Rosie dan Cantigi hanya bisa melihat panik, matanya terbelalak, dengan kedua tangannya memegang kepala. ‘Tidak!’ gumam mereka dalam hati.
Sementara itu, jam tangan itu hanya berjarak tiga puluh sentimeter lagi, sebelum menyentuh permukaan atas ranjau. Tegar dan Awan tidak bisa berbuat apa apa lagi. Mereka benar benar tidak bisa menjangkaunya.
Namun, ketika jarak jam tangan dengan permukaan atau ranjau tinggal dua puluh sentimeter saja, tiba tiba.
SETT….
KLOTAK…
Terdengar suara jam tangan itu terjatuh ke permukaan tanah, sedikit bergeser beberapa sentimeter dari ranjau, setelah Jhagad berhasil menyundulnya sedikit menggunakan matras. Semua orang yang sedari tadi menahan napas pun akhirnya bisa melepaskannya dengan lega.
Hah…..
Beruntung sekali Jhagad masih sempat menarik matras dari samping cariernya. Jika
Entah kenapa saat itu, Awan dan Jhagad justru berdiam diri, masih menatap ke arah Mahluk Haus Darah yang berlarian dengan ganasnya menuju ke tempat mereka. Suasana Hutan Terlarang tadinya sunyi pun berubah menjadi ramai sekali, dipenuhi erangan Mahluk Haus Darah yang bersahut sahutan.AAAAAARGHHH.. AAAAAARGHHH…“Gi, Ros! Ayo, kita juga harus menjauh!” ajak Tegar.Sama halnya dengan Jhagad dan Awan, Cantigi dan Rosie pun seperti tidak mendengarkan perkataan Tegar.Kali ini ganti Rosie yang berteriak, memanggil mereka berdua, “WAN! GAD! CEPAT!”Di sisi lain, Mahluk Haus Darah yang entah berapa jumlahnya itu terlihat berlarian seperti sudah tidak sabar menerkam dan menghisap darah mereka berlima. Entah karena takjub, atau takut, Jhagad dan Awan seperti terhipnotis, berdiam diri tanpa merespon sedikit pun teriakan dari Cantigi dan Rosie.&n
Bersamaan dengan mereka berlima yang melompat dan menjatuhkan diri ke permukaan tanah, saat itu juga benda yang melambung di udara mendarat, tepat di atas permukaan ranjau.BRUKSeketika itu juga detonatornya terpantik, dan suara ledakan terdengar lagi.BOOM!!!Karena saking dekatnya ledakan dengan posisi mereka berlima, tekanan yang ditimbulkan pun membuat tubuh mereka berlima terdorong dan terlontar beberapa meter ke depan. Suara gesekan tubuh mereka yang terseret dipermukaan tanah pun terdengar.BRUUUK….“Aaaarrrgh!” keluh Cantigi dan Rosie secara bersamaan setelah tubuh mereka yang tedrseret di atas permukaan tanah berhenti.Sementara itu, dalam posisi masih beralaskan tanah, Tegar, Awan dan Jhagad sudah melihat ke arah belakang lagi, sambil meletakkan telapak tangannya di dekat alis, untuk menghindari matanya
Awan, Jhagad dan Tegar pun langsung menoleh ke arah Cantigi dan Rosie. Sayang, mereka berdua sudah tidak terlihat, di permukaan tanah. Hanya suaranya saja yang masih terdengar.“Apa yang…?” gumam Jhagad tidak mengerti.A“Pasti jebakan berlapis!” kata Tegar sambil melawan Mahluk Haus Darah.“Sial!” umpat Awan kemudian meninju dengan keras Mahluk Haus Darah ke arah lubang jebakan.Setelah menjatuhkan Mahluk Haus Darah yang dia lawan, Jhagad pun menyelinap, mendekati lubang yang terbentuk di tanah. Saat itu, Jhagad melihat
Mendengar perkataan Jhagad, Awan, Cantigi dan Rosie pun tertegun. Kemudian melangkah mendekati Jhagad dan Tegar yang masih terduduk di atas permukaan tanah.“Hei! Kalau mati jangan di pangkuanku!” ucap Jhagad asal sambil tetap menggerak gerakkan tubuh Tegar.PLAKCantigi memukul lengan Jhagad.“Ah, sakit!” keluh Jhagad sambil menoleh ke arah Cantigi.“Jangan bercanda seperti itu!” sergah Cantigi.
Sementara itu, di benteng tua jauh di sisi lain area Hutan Terlarang. Para pendaki yang berhasil menyelamatkan diri dari petaka yang terjadi semalam pun terlihat mengumpulkan bahan bahan makanan dan minuman milik pendaki lain. Mereka mulai melakukan apa pun untuk bertahan hidup, hingga tim evakuasi datang.“Hanya segini?!” keluh salah seorang pendaki perempuan karena hanya berhasil mengumpulkan sedikit makanan.“Mau bagaimana lagi! Gara gara dikejar serigala sebelumnya, hampir semua pendaki menanggalkan tas carier mereka di Padang Rumput bukan?” sahut pendaki lain.Di sisi lain, Jazlan diam diam naik ke atas dinding, mencoba melihat kon
Dalam hitungan detik, Roman yang telah menjadi Mahluk Haus Darah itu langsung berlari, mengejar Jazlan. Seketika itu juga Jazlan yang sempat tertegun, mulai sadar dan berteriak, “NAIK KE ATAS DINDING SEMUANYA!”Mendengarnya, para pendaki yang ada di lapangan utama Benteng Tua pun langsung panik, bergegas, berlari, naik ke atas dinding benteng lagi, menggunakan tali yang sebelumnya mereka gunakan untuk turun ke bawah. Sementara itu, Jazlan langsung melihat ke dalam lorong lagi. Sayangnya, saat itu Mahluk Haus Darah sudah hampir mencapai tempatnya.“Sial, cepat sekali larinya!” umpat Jazlan sambil siap siap memasang kuda kuda menghadapinya.
