Pengelola Basecamp masih menatap tidak percaya daftar nama yang dipegangnya. Sedangkan, Kakak Rosie menghembuskan napas panjang. 'Apa lagi ini?' gumamnya dalam hati"Kau tahu bukan? Evakuasi bahkan jadi lebih sulit lagi sekarang. Kalau tidak punya strategi dan kekuatan mumpuni, melakukan evakuasi sama halnya dengan bunuh diri!" kata Kolonel Sagara kepada Kakak Rosie.Kepala Pengelola Basecamp tidak bicara apa apa. Tanda memang itulah kenyataannya sekarang. "Apa pun risikonya. Berapa pun jumlah Mahluk Haus Darah yang mungkin sudah ada di sana, saya akan tetap ke sana, Pak!" ucap Kakak Rosie tegas."Aku tahu kau akan berkata begitu. Yang mau kutegaskan adalah, jangan pernah nekad pergi melakukan evakuasi seorang diri saja. Mari kita lakukan bersama!" ucap Kolonel Sagara. Kakak Rosie pun menarap Kolonel Sagara penuh tanya. Alisnya mengernyit, sedikit heran dengan Kolonel Sagara. 'Orang ini, bagaimana bisa tah
Kembali ke sebuah Gua, jauh di dalam kawasan Hutan Terlarang. Jhagad yang bersandar di dinding Gua tampak mulai mengerjap ngerjapkan matanya. Terlihat Awan masih tidur dengan posisi favoritnya, telentang, di depannya. Kemudian, saat menoleh ke arah pintu Gua, terlihat Tegar yang masih duduk, berjaga memperhatikan luar Gua."Berapa lama aku tertidur?" tanya Jhagad, sambil mengambil posisi duduk tidak terlalu jauh dari posisi Tegar."Satu jam, mungkin," jawab Tegar singkat."Ada Mahluk Haus Darah yang mendekat ke Gua ini selama aku tidur tadi?" "Tidak ada. Mungkin mereka tidak tertarik dengan tempat gelap seperti ini.""Kau sendiri tidak istirahat?""Sebelum kalian datang aku sudah sempat tertidur di Gua ini."Jhagad pun diam. Awan seperti biasa, hanya pura pura tidur namun tetap mencuri dengar percakapan Jhagad dan Tegar. Sedangkan Cantigi dan Rosie sepertinya masih tertidur karena kelelahan.Setelah s
Suasana dalam Gua hening, tidak ada yang bicara sama sekali. Dalam cahaya yang remang remang, mereka berempat saling tatap. Untuk sekejap kemudian terdengar suara ranting terinjak. KRETEK.. KRETEK..Yang awalnya saling tatap, mereka berempat pun akhirnya reflek melihat ke arah luar Gua. Cantigi berinisiatif mematikan headlamp di dekatnya. Suasana dalam Gua pun kembali gelap gulita.KRETEK..Sekali lagi terdengar suara ranting terinjak, diikuti oleh langkah kaki. Jhagad yang ada diposisi paling dekat dengan pintu Gua pun lebih jelas lagi mendengarnya. Tetap berdiri, ditempatnya, tidak bergerak sedikit pun untuk menghindari timbulnya suara. Begitupun Cantigi, Tegar dan Awan, berdiri diam di tempatnya. Namun, tiba tiba saja terdengar suara."Gi!" Rosie yang baru bangun memanggil Cantigi begitu saja.Cantigi pun langsung reflek membekap mulut Rosie, menyuruhnya diam. 'A..da..a..pa?' Rosie berusaha menggerakkan mulutnya.
