Wanita paruh baya itu terbangun dari tidur dengan berteria. Mulutnya termengap-mengap seperti sedang melihat setan. Keringat dingin bercucuran dari pelipis keriputnya.
“Ada apa Umi?” Abah yang tertidur di samping Umi sampai bangun. Terlihat wajahnya tidak kalah khawatir melihat istrinya tiba-tiba berteriak di tengah malam. “Umi minum dulu ya! Bentar, Abah ngambilin.” Tangan Abah terulur mengambil segelas air.
“Makasih Bah!” Umi memegang gelas itu dan meneguknya keras. Sampai-sampai Abah bisa mendengar suara tegukan tenggorankan Umi Ima.
Tiba-tiba Umi Ima menangis histeris sambil menangkup wajahnya. “Hiks…hiks…”
&ld
“Maksud ke datangan kami kemari untuk melamar putri Anda!” ucap Abah terus terang pada sahabat pondoknya yang kini juga Kiyai di sebuah pondok Salaf. Gadis yang ada di belakang Kiyai Mustofa itu terus saja menunduk. Terlihat wajahnya ayu yang di sembunyikan di balik rasa malu dan terus menunduk. Tapi tetap saja tidak membuat goyah hati Salman. “Gimana anakku? Kamu menerima lamaran Kiyai Rifai?” “Insya’Allah jika itu keputusan Abah yang terbaik. Awa akan menerimannya Bah!”&n
“Iya, aku akan segera ke sana.” Resah dan khawatir bercampur menjadi satu. Diambil kerudung instans yang tergantung di pintu. “Udah malam, apa aku pergi sendiri aja.” Afura mengintip suaminya yang sudah terlelap di kamarnya. Diam-diam Afura keluar dari kamar, mengeluarkan motor matic dari garasi motor. Takut sebenarnya keluar malam-malam, apalagi ini udah jam 1 malam. “Bismillah!” “Mau ke mana?” tanya suara bariton yang berada di belakang Afura. Membuat jantungnya seperti mau keluar dari tempatnya saja. “Mas Abizar!” gumam
[Beberapa Tahun lalu] Afura menyelsaikan hafalanya di depan mikrofon di saksikan oleh para santri dan juga layar ponsel. Tidak sia-sia dia mencuri waktu untuk menyelsaikan hafalan. “sadakallahul azim….” Menyudahi bacaan suratnya. “Alhamdulilah Fa, kamu menyelsaikan hafalanmu. Bapak bangga sama kamu,” ucap Pria paru baya dari dalam ponsel. Suara mesin printer mendekteksi jatung terus terdengar. “Maafin Affa Bapak, nggak bisa ke sana!” suara Afura menahan isak tangis yang di tahankan. “Bapak ngerti banget Afura. Bapak, udah senang bisa meny
*** Afura dan Abizar bergegas memasuki lorong rumah sakit. Mencari kamar yang sudah di tunjukan Umi Ima. “Ini Mas, Kamar Melati 003.” Abizar langsung menerobos masuk ke dalam kamar. Terlihat pria dengan wajah babak belur dan kaki di perban di atas bankar. Sedangkan Umi Ima dan Abah terlihat duduk di pinggir ranjang. “Syukurlah kalian datang! Umi benar-benar syok lihat adekmu udah jadi gini.” “Kamu ngapain sampai babak beluar hah?” tanya Abizar yang setengah emosi. 
Afura mengenggam erat telapak tangan Abizar. Tidak sengaja kuku panjangnya mencakar pria itu. “Awas Mas!” Di depan mereka ada kucing yang melintas. Mata Abizar menoleh ke Afura yang terus mengenggam tangannya.MBruk!Mobil Abizar tidak sengaja menambrak kucing tersebut. “Astagfirullah!” Mereka berdua turun dari mobil, memeriksa keadaan kucing tersebut. Ternyata kaki kucing malang itu terserempet mobil. “Astagfirullah, Mas ada kota P3K?” “Kayaknya ada di belakang.”
