Hari ini jadwalnya Khoir terapi, kubawa dia pergi ke tempat di mana dulu Bintang berobat. Sudah hampir setahun suamiku ini menjalani terapi di sini, Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan struk.
Saat kami sampai, ada sebuah mobil
sedang terparkir di depan rumah dan kami sudah tahu siapa pemiliknya."Malas aku kalau Papa Anwar ke sini." Bintang mengeluh karena melihat siapa yang datang.
"Bintang gak boleh begitu, sama orang tua harus sopan ya, Nak," kata Khoir.
"Tapi, Yah. Bintang gak suka, dia suka ganggu Bunda," sahutnya sewot.
"Mangkanya tugas kamu untuk menjaga, Bunda." Khoir menjawab sambil mengelus rambut ikal Bintang.
Khoir menatapku sekilas, entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya ada sorot kekecewaan di matanya.
Bintang lebih dulu turun dan langsung menghampiri papanya. Ba
MENOLAK UNTUK RUJUK Meja itu bergetar setelah digebrak ib-lis dengan rupa yang sangat tampan. Dia juga melempar apa saja yang berada dalam jangkauannya. Dia memang pantas disebut seperti itu, seorang manusia tapi berhati kejam. "Jangan coba-coba kamu menolak, Rina! Kamu adalah milikku, jadi sebaiknya kamu menurut!" teriak mas Anwar memekakkan telinga. Dia berteriak seperti kesetanan, begitulah jika aku menolak melayani hasr*tnya untuk menikmati tubuh ini. Beberapa lebam di bagian tubuhku masih belum hilang. Bekas cambukan di punggung juga masih terasa perih. Sekarang dia ingin melakukannya lagi. Aku hanya bisa menangis meratap meringkuk di sudut kamar. Penolakan yang kulakukan membuat tubuh ini merasakan sakitnya tendangan kaki besar miliknya. "Sudah begitu banyak uang yang kuberikan pada keluargamu! Jadi sudah menjadi kewajiban bagimu untuk menuruti semua keinginanku!" bentaknya. Mas Anwar mendekat dengan membawa seutas tali.&
MENOLAK UNTUK RUJUK 2Setelah Mas Anwar memutuskan sambungan telepon, aku kembali menangisi, merenungi nasib hidup ini.Pada siapa aku harus mengadu? Tuhan kenapa tak Engkau ambil saja nyawa ini, aku benar-benar putus asa. Mas Anwar begitu ketat membatasi pergaulan diri ini, terutama pada semua anggota keluarga. Baik itu keluargaku atau keluarganya.Sementara orang tuaku, mereka seakan buta dengan keadaan yang menimpa anaknya. Mereka tak peduli dengan apa yang terjadi pada diri ini, yang terpenting uang selalu mereka dapatkan dari menantu kesayangannya.Mas Anwar adalah menantu kesayangan Bapak karena lelaki yang sudah menghalalkanku itu selalu memberinya kemewahan. Sehingga Bapak seakan menutup mata tentang keadaan putri yang dulu sangat disayanginya ini.Hanya ibu yang peduli, dialah satu-satunya orang yang bisa merasakan apa yang kurasakan. Sorot matanya sayu saat menatap diri ini. Namun, dia tak mampu berbuat apa-apa. Wanita yang telah me
