MENOLAK UNTUK RUJUK 6
Setelah merasa lelah berkeliling dan berbelanja, aku memilih beristirahat di sebuah kedai yang menjual beraneka ragam rasa dan jenis es krim. Rasanya nyaman sekali bisa duduk santai sambil menikmati aroma yang menguar dari olahan susu dan coklat.
Seorang Waitress mendatangiku dengan membawa buku menu. Setelah membaca apa saja yang di daftarnya, aku memesan seporsi es krim rasa vanilla yang bertabur irisan strawberry. Hem ... manis-manis asam.
Sambil menunggu pesanan datang, aku mengeluarkan ponsel pintar dari tas. Menyalahkannya lalu menuju aplikasi berwarna putih biru. Berselancar di dunia maya memang mengasyikkan apalagi setelah aku bergabung di sebuah grup literasi. Bukan untuk menulis. Hanya sekedar membaca cerita-cerita keren yang diposting di sana.
*****
Setelah menunggu beberapa saat, pesanan pun datang. Gegas aku meletakan ponsel di meja, saat melihat sajian manis yang sangat menggugah selera. Perlahan mulai menyendok sedikit demi sedikit makanan dingin yang akan langsung lumer saat berada di mulut. Sensasi lembut dan manis yang juga ada rasa masam dari strawberry membuatku semakin semangat menyendoknya.
Kesenangan ini tak berlangsung lama, karena tanpa sengaja aku melihat Mas Anwar sedang bersama seorang wanita. Mereka sedang makan di sebuah restoran yang menghidangkan makanan khas timur tengah.
Tak ada lagi sakit hati, dengan santai aku mengambil beberapa foto mereka. Itu memang dia, wanita yang tadi pagi ada di rumah. Mereka seperti sedang membahas hal serius, terlihat Mas Anwar yang diam saja menyimak ketika wanita yang sedang memakai pakaian kerja itu berbicara.
Kalau dilihat dari penampilannya, wanita itu memang seorang yang bekerja di kantoran. Saat ini dia sedang memakai blazer yang dipadukan dengan black skirt, sehingga menunjukkan kaki jenjangnya yang indah.
Bukankah semalam dia babak belur? Bagaimana dia bisa dengan percaya diri menggunakan black skirt? Mungkin, dia sedang memakai stocking. Oh, kenapa aku jadi memikirkannya? Aku tersenyum sendiri dengan pergolakan batin tentang wanita itu.
*****
Kali ini aku belanja cukup banyak, semua kebutuhan rumah juga beberapa perlengkapan untuk junior.
Sudah hampir Magrib saat aku sampai di rumah dan belum terlihat mobil Mas Anwar di garasi. Gegas aku aku turun lalu meminta pak sopir menurunkan barang.
"Taruh saja di situ, Pak," kataku sambil menunjuk samping pintu rumah. "Nanti setelah itu Pak ...."
"Khoir, Bu," sahutnya memotong ucapanku yang kesusahan mengingat namanya.
"Iya ... Pak Khoir langsung pulang saja," imbuhku sambil tersenyum malu, karena sedari tadi lupa terus sama namanya.
"Iya, Bu," sahutnya. Dan aku hanya mengangguk mendengarnya kemudian gegas masuk ke rumah karena ingin segera ke kamar mandi untuk membuang sesuatu yang sedari tadi tertahan.
****
Aku membawa sedikit demi sedikit belanjaan masuk ke dapur. Menata buah, beberapa sayuran, daging juga ikan ke dalam lemari pendingin. Beberapa kotak besar susu UHT dan tak ketinggalan beberapa kotak es krim, cemilan kegemaran saat ini.
Aku kembali keluar untuk mengambil beberapa belanjaan yang masih tersisa. Namun, gerakanku berhenti ketika ada sebuah mobil yang masuk ke halaman, entah milik siapa.
Aku belum tahu siapa yang berada dalam mobil karena mobil berhenti cukup jauh dari teras tempatku berdiri.
