Setelah Jogoboyo itu pergi, Cantigi, Rosie dan Jhagad masuk kembali ke dalam pondok mereka. Saat itu Awan tampak masih terbaring telentang, menutup matanya.
“Eh, Gi! Menurutmu kenapa kita tidak boleh keluar dari pondok jam satu hingga tiga dini hari nanti?” tanya Rosie penasaran.
“Entahlah, mungkin di jam jam itu sedang ada kegiatan penduduk sini yang tidak boleh diketahui orang asing seperti kita. Atau..” jawab Cantigi sambil memberikan ekspresi menebak nebak tengil.
“Atau apa?” tanya Rosie, seperti biasa mudah sekali dipancing rasa penasarannya.
“Atau mungkin ada hal lain yang sebaiknya kita tidak tahu!” jawab Cantigi sambil nyengir.
“Misalnya?”
“Hantu!” celetuk Jhagad, mencoba bergurau.
“Ih, serius…!” Rosie merajuk.
“Ak
Ketika Rosie sudah mulai menyibak sedikit daun rumbianya. Tiba tiba saja ada yang menghentikan pergerakan tangannya dari arah belakang. BUK Rosie pun menoleh ke belakang. Ternyata Awan sudah berdiri di belakangnya, menghentikan pergerakan tangannya. Rosie mengehembuskan napas. “Hah., kau ternyata, Wan!” “Bukankah Jogoboyo bilang jangan keluar pondok sampai pukul tiga dini hari berlalu?” ucap Awan sambil menunjukkan jam yang masih menunjukkan pukul 02: 57. “Ada Jazlan di luar memanggil manggil dari tadi,” kata Rosie. “Kalau benar itu Jazlan, dia akan langsung masuk tanpa perlu memanggil manggil dari luar seperti itu.” “Tapi, suaranya mirip sekali!” “Satu lagi, Jazlan tidak memanggil Cantigi dengan sebutan ‘Gi!’, tapi ‘Gils’ bukankah begitu?” “Eh, iya sih! Tunggu dulu, kalau bukan Jazlan, la.lalu si..siapa?” “Entahlah, lebih baik kita tidak perlu tahu!” “Ehem…” tiba tiba Cantigi mengeluarkan suara berdehem cukup keras, sambil melihat ke
Jhagad tidak menjawab, tapi justru langsung melangkah ke sebelah kanan jalan, mendekati salah satu ruko kecil. Cantigi, Rosie dan Awan pun mengikutinya.Rosie pun sumringah ketika melihat ke arah meja dagangan pedagang itu. ‘Taplak meja hijau!’ gumamnya dalam hati.Seperti yang dikatakan Jogoboyo, Jhagad sekarang sudah berdiri tepat di depan meja dagangan pedagang itu. Tanpa berkata apa apa. Menunggu pedagang itu meresponnya. Tidak terlalu lama, terdengar suara perempuan.“Sepertinya kalian bukan orang sini,” kata pedagang itu sambil meletakkan sebuah koin perak di meja tepat di depan Jhagad berdiri.TEKK..GLUP!Setelah mendengar perkataan pedagang itu, Rosie menelan ludah. ‘Bagaimana pedagang ini tahu mereka bukan orang sini?’ gumamnya dalam hati.Sementara itu, Awan dan Cantigi masih melihat ke arah meja. Tampak tangan pedagang itu kukunya rapi, kulitnya putih bersih, namun cenderung pucat. Berbeda dengan Awan dan Can
Melihat salah satu tangan manusia berkepala serigala hampir menyentuh kepala Rosie, tangan Cantigi pun reflek bergerak hendak menampik tangan tersebut. Tapi, sebelum itu terjadi, kaki Awan terlebih dahulu menerjang tubuh manusia berkepala serigala itu.BLAM…!!!Tubuh manusia berkepala serigala itu pun terpental, terjatuh ke tanah. Tampak kesakitan.BRUKK..!!!Melihatnya, para manusia berkepala serigala lainnya pun reflek, memundurkan kakinya beberapa langkah, menjauh. Kaget melihat rekannya terpental. Terdiam sejenak.Rosie dan Cantigi masih tidak percaya melihatnya. Jhagad apa lagi, panik sambil berkata, "Astaga Wan! Kau benar benar melakukannya?"Belum sempat Awan menjawab, tiba tiba Awan juga jatuh ke tanah, berteriak kesakitan, sambil meringkuk, memegangi kakinya."Aaaarrghhh!"Cantigi, Rosie da
Melihat para manusia berkepala serigala sudah hampir menerkam mereka, Cantigi dan Rosie pun reflek menutup mata. Jhagad membuat mereka berdua semakin menunduk. Ketika Jhagad sudah pasrah, menjadikan tubuhnya sebagai benteng perlindungan terakhir dari serangan manusia manusia berkepala serigala. Tiba tiba saja, hening.“Eh?” gumam Jhagad heran, karena tidak terjadi apa apa.Jhagad yang tadinya menunduk pun mulai memberanikan diri mengangkat kepalanya. Melihat ke depan, ke samping kanan, kiri dan menoleh ke belakang.“A..apa yang sebenarnya terjadi? Kemana mereka pergi? Lalu pasarnya?” Jhagad benar benar keheranan saat melihat ke sekitar.Sekelilingnya sudah tidak ada apa apa. Manusia berkepala serigala menghilang tanpa jejak. Bahkan, ruko ruko dagangan di kanan kiri jalan pasar pun tidak ada lagi, tidak berbekas, seperti ditelan bumi.Cantigi dan Rosi