Menolak untuk rujuk 3Samar-samar bisa kudengar suara orang berbicara. Sepertinya bukan satu atau dua orang, karena suara itu terdengar saling bersahutan.Sementara ada yang sedang menggenggam erat tanganku, dengan sangat lembut dia mengelus punggung tangan ini, sesekali bisa kurasakan dia telah menciumnya.'Ini bukan tangan yang sering menyakitiku' batinku.Perlahan aku bisa membuka mata, walaupun masih terlihat remang-remang. Berkali-kali mata ini mengerjab, mengumpulkan sisa-sisa ingatan.'Di mana ini?' Itu yang saat ini memenuhi pikiran, secara reflek aku juga menggerakkan jari-jari tangan ini."Alhamdulillah ... Rina sudah sadar, Pak! Nak Anwar, istrimu sudah sadar, Nak!" teriak seseorang.Aku masih belum bisa mengenali siapa dia, tapi aku merasa sangat mengenal suara itu, suara yang tak seperti tak asing di telinga ini.'Siapa?' Lagi-lagi aku bertanya pada diri sendiri. Mata ini kembali terpejam untuk berpikir
MENOLAK UNTUK RUJUK 4"Selamat pagi, Sayang," sapa Mas Anwar, membuatku berjingkat karena terkejut. Dia sudah berada tepat di belakang tubuhku, kemudian melingkarkan kedua tangannya di perut ini. Nafas sudah tersengal antara kaget dan takut."Maafkan aku ya, Sayang," ucapnya lagi sambil menghirup aroma tubuh ini. Kupejamkan mata sejenak dan mengatur napas. Ini memang bukan yang pertama, sudah beberapa kali dia membawa wanita ke rumah dan mengajaknya bercinta.Dulu itu akan sangat menyakitkan, istri mana yang akan baik-baik saja mengetahui suaminya bergumul dengan wanita lain? Kurasa tak ada. Namun, tidak untuk sekarang ini, aku benar-benar tak peduli.Aku melepaskan diri dari pelukannya, kemudian beralih menghadap padanya. Sungguh dia adalah lelaki yang sangat tampan. Mungkin, aku akan sangat merasa beruntung kalau saja dia tidak mempunyai kelainan dalam berhubungan badan."Siapa dia?" tanyaku sambil menunjuk dengan dagu seseorang yang tertid
MENOLAK UNTUK RUJUK 5Aku tidak bisa lagi menolak tawaran papa saat hendak dijodohkan. Bagaimana tidak, beliau selalu mengancam akan mencoret namaku dari daftar keluarga. Sial!Aku ... Anwar Haris Pratama seorang pengusaha muda yang sukses mendirikan perusahaan di bidang property.Aku menyadari sepenuhnya atas diri ini, mempunyai kelainan dalam berhubungan seksual. Akan merasa sangat puas jika melihat pasangan kesakitan. Itulah sebabnya diri ini selalu menolak untuk menikah meski usia sudah mencapai kepala tiga. Takut jika akan menyakiti pasangan hidupku kelak.Untuk saat ini, aku lebih suka menyalurkan hasrat dengan wanita bayaran, tapi tak sembarang wanita. Berapapun akan kuberikan asal dia mau mengikuti permainan.Sekali waktu aku akan merasa sangat berdosa dan sering berputus asa dengan apa yang kulakukan. Namun, bayangan kenikmatan selalu menguasai diri ini. Semua itu berawal dari kehidupan bebas saat aku menempuh pendidikan di Luar Negeri.
