Afura mengintip diam-diam sosok ustadz berkopah hitam yang berdiri menerangkan pelajaran pada para para santri. Kilatan cahaya matahari membuat wajahnya semakin tampan. Dengan jantung berdebar Afura mengambil ponsel dan memotret dewa yunani yang tampan itu. Setelah berhasil mengambil gambarnya, dia memeluk ponsel erat.
“Ustadzah!” suara panggilan itu membuat Afura terperajat. Hampir saja dia menjatuhkan ponselnya.
“A..ada aa..pa?” tanya Afura gugup.
“Ustadzah di panggil Umi!”
Dia adalah Asyura Aulia Dyal yang sering di panggil Ustadzah Afura. Seorang Ustadzah dalem yang sangat di percayai dan di sayangi Umi Ima.
Umi adalah istri pengurus pondok. Umurnya sudah lima puluh tahun. Tapi semangat dan bicaranya seperti umur 25 tahun.
Setiap hari, setelah mengajar Afura selalu menyempatkan diri untuk ke rumah Umi. Sekedar mengobrol atau membantunya membersihkan rumah. Apalagi, anak Umi Ima sudah jarang di rumah. membuat Umi Ima kesepian.
Afura bergegas pergi ke rumah Ummi Imma. Sesampai di sana, Dia membantu ummi masak untuk makan siang. Kemudian membersihkan semua ruangan di rumah Ummi. Jantungnya berdetak kencang saat kakinya hendak melangkah ke kamar Abizar.Dia menarik nafas dalam-dalam mengumpulkan keberanian. Memegang semua koleksi lukisan Abizar. Dia adalah pemuda lulusan Yordania yang hobi menggambar kaligrafi.
Air mata Afura tiba-tiba menetes. Ada rasa yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Dia menyapu semua sudut kamar. Sambil menahan debaran di jantungnya. Matanya tiba-tiba berembun dan air mata pun luluh. Sudah setengah jam di kamar Abizar, tapi tidak ada tanda-tanda lelaki itu kembali.
Di buka lemari Abizar. Di ngambil baju koko berwarna biru. Matanya sekita berair. Air matanya tumpah saat mengangkat baju Abizar. Hari ini dia sangat senang, karena bisa memeluk Abizar walaupun hanya bajunya saja. Di ciumi aroma baju abizar yang sama seperti dulu. Membuat seluruh sarafnya kembali bereaksi. Ada kerinduan yang di pendam.
Bruk!
Abizar mendorong pintu kamar dengan mata mendelik. Melihat seorang wanita ada di rumahnya dengan memeluk dan menciumi bajunya. “Ngapain kamu di kamar saya?”
Deg!
Jantung Afura seperti mau copot. Pria itu tiba-tiba datang. Reflek menjatuhkan kemeja kokohAbizar. Buru-buru membalikan badan. Menghapus matanya yang sembab. “Anu…”
“Ngapain kamu di kamar saya?” tanya Abizar pelan tapi penuh dengan pertanyaan di kepalanya.
Afura membalikan badan. Menghadap ustadz Abizar dengan ketakutan mencengkam. Keringat dingin bercucuran di tubuh Afura. “ Saya di suruh bersih-bersih sama Umi.”
“Lalu kenapa pakaian saya ada di tangan kamu?”
“ Tadi di bawah. Saya ngambil mau beresih.”
“Kamu bohong? Jelas kamu ngambil dari lemari.” Abizar menunjuk lemari pakaiannya yang terbuka.
“Itu…”
“Keluar dari kamar saya!”
“Saya bisa jelasin Ustadz.”
“Keluar dari kamar saya atau kamu mau saya usir paksa!” teriak Abizar dengan penuh kemarahan. Bagaimana tidak marah melihat ada santriwati dengan lancang masuk kamarnya.
Afura tergopo-gopo keluar dari kamar Abizar dengan penuh ketakutan di wajahnya.
“Umi!” Abizar keluar kamar mencari uminya. Mengadu tindakan gadis itu yang kurang ajar. Jangan-jangan dia adalah sasange fans Abizar. Memang tidak heran, banyak santri putri menyukainya. Karena parasnya yang lumayan. Badan tinggi dan tegap, kulit wajah kuning langsat. Sedikit jengot di dagu. Kata para santri, wajahnya mirip Miller kan, Aktor webseries di tv.
