Desa Karanglor kembali gempar. Mereka dibuat penasaran dengan ditundanya acara lomba yang telah disusun rapi jauh-jauh hari. Penundaan yang tiba-tiba meskipun atas kesepakatan bersama, memang sangat mengecewakan beberapa pihak yang ikut berpartisipasi. Akan tetapi, mereka tidak tahu ada alasan apa di balik penundaan tersebut. Kini, masyarakat dibuat terkejut dengan menghilangnya si kecil Rafli di sekolahan.Sigit yang meyakini jika Rafli menghilang karena ulah para pengikut Mbah Kukus, langsung mendatangi rumah Pak Narso. Beberapa ketukan dan gedoran tak membuat pemilik rumah membuka pintu. Akhirnya, Sigit mendobrak pintu kayu sederhana itu.Brak!"Lek, keluar, Lek!" teriaknya dari satu ruangan ke ruangan lain.Sementara itu Danang mencari keberadaan Pak Narso dan Bu Sayuti di luar rumah. Dia mengumpat geram karena tak mendapati keberadaan kedua orang itu."Sialan, pasti mereka ikut kabur juga!" geramnya dengan kedua tangan terkepal kuat. "Git, ada nggak mereka?" teriak Danang dari lua
Sebelum jam sepuluh malam, tim Bintang sudah berada di kaki Gunung Kemukus. Mereka bersembunyi di balik semak-semak. Suasana binatang malam yang berbunyi bersautan dari atas sana menambah suasana mencekam. Tak ada suara yang keluar dari bibir mereka kecuali gumaman do'a. Ini adalah untuk pertama kalinya bagi Bintang bertugas menghadapi musuh tak kasat mata. Laki-laki itu berkali-kali memejamkan mata sembari mempertajam pendengaran."Bin, kamu dengar suara apa itu?" bisik salah satu temannya yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Bintang.Mereka terdiam begitu mendengar suara tawa seorang perempuan lalu disusul suara tangisan pilu meminta tolong. Kemudian ada lagi suara-suara aneh. Tetapi, mereka berusaha tidak mempedulikan.Bintang mendekatkan wajahnya ke telinga laki-laki yang berada di sampingnya. "Abaikan suara apa pun. Walaupun itu suara Mas Farrel, Nur, atau tangisan Rafli. Ngerti? Ingat pesan Kyai Sekayu," bisiknya.Laki-laki di samping Bintang mengangguk tegas."Siap!" jawabnya
Bugh!Hantaman batu mengenai kepala laki-laki bertubuh besar itu dan membuatnya tersungkur.Laki-laki bertubuh tinggi besar itu mengerang kesakitan. Kedua tangannya memegangi kepalanya yang berdarah. Farrel tersenyum miring dan mencengkeram leher laki-laki yang kesakitan itu.Bugh!Bugh!Satu, dua, dan empat pukulan didaratkan bertubi-tubi ke wajah laki-laki itu. Belum puas, Farrel memberikan tendangan ke perut laki-laki tersebut dan mendorongnya kuat. Laki-laki itu pun kembali tersungkur mencium tanah berbatu dan tak sadarkan diri.Farrel menatap Nur yang masih bersembunyi di balik batu. Dia memberikan isyarat pada gadis itu untuk mengendap keluar. Dua kakinya baru menginjak rumput, sebuah suara mengejek sontak menghentikan langkahnya."Ha ha ha! Silakan kabur, kalau kamu ingin kabur. Kami akan membunuh Farrel!" ancam suara itu. Nur menoleh pada Farrel yang berdiri di belakangnya.Farrel menggeleng samar memberikan isyarat seolah mengatakan, "Jangan hiraukan, Nur. Pergi, bawa Rafli!"