MENOLAK UNTUK RUJUK 6Setelah merasa lelah berkeliling dan berbelanja, aku memilih beristirahat di sebuah kedai yang menjual beraneka ragam rasa dan jenis es krim. Rasanya nyaman sekali bisa duduk santai sambil menikmati aroma yang menguar dari olahan susu dan coklat.Seorang Waitress mendatangiku dengan membawa buku menu. Setelah membaca apa saja yang di daftarnya, aku memesan seporsi es krim rasa vanilla yang bertabur irisan strawberry. Hem ... manis-manis asam.Sambil menunggu pesanan datang, aku mengeluarkan ponsel pintar dari tas. Menyalahkannya lalu menuju aplikasi berwarna putih biru. Berselancar di dunia maya memang mengasyikkan apalagi setelah aku bergabung di sebuah grup literasi. Bukan untuk menulis. Hanya sekedar membaca cerita-cerita keren yang diposting di sana.*****Setelah menunggu beberapa saat, pesanan pun datang. Gegas aku meletakan ponsel di meja, saat melihat sajian manis yang sangat menggugah selera. Perlahan mulai meny
MENOLAK UNTUK RUJUK 7"Kamu mau apa? Es krim atau susu, biar aku ambilkan?" tanyanya sambil menuju lemari pendingin."Tidak usah, Mas. Aku masih kenyang," sahutku menolak tawarannya. Namun, tetap memperhatikan sikapnya.Lelakiku itu terdiam sejenak lalu urung membuka lemari pendingin itu, kemudian kembali duduk di depanku.Sungguh, aku dibuat pusing oleh tingkahnya, ada apa dengan lelaki yang akhir-akhir ini sikapnya nampak manis.Dia memainkan gelas yang ada di depannya, memutar-mutar benda yang isinya tinggal separuh itu. Aku memilih bungkam.Tak berani mengawali perbincangan, hanya diam saja menunggu apa yang sebenarnya akan dikatakan padaku."Rin." Mas Anwar menyebut namaku, kemudian mengangkat gelas menaruhnya di bibir lalu meminum isinya hingga tandas.Aku menghela napas dan masih tetap memperhatikan tingkahnya yang aneh. Tuhan, apa yang akan dikatakannya? Sungguh, memikirkannya membuatku semakin penasaran."Na
MENOLAK UNTUK RUJUK 8"Sayang, Tante itu namanya Monalisa. Dia temannya Om Anwar. Tadi pagi sebelum Hawa dan Adam bangun, Tante itu datang ke sini untuk mengerjakan tugas kantor bersama dengan, Om," kataku berusaha memberi penjelasan pada mereka berdua."Oh ...." Hanya itu yang keluar dari bibir keduanya."Nah, sekarang Adam dan Hawa kan sudah selesai sarapan, jadi sudah boleh pergi main. Mau main di mana? Di taman belakang atau di depan?" tanyaku lagi sambil memberi pilihan buat mereka."Papi kapan datang, Tante?" Hawa malah balik bertanya. Bola matanya yang jernih itu menatapku meminta penjelasan.Aku mendekat ke arahnya, berjongkok mensejajarkan diri ini pada wajah imut itu."Em ... kata Papi, nanti kalau Mami sudah datang akan jemput ke sini kan?" Gadis kecil itu manggut-manggut, aku juga mengikutinya sambil memberikan senyuman yang sangat manis."Jadi ... kita tunggu aja, oke," kataku lagi, sambil mengangkat tangan untuk melakuka
Hari ini jadwalnya Khoir terapi, kubawa dia pergi ke tempat di mana dulu Bintang berobat. Sudah hampir setahun suamiku ini menjalani terapi di sini, Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan struk.Saat kami sampai, ada sebuah mobilsedang terparkir di depan rumah dan kami sudah tahu siapa pemiliknya."Malas aku kalau Papa Anwar ke sini." Bintang mengeluh karena melihat siapa yang datang."Bintang gak boleh begitu, sama orang tua harus sopan ya, Nak," kata Khoir."Tapi, Yah. Bintang gak suka, dia suka ganggu Bunda," sahutnya sewot."Mangkanya tugas kamu untuk menjaga, Bunda." Khoir menjawab sambil mengelus rambut ikal Bintang.Khoir menatapku sekilas, entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya ada sorot kekecewaan di matanya.Bintang lebih dulu turun dan langsung menghampiri papanya. Ba