Seorang lelaki turun dari pintu pengemudi, kemudian membuka pintu belakang, dua anak kecil keluar dari sana. Sang lelaki itu kemudian duduk mensejajarkan dirinya pada kedua anak kecil itu seperti sedang membicarakan sesuatu.
Meletakan lagi tas belanjaan yang tadi sudah kuangkat lalu berjalan pelan mendekat ke arah mereka, setelah jarak sudah dekat aku baru tahu kalau dia adalah Mas Sanusi—kakak Mas Anwar—dan kedua putra dan putrinya.
"Hai," sapaku ketika sudah berada di dekat mereka. Mas Sanusi menoleh lalu mendongak, kemudian dia bangkit dan berdiri tepat di hadapanku.
"Hai, Rin," sapanya.
"Baiknya kita bicara di dalam, Mas," ajakku sambil menggandeng kedua anaknya.
"Iya, aku juga akan berbicara sesuatu padamu. Tadi aku sudah menghubungi Anwar dan dia sudah mengizinkan," katanya saat kami berjalan beriringan menuju teras.
Mas Sanusi menceritakan perihal kedatangannya ke sini. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Kemudian dia beralih kepada kedua bocah lucu itu, memeluknya sebentar kemudian berpamitan.
"Papi janji, kalau Mami sudah kembali, Papi dan Mami akan menjemput kalian. Jadilah anak yang baik, menurut pada Tante Rina. Oke," pesannya pada kedua buah hatinya itu.
Lelaki yang memiliki garis wajah mirip dengan suamiku itu pun beranjak pergi, sesekali menengok ke belakang lalu tersenyum pada kedua anaknya.
"Yuk masuk, Sayang. Tante punya es krim. Em ... kalian mau yang rasa apa?" tanyaku. Mencoba mencairkan suasana dengan kedua bocah lucu ini.
*****
Mas Anwar pulang sangat larut, lelakiku itu terlihat sangat kusut, seperti sedang menanggung banyak pikiran. Kami memang membawa kunci rumah sendiri-sendiri, jadi ketika sampai di rumah tidak usah menunggu seseorang untuk membukakan pintu.
"Ada Adam dan Hawa di sini, Mas. Tadi sore Mas Sanusi yang mengantar mereka," kataku saat dia sudah berada di kamar. Aku memang belum tidur sengaja menunggu kepulangannya juga saking serunya membaca cerbung di sebuah aplikasi.
"Ya, aku tahu. Tadi Mas Sanusi juga sudah bilang," sahutnya datar sambil melepas jam tangan mahal yang dibeli saat dia berada Paris.
"Kenapa belum tidur?" tanyanya, kali ini dia sedang melepas kemejanya, demi Tuhan lelaki ini sungguh gagah, badannya terbentuk sempurna. Andai kamu tak mempunyai kelainan Mas, mungkin diriku adalah salah satu wanita yang beruntung.
Lekas aku membuang muka saat tersadar telah memperhatikannya, karena dia telah bersiap melepaskan celana panjangnya.
"Mas mau mandi atau makan dulu?" tanyaku ambigu. Nyesel rasanya mengapa aku harus menanyakan hal itu karena suamiku itu tidak menjawab, dia hanya memandangku sekilas lalu langsung masuk ke kamar mandi.
Aku mengedikkan bahu lalu mengambil pakaian ganti untuknya. Setelah itu membereskan kemeja yang dipakainya tadi, kemudian menaruhnya di tempat pakaian kotor.
Aku hendak bersiap tidur saat Mas Anwar keluar dari kamar mandi. Sekilas mata kami saling berserobok lalu saling membuang muka. Aku memilih berbaring membelakanginya. Namun, masih bisa melihatnya lewat pantulan cermin.
Setelah selesai memakai celana pendek dan juga kaos yang tadi sudah kusiapkan, dia kemudian beranjak keluar kamar tanpa bicara sepatah kata pun padaku.