Awan yang bisa dibilang paling peka terhadap suara diantara mereka berempat pun langsung tahu, dari mana arah suara itu berasal.“Di sana!” kata Awan sambil mulai melangkah ke depan, ke arah sumber suara.“Eh?” Rosie kaget melihat Awan yang sudah berlari.Cantigi dan Jhagad juga sudah mulai bergerak mengikuti Awan. Sedang Rosie masih tertinggal di belakang.“Ros, ayo!” ajak Cantigi.“Kalian yakin akan menuju ke sana? Kalau itu suara manusia berkepala serigala lagi bagaimana?” tanya Rosie khawatir sambil ikut berlari, mengikuti Awan dari belakang.“Entahlah, yang penting kita tidak terpisah saja!” ucap Cantigi mantap sambil berlari.Sekitar 500 meter berlari, Awan berhenti. Jhagad, Cantigi dan Rosie pun juga sampai di tempat Awan berdiri. Sementara Awan dan Jhagad berkeliling ke sekitar, mencar
Mendengar teriakan Rosie, Cantigi langsung reflek melihat ke belakang. DEG!Jantungnya seketika terhenti, sejenak. Wajahnya pias tatkala melihat seorang pendaki dengan mulut berlumuran darah, menatap nanar ke arahnya. Gigi pendaki itu tampak menggertak, matanya putih, dengan satu titik hitam kecil ditengahnya. Benar, saat itu, satu Mahluk Haus Darah berada tepat didepan Cantigi. Setelah keluar dari benteng tua, pendaki yang berubah menjadi Mahluk Haus Darah bebas berkeliaran, mencari mangsa di hampir seluruh area Hutan Terlarang. Alhasil, hanya dalam satu malam saja, puluhan bahkan ratusan pendaki lain yang tersesat di Hutan Terlarang kini menjadi korbannya, berubah menjadi Mahluk Haus Darah juga. Mungkin, kalau dihitung, jumlahnya pasti sudah lebih dari 100 orang sekarang. "LARI GI!!!" teriak Rosie.Entah mungkin karena saking terkejutnya, Cantigi hanya berdiri saja, masih tidak percaya dengan apa yang dilihat oleh matanya. Teriakan R
Seperti tidak perlu melihat ke arah Rosie menunjuk. Jhagad, Cantigi dan Awan hanya diam, menatap ke depan. Seakan akan, masing masing mereka juga melihat hal yang sama seperti yang Rosie lihat. Mahluk Haus Darah lain berkeliaran, menampakkan diri di segala penjuru, di sekitar mereka. "Gad!" ucap Cantigi dan Awan bersamaan."Aku tahu! Kau masih sanggup, Wan?" kata Jhagad."Satu, dua, tidak empat," ucap Awan pelan sambil menghitung Mahluk Haus Darah yang terlihat di depannya."Oi, oi, yang benar saja? Sebanyak itu?" tanya Jhagad meragukan perhitungan Awan."Di depanku ada dua!" kata Cantigi."Sebelah sini ada tiga!" ucap Rosie takut takut."Sial, di sini juga bertambah, sekarang terlihat ada tiga!" umpat Jhagad pelan.Sementara itu, Mahluk Haus Darah ada disekitar mereka tampaknya belum melihat keberadaan mereka berempat. Mahluk Haus Darah itu hanya berjalan jalan tanpa arah yang jelas. "Sepertinya mer
"Tidak ada pilihan lain kurasa. Hah.. Kau siap, Wan?" tanya Jhagad sambil mengepalkan tinjunya, bersiap menyerang. "Kapan pun!" jawab Awan mantap."Yosh, sementara kami berdua mengurus satu mahluk itu, kalian lari duluan, oke?" perintah Jhagad kepada Cantigi dan Rosie sambil melihat ke arah kiri. Dalam hitungan detik mereka berempat memilih jalur kiri, di mana ada satu Mahluk Haus Darah sudah berlari menuju mereka. Jhagad langsung saja berlari menuju Mahluk Haus Darah di depannya. Diikuti oleh Awan, Cantigi dan Rosie di belakangnya.BUKKKSatu tinju Jhagad sudah berhasil menghantam pipi Mahluk Haus Darah, membuatnya terpental ke samping kiri. Awan pun tidak mau kalah, kali ini ia menendang tubuh Mahluk Haus Darah itu, membuatnya mundur ke belakang beberapa langkah. SREEEEET...Seperti tidak terima dengan perlakuan Awan dan Jhagad, Mahluk Haus Darah itu, menatap nanar kemudian berlari sambil mengerang, menuju ke arah J
Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke
Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw
“Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.
“Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.
“Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita
Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M
Jhagad lantas memberikan isyarat agar tidak ada siapapun yang bersuara, sementara dirinya maju mendekat ke arah tumpukan tong bekas untuk memeriksa sumber suara. Pelan tapi pasti, Jhagad mulai mendekati tumpukan tong bekas. Teman-temannya harap-harap cemas mengamatinya dari belakang.Rosie sudah takut jika yang menjadi sumber suara di tumpukan tong bekas adalah Mahluk Haus Darah. Baru saja pintu gerbang dengan susah payah mereka tutup, jika ada Mahluk Haus Darah maka akan jadi sia-sia saja jadinya. Jhagad yang sudah berdiri tepat di depan tumpukan tong pun mulai menyibakkan padangannya, mencari celah, mengintip tumpukan bagian dalam.“Hati-hati, Gad!” gumam Rosie dalam hati.Perlahan Jhagad memberanikan diri mengangkat satu tong bekas yang ada di tumpukan paling atas. Seketika itu juga Jhagad terperanjat melihat apa yang ada di balik tumpukan tong bekas. Melihat Jhagad terperanjat, Awan dan Tegar langsung membuat pagar pelindung di depan Rosie dan Cantigi. Sementara Jazlan, mulai bers
Kemudian suara pintu gerbang benteng terbuka terdengar. Awan yang sangat sensitif dengan suara pun langsung menyadarinya. Jhagad yang melihat ekspresi Awan berubah seketika bertanya, “Ada apa, Wan?”“Pintu gerbang sepertinya baru saja terbuka,” kata Awan singkat.“Aku juga mendengarnya sekilas,” imbuh Tegar membenarkan pernyataan Awan.“Kenapa ini? Apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak mungkin secara sadar membuka pintu gerbang, bukan?” tanya Cantigi heran.“Benar, itu tidak mungkin. Bahkan mereka saja takut kepada kita sehingga tadi tidak mau membukakan pintu gerbangnya,” ucap Rosie membenarkan Cantigi.“Entah apa yang sebenarnya terjadi!” Jhagad yang masih mencoba melongok ke arah luar penjara tetap tidak tahu bisa melihat apa apa.Samar samar hanya terdengar jeritan dan teriakan para pendaki yang sepertinya sedang dikejar-kejar Mahluk Haus Darah. Rosie hanya bisa menutup telinga, sementara Cantigi memeluknya mencoba menenangkan. Awan dan Tegar masih tampak berpikir. Sementara J
Beberapa menit sebelum teriakan terdengar.Di serambi benteng, semua pendaki yang tersisa sudah mulai mengambil posisi tidur berpencar. Riki tampak menjauh dari pendaki yang lain. Saat itu, tanpa ada seorang pun yang menyadari, tubuh Riki sesekali menggeliat, seperti orang sedang kedinginan atau terkena hawa dingin yang menusuk tulang. Kepalanya bergeleng-geleng seperti sedang seseorang yang terkena stroke.SSSSTT..Sesekali, ia pun mendesis pelan tanpa ada yang mendengar. Perangainya sungguh tidak biasa, andai ada yang mengetahui hal ini lebih awal. Sayangnya, seperti yang sudah sudah, petaka kali ini pun terjadi dengan begitu cepat tanpa ada yang menyadari. Dalam hitungan detik, Riki menunjukkan gejala yang sama sebagaimana manusia berubah menjadi Mahluk Haus Darah untuk pertama kali.Salah seorang pendaki melihat gelagat aneh Riki pun mendekatinya, sambil berkata, “Hei, kau tidak apa apa?”Riki tidak menjawab karena saat itu ia mulai kehilangan kesadarannya. Pendaki yang mendekati