Semakin mendekati akad nikahku dengan Mas Malik, keraguan kembali hadir menggangu pikiran. Aku sampai tidak bisa tidur nyenyak hingga kesehatan menjadi terganggu. Aku merasa ada yang dia sembunyikan.
Entahlah. Semakin dipikirkan, kepala ini malah semakin sakit. Terlebih lagi, aku tidak berani bertanya karena takut menyinggung perasaannya.
Sakit kepalaku semakin menjadi sejak mimpi buruk kembali hadir mengusik ketenangan. Tak hanya itu, tapi sering muncul sekelebatan bayangan aku tengah bersama laki-laki, tapi tidak jelas seperti apa rupanya.
Mungkinkah itu wajah Mas Fandi atau Mas Malik?
Sayang, semakin mencoba mengingatnya, malah membuatku semakin tertekan dan stress. Aku frustasi sendiri. Terlebih lagi, Mas Fandi tak pernah sekali pun mengirim pesan atau menghubungi.
Jangan lupa dukung cerita ini dengan memberikan vote kalian. Terima kasih banyak.
Sebulan telah berlalu sejak hari di mana terukir sejarah manis untuk Karin, tapi pahit untukku. Kini, wanita berhati lembut itu telah berbahagia dengan pasangan baru, sedangkan diri ini masih merana. Meratapi kebodohan yang membuatku harus kehilangan berlian indah. Sesal ini tak bertepi karena Karin takkan pernah kembali di hidupku. Kondisi kakiku sudah membaik. Akan tetapi, sesekali masih harus melakukan pengecekan dan terapi. Dokter juga melarang mengangkat beban berat yang mengharuskan bertumpu kuat pada kaki. Ekonomi semakin memburuk, sedangkan hidup harus terus berjalan. Aku berusaha mencari pekerjaan ke sana-kemari, tapi belum juga berhasil. Kemarin sempat pergi ke alamat kantor yang diberikan Anthony. Katanya, di sana sedang buka lowongan untuk staf baru. Sayang seribu sayang, aku ditolak karena saingan yang lebih tinggi pendidikannya dan lebih banyak pengalaman.
Aku tengah duduk di ayunan besi bersama Kamal, saat tiba-tiba setangkai mawar terulur padaku dari belakang. Senyum ini langsung merekah saat menghidu aroma maskulin yang sangat kusuka darinya."Mas ...." Aku menoleh, tersenyum. Begitu juga dengan Mas Fandi."Assalamu'alaikum, Bidadariku," salamnya, lalu mengecup pipiku dan kepala Kamal yang ada di pangkuan."Wa'alaikumsalam," sahutku sembari menerima bunga pemberiannya. "Mas datang dari tadi?" tanyaku saat menyadari dia sudah berganti pakaian santai."Hem, lumayan. Lima belas menitan yang lalu." Mas Fandi mengitari ayunan, lalu ikut duduk di sampingku. Mengambil Kamal dan memindahkan ke pangkuannya."Papapapa," celoteh Kamal sembari menepuk-nepuk pipinya.Mas Fandi tertawa saat melihat putra kami meniup-niup udara sampai bibirnya bergetar. Dengan gemasnya dia
~MALIK~🌸🌸🌸Aku yang masih berada di bengkel mendapatkan panggilan dari Fandi. Dia memberitahu kalau sekarang tengah dalam perjalanan menuju rumahnya Ayu bersama Karin. Lekas kutinggalkan motor yang masih di periksa dan bergegas menyusul keduanya ke sana.Bertepatan dengan aku yang turun dari ojek, mobil Fandi pun baru tiba di sana. Keduanya kompak melempar senyum ramah seraya berjalan mendekat. Melihatku, Kamal langsung meronta-ronta dari gendongan Karin dengan tangannya yang terjulur ke arahku."Kangen papanya dia," ujar Fandi sembari tersenyum."Jagoan papa. Sini," ucapku seraya mengambilnya dari gendongan Karin. Mencium kedua pipinya berkali-kali hingga dia tertawa geli. "Maaf, ya, Jagoan. Seminggu ini papa nggak datang," ucapku seraya mengusap kepalanya. "Ayo kita masuk!"&nb