Ada apa dengannya? Apa mungkin dia membawa wanita yang mengaku sebagai kekasihnya itu kembali ke sini? Aku yang hampir bersiap tidur pun bangkit. Jangan sampai itu terjadi saat ini, karena di rumah sedang ada Adam dan Hawa.
*****
Aku mencari keberadaan Mas Anwar, tempat pertama yang ku datangi adalah ruang kerjanya, kosong. Ruangan ini masih rapi bahkan sepertinya belum tersentuh.
Kembali aku menyusuri setiap ruangan yang ada di rumah, tapi tak juga aku menemukannya, tinggal dapur saja yang belum, tapi untuk apa Mas Anwar ke dapur?
Aku pun berbalik. Namun, karena penasaran aku pun kembali melanjutkan langkah ke dapur dan mendapati Mas Anwar sedang membuka kulkas, mengambil satu kotak susu UHT membawanya ke meja lalu menuangkannya ke dalam gelas.
Langkahku berhenti ketika Mas Anwar angkat bicara."Ada yang akan aku bicarakan, kemari lah," titahnya, "Di sini lebih baik, karena tak mungkin aku berbuat nekad padamu." Lanjutannya.
Aku menurut. Namun, setelah aku sudah duduk di depannya, lelakiku itu malah bangkit berdiri. Mau apa dia?
MENOLAK UNTUK RUJUK 7"Kamu mau apa? Es krim atau susu, biar aku ambilkan?" tanyanya sambil menuju lemari pendingin."Tidak usah, Mas. Aku masih kenyang," sahutku menolak tawarannya. Namun, tetap memperhatikan sikapnya.Lelakiku itu terdiam sejenak lalu urung membuka lemari pendingin itu, kemudian kembali duduk di depanku.Sungguh, aku dibuat pusing oleh tingkahnya, ada apa dengan lelaki yang akhir-akhir ini sikapnya nampak manis.Dia memainkan gelas yang ada di depannya, memutar-mutar benda yang isinya tinggal separuh itu. Aku memilih bungkam.Tak berani mengawali perbincangan, hanya diam saja menunggu apa yang sebenarnya akan dikatakan padaku."Rin." Mas Anwar menyebut namaku, kemudian mengangkat gelas menaruhnya di bibir lalu meminum isinya hingga tandas.Aku menghela napas dan masih tetap memperhatikan tingkahnya yang aneh. Tuhan, apa yang akan dikatakannya? Sungguh, memikirkannya membuatku semakin penasaran."Na
MENOLAK UNTUK RUJUK 8"Sayang, Tante itu namanya Monalisa. Dia temannya Om Anwar. Tadi pagi sebelum Hawa dan Adam bangun, Tante itu datang ke sini untuk mengerjakan tugas kantor bersama dengan, Om," kataku berusaha memberi penjelasan pada mereka berdua."Oh ...." Hanya itu yang keluar dari bibir keduanya."Nah, sekarang Adam dan Hawa kan sudah selesai sarapan, jadi sudah boleh pergi main. Mau main di mana? Di taman belakang atau di depan?" tanyaku lagi sambil memberi pilihan buat mereka."Papi kapan datang, Tante?" Hawa malah balik bertanya. Bola matanya yang jernih itu menatapku meminta penjelasan.Aku mendekat ke arahnya, berjongkok mensejajarkan diri ini pada wajah imut itu."Em ... kata Papi, nanti kalau Mami sudah datang akan jemput ke sini kan?" Gadis kecil itu manggut-manggut, aku juga mengikutinya sambil memberikan senyuman yang sangat manis."Jadi ... kita tunggu aja, oke," kataku lagi, sambil mengangkat tangan untuk melakuka