Rosie dan Jhagad pun menoleh, menatap serius ke arah Tegar. Sedangkan Awan masih sibuk dengan tas cariernya, namun telinganya tetap menunggu jawab atas pertanyaan Cantigi.Tegar sendiri tampak sedang berpikir. Cantigi, Rosie dan Jhagad pun masih terdiam, menunggu jawab dari Tegar. Setelah sadar sedang ditatap oleh tiga orang dengan serius, Tegar akhirnya bicara, "Eh, aku tadi mau bilang apa?" Seketika itu, Rosie, Jhagad dan Cantigi jadi kesal sendiri. Sudah serius serius memperhatikan, Tegar justru melontarkan lelucon yang tidak lucu sama sekali.'Orang ini ternyata bisa bergurau juga!' gumam Rosie dalam hati."Satu lagi apa? Apa yang mau kau beritahu kepada kami?" tanya Cantigi kesal."Itu dia, aku lupa. Sudahlah lupakan!" jawab Tegar datar."Lupakan katamu?" sergah Cantigi semakin kesal.Setelah menunjukkan ekspresi seolah berpikir sebentar, Tegar pun berkata, "Ah ya, ingat juga akhirnya. Jangan biarkan lehe
"Benar, ada apa? Bukankah kita harus segera bergerak sebelum Mahluk Haus Darah melihat kita?” tanya Rosie kebingungan.Tegar hanya diam. Kakinya tidak bergerak sama sekali, namun matanya masih memperhatikan tanah di sekitar mereka berdiri. Seperti menelusuri setiap jengkalnya, tanpa terkecuali.“Hei! Cepat katakan, ada apa? Kenapa tidak boleh bergerak?” Sekali lagi Cantigi bertanya sudah tidak sabaran.Tentu, ketidaksabaran ini jadi hal yang normal. Mengingat, Mahluk Haus Darah bisa kapan saja melihat mereka yang berdiri terdiam di area cukup terbuka seperti sekarang.“Kalian semua, mulai sekarang dengarkan dan lakukan apa pun yang akan kukatakan!” perintah Tegar serius.Dari nada suara Tegar, Rosie, Jhagad, Cantigi dan Awan pun akhirnya menyadari bahwa ada kondisi serius yang sedang terjadi. Mereka pun tidak berkomentar apa apa.
“Ehm,” ucap Rosie pelan.“Jangan gugup, tenanglah, Ros!” kata Cantigi mencoba menenangkan Rosie yang tampak gugup.Rosie pun mengangguk. Tersenyum tipis.“Oke, huh!” ucap Tegar sambil menghembuskan napas, merilekskan tangannya.Saat itu, Tegar sudah dalam posisi jongkok. Tangannya mulai menyibak permukaan tanah di sekitarnya sehalus dan sepelan mungkin. Mencari keberadaan rancau yang tertanam di dalamnya.Beruntungnya, hingga saat ini belum terlihat Mahluk Haus Darah di sekitar mereka. Sementara Tegar mulai mencari keberadaan ranjau, Rosie, Cantigi dan Jhagad memperhatikannya dengan tegang.“Ini dia,” kata Tegar setelah tangannya merasakan satu lagi ranjau tertanam di dalam tanah.Tegar pun melanjutkan menyibak permukaan tanah di sekitarnya. Sejauh jangkauan tangannya, tidak ditemui lagi ran
Rosie dan Cantigi hanya bisa melihat panik, matanya terbelalak, dengan kedua tangannya memegang kepala. ‘Tidak!’ gumam mereka dalam hati.Sementara itu, jam tangan itu hanya berjarak tiga puluh sentimeter lagi, sebelum menyentuh permukaan atas ranjau. Tegar dan Awan tidak bisa berbuat apa apa lagi. Mereka benar benar tidak bisa menjangkaunya.Namun, ketika jarak jam tangan dengan permukaan atau ranjau tinggal dua puluh sentimeter saja, tiba tiba.SETT….KLOTAK…Terdengar suara jam tangan itu terjatuh ke permukaan tanah, sedikit bergeser beberapa sentimeter dari ranjau, setelah Jhagad berhasil menyundulnya sedikit menggunakan matras. Semua orang yang sedari tadi menahan napas pun akhirnya bisa melepaskannya dengan lega.Hah…..Beruntung sekali Jhagad masih sempat menarik matras dari samping cariernya. Jika
Entah kenapa saat itu, Awan dan Jhagad justru berdiam diri, masih menatap ke arah Mahluk Haus Darah yang berlarian dengan ganasnya menuju ke tempat mereka. Suasana Hutan Terlarang tadinya sunyi pun berubah menjadi ramai sekali, dipenuhi erangan Mahluk Haus Darah yang bersahut sahutan.AAAAAARGHHH.. AAAAAARGHHH…“Gi, Ros! Ayo, kita juga harus menjauh!” ajak Tegar.Sama halnya dengan Jhagad dan Awan, Cantigi dan Rosie pun seperti tidak mendengarkan perkataan Tegar.Kali ini ganti Rosie yang berteriak, memanggil mereka berdua, “WAN! GAD! CEPAT!”Di sisi lain, Mahluk Haus Darah yang entah berapa jumlahnya itu terlihat berlarian seperti sudah tidak sabar menerkam dan menghisap darah mereka berlima. Entah karena takjub, atau takut, Jhagad dan Awan seperti terhipnotis, berdiam diri tanpa merespon sedikit pun teriakan dari Cantigi dan Rosie.&n
Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke
Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw
“Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.
“Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.
“Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita
Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M
Jhagad lantas memberikan isyarat agar tidak ada siapapun yang bersuara, sementara dirinya maju mendekat ke arah tumpukan tong bekas untuk memeriksa sumber suara. Pelan tapi pasti, Jhagad mulai mendekati tumpukan tong bekas. Teman-temannya harap-harap cemas mengamatinya dari belakang.Rosie sudah takut jika yang menjadi sumber suara di tumpukan tong bekas adalah Mahluk Haus Darah. Baru saja pintu gerbang dengan susah payah mereka tutup, jika ada Mahluk Haus Darah maka akan jadi sia-sia saja jadinya. Jhagad yang sudah berdiri tepat di depan tumpukan tong pun mulai menyibakkan padangannya, mencari celah, mengintip tumpukan bagian dalam.“Hati-hati, Gad!” gumam Rosie dalam hati.Perlahan Jhagad memberanikan diri mengangkat satu tong bekas yang ada di tumpukan paling atas. Seketika itu juga Jhagad terperanjat melihat apa yang ada di balik tumpukan tong bekas. Melihat Jhagad terperanjat, Awan dan Tegar langsung membuat pagar pelindung di depan Rosie dan Cantigi. Sementara Jazlan, mulai bers
Kemudian suara pintu gerbang benteng terbuka terdengar. Awan yang sangat sensitif dengan suara pun langsung menyadarinya. Jhagad yang melihat ekspresi Awan berubah seketika bertanya, “Ada apa, Wan?”“Pintu gerbang sepertinya baru saja terbuka,” kata Awan singkat.“Aku juga mendengarnya sekilas,” imbuh Tegar membenarkan pernyataan Awan.“Kenapa ini? Apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak mungkin secara sadar membuka pintu gerbang, bukan?” tanya Cantigi heran.“Benar, itu tidak mungkin. Bahkan mereka saja takut kepada kita sehingga tadi tidak mau membukakan pintu gerbangnya,” ucap Rosie membenarkan Cantigi.“Entah apa yang sebenarnya terjadi!” Jhagad yang masih mencoba melongok ke arah luar penjara tetap tidak tahu bisa melihat apa apa.Samar samar hanya terdengar jeritan dan teriakan para pendaki yang sepertinya sedang dikejar-kejar Mahluk Haus Darah. Rosie hanya bisa menutup telinga, sementara Cantigi memeluknya mencoba menenangkan. Awan dan Tegar masih tampak berpikir. Sementara J
Beberapa menit sebelum teriakan terdengar.Di serambi benteng, semua pendaki yang tersisa sudah mulai mengambil posisi tidur berpencar. Riki tampak menjauh dari pendaki yang lain. Saat itu, tanpa ada seorang pun yang menyadari, tubuh Riki sesekali menggeliat, seperti orang sedang kedinginan atau terkena hawa dingin yang menusuk tulang. Kepalanya bergeleng-geleng seperti sedang seseorang yang terkena stroke.SSSSTT..Sesekali, ia pun mendesis pelan tanpa ada yang mendengar. Perangainya sungguh tidak biasa, andai ada yang mengetahui hal ini lebih awal. Sayangnya, seperti yang sudah sudah, petaka kali ini pun terjadi dengan begitu cepat tanpa ada yang menyadari. Dalam hitungan detik, Riki menunjukkan gejala yang sama sebagaimana manusia berubah menjadi Mahluk Haus Darah untuk pertama kali.Salah seorang pendaki melihat gelagat aneh Riki pun mendekatinya, sambil berkata, “Hei, kau tidak apa apa?”Riki tidak menjawab karena saat itu ia mulai kehilangan kesadarannya. Pendaki yang mendekati