“Ada apa Abizar? Kamu manggil Umi kayak orang kesurupan. ” Umi baru keluar dari dapur meletakkan masakan di atas meja.
“Gadis tadi siapa?”
Afura segera menyusul Abizar, takut semuanya menjadi masalah besar.
“Gadis di belakangmu? Dia Afura.”
Wajah Abizar memerah saat melihat gadis itu. Dengan tegas dia mengusirnya. Mengatakan bahwa dia akan berbicara empat mata dengan Umi.
“Ada apa sih Zar? Sampai ngusir Afura.”
“Aku nggak suka sama dia.”
“Emang kenapa denga Afura.”
“Tolong Mi! Jangan panggil dia ke rumah lagi. Sepertinya dia gadis nggak bener.”
“Kenapa kamu bisa bilang begitu?”
“Aku lihat, dia ngambil baju aku dari lemari terus di cium-cium.”
“Mungkin kamu salah lihat!”
“Aku nggak mungkin salah lihat Umi. Aku nggak mau dia ada di sini lagi Umi. Kalau perlu, keluarkan perempuan aneh itu dari pondok.” Memikirkannya sudah membuat Abizar geleng-geleng kepala. Bisa jadi, setelah gadis itu mencium bajunya. Besoknya, dia bisa menyelinap di dalam kamar lalu memeluknya.
“Jaga ucapanmu! Sampai kapanpun. Afura akan tetap di pondok ini.” Umi langsung pergi meninggalkan putranya yang masih terpaku dengan ucapannya.
“Aku harus cari cara menyakinkan Umi.”
***
“Tumben pulang sayang! Nggak inep di asrama?” tanya Wanita berkerudung coklat usang. Yang sedang mengeringkan jagung.
Afura meletakan tas di kursi kayu yang berada di dekat pintu rumah. “Biar Afura Bu, yang ngelanjutin!” Mengambil gerabu besi. Yang biasa di gunakan untuk meratakan jagung agar cepat kering.
“Kamu nggak capek?”
“Udah biasa Bu.”
“Kamu kenapa? Kok, kayak sedih gitu.”
“Nggak papa Umi.”
“Bohong. Pastia ada sesuatu.” Afura hanya terdiam dan tidak menjawab. “Pasti gara-gara Nak Abizar lagi kan? Sampai kapan kamu nunggu dia?”
“Bukan.”
Bu Delisa duduk di teras rumah sambil mengipas-ngipaskan topinya.”Ini udah setahun lebih Fa. Tapi tidak ada perkembangan tentang ingatannya. Atau mending, kamu mengaku saja kalau kamu istrinya.”
“Enggak Bu. Afura takut kalau Mas Abi…” perkataanya tersendat.
“Nggak sehat. Pernikahan kamu itu nggak sehat. Masak ada, suami istri yang tidak kontak fisik selama setahun. Dan kamu tetap setia seperti ini?”
“Dia suamiku Bu.”
“Emang Ibu nggak tahu kamu menangis setiap hari. Ibu sedih Fa, sedih banget. Ibu merasa gagal menjadi seorang ibu karena menikahkanmu dengan pria seperti itu.” Tangis Bu Delisa pecah sambil memukul-mukul dadanya karena penyesalan.
Afura langsung berlari kea rah Bu Delisa. Menyeka air mata Sang Ibu yang bercucuran. “Itu bukan salah ibu. Mungkin ini ujian yang di berikan Allah.”
“Semua ini salah ibu. Karena mau menerima lamaran dari gus Abizar yang baru kau kenal 5 minggu.”
“Insya’Allah Afura Ikhlas demi kesembuhan Mas Abizar.” Afura menangkup tangan ibunya lalu mencium sangat dalam.
“Dulu impian ibu adalah kamu menjadi wanita sholehah yang memiliki suami baik dan melahirkan anak yang sholehah. Tapi sekarang, impian ibu hanya angan-angan.”
“Maafkan Afura Bu. Belum bisa membahagiakan ibu.”