MENOLAK UNTUK RUJUK 9Terdengar bunyi pintu yang dikunci, gegas aku meraih handle-nya mencoba untuk membuka. Benar saja, pintu kamar mandi ini sudah terkunci dari luar.Tanganku menggantung ketika hendak menggedor pintu, mengingat di luar sedang ada Adam dan Hawa. Mereka masih terlalu dini untuk melihat pertengkaran antara aku dan Mas Anwar.Entah berapa lama aku berada di dalam sini dan entah apa yang telah terjadi di luar sana. Hanya resah dan gelisah yang menyelimuti hati dan pikiran. Bergidik ngeri saat teringat perlakuan Mas Anwar tadi.Mengapa dia kembali bersikap kasar? Apa prilakunya yang seperti itu tak bisa dihilangkan?Aku menoleh ketika mendengar anak kunci yang diputar. Detak jantungku berdebar cukup cepat, nyaliku tiba-tiba menciut, khawatir kalau lelaki itu kembali melakukan kekerasan.Perlahan diri ini bangkit sambil terus menatap ke arah pintu yang sebentar lagi terbuka. Lelaki itu hanya berdiri di am
Rupanya Papa dan Mama mertua yang lebih dulu datang ke rumah sakit. Keduanya terlihat sangat bahagia menyambut cucu pertama dari putra kesayangan.Wanita paruh baya itu mendekatiku sambil menggendong Anwar junior, begitulah mereka menyebut bayi yang baru saja lahir itu. Namun, aku bisa melihat kalau ada kesedihan yang terlihat dari sorot matanya."Terima kasih, Sayang. Kamu sungguh luar biasa. Lihatlah, dia begitu menggemaskan," ucapnya sambil mencium pipi yang masih sangat halus dan lembut itu, lalu dia beralih mencium keningku."Maafkan suamimu yang tidak bisa menemani saat kamu tengah berjuang," imbuhnya. Sekali lagi wanita paruh baya itu mencium kening ini. Aku benar-benar merasa bahagia dan terharu, karena selama ini Mama Ana memang selalu baik dan sayang padaku.Siapa yang akan tega menyakiti hatinya? Mas Anwar adalah putra kesayangannya. Bagaimana jadinya kalau Mama Ana sampai tahu kebiasaan yang dilakukan putranya tersebut. Apa yang ak
Aku tertawa setelah melihat semua video yang telah dikirim oleh wanita sun-dal itu.Menertawakan kebodohan yang selama ini kujalani. Aku telah tertipu dengan sikap manis Mas Anwar. Sungguh ib-lis tetaplah ib-lis, tak kan pernah berubah menjadi malaikat.Bagaimana pun aku berusaha untuk membantunya pulih, tak akan pernah berhasil kalau dia sendiri masih berhubungan dengan partnernya. Sungguh aku benar-benar merasa bodoh!Lama diri ini merenung, memikirkan nasib diri ini. Apa salahku, Tuhan? Ibu selalu bilang kalau aku adalah anak yang manis juga baik dan kata Bapak tak ada anak yang patuh selain aku. Lalu apa salahku, Tuhan?Aku sudah tak bisa membendungnya lagi, tetes demi tetes butiran bening ini mulai membasahi pipi, kubiarkan saja. Biarlah, biarlah beban ini ikut luntur bersama dengan air mata. Semua rasa ini berkecamuk dalam dada, terasa sesak sehingga sulit untuk bernafas. Terbuat dari apa hati lelaki yang telah menghalalkanku itu? Sehingga dia
Waktu berjalan sangat lambat, itulah yang sedang kurasakan saat ini, hanya bisa mondar-mandir dalam rumah dengan rasa cemas menunggu kedatangan Mas Anwar.Menebak-nebak, kira-kira apa dan bagaimana sikapnya nanti ketika sampai di rumah, setelah dia menerima surat gugatan cerai itu.Senja sudah berlalu, digantikan oleh malam. Namun, lelaki yang pernah menghalalkan diriku itu masih belum juga datang. 'Kemana Mas Anwar' itulah yang saat ini memenuhi pikiranku, karena lelaki yang akan menjadi mantan itu belum juga nampak batang hidungnya.Bintang pun sudah terlelap di ranjangnya, balita itu kelihatan nampak tertidur pulas. Sementara aku masih saja terus mondar-mandir tak jelas, bahkan hampir stress memikirkannya.Aku bergegas keluar kamar saat terdengar pintu depan dibuka, baru saja diri ini melangkah sampai di ambang pintu, tiba-tiba ada yang membekap mulutku. Spontan aku berontak, menendang dan meronta agar bisa terlepas. Namun, us
