Setelah kami selesai melaksanakan kewajiban pada Sang Pencipta, aku langsung membersihkan rumah. Menyapu membereskan mainan Bintang dan menyiapkan masakan untuk makan malam."Assalamualaikum." Mendengar ada yang mengucapkan salam, aku pun bergegas keluar. Sedangkan Khoir dan Bintang sedang bersepeda sore, putar-putar kampung, Bintang sangat menyukainya.Dari dalam rumah kulihat ada seorang perempuan sedang berdiri di pinggir pintu."Wa'alaykumussalam." Aku menjawab ketika sudah berada dekatnya. Seorang wanita berwajah manis memakai jilbab ungu, menggunakan rok panjang bermotif bunga dipadukan dengan kaos lengan panjang berwarna hitam sedang tersenyum manis padaku."Kak Irulnya ada, Mbak?" tanyanya sopan setelah kami sudah berhadapan."Gak ada, Dek. Ada perlu apa ya? Mungkin, nanti bisa kusampaikan." Aku menawarkan diri sebagai perantara pesannya."Mbak ini siapanya Kak Iru
"Kak Irul! Kak! Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mbak Rina," seru Nisa di balik pintu kamar."Iya sebentar, Nisa," jawab Khoir.Lelakiku ini kembali menatapku "Siapa malam-malam gini mau menemuimu, Dek?" tanya Khoir yang masih mengurungku dalam pelukannya."Ya, mana aku tahu! Mangkanya lepas," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya."Boleh, tapi ada syaratnya," godanya sambil mengedipkan sebelah matanya."Apa'an sih?" tanyaku ketus. Khoir tidak menjawab pertanyaanku, tangannya meraih sesuatu yang ada di belakangku, lalu memakaikan sesuatu di kepalaku."MasyaAllah ... cantiknya istriku," puji Khoir setelah dia merapikan jilbab instan yang sekarang telah menutupi rambutku.Aku tersipu malu, Astaghfirullah ... apa yang aku pikirkan tadi? Ish! Malu malu malu. Aku tersenyum sendiri karena sempat berfikir yang iya-iya.Bintang menyon
Setelah papa Haris dibawa ke rumah sakit. Khoir segera memesan mobil online, kami akan pulang ke rumahku berserta Adam dan Hawa.Kedua kakak beradik ini memaksa papinya supaya mengizinkan mereka ikut bersama kami. Mas Sanusi menolak, dia mengatakan kalau habis dari rumah sakit, dia janji akan langsung mengantar mereka pulang. Namun, kedua bocah itu tetap kekeuh ingin ikut pulang bersamaku."Gak pa-pa, Mas. Biar mereka ikut kami. Nanti mas jemput mereka dari sana." kataku mencoba memberikan jalan tengah karena mereka terus saja berdebat."Ya udah kalau gitu. Maaf ya, Rin, jadi ngrepotin kamu dan Khoir."Setelah berucap mas Sanusi menghampiri kedua anaknya "Adam, Hawa kalian jangan nakal ya," pesannya pada putra dan putrinya.Keduanya mengangguk serentak."Ok, Papi ke rumah sakit dulu." Mas Sanusi memandang kami sebentar sambil tersenyum kemudian beranjak masuk ke mobil dan pelan-pelan
"Dek!" Khoir masuk disusul oleh Hawa, bersamaan dengan Bintang yang menangis keluar dari kamar.Kami saling menatap, Khoir seolah meminta penjelasan padaku dan aku bingung bagaimana harus mengatakannya.*****Ketiga bocah itu duduk di bangku belakang kemudi, seolah mengerti kalau semua sedang tidak baik-baik saja, mereka semua bungkam termasuk Bintang. Balita yang biasanya riang itu ikut diam melihat saudara sepupunya yang juga bungkam.Begitu juga dengan kami yang sibuk dengan pikiran masing-masing.Menanyakan kepada Sang Maha Kuasa mengapa semua ini terjadi? Seolah diri ini adalah hamba yang tak beriman, karena masih meragukan takdirNya.Sesekali aku mengusap air mata yang menetes setiap kali berkedip. Tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka setelah semuanya ini. Sesekali Khoir menggenggam jemariku,
Hari masih pagi bahkan butiran embun masih bergelayut manja di kelopak bunga mawar. Setelah berkutat di dapur, aku sudah bersiap dengan sekeranjang pakaian kotor. Jangan ditanya di mana Khoir, ah suamiku itu sedang melantukan Kalamullah. Ada rasa damai jika aku mendengar suara merdunya saat membacanya."Sin, kubantu, Dek." Lelakiku ini sudah ada di sampingku. Alhamdulillah semoga panjang umur, baru saja diomongin udah muncul aja orangnya, tak ayal membuatku tersenyum."Loh, kok malah senyam-senyum ada apa sih?" tanyanya sok curiga, kembali aku tersenyum."Oh iya, Mas. Nanti jadi sowan ke Pak Kyai?" Aku balik bertanya sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci."Gak bisa nanti, Dek. Tadi aku coba menghubungi beliau, tapi nomernya gak aktif. Akhirnya kuhubungi Kak Mujib, dia bilang kalau Pak Kyai sedang berada di luar kota," katanya menjelaskan.