"Mas, kenapa ada begitu banyak polisi di depan rumah?" tanyaku keheranan."Aku juga gak tahu, Dek. Semoga saja tidak terjadi sesuatu. Selama kita tidak merasa melakukan kesalahan, kamu gak usah khawatir, ya," sahutnya menenangkanku.Meskipun Khoir sudah memenangkan diri ini. Namun, masih saja ada perasaan takut, mengingat semua yang pernah kualami dulu.Aku bisa bernapas lega, setelah Khoir berbasa-basi, ternyata para polisi itu sedang menyelidiki kasus pencurian dan yang menjadi tersangka adalah putra tetanggaku. Astaghfirullah ...Lekas aku memohon perlindungan pada Yang Maha Berkehendak, semoga Allah menghendaki anak-anakku dengan akhlak yang terpuji."Ya Allah.. Berikan kebaikan yang banyak pada anak-anakku, jagalah mereka dan jangan kau celakakan mereka. Karuniakanlah kami ketaatan mereka..” Aamiin.Kejadian yang menimpa anak tetangga membuatku sedikit khawatir
Hari masih pagi bahkan butiran embun masih bergelayut manja di kelopak bunga mawar. Setelah berkutat di dapur, aku sudah bersiap dengan sekeranjang pakaian kotor. Jangan ditanya di mana Khoir, ah suamiku itu sedang melantukan Kalamullah. Ada rasa damai jika aku mendengar suara merdunya saat membacanya."Sin, kubantu, Dek." Lelakiku ini sudah ada di sampingku. Alhamdulillah semoga panjang umur, baru saja diomongin udah muncul aja orangnya, tak ayal membuatku tersenyum."Loh, kok malah senyam-senyum ada apa sih?" tanyanya sok curiga, kembali aku tersenyum."Oh iya, Mas. Nanti jadi sowan ke Pak Kyai?" Aku balik bertanya sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci."Gak bisa nanti, Dek. Tadi aku coba menghubungi beliau, tapi nomernya gak aktif. Akhirnya kuhubungi Kak Mujib, dia bilang kalau Pak Kyai sedang berada di luar kota," katanya menjelaskan.
"Dek!" Khoir masuk disusul oleh Hawa, bersamaan dengan Bintang yang menangis keluar dari kamar.Kami saling menatap, Khoir seolah meminta penjelasan padaku dan aku bingung bagaimana harus mengatakannya.*****Ketiga bocah itu duduk di bangku belakang kemudi, seolah mengerti kalau semua sedang tidak baik-baik saja, mereka semua bungkam termasuk Bintang. Balita yang biasanya riang itu ikut diam melihat saudara sepupunya yang juga bungkam.Begitu juga dengan kami yang sibuk dengan pikiran masing-masing.Menanyakan kepada Sang Maha Kuasa mengapa semua ini terjadi? Seolah diri ini adalah hamba yang tak beriman, karena masih meragukan takdirNya.Sesekali aku mengusap air mata yang menetes setiap kali berkedip. Tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka setelah semuanya ini. Sesekali Khoir menggenggam jemariku,
Setelah papa Haris dibawa ke rumah sakit. Khoir segera memesan mobil online, kami akan pulang ke rumahku berserta Adam dan Hawa.Kedua kakak beradik ini memaksa papinya supaya mengizinkan mereka ikut bersama kami. Mas Sanusi menolak, dia mengatakan kalau habis dari rumah sakit, dia janji akan langsung mengantar mereka pulang. Namun, kedua bocah itu tetap kekeuh ingin ikut pulang bersamaku."Gak pa-pa, Mas. Biar mereka ikut kami. Nanti mas jemput mereka dari sana." kataku mencoba memberikan jalan tengah karena mereka terus saja berdebat."Ya udah kalau gitu. Maaf ya, Rin, jadi ngrepotin kamu dan Khoir."Setelah berucap mas Sanusi menghampiri kedua anaknya "Adam, Hawa kalian jangan nakal ya," pesannya pada putra dan putrinya.Keduanya mengangguk serentak."Ok, Papi ke rumah sakit dulu." Mas Sanusi memandang kami sebentar sambil tersenyum kemudian beranjak masuk ke mobil dan pelan-pelan