“Gimana dengan kamu Afura? Jika sampai puluhan tahun suamimu tidak sadar juga. Apa kamu menunggu sampai tua. Ibu nggak terima. Ibu nggak mau kamu sedih. Ibu nggak mau kamu di suruh-suruh terus sama keluarganya.”
“Itu bentuk pengabdian Afura Bu.”
“Tetap saja Ibu nggak terima. Ibu menikahkanmu agar menjadi istri. Bukan pembantu. Atau jangan-jangan Abizar menikahimu untuk menjadi pembantu.”
“Jaga perkataan ibu.”
“Kamu berani melawan?”
“Maaf Bu! Karena Ibu berani menjelek-jelekan suami Afura.”
“Secepatnya. Kamu urusin surat cerai. Ibu nggak terima kamu lama-lama sama dia.”
“Afura mohon beri kami waktu.”
“Kalau gitu ibu kasih pilihan Afura. Ibu kasih Waktu 7 bulan sampai dia mengingatmu lagi. Jika dia tidak mengingatmu. Maka ibu tidak punya pilihan lain.”
Abizar bergegas pergi Auditorium utama. Di mana Abahnya sering berada. Beliau bisa seharian di sana jika ada kepentingan pondok yang harus di selsaikan. TOK! TOK! “Assalamualaikum Bah!” “Masuk Abizar.” Perintah Abah dari dalam. Dua orang santri kemudian keluar dari rungan saat Abizar masuk. “Permisi Ustadz!” “Hmm…” “Ada apa Abizar? Tumben kamu ke sini?” Abah sibuk melihat-lihat Map yang bertumpuk di meja. Semua laporan dari para ustadz-ustadzah di pondok. “Abah, Abizar punya permintaan.” “Wajahmu serius amat. Bilang sama Abah kamu mintak apa?” “Abah kenal santriwati bernama Afura.” Tangan Abah langsung terhenti. “Oh, Ustadzah Afura?” “Iya Bah.” Senyum tersungging di bibir Abah. Mengira bahwa putranya sudah mengingat Afura. “Kenapa dengan Ustadzah Afura?” “Aku mau dia di keluarkan dari pondok.” Abah langsung berdiri dan mendobrak meja. “Jangan asal bicara kamu Abizar!”
“Ini adalah rumah yang dulu kalian tempati. Dan semenjak kecelakaan itu, rumah ini kosong," Jelas Umi pada Afura dan Abizar. Seluruh perabotan di tutupi oleh kain putih karena sudah lama tidak di huni. Saat Umi Ima menarik kain penutup, debu-debu langsung berterbangan. Menganggu indra penciuman. Afura menutup hidungnya dengan tangannya. Tapi tetap saja dia terbatuk-batuk. “Kami akan membersihkannya, Umi!” “Yaudah, Umi tinggal!” “Tunggu!” Abizar menahan lengan Uminya. “Umi meninggalku dengan wanita ini. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Bagaimana aku bisa tinggal dengan orang asing ini." “Ini istrimu! Kamu harus belajar terbiasa dengannya. Umi harap, dengan kalian tinggal berdua. Ingatanmu segera kembali.” Umi melepas tangan putranya lalu melenggakkan badan. Meninggalkan rumah Afura dan Abizar. “Kamu ingat Mas! Ketika kita pernah pindah ke rumah ini setelah menikah. Kita malu-malu karena baru p
1 tahun yang lalu… Afura berjalan dengan terengah-engah, wajah pucat dan air mata membenung di pelupuk. Melewati koridor berlantai keramik putih. Hatinya benar-benar runtuh saat mengetahui suaminya mengalami kecelakaan tragis. Banyak orang berada di depan ruang operasi. Ada yang mondar-mandir, ada juga yang duduk dengan wajah gelisah. “Mas Abizar…” pekik Afura dengan kaki bersimpuh di lantai. Perasaannya benar-benar hancur, sampai-sampai sendi2 kakinya melemas. “Afura!” Umi membimbing Afura untuk bangkit dan duduk di sampingnya. Dia tahu perasaan menantunya itu. Karena hatinya sama-sama hancur seperti Afura. Bahkan saat pertama mendengar kedua putranya mengalami kecelakaan. Dia hampir saja pingsan. “Mas Abizar…” Afura berusaha menahan isak tangisnya. Satu jam kemudian, dokter bedah keluar dari ruangan. Memberitahu bahwa keadaan Abizar baik-baik saja. Tapi menunggu waktu untuk siuman. Rasa lega menye