"Mas, kenapa ada begitu banyak polisi di depan rumah?" tanyaku keheranan."Aku juga gak tahu, Dek. Semoga saja tidak terjadi sesuatu. Selama kita tidak merasa melakukan kesalahan, kamu gak usah khawatir, ya," sahutnya menenangkanku.Meskipun Khoir sudah memenangkan diri ini. Namun, masih saja ada perasaan takut, mengingat semua yang pernah kualami dulu.Aku bisa bernapas lega, setelah Khoir berbasa-basi, ternyata para polisi itu sedang menyelidiki kasus pencurian dan yang menjadi tersangka adalah putra tetanggaku. Astaghfirullah ...Lekas aku memohon perlindungan pada Yang Maha Berkehendak, semoga Allah menghendaki anak-anakku dengan akhlak yang terpuji."Ya Allah.. Berikan kebaikan yang banyak pada anak-anakku, jagalah mereka dan jangan kau celakakan mereka. Karuniakanlah kami ketaatan mereka..” Aamiin.Kejadian yang menimpa anak tetangga membuatku sedikit khawatir
Hari ini jadwalnya Khoir terapi, kubawa dia pergi ke tempat di mana dulu Bintang berobat. Sudah hampir setahun suamiku ini menjalani terapi di sini, Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan struk.Saat kami sampai, ada sebuah mobilsedang terparkir di depan rumah dan kami sudah tahu siapa pemiliknya."Malas aku kalau Papa Anwar ke sini." Bintang mengeluh karena melihat siapa yang datang."Bintang gak boleh begitu, sama orang tua harus sopan ya, Nak," kata Khoir."Tapi, Yah. Bintang gak suka, dia suka ganggu Bunda," sahutnya sewot."Mangkanya tugas kamu untuk menjaga, Bunda." Khoir menjawab sambil mengelus rambut ikal Bintang.Khoir menatapku sekilas, entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya ada sorot kekecewaan di matanya.Bintang lebih dulu turun dan langsung menghampiri papanya. Ba
MENOLAK UNTUK RUJUK Meja itu bergetar setelah digebrak ib-lis dengan rupa yang sangat tampan. Dia juga melempar apa saja yang berada dalam jangkauannya. Dia memang pantas disebut seperti itu, seorang manusia tapi berhati kejam. "Jangan coba-coba kamu menolak, Rina! Kamu adalah milikku, jadi sebaiknya kamu menurut!" teriak mas Anwar memekakkan telinga. Dia berteriak seperti kesetanan, begitulah jika aku menolak melayani hasr*tnya untuk menikmati tubuh ini. Beberapa lebam di bagian tubuhku masih belum hilang. Bekas cambukan di punggung juga masih terasa perih. Sekarang dia ingin melakukannya lagi. Aku hanya bisa menangis meratap meringkuk di sudut kamar. Penolakan yang kulakukan membuat tubuh ini merasakan sakitnya tendangan kaki besar miliknya. "Sudah begitu banyak uang yang kuberikan pada keluargamu! Jadi sudah menjadi kewajiban bagimu untuk menuruti semua keinginanku!" bentaknya. Mas Anwar mendekat dengan membawa seutas tali.&
Hari ini jadwalnya Khoir terapi, kubawa dia pergi ke tempat di mana dulu Bintang berobat. Sudah hampir setahun suamiku ini menjalani terapi di sini, Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan struk.Saat kami sampai, ada sebuah mobilsedang terparkir di depan rumah dan kami sudah tahu siapa pemiliknya."Malas aku kalau Papa Anwar ke sini." Bintang mengeluh karena melihat siapa yang datang."Bintang gak boleh begitu, sama orang tua harus sopan ya, Nak," kata Khoir."Tapi, Yah. Bintang gak suka, dia suka ganggu Bunda," sahutnya sewot."Mangkanya tugas kamu untuk menjaga, Bunda." Khoir menjawab sambil mengelus rambut ikal Bintang.Khoir menatapku sekilas, entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya ada sorot kekecewaan di matanya.Bintang lebih dulu turun dan langsung menghampiri papanya. Ba
