Setelah menghadapi situasi sulit, Zera kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Namun seakan ketenangan tidak berpihak padanya, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Zera tahu siapa itu tanpa harus melihat—ayahnya, dengan langkah beratnya yang biasa, diikuti oleh suara ketukan yang lebih pelan dari ibu tirinya. Zera menatap pintu dengan tatapan dingin, menimbang apakah dia akan membiarkan mereka masuk.
Namun sebelum dia sempat memutuskan... Pintu terbuka dengan cepat, dan ayah Zera melangkah masuk, diikuti oleh ibu tirinya dengan wajah yang tak menunjukkan penyesalan sedikitpun. "Apa yang terjadi padamu, Zera?" Ayahnya bertanya dengan nada suara yang tegang, meskipun jelas dia berusaha menenangkan diri. "Mengapa kamu menutup diri seperti ini?" Zera berbalik dengan cepat, matanya bersinar dengan kemarahan yang tak terbendung. "Mengapa aku menutup diri?!" Zera hampir berteriak. "Aku baru saja diberitahu bahwa kalian menjualku kepada pria itu! Kalian mengatakan ini perjodohan, tapi ternyata ini cuma cara murah kalian untuk keluar dari masalah!" Ayah Zera tampak terkejut sesaat, namun dia segera mengganti ekspresinya menjadi lebih tegas. "Kamu tidak mengerti, Zera. Ini semua untuk kebaikan kita. Keluarga ini membutuhkan penyelamatan, dan ini satu-satunya cara." "Kebaikan siapa? Keluarga yang mana?" Zera mendengus. "Kalian hanya memikirkan diri sendiri! Aku bukan barang yang bisa dijual begitu saja, Ayah!" Ibu tiri Zera, yang berdiri di sudut ruangan, menyilangkan tangan di dada dan berkata dengan suara sinis, "Jangan egois, Zera. Kamu harus tahu posisi kamu dalam keluarga ini. Jika bukan karena utang-utang ini, kamu tidak akan mendapatkan kehidupan yang nyaman sampai sekarang." Zera menoleh tajam ke arah ibu tirinya, matanya berkobar dengan kemarahan. "Kenyamanan? Kau pikir aku peduli tentang semua itu? Kau hanya iri karena aku anak kandung Ayah dan kau hanya ibu tiri yang tidak lebih dari seorang oportunis!" Ibu tiri Zera terdiam, meskipun wajahnya merah karena marah. Namun, ayah Zera segera maju dan menegur Zera dengan nada tajam, "Cukup, Zera! Jangan bicara seperti itu pada ibumu!" Zera menatap ayahnya dengan tatapan yang penuh luka. "Ibuku? Dia bukan ibuku! Dan kau, Ayah, bagaimana bisa kau berpihak pada mereka? Bagaimana bisa kau mengkhianati darah dagingmu sendiri hanya demi membela mereka? Aku ini anak kandungmu!" Wajah ayah Zera mengeras. Dia melangkah lebih dekat, dan tanpa peringatan, tamparan keras mendarat di pipi Zera, membuatnya terpental sedikit ke belakang. Ruangan itu seketika menjadi hening. Zera terdiam, memegang pipinya yang memerah, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Jangan pernah bicara seperti itu lagi," kata ayahnya dengan nada yang lebih rendah namun lebih menakutkan. "Kau tidak mengerti apa yang harus aku lakukan untuk melindungi keluarga ini." Zera menatap ayahnya dengan tatapan yang penuh kekecewaan dan rasa sakit. Dia tidak percaya bahwa ayah yang selama ini dia hormati, orang yang seharusnya melindunginya, justru memilih untuk melukai dan mengkhianatinya demi keluarga barunya. Dengan suara yang bergetar, Zera berkata, "Ayah, aku sudah kehilangan ibuku sejak lama, dan sekarang... aku sadar bahwa aku juga sudah kehilangan ayahku. Kau sudah bukan ayahku lagi, hanya seseorang yang memilih keluarga lain di atasku." Ayah Zera tampak tertegun mendengar kata-kata itu, namun dia tidak mengatakan apa-apa. Ibu tiri Zera hanya tersenyum sinis, merasa puas dengan hasil akhir dari percakapan ini. Zera menghapus air matanya dengan cepat dan mengambil napas dalam-dalam. "Sekarang aku