~KARIN~ 🌸🌸🌸 Terkadang, dalam hidup kita tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Bahkan, kisah hidup kadang tak sejalan dengan impian. Tak jarang kita melepas sesuatu yang berharga dan baru menyesal setelah kehilangan. Sebenarnya, kita tidak pernah kehilangan apa pun dalam hidup. Mungkin saja semua itu ditukar atau diganti dengan sesuatu yang lebih indah. Seperti kisah hidupku sekarang. Aku pernah kehilangan pria yang sangat kucintai, tapi lihatlah sekarang. Aku mendapatkan pria yang jauh berkali-kali lipat lebih baik dan tahu bagaimana menghargai pasangan. Tak perlu kita menyesal apa yang terjadi dalam hidup karena itu semua sudah menjadi skenario-Nya. Begitu juga dengan yang tengah dialami Ayu sekarang. Dia mungkin kehilangan dua orang yang p
~MALIK~ 🌸🌸🌸 Aku tersenyum melihat interaksi Fandi dan Karin yang romantis. Ikut merasakan bahagia meski tak kupungkiri cemburu itu masih ada. Keduanya menoleh saat aku memanggil untuk berpamitan pulang. Sempat kulambaikan tangan yang dibalas Fandi dengan melambaikan tangan mungil Kamal. Ketiganya benar-benar terlihat serasi dan harmonis. Gambaran keluarga bahagia yang tak Karin dapatkan saat bersamaku dulu. Motor melaju sedang membelah keramaian jalanan. Sempat terbayang adegan ketiganya tadi seolah Fandi berubah menjadi diriku. Aku tersenyum, menggeleng cepat demi mengusir pikiran yang sempat melintas itu. Karin sudah bahagia ... itu yang terpenting sekarang. Kuhembuskan napas panjang saat sesak kembali mendera. Susah sekali melupa
~KARIN~🌸🌸🌸Tak pernah diduga berita duka itu akan datang pagi ini. Aku yang tengah menyiapkan sarapan dibantu Bi Wati, seketika syok saat mendengar kabar dari Mas Malik bahwa Mama meninggal. Beliau memang lumpuh, tapi kondisi fisiknya sehat. Tak kusangka beliau akan pergi secepat ini. Sudah pasti Mas Malik terpukul berat. Bisa terdengar dari bagaimana dia menangis tadi.Aku dan Mas Fandi bergegas ke sana. Kamal yang masih tertidur pulas pun terpaksa dibangunkan. Hanya diganti pakaiannya tanpa mandi terlebih dahulu. Sepanjang perjalanan, aku masih tak bisa berhenti menitikkan air mata meski Mas Fandi berusaha menenangkan.Kilas balik hubungan kami kembali hadir satu per satu memenuhi kepala. Beliau memang tak pernah sekali pun bersikap baik, tapi tak pernah aku menyimpan dendam. Meski beliau tak pernah menerima diri ini sebagai menantu, ta
~KARIN~ 🌸🌸🌸🌸 Aku tertegun melihat wanita dengan pakaian celana jeans ketat dan atasan polos yang dibalut dengan cardigan. Bukan hanya itu yang membuatku terkejut, tapi luka lebam di wajahnya . "Maaf, siapa, ya?" tanyaku lembut. "Ini rumahnya Fandi?" Wanita itu bertanya balik. "Fandi?" "Iya. Fandi Setiawan." "Benar. Kamu ada perlu apa mencari suamiku?" "Em, boleh aku masuk dulu?" "Oh ... iya, iya. Silakan masuk," ucapku meski sempat sedikit bingung. Ayu yang sedang duduk di karpet bersama Kamal, seketika menatap pada kami yang berjalan beriringan. "Duduklah,"
~Malik~🌸🌸🌸Kehidupan perekenomian kami semakin membaik sejak aku bekerja di perusahaan papanya Ayu. Sayang, Mama tidak bisa ikut menikmati karena sudah lebih dulu dipanggil saat keadaan ekonomi masih terpuruk. Aku pun kini bisa kembali memiliki mobil meskipun hanya mobil second.Sejak kepergian Mama, Papa jadi lebih pendiam. Beliau sering terlihat merenung sendiri dan lebih sering sakit-sakitan. Hal itu sungguh membuat khawatir. Ketika kuceritakan ini pada Fandi dan Karin, dengan baiknya mereka sering datang berkunjung membawa Kamal untuk menghiburnya.Malam ini, aku diminta datang ke rumah Om Prambudi untuk membicarakan sesuatu. Entah apa. Mungkin masalah pekerjaan di perusahaan. Bergegas aku turun setelah berganti pakaian."Pah," panggilku, tapi Papa tak menjawab. Matanya memandang lurus ke layar televisi, ent
