"Maaf, Pak, Buk."Pak Haji Imran dan Bu Halimah kehabisan kata-kata. Keduanya menatap Farrel dengan tatapan kecewa, marah, dan sedih. Kejujuran dari sang anak jelas menamparnya. Bagaimana tidak? Pak Haji Imran dan Bu Halimah orang yang sangat dihormati sebagai pasangan yang paham agama. Pengakuan Farrel yang terlibat kejahatan dengan cara memberikan ide pada Sigit, menyewa preman untuk memperkosa Karina, terasa seperti bom meledak di dekat telinga keduanya.Telapak tangan Pak Haji Imran terkepal kuat di atas meja. Farrel, si pemuda nyentrik dengan ciri khas rambut biru, dengan kedua anting kecil terpasang di telinganya itu, menunduk dalam.Di depan musuhnya dia garang. Di tengah gengnya dia disegani. Namun, sekarang di hadapan orang tuanya tak lebih dari anak ayam yang bertemu musang pemangsa. Nyalinya langsung ciut. Hanya ekor matanya melirik gerak-gerik sang ayah.Farrel berucap sangat lirih, "Maaf, Pak." Hanya kata itu yang berani dia ucapkan.Bu Halimah memijit kening. "Astaghfiru
"Banuuuu! Farreeeelll!!" teriak Danang dengan ketakutan.Keringat dingin membasahi wajah Danang. Pemuda itu duduk sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal.Gelas di tangan Bu Ningsih mendadak jatuh ke lantai semen di ruang dapur yang luas itu. Wanita sepuh itu tertegun, meyakinkan pendengarannya. Dia mencubit lengannya sendiri. Terasa sakit. Bergegas, dia kembali memasuki kamar sang anak, mengabaikan beling-beling yang berserakan di lantai.Sesampai di ambang pintu yang hanya tertutup gorden, Bu Ningsih dibuat terpaku beberapa detik. Mulutnya menganga dan tanpa bicara apa pun, Bu Ningsih menghambur ke pelukan anaknya."Danang, anakku. Alhamdulilah, ya Rabb. Kamu bangun, Le, kamu bangun!" pekiknya sambil menumpahkan air mata.Danang masih diam terpaku. Dirinya seolah baru keluar dari tempat yang gelap, sunyi, dan tidak ada kehidupan.Tangannya yang agak kurus bergerak membalas pelukan sang ibu. Sekali lagi, Bu Ningsih tertegun. Dia mengikuti arah gerakan tangan Danang di bahunya.
"Banuuuu!!""Astaghfirullah, Ndul!"Suara hantaman dua sepeda motor itu terdengar begitu keras. Disusul dua sosok tubuh yang terpental. Farrel, Vio, dan Dino terperangah. Ketiganya kompak melompat dari motornya dan berlari mendekat. Teriakan histeris keluar dari mulut ketiga pemuda itu."Banu! Bangun Nyet, bangun! Astaghfirullah!" pekik Farrel sembari mendekap tubuh Banu.Vio mendekat ke arah korban yang lain. Dia menempelkan dua jarinya di leher dan bergantian ke nadi pemuda yang meringkuk di aspal itu.Selanjutnya, Vio menggeleng pelan sambil berbisik lirih, "Innalillahi wa innailaihi roji'uun." Vio melepaskan tangannya dari tubuh pemuda tanggung tersebut."Arrrgh! Ya Allah!" teriak Vio.Mobil polisi berhenti tepat di samping tubuh Banu yang berada di pelukan Farrel. Pemuda itu melepaskan helm yang melindungi kepala Banu dengan hati-hati.Farrel mendekatkan bibirnya ke telinga Banu. "Nu, bangunlah. Bukankah kamu akan melindungi Nur, Nu. Kamu bertahan, ya," bisiknya tepat di depan tel
"Dasar pengikut iblis! Bertobatlah Sutoro!" teriak Farrel lagi."Mas, sudah, sudah!" Farrel menoleh sekilas pada Bintang yang masih setia memeganginya. Lalu, tatapan Farrel kembali tertuju pada makhluk hidup bertubuh gempal, bernama Sutoro itu.Wajah Kepala Desa Karanglor tersebut babak belur menjadi bulan-bulanan Farrel. Laki-laki tua itu tidak peduli akan wajahnya yang penuh memar. Yang dia pedulikan hanya bagaimana caranya, mengembalikan nama baik yang sudah hancur di tangan pemuda slengekan macam Farrel Eka Alamsyah.Kepercayaan masyarakat pada Sutoro mulai luntur. Mereka menyadari, kebaikan yang selama ini ditunjukkan kepala desa itu, tidak lebih hanyalah kamuflase. Semua orang terbuka matanya saat itu juga."Huuu! Dasar munafik. Astaghfirullah, nggak nyangka!""Untung cepat ketahuan, ya?""Iya, pantas saja, dia sugeh ora umum!"Di setiap tempat, Pak Sutoro menjadi bahan ghibahan. Warga Desa Karanglor protes. Hari ini juga, laki-laki kaya raya itu diminta mundur dari jabatannya s