"Mas, kenapa ada begitu banyak polisi di depan rumah?" tanyaku keheranan."Aku juga gak tahu, Dek. Semoga saja tidak terjadi sesuatu. Selama kita tidak merasa melakukan kesalahan, kamu gak usah khawatir, ya," sahutnya menenangkanku.Meskipun Khoir sudah memenangkan diri ini. Namun, masih saja ada perasaan takut, mengingat semua yang pernah kualami dulu.Aku bisa bernapas lega, setelah Khoir berbasa-basi, ternyata para polisi itu sedang menyelidiki kasus pencurian dan yang menjadi tersangka adalah putra tetanggaku. Astaghfirullah ...Lekas aku memohon perlindungan pada Yang Maha Berkehendak, semoga Allah menghendaki anak-anakku dengan akhlak yang terpuji."Ya Allah.. Berikan kebaikan yang banyak pada anak-anakku, jagalah mereka dan jangan kau celakakan mereka. Karuniakanlah kami ketaatan mereka..” Aamiin.Kejadian yang menimpa anak tetangga membuatku sedikit khawatir
Hari masih pagi bahkan butiran embun masih bergelayut manja di kelopak bunga mawar. Setelah berkutat di dapur, aku sudah bersiap dengan sekeranjang pakaian kotor. Jangan ditanya di mana Khoir, ah suamiku itu sedang melantukan Kalamullah. Ada rasa damai jika aku mendengar suara merdunya saat membacanya."Sin, kubantu, Dek." Lelakiku ini sudah ada di sampingku. Alhamdulillah semoga panjang umur, baru saja diomongin udah muncul aja orangnya, tak ayal membuatku tersenyum."Loh, kok malah senyam-senyum ada apa sih?" tanyanya sok curiga, kembali aku tersenyum."Oh iya, Mas. Nanti jadi sowan ke Pak Kyai?" Aku balik bertanya sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci."Gak bisa nanti, Dek. Tadi aku coba menghubungi beliau, tapi nomernya gak aktif. Akhirnya kuhubungi Kak Mujib, dia bilang kalau Pak Kyai sedang berada di luar kota," katanya menjelaskan.
"Dek!" Khoir masuk disusul oleh Hawa, bersamaan dengan Bintang yang menangis keluar dari kamar.Kami saling menatap, Khoir seolah meminta penjelasan padaku dan aku bingung bagaimana harus mengatakannya.*****Ketiga bocah itu duduk di bangku belakang kemudi, seolah mengerti kalau semua sedang tidak baik-baik saja, mereka semua bungkam termasuk Bintang. Balita yang biasanya riang itu ikut diam melihat saudara sepupunya yang juga bungkam.Begitu juga dengan kami yang sibuk dengan pikiran masing-masing.Menanyakan kepada Sang Maha Kuasa mengapa semua ini terjadi? Seolah diri ini adalah hamba yang tak beriman, karena masih meragukan takdirNya.Sesekali aku mengusap air mata yang menetes setiap kali berkedip. Tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka setelah semuanya ini. Sesekali Khoir menggenggam jemariku,
Setelah papa Haris dibawa ke rumah sakit. Khoir segera memesan mobil online, kami akan pulang ke rumahku berserta Adam dan Hawa.Kedua kakak beradik ini memaksa papinya supaya mengizinkan mereka ikut bersama kami. Mas Sanusi menolak, dia mengatakan kalau habis dari rumah sakit, dia janji akan langsung mengantar mereka pulang. Namun, kedua bocah itu tetap kekeuh ingin ikut pulang bersamaku."Gak pa-pa, Mas. Biar mereka ikut kami. Nanti mas jemput mereka dari sana." kataku mencoba memberikan jalan tengah karena mereka terus saja berdebat."Ya udah kalau gitu. Maaf ya, Rin, jadi ngrepotin kamu dan Khoir."Setelah berucap mas Sanusi menghampiri kedua anaknya "Adam, Hawa kalian jangan nakal ya," pesannya pada putra dan putrinya.Keduanya mengangguk serentak."Ok, Papi ke rumah sakit dulu." Mas Sanusi memandang kami sebentar sambil tersenyum kemudian beranjak masuk ke mobil dan pelan-pelan