Semenjak kepergian Salman, sikap Abizar sangat aneh. Dia mendiamkan Afura beberapa hari. Bahkan, hanya berbicara seperlunya. Membuat perasaan Afura tidak enak. “Ih, emang aku pernah ada salah gitu? Kok, diemin aku,” gertu Afura sambil mondar-mandir di depan Asrama Ustadzah. “Seharusnya kan, aku yang marah. Dia udah udah bilang kasar sama aku kemarin.” “Hai Bu Nyai, lagi apa sih. Kok, mukanya kayak seterika rusak.” “Bukan apa-apa.” “Bohong!” tunjuk Hanina tidak percaya.&nbs
Pyar! Sebuah batu besar menghantam kaca asramaputra membuat seluruh santri keluar dengan ketakutan. Kejadian itu bukan hanya sekali tapi berulang kali selama satu minggu. Abah dan Abizar bergegas menuju tempat kerjadian perkara dengan wajah panik. “Mana batunya?” “Ini Ustadz!” Rama ketua pengurus asrama Khalid bin walid menyerahkan batu yang di bungkus kertas. Abizar membuka isi surat tersebut yang bertulis ‘Pondok Pembunuh’ “Astagfirullah siapa yang menulis ini?” “Bawa dia ke kantor Abah. Dan kerahkan seluruh santri untuk menjaga keamaan pondok lebih ketat.” “Baik Bah!” Abizar tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah Abah Rifaai. Di dalam kantor pengasuh, Abah memegang kepalanya yang penat. Sudah puluhan tahun pria tua itu mengurus santri. Tapi belum pernah ada kejadian seperti ini. “Gimana Bah, udah hampir seminggu pondok di terror. Alangkah lebih baiknya kita lapor ke polisi.”
“Gimana Mas? Kasus terror di pondok sudah selesai?” tanya Afura sambil meletakkan sup di atas meja. “Udah.” “Alhamdulilah Mas… Mas!” “Iya, ada apa?”Afura meletakkan tangan suaminya di atas kepala. “Maaf Mas, aku baru memintak maaf sekarang. Dan apapun kesalahnku, aku benar-benar mintak maaf.” “Gadis ini, apa aku terlalu keras padanya,” batin Abizar. “Saya maafkan.”&nbs
“Tresha!” panggil Abizar keras dan menarik istrinya menjauh dari para santri. “Mas Abi!” “Kalian nggak papa?” “Nggak papa Ustadz,” jawabnya judes. “Maafin Istri saya.” Lalu kemudian Abizar membawa istrinya pergi dengan wajah masam. “Mas, aku bisa jelasin. Dia yang bikin aku kayak gini. Masak aku di katain pelakor.” “Aku paham, tapi tolong jaga sikapmu di pondok. Ini pondok loh!” “Iya-iya Mas.”Berita tentang pertengkaran santri dan istri ustadz menjadi heboh. Membuat semua santri menjadikan topic hangat. Karena ada scandal itu, membuat para santri membenci Abizar dan juga Tresha. Dan mereka menyayangkan Afura pergi.**** Hari itu Abizar bersiap-siap berangkat ke Madura karena ada saudara di sana yang menikah. Dan keluarga besar Abah di undang. Abizar menghelai nafas panjang saat membuka tudung saji. Hanya ada roti dan selai c
Pagi itu Afura pergi periksa kandungan bersama ibunya. Di pertengahan jalan, becak yang di tumpanginya bocor. Membuatnya menunggu lebih dari 20 menit di pinggir jalan. Cuaca hari itu sungguh panas menyengat. “Kamu nggak Papa Nduk, atau mau ibu telefonkan kakakmu.” “Udah Bu, nggak papa. Kalau nelefon kakak kasihan ganggu dia kerja.” “Tapi kamu…” “Udah Bu, aku nggak papa.”Tiba-tiba sebuah mobil menepi di dekat Afura. Membuat dahi ibu dan Afura menyeringat karena heran.Seorang pria keluar dari mobil. “Assalamualaikum Ibu!” Salman menyalimi Ibu Delisa.&n
“Sayang!” panggil Abizar yang langsung melepaskan tangan Tresha yang merangkulnya. “Akhirnya kamu pulang.” Dengan kaki agak pincang Abizar hendak memeluk kembali istri tercintanya itu.Afura langsung menepis tangan sang suami. Terlihat gerut kekecewaan tergambar di wajar pria itu. “Maaf Mas, ke sini aku hanya ingin mengambil barang-barangku.” “Apa kamu mau meninggalkanku lagi?” “Seperti, kamu sudah nggak butuh aku lagi.” Afura melirik Tresha, menandakan bahwa tugasnya sebagai seorang istri sudah di gantikannya. “Tapi Sayang…” “Secepatnya kita urus surat perceraiannya Mas.” Satu ucapan menyakitkan meluncur di mulut mungilnya. “Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu.”Afura mendekat menarik sedikit kerah baju suaminya. “Jangan egois Mas, kamu harus memilih di antara aku atau dia. Jika kamu nggak mau milih, lebih baik aku ngalah saja Mas.”Bruk!Afura menutup pintu keras, air mata tiba-