"Kak Irul! Kak! Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mbak Rina," seru Nisa di balik pintu kamar."Iya sebentar, Nisa," jawab Khoir.Lelakiku ini kembali menatapku "Siapa malam-malam gini mau menemuimu, Dek?" tanya Khoir yang masih mengurungku dalam pelukannya."Ya, mana aku tahu! Mangkanya lepas," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya."Boleh, tapi ada syaratnya," godanya sambil mengedipkan sebelah matanya."Apa'an sih?" tanyaku ketus. Khoir tidak menjawab pertanyaanku, tangannya meraih sesuatu yang ada di belakangku, lalu memakaikan sesuatu di kepalaku."MasyaAllah ... cantiknya istriku," puji Khoir setelah dia merapikan jilbab instan yang sekarang telah menutupi rambutku.Aku tersipu malu, Astaghfirullah ... apa yang aku pikirkan tadi? Ish! Malu malu malu. Aku tersenyum sendiri karena sempat berfikir yang iya-iya.Bintang menyon
Setelah kami selesai melaksanakan kewajiban pada Sang Pencipta, aku langsung membersihkan rumah. Menyapu membereskan mainan Bintang dan menyiapkan masakan untuk makan malam."Assalamualaikum." Mendengar ada yang mengucapkan salam, aku pun bergegas keluar. Sedangkan Khoir dan Bintang sedang bersepeda sore, putar-putar kampung, Bintang sangat menyukainya.Dari dalam rumah kulihat ada seorang perempuan sedang berdiri di pinggir pintu."Wa'alaykumussalam." Aku menjawab ketika sudah berada dekatnya. Seorang wanita berwajah manis memakai jilbab ungu, menggunakan rok panjang bermotif bunga dipadukan dengan kaos lengan panjang berwarna hitam sedang tersenyum manis padaku."Kak Irulnya ada, Mbak?" tanyanya sopan setelah kami sudah berhadapan."Gak ada, Dek. Ada perlu apa ya? Mungkin, nanti bisa kusampaikan." Aku menawarkan diri sebagai perantara pesannya."Mbak ini siapanya Kak Iru
Kemarin malam adalah tahlil terakhir untuk almarhumah bu Dewi. Itu berarti usia pernikahanku dengan Khoir juga sudah berjalan selama tujuh hari. Selama itu pula antara aku dan Khoir belum pernah melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh sepasang suami istri. Jangankan tidur bersama, bahkan ngobrol mesra pun kami masih segan, jadi berbicara hanya seperlunya saja.Aku juga tak pernah tahu di mana dan kapan Khoir pergi tidur, yang pasti dia tidak sekamar denganku. Kami akan bertemu di pagi hari ketika Khoir pulang dari masjid usai salat Subuh dan aku sedang membuat sarapan di dapur, selalu seperti itu selama tujuh hari ini.Berbeda dengan Bintang, balitaku itu cepat sekali akrab dengan Khoir. Bahkan aku sering mendengar Khoir mengajaknya berbicara dan mengajari Bintang untuk memanggilnya dengan sebutan ayah.Entah kenapa, kali ini Khoir agak lama berada di masjid. Sampai aku selesai m
"innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ... Bu Dewi." Suara parau terdengar di antara isak tangis. Para ibu-ibu kemudian menyibukkan diri, melakukan tugas masing-masing, seperti sudah terkomando mereka melakukan pekerjaan tanpa diperintah. Di perkampungan rasa persaudaraan masih terasa kental. Jika ada salah satu warga berduka, mereka akan segera membantu walaupun hanya sekedar tenaga."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un." Khoir berucap sambil mengusap wajah ibunya, lelaki itu sekuat tenaga menahan air matanya, terlihat dari ranghangnya yang mengeras dengan bibir yang mengatup rapat.kemudian dia membetulkan letak tangan ibunya dengan posisi sedekap. Semua orang berduka, kecuali mereka para manusia-manusia berhati ib**s yang membuat keonaran di sini tadi. Hanya diam menyaksikan tanpa kelihatan berduka.Semua orang sibuk, mereka cepat tanggap mengurus jenazah almarhumah bu Dewi. Sebagian warga ada yang pergi