"Kak Irul! Kak! Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mbak Rina," seru Nisa di balik pintu kamar."Iya sebentar, Nisa," jawab Khoir.Lelakiku ini kembali menatapku "Siapa malam-malam gini mau menemuimu, Dek?" tanya Khoir yang masih mengurungku dalam pelukannya."Ya, mana aku tahu! Mangkanya lepas," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya."Boleh, tapi ada syaratnya," godanya sambil mengedipkan sebelah matanya."Apa'an sih?" tanyaku ketus. Khoir tidak menjawab pertanyaanku, tangannya meraih sesuatu yang ada di belakangku, lalu memakaikan sesuatu di kepalaku."MasyaAllah ... cantiknya istriku," puji Khoir setelah dia merapikan jilbab instan yang sekarang telah menutupi rambutku.Aku tersipu malu, Astaghfirullah ... apa yang aku pikirkan tadi? Ish! Malu malu malu. Aku tersenyum sendiri karena sempat berfikir yang iya-iya.Bintang menyon
Setelah kami selesai melaksanakan kewajiban pada Sang Pencipta, aku langsung membersihkan rumah. Menyapu membereskan mainan Bintang dan menyiapkan masakan untuk makan malam."Assalamualaikum." Mendengar ada yang mengucapkan salam, aku pun bergegas keluar. Sedangkan Khoir dan Bintang sedang bersepeda sore, putar-putar kampung, Bintang sangat menyukainya.Dari dalam rumah kulihat ada seorang perempuan sedang berdiri di pinggir pintu."Wa'alaykumussalam." Aku menjawab ketika sudah berada dekatnya. Seorang wanita berwajah manis memakai jilbab ungu, menggunakan rok panjang bermotif bunga dipadukan dengan kaos lengan panjang berwarna hitam sedang tersenyum manis padaku."Kak Irulnya ada, Mbak?" tanyanya sopan setelah kami sudah berhadapan."Gak ada, Dek. Ada perlu apa ya? Mungkin, nanti bisa kusampaikan." Aku menawarkan diri sebagai perantara pesannya."Mbak ini siapanya Kak Iru
Kemarin malam adalah tahlil terakhir untuk almarhumah bu Dewi. Itu berarti usia pernikahanku dengan Khoir juga sudah berjalan selama tujuh hari. Selama itu pula antara aku dan Khoir belum pernah melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh sepasang suami istri. Jangankan tidur bersama, bahkan ngobrol mesra pun kami masih segan, jadi berbicara hanya seperlunya saja.Aku juga tak pernah tahu di mana dan kapan Khoir pergi tidur, yang pasti dia tidak sekamar denganku. Kami akan bertemu di pagi hari ketika Khoir pulang dari masjid usai salat Subuh dan aku sedang membuat sarapan di dapur, selalu seperti itu selama tujuh hari ini.Berbeda dengan Bintang, balitaku itu cepat sekali akrab dengan Khoir. Bahkan aku sering mendengar Khoir mengajaknya berbicara dan mengajari Bintang untuk memanggilnya dengan sebutan ayah.Entah kenapa, kali ini Khoir agak lama berada di masjid. Sampai aku selesai m
"innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ... Bu Dewi." Suara parau terdengar di antara isak tangis. Para ibu-ibu kemudian menyibukkan diri, melakukan tugas masing-masing, seperti sudah terkomando mereka melakukan pekerjaan tanpa diperintah. Di perkampungan rasa persaudaraan masih terasa kental. Jika ada salah satu warga berduka, mereka akan segera membantu walaupun hanya sekedar tenaga."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un." Khoir berucap sambil mengusap wajah ibunya, lelaki itu sekuat tenaga menahan air matanya, terlihat dari ranghangnya yang mengeras dengan bibir yang mengatup rapat.kemudian dia membetulkan letak tangan ibunya dengan posisi sedekap. Semua orang berduka, kecuali mereka para manusia-manusia berhati ib**s yang membuat keonaran di sini tadi. Hanya diam menyaksikan tanpa kelihatan berduka.Semua orang sibuk, mereka cepat tanggap mengurus jenazah almarhumah bu Dewi. Sebagian warga ada yang pergi