Emosi seketika memenuhi hati ini, setelah aku menerima surat dari kantor pengadilan, surat yang tak pernah sedikitpun melintas di dalam pikiran. Bagaimana bisa dan kenapa tiba-tiba Rina mengajukan gugatan cerai."Hah!" Aku melempar semua benda yang ada di mejaku untuk menyalurkan amarah.Aku masih tak habis pikir dengan semua ini. Bukankah sikapku sudah berubah, tak lagi menyakitinya. Bahkan aku hampir bisa menguasai emosi saat berhubungan badan dengannya, tapi apa ini?!Kulempar surat gugatan itu, tepat ketika Lisa masuk ke ruangan ini. Wanita kesayanganku itu mengambil kertas yang berserakan di lantai, menyusunnya kemudian mulai membaca."Kabulkan saja, Dear, tapi berikan dia pelajaran dulu," katanya sambil mengedipkan sebelah matanya.Lisa berjalan mendekati, kedua tangannya merangkul leherku. "Aku ada ide," katanya lagi sambil membisikkan sesuatu di telinga ini.Aku tersenyum mendengar idenya, tanpa menunggu lagi kuraih pinggang ra
Aku menangis tergugu di depan rumah orang tuaku sendiri, masih berlutut di tempat yang sama, ketika aku datang tadi.Aku mendongak saat mendengar pintu rumah terbuka, ada sedikit rasa senang di hati ini, hampir saja bibir ini tersenyum. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi, seluruh tubuhku basah, karena tersiram oleh air yang dibawa oleh bapak."Cepat pergi dari rumahku! Jangan kamu kotori halaman rumah ini dengan dosa-dosa yang melekat di tubuhmu!" Bapak mengusirku lagi anak kandungnya sendiri. Lelaki cinta pertamaku itu benar-benar telah termakan oleh kebohongan mas Anwar.Diriku seperti orang yang benar-benar hina, seolah tubuh ini adalah barang yang sangat najis, sehingga bapak, orang yang telah mengukir jiwa ragaku tega memperlakukan hal seperti itu."Pergi!" Kali ini bapak berteriak sambil melempar ember padaku. Sakit akibat terkena lemparan ember tak sebanding dengan sakit hati yang kurasakan.Tetangga sekitar sudah banyak yang keluar rum
Hari ini jadwalnya Khoir terapi, kubawa dia pergi ke tempat di mana dulu Bintang berobat. Sudah hampir setahun suamiku ini menjalani terapi di sini, Alhamdulillah hasilnya cukup memuaskan. Sedikit demi sedikit dia sudah bisa berjalan tanpa menggunakan struk.Saat kami sampai, ada sebuah mobilsedang terparkir di depan rumah dan kami sudah tahu siapa pemiliknya."Malas aku kalau Papa Anwar ke sini." Bintang mengeluh karena melihat siapa yang datang."Bintang gak boleh begitu, sama orang tua harus sopan ya, Nak," kata Khoir."Tapi, Yah. Bintang gak suka, dia suka ganggu Bunda," sahutnya sewot."Mangkanya tugas kamu untuk menjaga, Bunda." Khoir menjawab sambil mengelus rambut ikal Bintang.Khoir menatapku sekilas, entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya ada sorot kekecewaan di matanya.Bintang lebih dulu turun dan langsung menghampiri papanya. Ba
"Mas, kenapa ada begitu banyak polisi di depan rumah?" tanyaku keheranan."Aku juga gak tahu, Dek. Semoga saja tidak terjadi sesuatu. Selama kita tidak merasa melakukan kesalahan, kamu gak usah khawatir, ya," sahutnya menenangkanku.Meskipun Khoir sudah memenangkan diri ini. Namun, masih saja ada perasaan takut, mengingat semua yang pernah kualami dulu.Aku bisa bernapas lega, setelah Khoir berbasa-basi, ternyata para polisi itu sedang menyelidiki kasus pencurian dan yang menjadi tersangka adalah putra tetanggaku. Astaghfirullah ...Lekas aku memohon perlindungan pada Yang Maha Berkehendak, semoga Allah menghendaki anak-anakku dengan akhlak yang terpuji."Ya Allah.. Berikan kebaikan yang banyak pada anak-anakku, jagalah mereka dan jangan kau celakakan mereka. Karuniakanlah kami ketaatan mereka..” Aamiin.Kejadian yang menimpa anak tetangga membuatku sedikit khawatir