Afura menyeka air matanya yang menetes. Membayangkan masa-masa berat saat kehilangan anak pertamanya. Rasa sakit itu masih terasa jelas dan dia menanggung semuanya sendiri. Sudah jam setengah dua belas malam tapi suaminya tidak kunjung pulang. Bahkan makanan di atas meja itu sudah dingin. “Jangan-jangan Mas Abizar nggak tidur di rumah. Kukira hubungan kita sudah membaik. Tapi nyatanya...” menahan kegetiran di dada. Tap! Lampu seketika mati yang membuat Afura terkejut. Buru-buru mencari ponselnya yang di letakkan di atas meja. Dengan gerakan absurd Afura menyalakan lampu. Menyoroti seisi ruangan dengan tangan mengigil. Dia paling tidak bisa di tinggal sendiri dalam ke gelapan. Membuat seluruh sarafnya menegang. Dengan panik Afura berlari ngos-ngosan keluar dari dalam rumah. Karena saking paniknya, dia tidak bisa melihat batu besar di depannya. Membuat kakinya tersandung dan jatuh menggelinding di rerumputan. “Hiks
Satu tahun lalu Gadis berkerudung itu keluar kamar. Matanya terbelalak melihat sang suami meletakkan kepalanya di atas meja. Membuatnya menghelai nafas panjang. Hafal dengan kelakuan suaminya satu ini. “Ngapain tidur di meja?”Pria itu mengangkat miring kepalanya. Membuat satu matanya memandang Afura. “Laper!”“Kalau lapar, ya makan dong!” Abizar memonyongkan bibir seperti ada satu permintaan tidak tersirat. “Yaudah, aku ngambilin.” Afura dengan cekatan mengambil piring di rak dapur. Menuangkan nasi dan lauk pauk di atasnya. “Ini di makan.” “Suapin.” “Suamiku manjang banget,” omel Afura tapi tetap menyuapi suaminya. Melihat tingkah pria itu membuatnya gemas. Saat Istrinya menyuapi sesendok nasi dan lauk. Pria itu mengeluarkan ponsel. Membuka WA ataupun Ig. Lalu Afura mengambil ponselnya. Mengatakan bahwa tidak bagus makan sambil main ponsel. “Iya, Habibii.” Kata sayang dalam bahasa Arab. “G
Selesai Salat Subuh, Abah mengiring putranya duduk di depan teras masjid. Melihat para santri satu persatu keluar dari masjid dengan berlari. Di pagi hari, ada kewajiban bagi santri untuk belajar di luar Asrama. Jadi seluruh santri cepat-cepat berlari agar tidak telat belajar. Jika telat, ada bagian pengajaran yang menghukum mereka. “Man Jadda, wa Jadda!” teriak salah satu santri menggema di tengah-tengah lapangan. “Fakkir Kobla…” timpal santri lain membuat suasana pondok ramai dengan hafal-hafalan. Abah menatap putranya. “Bagaimana Le, hubunganmu dengan istrimu.” “Baik-baik saja Bah!” “Bohong! Matamu jelas mengatakan hal lain.” “Wajar Bah, kalau hubunganku dengannya itu nggak baik-baik saja. Aku juga nggak kenal dia Bah.” “Dia istrimu Le, coba kamu belajar untuk menerima semuanya.” “Semua ini seperti mimpi Bah. Tiba-tiba aku punya istri yang sama sekali nggak aku ke