tahu siapa kalian sebenarnya. Jangan harap aku akan menurut pada rencana kalian," ujar Zera dengan suara yang kembali tegas, meski penuh dengan rasa sakit. "Aku tidak akan membiarkan kalian mengatur hidupku lagi." Plak! Sekali lagi ayah Zera menamparnya, tamparan yang membuat Zera tertegun, suasana di kamarnya semakin tegang. Dengan pipi yang memerah dan hati yang penuh luka, Zera berdiri di sudut ruangan, memandang ayah dan ibu tirinya dengan rasa sakit yang mendalam. Ayah Zera tampak tidak terpengaruh oleh emosinya, sementara ibu tirinya hanya mengamati dengan ekspresi sinis. "Aku harap kamu mengerti keputusan ini, Zera," kata ayahnya dengan nada yang datar. "Ini adalah langkah yang harus diambil demi kebaikan keluarga." Zera menggertakkan giginya, merasa marah dan kecewa dengan ketidakpedulian ayahnya. "Keluarga? Ini bukan keluarga! Ini adalah pengkhianatan!" Ayah Zera hanya melirik Zera sekilas sebelum berbalik, mengabaikan kata-katanya. Dia berjalan menuju adik tirinya yang berdiri di dekat pintu kamar, tampak cemas dan bingung. Adik tirinya, seorang gadis berusia sekitar 18 tahun, terlihat sangat ketakutan oleh keributan yang terjadi. Ayah Zera menarik adik tirinya dalam pelukannya dengan lembut, senyumnya muncul penuh kasih sayang saat dia mencium dahi gadis kecil itu. “Jangan khawatir, sayang. Papa dan Mama akan selalu ada untukmu. Kami akan menjaga kamu dengan baik,” ucapnya dengan nada penuh kehangatan. Ibu tiri Zera, yang berdiri di samping, menambahkan, “Kami akan memastikan kamu merasa nyaman dan aman. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan.” Melihat pemandangan ini, Zera merasakan hatinya semakin hancur. Ayahnya, yang seharusnya melindungi dan mendukungnya, malah menunjukkan kasih sayang dan perhatian yang sama sekali tidak ia dapatkan. Rasa sakit dan kecewa yang mendalam menyelimuti dirinya saat ia menyaksikan bagaimana keluarganya, yang seharusnya menjadi pelindungnya, lebih memilih memberikan perhatian dan cinta kepada adik tirinya, bukan padanya. Zera menatap ayahnya dengan tatapan penuh luka, kemudian dengan langkah cepat, dia keluar dari kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia menutup pintu dengan keras, mengabaikan panggilan lembut adik tirinya yang meminta agar dia kembali. Ayah Zera hanya menoleh sebentar ke arah pintu yang tertutup sebelum kembali memusatkan perhatian pada adik tirinya. “Jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja. Kamu adalah prioritas utama kami,” katanya sambil mengelus lembut kepala adik tirinya. Sementara itu, Zera, yang keluar dari rumah dan berdiri di luar dalam suasana dingin, merasakan rasa sakit dan kemarahan yang tak tertahan. Dia tahu bahwa dia harus mencari cara untuk mengatasi situasi ini sendiri.Keesokan harinya, Zera menerima panggilan dari seorang pria bernama Leo, yang mengaku sebagai tangan kanan pengusaha yang kini 'memilikinya'. Leo meminta Zera untuk menemuinya di sebuah restoran mewah di pusat kota. Penuh dengan rasa curiga dan waspada, Zera setuju untuk bertemu.Saat tiba di restoran, Zera langsung mengenali Leo dari deskripsi yang diberikan. Leo adalah pria dengan penampilan rapi dan aura otoritas yang kuat. Dia duduk di sudut restoran, menunggu kedatangan Zera.Dengan senyum profesional, Leo berucap, "Selamat siang, Nona Zera. Silakan duduk.""Jadi, kamu orang yang dikirim untuk memastikan aku patuh?" Zera terlihat sinis menatap Leo, menduga jika semua yang ditampilkannya adalah kepalsuan."Bukan begitu. Aku di sini untuk memastikan transisi ini berjalan lancar. Tuan Dante ingin memastikan bahwa kamu merasa nyaman dan tidak ada masalah yang tidak bisa diatasi.""Benarkah?"Mengangguk, senyum tetap terjaga. "Benar sekali. Dia merasa kamu memiliki potensi besar, Zera