Hari masih pagi bahkan butiran embun masih bergelayut manja di kelopak bunga mawar. Setelah berkutat di dapur, aku sudah bersiap dengan sekeranjang pakaian kotor. Jangan ditanya di mana Khoir, ah suamiku itu sedang melantukan Kalamullah. Ada rasa damai jika aku mendengar suara merdunya saat membacanya."Sin, kubantu, Dek." Lelakiku ini sudah ada di sampingku. Alhamdulillah semoga panjang umur, baru saja diomongin udah muncul aja orangnya, tak ayal membuatku tersenyum."Loh, kok malah senyam-senyum ada apa sih?" tanyanya sok curiga, kembali aku tersenyum."Oh iya, Mas. Nanti jadi sowan ke Pak Kyai?" Aku balik bertanya sambil memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci."Gak bisa nanti, Dek. Tadi aku coba menghubungi beliau, tapi nomernya gak aktif. Akhirnya kuhubungi Kak Mujib, dia bilang kalau Pak Kyai sedang berada di luar kota," katanya menjelaskan.
"Dek!" Khoir masuk disusul oleh Hawa, bersamaan dengan Bintang yang menangis keluar dari kamar.Kami saling menatap, Khoir seolah meminta penjelasan padaku dan aku bingung bagaimana harus mengatakannya.*****Ketiga bocah itu duduk di bangku belakang kemudi, seolah mengerti kalau semua sedang tidak baik-baik saja, mereka semua bungkam termasuk Bintang. Balita yang biasanya riang itu ikut diam melihat saudara sepupunya yang juga bungkam.Begitu juga dengan kami yang sibuk dengan pikiran masing-masing.Menanyakan kepada Sang Maha Kuasa mengapa semua ini terjadi? Seolah diri ini adalah hamba yang tak beriman, karena masih meragukan takdirNya.Sesekali aku mengusap air mata yang menetes setiap kali berkedip. Tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan mereka setelah semuanya ini. Sesekali Khoir menggenggam jemariku,
Setelah papa Haris dibawa ke rumah sakit. Khoir segera memesan mobil online, kami akan pulang ke rumahku berserta Adam dan Hawa.Kedua kakak beradik ini memaksa papinya supaya mengizinkan mereka ikut bersama kami. Mas Sanusi menolak, dia mengatakan kalau habis dari rumah sakit, dia janji akan langsung mengantar mereka pulang. Namun, kedua bocah itu tetap kekeuh ingin ikut pulang bersamaku."Gak pa-pa, Mas. Biar mereka ikut kami. Nanti mas jemput mereka dari sana." kataku mencoba memberikan jalan tengah karena mereka terus saja berdebat."Ya udah kalau gitu. Maaf ya, Rin, jadi ngrepotin kamu dan Khoir."Setelah berucap mas Sanusi menghampiri kedua anaknya "Adam, Hawa kalian jangan nakal ya," pesannya pada putra dan putrinya.Keduanya mengangguk serentak."Ok, Papi ke rumah sakit dulu." Mas Sanusi memandang kami sebentar sambil tersenyum kemudian beranjak masuk ke mobil dan pelan-pelan