Seminggu setelah penolakan lamaran itu, aku masih merasakan sedih dan kecewa. Namun, perasaan itu tidak kutunjukkan pada siapa pun termasuk pada Papa. Naila pun bekerja seperti biasa setelah sempat izin dua hari. Aku masih tidak menyerah mendekatinya. Dia masih sering kupanggil ke ruangan untuk mengerjakan tugas kecil hanya agar bisa melihatnya lebih leluasa.Hingga pada akhirnya, kesabaran dan doaku membuahkan hasil. Tiba-tiba Naila datang ke ruangan dan mengatakan sesuatu yang tidak diduga-duga. Dia menerima lamaranku yang membuat senyum bahagia langsung merekah menghiasi wajah ini. Papa dan kedua adikku pun turut senang dan dengan semangatnya membantu mempersiapkan pernikahan kami.Kami juga meminta alamat adik dari mendiang ayahnya, dan akan menjemput dia nanti untuk menjadi wali nikah."Ciee, yang sebentar lagi jadi peng
POV KAMAL🍁🍁🍁Semakin hari, ketertarikanku pada Naila semakin nyata. Diam-diam aku sering memperhatikan dari kejauhan. Bahkan terkadang memanggilnya ke ruangan hanya untuk alasan yang tidak terlalu penting. Beda hal dengan perasaanku pada Angelina yang semakin terkikis dan hilang begitu saja."Pak Kamal!"Aku yang sedang berjalan menuju parkiran pun, mau tak mau berhenti dan menoleh ketika Angelina mengejar, lalu berdiri di depanku."Ada apa?""Maaf, Pak. Boleh saya minta waktu sebentar? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan."Aku melirik jam tangan, lalu mengangguk."Bicaralah." 
POV KAMAL 🍁🍁🍁 Hari ini aku berangkat lebih awal dari biasanya ke kantor. Faisal sendiri sedang pergi ke luar kota. Kami memang bergantian mengurus cabang perusahaan di sana. Sementara, akhir-akhir ini Papa yang sering jatuh sakit kami larang untuk ke kantor. Aku yang sedari tadi memandang keluar jendela mobil pun langsung menegakkan posisi duduk, ketika melihat gadis bernama Naila sedang berjalan kaki. Kalau dilihat dari data pribadi, usianya hanya berbeda satu tahun di atas Ayesha. "Pak Galih, tolong menepi sebentar," titahku pada sopir. "Iya Pak." Pak Galih memutar kemudi, dan menghentikan mobil tepat di bawah pohon. Melihat dia semakin mendekat ke mobil ini, akhirn
"Semua bekalnya sudah disiapkan, Bi?" tanya Ayesha seraya mendekati Bi Murti di meja makan."Sudah, Non. Ini sedang bibi masukin semua ke kotak.""Terima kasih, ya, Bi.""Sama-sama, Non Ayesha. Hati-hati."Ayesha mengangguk dan tersenyum, lalu mengambil kotak berukuran besar yang didalamnya terdapat banyak bekal."Ayo, Pah!" Dia merangkul lenganku, lalu kami berjalan bersama menuju pintu depan.Namun, baru maju beberapa langkah, aku sudah terhenti lagi seiring napas yang tertahan."Kenapa, Pah?" Ayesha menatap khawatir.Aku masih terdiam karena untuk menarik napas saja rasanya sakit."Pah?"Aku menoleh dan tersenyum."Papa tidak apa-apa," jawabku setelah rasa sakit di dada berangsur menghilang."Papa jangan bohong. Papa kenapa?" rengek