Hari ini adalah hari pertama Afura kembali mengajar di pondok sebagai Ustadzah pembimbing. Para santri menyambutnya dengan penuh antusias. “Alhamdulilah… Ustadzah Afura kembali ngajar.” “Maaf, kemarin Ustadzah lagi sibu.” “Hmm… hmm… sibuk berduaan sama Ustadz Abizar,” bisik Hanina, Ustadzah yang sudah mengabdi 2 tahun.Afura hanya membalas dengan tatapan melotot kemudian menyuruh Santriwati berkerudung putih senada masuk ke dalam ruang komputer. Menyuruh mereka memakai earphone yang sudah tersambung dengan kom
[Beberapa Tahun Lalu]Mobil taksi berwarna biru itu berhenti di depan perkarangan rumah Belanda. Dengan tergesa-gesa seorang pria keluar dari dalam taksi sambil menyeret koper dan mengenggam erat selembar kertas. Senyum mengembang di bibirnya saat menarik koper menuju rumah belanda itu. “Assalamualaikum!” teriak Pria bertubuh bongsor. Rambut di potong rapi. Dengan kemeja kotak-kotak.Dua jam berdiri di depan rumah pujaan hati. Tapi sayang, pemilik rumah tidak kunjung menyahut panggilannya. Membuat hatinya risau. Tiba-tiba terdengar suara motor matic memasuki perkarangan. Membuatnya langsung menoleh kebelakang. “Alhamdulilah aku bisa ketemu kamu.” Salman buru
“Tresha!” panggil Abizar keras dan menarik istrinya menjauh dari para santri. “Mas Abi!” “Kalian nggak papa?” “Nggak papa Ustadz,” jawabnya judes. “Maafin Istri saya.” Lalu kemudian Abizar membawa istrinya pergi dengan wajah masam. “Mas, aku bisa jelasin. Dia yang bikin aku kayak gini. Masak aku di katain pelakor.” “Aku paham, tapi tolong jaga sikapmu di pondok. Ini pondok loh!” “Iya-iya Mas.”Berita tentang pertengkaran santri dan istri ustadz menjadi heboh. Membuat semua santri menjadikan topic hangat. Karena ada scandal itu, membuat para santri membenci Abizar dan juga Tresha. Dan mereka menyayangkan Afura pergi.**** Hari itu Abizar bersiap-siap berangkat ke Madura karena ada saudara di sana yang menikah. Dan keluarga besar Abah di undang. Abizar menghelai nafas panjang saat membuka tudung saji. Hanya ada roti dan selai c
Pagi itu Afura pergi periksa kandungan bersama ibunya. Di pertengahan jalan, becak yang di tumpanginya bocor. Membuatnya menunggu lebih dari 20 menit di pinggir jalan. Cuaca hari itu sungguh panas menyengat. “Kamu nggak Papa Nduk, atau mau ibu telefonkan kakakmu.” “Udah Bu, nggak papa. Kalau nelefon kakak kasihan ganggu dia kerja.” “Tapi kamu…” “Udah Bu, aku nggak papa.”Tiba-tiba sebuah mobil menepi di dekat Afura. Membuat dahi ibu dan Afura menyeringat karena heran.Seorang pria keluar dari mobil. “Assalamualaikum Ibu!” Salman menyalimi Ibu Delisa.&n
“Sayang!” panggil Abizar yang langsung melepaskan tangan Tresha yang merangkulnya. “Akhirnya kamu pulang.” Dengan kaki agak pincang Abizar hendak memeluk kembali istri tercintanya itu.Afura langsung menepis tangan sang suami. Terlihat gerut kekecewaan tergambar di wajar pria itu. “Maaf Mas, ke sini aku hanya ingin mengambil barang-barangku.” “Apa kamu mau meninggalkanku lagi?” “Seperti, kamu sudah nggak butuh aku lagi.” Afura melirik Tresha, menandakan bahwa tugasnya sebagai seorang istri sudah di gantikannya. “Tapi Sayang…” “Secepatnya kita urus surat perceraiannya Mas.” Satu ucapan menyakitkan meluncur di mulut mungilnya. “Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu.”Afura mendekat menarik sedikit kerah baju suaminya. “Jangan egois Mas, kamu harus memilih di antara aku atau dia. Jika kamu nggak mau milih, lebih baik aku ngalah saja Mas.”Bruk!Afura menutup pintu keras, air mata tiba-