Farrel tidak punya tenaga lagi untuk melawan anak buah Karina. Pemuda itu terlihat kelelahan. Dia benar-benar tidak berdaya. Farrel telah bertarung dengan tiga orang bersenjata bertubuh lebih besar darinya. Selama dalam gua, Farrel tidak menyentuh makanan apa pun. Dirinya dan Nur hanya minum air di dalam gua.Melihat lawannya tak berdaya Karin tersenyum puas. Dia mengamati benda di tangannya, sembari menyeringai seperti iblis. "Astaga, jagoan itu ternyata ajalnya lebih dekat dari perkiraan. Selamat jalan, sahabat pengkhianat!" desis Karina.Klik!Sebuah pisau lipat. Farrel tersentak disusul rasa nyeri yang luar biasa di perutnya. Beberapa detik kemudian, suara tawa Karina dan kedua orang suruhannya tidak terdengar lagi. Semua berubah gelap. Manusia berhati iblis berwujud Karina itu masih tertawa terbahak.Dia menatap bengis pada kedua laki-laki bertubuh besar itu. "Lempar dia ke sungai itu!" perintahnya tak ingin dibantah.Karina kembali terbahak puas. Kini, tuntas sudah dendamnya pad
Karin dan Trisna tak bisa mundur lagi. Di belakang mereka, ada jurang terjal penuh bebatuan. Sigit mendekat sambil menyunggingkan senyum mengejek."Berakhir sudah petualangan kalian, biadab!" ucap laki-laki itu di samping telinga Karin.Gadis itu menatap mata Sigit dengan ketakutan juga kebencian. "Aku nggak takut masuk penjara. Yang penting, Farrel sekarang sudah bertemu dengan Tuhan. Ha ha ha! Jadi, aku akan habiskan hidupku di penjara juga nggak masalah. Bersamamu, Git!" ucapnya frustasi."Apa maksudmu?" sentak Sigit dengan rahang mengeras."Aku sudah membunuh temanmu itu, Git. Maaf, mungkin kamu juga ikut nyusul dia, ya!" Karina tersenyum miring dan melirik ke arah Trisna.Trisna mengedipkan sebelah matanya. Dengan gerakan cepat dia mencengkeram kerah baju Sigit. Kini posisi kedua orang itu di pinggir jurang. Sedangkan polisi yang berdiri di depan mereka tampak waspada dan tidak ingin membuat kesalahan yang berakibat fatal pada ketiga orang itu.Sigit melirik ke arah bawah sana, ju
"Berhenti! Aku bilang serahkan dia! Kami dari kepolisian, tempat ini sudah kami kepung!" Bintang kembali memperingatkan.Laki-laki itu melirik ke arah semak-semak. Benar saja, ada dua polisi yang mengarahkan senjata padanya. Dia menatap Bintang dan kedua temannya yang tengah mengacungkan senjata kepadanya. Keringat dingin membasahi tubuh lelaki itu."Cepat, serahkan anak itu pada kami!" sentak Bintang lagi lebih tegas.Laki-laki itu terlihat bingung dan mendongak ke arah sana. Terdengar suara gamelan yang mengalun membuyarkan konsentrasinya. Bintang dan kedua temannya tak ingin hanyut dalam suara gamelan itu.Karena menurut penuturan Kyai Sekayu, suara gamelan itu memiliki daya hipnotis. Orang yang mendengarkan dengan seksama bisa-bisa masuk ke alam mereka. Maka dari itu, tiga orang yang bertugas di situ memilih selalu berzikir supaya konsentrasi mereka tidak terpecah.Rafli menggeliat tidak nyaman. Bocah itu pun membuka matanya. Dia menatap bingung pada orang-orang yang ada di sekitar
"Ya Allah, lahaula walaquwata illabillah!"Ketiga orang itu terus menggumamkan kalimatullah. Apa yang mereka lihat benar-benar mengerikan. Tidak pernah terbersit sedikit pun meski dalam mimpi, mereka akan melihat kejadian seperti ini.Mbah Kukus masih mengamuk membanting dan menyiksa tubuh Sutoro. Iblis itu sangat marah karena apa yang diinginkan tak terpenuhi. Semua persembahan yang diinginkan tak bisa diberikan. Iblis itu juga tidak mampu menembus tempat di mana Bintang dan teman-temannya berada. Karena daerah di luar Gerbang Bambu Kuning bukan lagi daerah kekuasaannya."Haaarrrggh!" Sekarang, Sutoro tak ubahnya seperti seekor tikus yang dililit oleh ular raksasa. Tidak berdaya, bahkan untuk bernapas saja tidak bisa. Sutoro tidak punya waktu untuk bertaubat. Kini, kematian dengan dirinya hanya berjarak antara kulit dan daging.Sutoro teringat ambisinya dalam mengumpulkan harta dengan jalan yang salah dan kejam. Dia menatap pilu pada orang-orang yang berdiri di samping tubuhnya yang
Menjelang siang, petugas pemakaman di Desa Karanglor begitu sibuk. Mereka menyiapkan dua makam untuk Trisna dan Karina secara bersamaan.Namun, tidak seperti pemakaman orang pada umumnya, kali ini tidak ada satu pun penduduk desa yang mau datang. Mereka merasa muak dan jijik dengan perilaku kedua orang tersebut semasa hidupnya. Apalagi belum ada kabar apa-apa mengenai keberadaan Farrel."Ora sudi taziah. Ngapain, wong jahat wae. Ayu-ayu tapi koyo iblis!" ( Tidak mau taziah. Ngapain orang jahat, saja. Cantik-cantik tapi seperti iblis) Ucapan seperti itu hampir terdengar di setiap tempat. Mereka tidak menyangka jika Karin begitu jahat sama seperti ayahnya."Dasar perempuan iblis! Biar masuk neraka sana! Bisa-bisanya dia hendak membunuh anakku. Cinta ditolak kok jadi bar-bar!" cibir Bu Marni geram karena sampai sekarang Sigit masih belum sadarkan diri di rumah sakit.Sangat miris. Pemakaman Karina dan Trisna hanya dihadiri orang-orang dari petugas pemakaman dan saudara mereka saja. Seoran