POV MALIK🍁🍁🍁"Papa."Aku yang baru selesai meminum obat pun menoleh pada Kamal yang berjalan mendekat."Sudah pulang, Nak. Ada masalah di kantor?""Tidak ada, Pah. Semua baik-baik saja," ujarnya, lalu duduk sampingku. "Papa katanya sesak napas.""Sudah tidak, kok.""Pasti Papa kepikiran Mama lagi, kan?"Aku diam menunduk."Pah ...." Kamal menyentuh pundakku. "Mama sudah lama pergi, Pah. Mama sudah tenang. Jangan terus diratapi.""Papa hanya rindu." Mataku memanas saat mengatakan itu.Kamal merangkul dan mengusap lenganku."Kita semua juga rindu, Pah," lirih Kamal, "tapi Papa harus tetap sehat. Mama juga pasti sedih kalau Papa sakit karena memikirkan Mama terus."Aku mengangguk. "Maafkan Papa. Papa sulit mengont
POV KAMAL🍁🍁🍁"Ayo, Bang, pulang!" Faisal menemuiku di ruangan.Aku mengangguk, membereskan berkas di meja, lalu menyambar tas dan berjalan menghampirinya."Mampir ke toko kue dulu, ya. Beli bolu kesukaan Papa."Faisal mengangguk dan kami pun berjalan menuju lift."Ada urusan apa kamu sama gadis itu?""Gadis yang mana?""Naila, OB baru di kantor kita itu.""Oh ... aku hanya kasih amanah dari Papa.""Amanah apaan? Kok, aku tidak diberitahu?""Papa lupa kali.""Amanahnya apa memang?""Uan
POV KAMAL🍁🍁🍁"Permisi, Pak."Aku yang tengah menunduk memeriksa berkas-berkas pun mengangkat wajah mendengar seseorang masuk ke ruangan."Masuk!"Angelina—gadis berambut ikal sebahu itu tersenyum dan mengangguk, lalu mendekat ke sini. Diam-diam aku memiliki ketertarikan padanya. Bukan hanya karena cantik, tapi juga pintar."Ada apa?""Ini, Pak. Ada berkas yang harus Bapak tanda tangani." Angelina menyodorkan beberapa map di mejaku.Kuperiksa sebentar, lalu membubuhkan tanda tangan di sana dan memberikannya lagi."Ada lagi?""Tidak ada, Pak.""Ya sudah. Kamu bisa kembali ke ruanganmu.""Pak."Aku yang baru akan fokus dengan laptop pun mau tak mau menoleh lagi ketika dia memanggil.
"Di mana Ayesha, Bi?" tanyaku yang baru pulang dari kantor bersama Kamal."Di kamarnya, Tuan. Tadi, sih, sepertinya nangis.""Nangis kenapa?""Uhm— anu ... bibi kurang tahu. Tapi tadi Non Ayesha pas keluar dari kamar Den Faisal sudah nangis."Aku dan Kamal saling melempar pandang."Biar aku yang tanya ke mereka, Pah. Mungkin bertengkar lagi.""Tidak usah, Mal. Biar papa saja. Kamu mandi dan istirahat," kataku, lalu pergi ke kamar Ayesha yang berada di lantai atas juga, sama seperti kamar Faisal."Ayesha," panggilku seraya mengetuk pintu kamarnya.Masih belum ada jawaban."Buka pintunya dulu, Nak. Ayesha?""Sebentar, Pah!" sahutnya dari dalam.Tak berselang lama, Ayesha sudah berdiri di depanku sambil tersenyum manis seperti biasa. Jejak air mata di w
Hari demi hari telah berlalu. Kini, Ayesha sudah bukan lagi anak remaja. Tahun ini dia mulai masuk kuliah. Sementara, Kamal dan Faisal fokus mengurus perusahaan. Mereka mampu bekerjasama mengelola dengan baik beberapa perusahaan yang kubangun dari nol.Bahkan satu pun dari mereka belum ada yang menikah. Aku sudah mencoba mengajak bicara, tapi keduanya kompak berkata belum siap dan belum menemukan calon yang cocok.Aku bangga pada Karin. Dia benar-benar berhasil mendidik Kamal dan Faisal dengan sangat baik. Keduanya berpegang teguh pada nasehat mamanya yang melarang pacaran. Meski aku tahu, sudah lama Kamal diam-diam menaruh hati pada karyawan di kantor yaitu Angelina."Permisi, Pak."Aku yang tengah fokus pada layar laptop pun menoleh ketika Pak Lukman mengetuk pintu dan melongokkan kepalanya."Masuklah."Sudah dua hari aku menggantikan Kamal yang sejak kemar