Di antara kesadarannya yang semakin menurun, Nuraini merasakan tubuhnya diangkat, lalu dimasukkan ke mobil. Samar terdengar suara laki-laki dan perempuan yang tidak asing. Akan tetapi, dia tidak sanggup menggerakkan anggota tubuhnya. Gadis itu hanya pasrah tidak tahu bagaimana nasibnya berakhir.Di tempat lain...Bintang menjadi orang pertama yang membaca pesan di grup dari Nur. Bintang bergegas menuju ke tempat gadis itu terakhir kali menghubunginya. Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dia memanggil Nur berkali-kali, tetapi tidak mendapati keberadaan gadis itu. Bintang memperhatikan motor dan barang-barang Nur yang tergeletak di samping motor. "Pak Bintang, di mana Nur?" tanya Sigit yang turun tergesa dari motornya. Bintang menoleh ke arah sumber suara, dia menatap sebentar pada Sigit. Bintang menarik napas panjang, lalu menggeleng lemah.Sigit ikut memperhatikan barang-barang milik Nur. "Nuraini tadi meminta tolong ke saya," jelasnya sambil menunjukkan chat dari gadi
Vio menyenggol lengan Danang sambil menunjuk ke arah Farrel dengan dagunya. Danang hanya menggeleng samar. Dia hendak mendekat ke arah Farrel, tetapi langsung ditahan oleh Dino."Jangan ganggu dia dulu, Nyet!"Danang menatap protes temannya itu. "Tapi Din, sampai kapan kita akan lihat dia kacau seperti ini? Dia sudah berjanji nggak akan mendem, tapi kenapa dia teler seperti itu?" Danang mendengus jengkel. "Dia akan baik-baik saja. Nanti kalau dia sudah nggak ingat apa-apa, kita bawa pulang. Sekarang kita lihat saja dulu." Kembali Dino memberikan nasihat pada Danang.Ketiganya hanya bisa menatap miris pada Farrel yang sudah menghabiskan satu botol minuman beralkohol. Farrel kembali menyalahkan dirinya sendiri atas kepergian Nur sejak dua hari lalu. Pemuda itu menyesali karena tidak membaca pesan di grup chat.Walaupun Bintang dan Sigit sudah berusaha lebih dahulu mencari keberadaan gadis itu, tetapi tetap saja Farrel menyalahkan dirinya lagi.Farrel hendak kembali meraih satu botol min
"Buka pintunya! Buka!'' Salah satu dari mereka menggedor kaca pintu mobil. "Cepat buka!" teriak orang dengan wajah tertutup itu.Sigit bergeming dan berniat menabrakkan mobilnya ke arah dua motor di depan sana.Farrel yang terbangun menoleh ke samping dengan tatapan bertanya. Pemuda itu mengusap-usap matanya dengan pandangan menyipit karena cahaya lampu motor yang menyilaukan."Ada apa sih ini, Git? Siapa mereka?'' tanyanya bingung."Nggak tahu, Rel.""Bangsat, pasti ulah mereka!" umpat Farrel sambil memijit pelipisnya yang berdenyut pusing. Farrel segera membuka pintu mobil tanpa bisa dicegah oleh Sigit. Tidak ada pilihan bagi Sigit kecuali ikut turun dan menghadapi mereka.Kini, kedua pemuda itu telah berjibaku menghadapi lima orang bersenjata tajam. Farrel yang setengah mabuk, tampak kesulitan menghadapi dua orang yang bertubuh lebih besar darinya. Begitu pun dengan Sigit. Walaupun dia menguasai beberapa teknik bela diri, laki-laki itu berkali-kali terdesak mundur. Sigit tak sejag
Desa Karanglor kembali gempar. Mereka dibuat penasaran dengan ditundanya acara lomba yang telah disusun rapi jauh-jauh hari. Penundaan yang tiba-tiba meskipun atas kesepakatan bersama, memang sangat mengecewakan beberapa pihak yang ikut berpartisipasi. Akan tetapi, mereka tidak tahu ada alasan apa di balik penundaan tersebut. Kini, masyarakat dibuat terkejut dengan menghilangnya si kecil Rafli di sekolahan.Sigit yang meyakini jika Rafli menghilang karena ulah para pengikut Mbah Kukus, langsung mendatangi rumah Pak Narso. Beberapa ketukan dan gedoran tak membuat pemilik rumah membuka pintu. Akhirnya, Sigit mendobrak pintu kayu sederhana itu.Brak!"Lek, keluar, Lek!" teriaknya dari satu ruangan ke ruangan lain.Sementara itu Danang mencari keberadaan Pak Narso dan Bu Sayuti di luar rumah. Dia mengumpat geram karena tak mendapati keberadaan kedua orang itu."Sialan, pasti mereka ikut kabur juga!" geramnya dengan kedua tangan terkepal kuat. "Git, ada nggak mereka?" teriak Danang dari lua