"Kak Irul! Kak! Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Mbak Rina," seru Nisa di balik pintu kamar."Iya sebentar, Nisa," jawab Khoir.Lelakiku ini kembali menatapku "Siapa malam-malam gini mau menemuimu, Dek?" tanya Khoir yang masih mengurungku dalam pelukannya."Ya, mana aku tahu! Mangkanya lepas," sahutku sambil berusaha mengurai pelukannya."Boleh, tapi ada syaratnya," godanya sambil mengedipkan sebelah matanya."Apa'an sih?" tanyaku ketus. Khoir tidak menjawab pertanyaanku, tangannya meraih sesuatu yang ada di belakangku, lalu memakaikan sesuatu di kepalaku."MasyaAllah ... cantiknya istriku," puji Khoir setelah dia merapikan jilbab instan yang sekarang telah menutupi rambutku.Aku tersipu malu, Astaghfirullah ... apa yang aku pikirkan tadi? Ish! Malu malu malu. Aku tersenyum sendiri karena sempat berfikir yang iya-iya.Bintang menyon
Setelah kami selesai melaksanakan kewajiban pada Sang Pencipta, aku langsung membersihkan rumah. Menyapu membereskan mainan Bintang dan menyiapkan masakan untuk makan malam."Assalamualaikum." Mendengar ada yang mengucapkan salam, aku pun bergegas keluar. Sedangkan Khoir dan Bintang sedang bersepeda sore, putar-putar kampung, Bintang sangat menyukainya.Dari dalam rumah kulihat ada seorang perempuan sedang berdiri di pinggir pintu."Wa'alaykumussalam." Aku menjawab ketika sudah berada dekatnya. Seorang wanita berwajah manis memakai jilbab ungu, menggunakan rok panjang bermotif bunga dipadukan dengan kaos lengan panjang berwarna hitam sedang tersenyum manis padaku."Kak Irulnya ada, Mbak?" tanyanya sopan setelah kami sudah berhadapan."Gak ada, Dek. Ada perlu apa ya? Mungkin, nanti bisa kusampaikan." Aku menawarkan diri sebagai perantara pesannya."Mbak ini siapanya Kak Iru
Kemarin malam adalah tahlil terakhir untuk almarhumah bu Dewi. Itu berarti usia pernikahanku dengan Khoir juga sudah berjalan selama tujuh hari. Selama itu pula antara aku dan Khoir belum pernah melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh sepasang suami istri. Jangankan tidur bersama, bahkan ngobrol mesra pun kami masih segan, jadi berbicara hanya seperlunya saja.Aku juga tak pernah tahu di mana dan kapan Khoir pergi tidur, yang pasti dia tidak sekamar denganku. Kami akan bertemu di pagi hari ketika Khoir pulang dari masjid usai salat Subuh dan aku sedang membuat sarapan di dapur, selalu seperti itu selama tujuh hari ini.Berbeda dengan Bintang, balitaku itu cepat sekali akrab dengan Khoir. Bahkan aku sering mendengar Khoir mengajaknya berbicara dan mengajari Bintang untuk memanggilnya dengan sebutan ayah.Entah kenapa, kali ini Khoir agak lama berada di masjid. Sampai aku selesai m
"innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un ... Bu Dewi." Suara parau terdengar di antara isak tangis. Para ibu-ibu kemudian menyibukkan diri, melakukan tugas masing-masing, seperti sudah terkomando mereka melakukan pekerjaan tanpa diperintah. Di perkampungan rasa persaudaraan masih terasa kental. Jika ada salah satu warga berduka, mereka akan segera membantu walaupun hanya sekedar tenaga."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un." Khoir berucap sambil mengusap wajah ibunya, lelaki itu sekuat tenaga menahan air matanya, terlihat dari ranghangnya yang mengeras dengan bibir yang mengatup rapat.kemudian dia membetulkan letak tangan ibunya dengan posisi sedekap. Semua orang berduka, kecuali mereka para manusia-manusia berhati ib**s yang membuat keonaran di sini tadi. Hanya diam menyaksikan tanpa kelihatan berduka.Semua orang sibuk, mereka cepat tanggap mengurus jenazah almarhumah bu Dewi. Sebagian warga ada yang pergi