Saat Zera dan Leo berjalan keluar dari parkiran, sebuah mobil hitam mewah tiba-tiba berhenti di depan mereka. Jendela mobil turun, memperlihatkan wajah tegas Dante yang menatap langsung ke arah Zera."Zera, masuk ke mobil. Sekarang," ucap Dante dengan nada perintah yang keras.Zera menoleh ke Leo, mencari penjelasan. Namun, Leo hanya mengangguk dengan enggan, menunjukkan bahwa dia tidak bisa menentang perintah Dante.Zera merasakan ketegangan dan ketidakpastian. "Kenapa aku harus menurutimu, Dante?""Karena aku yang sekarang bertanggung jawab atas keselamatanmu. Masuk ke mobil sebelum aku kehilangan kesabaran," jawab Dante, suaranya dingin.Ragu-ragu, Zera membuka pintu mobil dan masuk. Dante menatap Leo dengan pandangan penuh makna sebelum menutup jendela mobil dan melaju dengan cepat, meninggalkan Leo di parkiran.Di dalam mobil, keheningan yang canggung melingkupi mereka. Zera, yang merasa sangat tertekan, akhirnya memutuskan untuk bertanya."Kenapa kamu tiba-tiba datang dan memaks
Keesokan paginya, Zera bangun dengan rasa lelah dan kecemasan yang mendalam. Saat dia keluar dari kamar, dia bertemu dengan Leo yang menunggu di ruang tamu.Dengan senyum ramah, Leo berkata, "Selamat pagi, Zera. Tuan Dante sudah menyiapkan rencana hari ini untukmu. Aku akan menemanimu ke tempat pertama."Zera hanya mengangguk sebagai jawaban, merasakan kecemasan yang mendalam mengenai apa yang akan terjadi.Mereka meninggalkan mansion dan menuju ke lokasi yang telah ditentukan oleh Dante. Di perjalanan, Leo menceritakan lebih banyak tentang tugas-tugas yang mungkin akan dihadapi Zera. Namun, di tengah perjalanan, sebuah mobil lain muncul dan memaksa mereka berhenti. Keluar dari mobil itu seorang pria berwajah kejam yang langsung mengenali Leo."Nah, Leo. Aku tidak menyangka akan melihatmu di sini. Apa ini? Kekasih barumu?" Katanya dengan nada menghina.Leo hendak membalas, tetapi perkataan serta aura yang dipancarkan Zera menarik perhatian pria tersebut. Zera berdiri di samping Leo, m
Krisis kepercayaan antara Zera dan Dante semakin memperburuk situasi di mansion. Setiap interaksi diwarnai ketegangan, dengan Zera yang ketakutan dan cemas, sementara Dante terus mencoba meyakinkannya tentang pentingnya pernikahan demi keselamatan mereka berdua.Suatu malam, ketika Zera sedang duduk di taman mansion dengan wajah yang letih, Dante mendekatinya dengan langkah pelan. Mereka berdiri dalam keheningan beberapa saat sebelum Dante akhirnya berbicara."Zera, aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi aku butuh kau untuk mempercayaiku. Setidaknya beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya," katanya dengan nada lembut, berusaha menenangkan Zera yang tampak gelisah.Zera menatap Dante dengan mata yang dipenuhi ketakutan dan kebingungan. "Mengapa aku harus mempercayaimu, Dante? Semua yang kau lakukan hanya membuatku merasa terjebak... seperti aku ini tak punya pilihan," jawabnya, suaranya bergetar.Dante merasakan keputusasaan Zera dan menatapnya dengan penuh iba. "Karena aku pedul