Kembali ke rumah pohon di kawasan Hutan Terlarang. Awan tampak sudah mengambil posisi favoritnya, tidur telentang di lantai rumah pohon itu. Kali ini Awan tidak sendirian, Jhagad dan Tegar pun ikut tidur telentang, mengistirahatkan tubuhnya. Sedangkan Cantigi dan Rosie duduk, sambil bersandar di dinding rumah pohon, di dekat pintunya. Sudah setengah jam mereka beristirahat di rumah pohon itu. Tapi sepertinya kelelahan yang dialami tubuh mereka tidak kunjung hilang juga. Ladang ranjau dan Mahluk Haus Darah sungguh menghabiskan tenaga mereka. “Mereka sepertinya kelelahan sekali,” ucap Rosie. “Biarlah, mereka sudah bertarung habis habisan lagi tadi!” jawab
“Iya, aku menyukainya!” Jhagad menjawab tanpa sedikitpun keraguan.Untuk sekejap Tegar tertegun mendengar jawaban Jhagad itu. Tidak memberikan respon apa apa. Tapi, tatapannya kali ini ganti yang bicara. Seperti sedang mengkonfirmasi tingkat keseriusan pada ekspresi Jhagad.“Karena itu, aku memperingatkanmu untuk tidak mendekatinya!” ancam Jhagad serius.“Kenapa? Apa hakmu melarangku mendekatinya? Bukankah kalian hanya berteman?”Saat Jhagad akan menjawab pertanyaan Tegar itu. Tiba tiba saja Cantigi melihat ke bawah sambil berk
Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke
Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw
“Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.
“Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.
“Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita
Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M
Jhagad lantas memberikan isyarat agar tidak ada siapapun yang bersuara, sementara dirinya maju mendekat ke arah tumpukan tong bekas untuk memeriksa sumber suara. Pelan tapi pasti, Jhagad mulai mendekati tumpukan tong bekas. Teman-temannya harap-harap cemas mengamatinya dari belakang.Rosie sudah takut jika yang menjadi sumber suara di tumpukan tong bekas adalah Mahluk Haus Darah. Baru saja pintu gerbang dengan susah payah mereka tutup, jika ada Mahluk Haus Darah maka akan jadi sia-sia saja jadinya. Jhagad yang sudah berdiri tepat di depan tumpukan tong pun mulai menyibakkan padangannya, mencari celah, mengintip tumpukan bagian dalam.“Hati-hati, Gad!” gumam Rosie dalam hati.Perlahan Jhagad memberanikan diri mengangkat satu tong bekas yang ada di tumpukan paling atas. Seketika itu juga Jhagad terperanjat melihat apa yang ada di balik tumpukan tong bekas. Melihat Jhagad terperanjat, Awan dan Tegar langsung membuat pagar pelindung di depan Rosie dan Cantigi. Sementara Jazlan, mulai bers
Kemudian suara pintu gerbang benteng terbuka terdengar. Awan yang sangat sensitif dengan suara pun langsung menyadarinya. Jhagad yang melihat ekspresi Awan berubah seketika bertanya, “Ada apa, Wan?”“Pintu gerbang sepertinya baru saja terbuka,” kata Awan singkat.“Aku juga mendengarnya sekilas,” imbuh Tegar membenarkan pernyataan Awan.“Kenapa ini? Apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak mungkin secara sadar membuka pintu gerbang, bukan?” tanya Cantigi heran.“Benar, itu tidak mungkin. Bahkan mereka saja takut kepada kita sehingga tadi tidak mau membukakan pintu gerbangnya,” ucap Rosie membenarkan Cantigi.“Entah apa yang sebenarnya terjadi!” Jhagad yang masih mencoba melongok ke arah luar penjara tetap tidak tahu bisa melihat apa apa.Samar samar hanya terdengar jeritan dan teriakan para pendaki yang sepertinya sedang dikejar-kejar Mahluk Haus Darah. Rosie hanya bisa menutup telinga, sementara Cantigi memeluknya mencoba menenangkan. Awan dan Tegar masih tampak berpikir. Sementara J
Beberapa menit sebelum teriakan terdengar.Di serambi benteng, semua pendaki yang tersisa sudah mulai mengambil posisi tidur berpencar. Riki tampak menjauh dari pendaki yang lain. Saat itu, tanpa ada seorang pun yang menyadari, tubuh Riki sesekali menggeliat, seperti orang sedang kedinginan atau terkena hawa dingin yang menusuk tulang. Kepalanya bergeleng-geleng seperti sedang seseorang yang terkena stroke.SSSSTT..Sesekali, ia pun mendesis pelan tanpa ada yang mendengar. Perangainya sungguh tidak biasa, andai ada yang mengetahui hal ini lebih awal. Sayangnya, seperti yang sudah sudah, petaka kali ini pun terjadi dengan begitu cepat tanpa ada yang menyadari. Dalam hitungan detik, Riki menunjukkan gejala yang sama sebagaimana manusia berubah menjadi Mahluk Haus Darah untuk pertama kali.Salah seorang pendaki melihat gelagat aneh Riki pun mendekatinya, sambil berkata, “Hei, kau tidak apa apa?”Riki tidak menjawab karena saat itu ia mulai kehilangan kesadarannya. Pendaki yang mendekati