Bu Delisa duduk di pinggir ranjang dengan tangan bergetar. Sambil memegang benda pipih itu. Benda yang membuatnya takut. “Ibu kenapa?” tanya Afura yang langsung bersimpuh ke ibunya.Tanpa kata, Bu Delisa menodongkan test bergaris dua. “Apa ini?” Afura hanya menunduk tanpa bisa berkata apa-apa. Mulutnya benar-benar kelu. “Bagaimana kamu bisa menceraikan lelaki itu. Jika kamu masih hamil?” “Bu, sebenarnya aku masih bingung apa yang harus kupilih.” &l
“Assalamualaikum! Aku Cuma pulang bentar ngambil dompet.” Bondan masuk ke dalam rumah bergegas kekamar, mengambil dompet. Samar-samar dia mendengar suara isak tangis di kamar adiknya. Dia melangkah kearah sumber suara. “Ada apa?” Mata Bondan terbelalak melihat adik dan ibunya menangis sambil berpelukan. “Jawab Bu, ada apa ini?” tanya Bondan sekian kali sambil menggoyangkan tubuh ibunya. Dia khawatir dengan ibu dan adiknya. “Gu..z ma..” “Yang jelas Bu.”&nbs
Flash back 5 bulan laluMelihat kedekatan Afura dan Abizar yang semakin lengkat membuatnya kesal. Dia berusaha untuk memanipulasi Afura tapi gagal. Beberapa cara dia kerahkan seperti membuat makanan untuk Abizar tapi semuanya gagal. “Semua ini karena ada Zahra di rumah itu. Tapi lihat saja, Zahra bahkan tidak akan bisa melawanku,” batinnya. Dia mencoba sabar di perlakukan Zahra semena-mena. Melihat kemesraan Abizar dan Afura yang semakin menjadi-jadi. “Sial, kenapa mereka sulit banget di pisahin sih!” Hingga suatu hari saat dia pulang
“Sudah aku bilang, jangan keluar-keluar kalau nggak sama Mbak Zahra atau anak pondok.” Abizar meletakkan istri di pinggir ranjang. Pelan-pelan mengangkat kaki istrinya di atas kasur dan mensejajarkan kakinya dengan lurus di atas kasur. “Kan, aku ada urusan mendadak. “ “Kamu bisa telefon Mas, kalau ada urusan mendadak. Insya’Allah, kalau bisa Mas langsung pulang.” “Aku nggak mau ngerepotin Mas Abi kalau sibuk.” “Aku suamimu, dan rela di re
Keluar dari kelas sembilan wajah Afura di tekuk sepanjanh hari. Zahra yang melihatnga dari jauh terheran-heran."Kenapa sih, adek iparku di tekuk wajahnya. Nggak di kasih jatah mbak.""Apaan sih mbak.""Terus kenapa?""Nggak kenapa-kenapa. Mbak Tresha aja yang perasaan." Alasanya. "Oh iya, Akbar sam Uqik di mana?""Paling main sama Mbak-Mbak pondok.""Oalah, jadi ibunya bisa santai ya.""Ya iya dong.""Waduh."Mereka kembali ke rumah Umi Ima, karena beberapa hari kedepan Abizar ijin keluar kota. Jadinya, Afura tinggal di rumah Umi."Cerita dong!" Mbak Zahra lagi- lagi memaksa."Nggak papa Mbak.""Bohong!""Mbak, janji nggak bakal bilang siapa-siapa."Afura terdiam sejenak, sambil menatap mata Mbak Zahra yabg tampak menunggu jawaban dari adik iparnya."Kok, aku ngerasa akhir-akh
Hubungan rumah tangga Afura dan Abizar seperti pasangan yang saling mencintai satu sama lain. Abizar nggak bisa jauh-jauh dari Afura dan sebaliknya. Hingga suatu sore, terdengar kabar tidak mengenakan dari Tresha. Suaminya datang ke pondok, mengobrak-ngabrik pondok bersama anak buahnya. “Mana istriku!” teriak Leon, pria keturunan china dengan kepala plontos dan perut sedikit buncit. “Leon!” “Kau di sini rupanya! “ Menghampiri Tresha dan menariknya kasar.Afura yang melihatnya panik, langsung menahan tubuh Tresha. “Jangan bawa dia!”