"Aku tidak akan memaksamu menjadi sesuatu yang kau tidak inginkan," kata Dante dengan nada lembut, menatap Zera dengan penuh kesungguhan.Zera merasakan ketulusan dalam kata-kata Dante, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Dia tahu bahwa mereka harus bersatu untuk menghadapi ancaman yang datang, tapi ketakutan itu masih ada."Baiklah, Dante... kita akan melakukannya. Tapi... tapi aku butuh kepastian. Aku butuh kebebasan dan kepercayaan dalam hubungan ini," ucap Zera dengan suara pelan dan ragu, sambil menguatkan hatinya. Dia merasa tak punya pilihan lain selain percaya pada Dante, meski hatinya masih ragu.Dante mengangguk, merasa lega dan bersyukur. Mereka tahu bahwa jalan di depan masih penuh dengan tantangan, tapi untuk saat ini, mereka telah membuat langkah besar menuju pemahaman dan kerjasama yang lebih baik.Mereka mulai merencanakan pernikahan dengan hati-hati, mempersiapkan segala sesuatunya untuk memastikan aliansi mereka kuat dan musuh-musuh mereka tidak punya kesempata
Malam tiba, dan pesta pernikahan berlanjut di ballroom mansion yang megah. Tiba-tiba, Leo muncul dengan wajah tegang dan mendekati Zera dengan hati-hati."Zera, kita harus bicara. Sekarang," kata Leo dengan nada pelan tapi mendesak.Zera merasakan urgensi dalam suara Leo, dan meskipun hatinya berdebar kencang, dia mengikuti Leo keluar dari keramaian ke sebuah ruangan yang sepi. Di sana, Leo memberitahunya sebuah kebenaran yang mengejutkan."Dante tidak sepenuhnya jujur padamu, Zera. Perlindungan yang dia janjikan padamu hanya sebagian dari rencana besarnya. Dia berencana menggunakan pernikahan ini untuk mengambil alih kekuasaan musuh-musuhnya dan memperkuat posisinya sendiri, bukan semata-mata untuk melindungimu," jelas Leo, suaranya penuh kekhawatiran.Zera terdiam, merasa marah dan dikhianati, tetapi juga sangat takut. Mendengar pengkhianatan ini membuatnya merasa semakin lemah dan tak berdaya. Meskipun sebelumnya dia sudah mengkhawatirkan hal ini, tetap saja hatinya sakit mengetahu
Zera duduk sendirian di pojok sebuah kafe kecil, masih mengenakan gaun pengantin yang kini terlihat lusuh dan berantakan. Matanya sembab, dan wajahnya memancarkan keletihan yang mendalam. Pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa sakit, membuatnya merasa perlu melarikan diri sejenak dari semua kekacauan yang telah terjadi.Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang pria tua dengan aura otoritas yang mengintimidasi memasuki kafe. Dia adalah Vittorio Marcelino, kakek Dante, dan kepala keluarga Marcelino yang terkenal kejam dan penuh taktik. Langkahnya pelan namun penuh keyakinan saat ia mengenali Zera dan mendekatinya.Dengan nada tenang namun penuh wibawa, Vittorio berkata, "Sepertinya kau membutuhkan teman bicara, nona muda."Zera mengangkat wajahnya perlahan, terkejut melihat pria tua itu. Tubuhnya menegang, dan bibirnya bergetar sedikit saat ia menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Zera tahu siapa Vittorio Marcelino, namun tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya di tempat
Zera menatap ke luar jendela kafe, matanya menerawang. Pertemuan dengan Vittorio meninggalkan dampak yang lebih besar daripada yang dia sadari sebelumnya. Pria tua itu telah memberikan perspektif baru tentang dirinya dan posisi yang dia tempati dalam keluarga Marcelino. Sebuah perspektif yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya, bahwa mungkin dia bisa menjadi lebih dari sekadar alat dalam permainan ini.Angin sore yang dingin masuk dari celah pintu kafe yang terbuka, membawa Zera kembali ke kenyataan. Dia meremas cangkir kopi di depannya yang mulai dingin, pikirannya berputar pada Dante. Dante dan pertemuan mereka dulu. Saat itu dia hanya seorang gadis yang berusaha bertahan dari kekacauan dalam rumahnya setelah ibu tirinya, Celeste, masuk dalam kehidupannya. Zera ingat betul malam itu. Dia berada dalam keadaan buruk—babak belur dan berantakan setelah dihajar oleh Celeste. Namun, meskipun tubuhnya terasa sakit, dia tetap melarikan diri ke hutan untuk mencari tempat tenang.Itu ada