Bu Delisa duduk di pinggir ranjang dengan tangan bergetar. Sambil memegang benda pipih itu. Benda yang membuatnya takut. “Ibu kenapa?” tanya Afura yang langsung bersimpuh ke ibunya.Tanpa kata, Bu Delisa menodongkan test bergaris dua. “Apa ini?” Afura hanya menunduk tanpa bisa berkata apa-apa. Mulutnya benar-benar kelu. “Bagaimana kamu bisa menceraikan lelaki itu. Jika kamu masih hamil?” “Bu, sebenarnya aku masih bingung apa yang harus kupilih.” &l
“Assalamualaikum! Aku Cuma pulang bentar ngambil dompet.” Bondan masuk ke dalam rumah bergegas kekamar, mengambil dompet. Samar-samar dia mendengar suara isak tangis di kamar adiknya. Dia melangkah kearah sumber suara. “Ada apa?” Mata Bondan terbelalak melihat adik dan ibunya menangis sambil berpelukan. “Jawab Bu, ada apa ini?” tanya Bondan sekian kali sambil menggoyangkan tubuh ibunya. Dia khawatir dengan ibu dan adiknya. “Gu..z ma..” “Yang jelas Bu.”&nbs
Flash back 5 bulan laluMelihat kedekatan Afura dan Abizar yang semakin lengkat membuatnya kesal. Dia berusaha untuk memanipulasi Afura tapi gagal. Beberapa cara dia kerahkan seperti membuat makanan untuk Abizar tapi semuanya gagal. “Semua ini karena ada Zahra di rumah itu. Tapi lihat saja, Zahra bahkan tidak akan bisa melawanku,” batinnya. Dia mencoba sabar di perlakukan Zahra semena-mena. Melihat kemesraan Abizar dan Afura yang semakin menjadi-jadi. “Sial, kenapa mereka sulit banget di pisahin sih!” Hingga suatu hari saat dia pulang
“Sudah aku bilang, jangan keluar-keluar kalau nggak sama Mbak Zahra atau anak pondok.” Abizar meletakkan istri di pinggir ranjang. Pelan-pelan mengangkat kaki istrinya di atas kasur dan mensejajarkan kakinya dengan lurus di atas kasur. “Kan, aku ada urusan mendadak. “ “Kamu bisa telefon Mas, kalau ada urusan mendadak. Insya’Allah, kalau bisa Mas langsung pulang.” “Aku nggak mau ngerepotin Mas Abi kalau sibuk.” “Aku suamimu, dan rela di re
Keluar dari kelas sembilan wajah Afura di tekuk sepanjanh hari. Zahra yang melihatnga dari jauh terheran-heran."Kenapa sih, adek iparku di tekuk wajahnya. Nggak di kasih jatah mbak.""Apaan sih mbak.""Terus kenapa?""Nggak kenapa-kenapa. Mbak Tresha aja yang perasaan." Alasanya. "Oh iya, Akbar sam Uqik di mana?""Paling main sama Mbak-Mbak pondok.""Oalah, jadi ibunya bisa santai ya.""Ya iya dong.""Waduh."Mereka kembali ke rumah Umi Ima, karena beberapa hari kedepan Abizar ijin keluar kota. Jadinya, Afura tinggal di rumah Umi."Cerita dong!" Mbak Zahra lagi- lagi memaksa."Nggak papa Mbak.""Bohong!""Mbak, janji nggak bakal bilang siapa-siapa."Afura terdiam sejenak, sambil menatap mata Mbak Zahra yabg tampak menunggu jawaban dari adik iparnya."Kok, aku ngerasa akhir-akh
Hubungan rumah tangga Afura dan Abizar seperti pasangan yang saling mencintai satu sama lain. Abizar nggak bisa jauh-jauh dari Afura dan sebaliknya. Hingga suatu sore, terdengar kabar tidak mengenakan dari Tresha. Suaminya datang ke pondok, mengobrak-ngabrik pondok bersama anak buahnya. “Mana istriku!” teriak Leon, pria keturunan china dengan kepala plontos dan perut sedikit buncit. “Leon!” “Kau di sini rupanya! “ Menghampiri Tresha dan menariknya kasar.Afura yang melihatnya panik, langsung menahan tubuh Tresha. “Jangan bawa dia!”