Keesokan paginya, Zera bangun dengan rasa lelah dan kecemasan yang mendalam. Saat dia keluar dari kamar, dia bertemu dengan Leo yang menunggu di ruang tamu.
Dengan senyum ramah, Leo berkata, "Selamat pagi, Zera. Tuan Dante sudah menyiapkan rencana hari ini untukmu. Aku akan menemanimu ke tempat pertama." Zera hanya mengangguk sebagai jawaban, merasakan kecemasan yang mendalam mengenai apa yang akan terjadi. Mereka meninggalkan mansion dan menuju ke lokasi yang telah ditentukan oleh Dante. Di perjalanan, Leo menceritakan lebih banyak tentang tugas-tugas yang mungkin akan dihadapi Zera. Namun, di tengah perjalanan, sebuah mobil lain muncul dan memaksa mereka berhenti. Keluar dari mobil itu seorang pria berwajah kejam yang langsung mengenali Leo. "Nah, Leo. Aku tidak menyangka akan melihatmu di sini. Apa ini? Kekasih barumu?" Katanya dengan nada menghina. Leo hendak membalas, tetapi perkataan serta aura yang dipancarkan Zera menarik perhatian pria tersebut. Zera berdiri di samping Leo, merasa sangat cemas dan tidak berdaya. "Apa urusanmu dengan kami?" tanya Zera dengan suara bergetar, berusaha untuk terdengar tegas meskipun dia sangat ketakutan. Pria itu memandang Zera dengan ejekan, sebelum kembali menatap Leo dengan tatapan menantang. "Oh, hanya penasaran. Apakah kamu benar-benar memutuskan untuk bersamanya, Leo? Gadis lemah ini, benar-benar tidak menarik." Leo menatap pria itu dengan dingin. "Pergi dari sini sebelum aku kehilangan kesabaran." Pria itu tertawa sinis, lalu kembali ke mobilnya. "Baiklah, tapi ini belum selesai. Kita akan bertemu lagi." Katanya sebelum manancap gas meninggalkan Zera dan Leo. Dante langsung memanggil Zera ke ruang kerjanya, sesampainya Zera di sebuah rumah yang terletak agak jauh dari kota. Zera ragu, tapi dia juga tidak mungkin menolak. Sesampainya di salah satu ruangan yang di yakini Zera sebagai ruang kerja Dante. Zera menjadi curiga. "Zera, ada sesuatu yang penting yang harus kita bicarakan." Tegas Dante, dengan nada yang membuat Zera semakin curiga. "Apa itu, Dante?" Tanya Zera dengan kewaspadaan yang semakin meningkat, merasakan ketegangan di udara. Dante menatapnya dengan serius, lalu mengeluarkan sebuah dokumen dari dalam laci mejanya. "Ini adalah perjanjian pernikahan. Aku ingin kita menikah segera." "Apa? Kau bercanda, kan?" "Tidak, Zera. Ini serius. Dengan menikah, posisi dan keselamatanmu akan lebih terjamin. Selain itu, ini akan menguatkan aliansi dan kontrol kita di dunia ini." "Kau pikir aku ini apa? Hanya alat untuk memperkuat kekuasaanmu? Aku tidak akan menikah denganmu hanya karena alasan itu." Mendengar itu, Dante berdiri, mendekati Zera dengan tatapan tajam. "Ini bukan hanya tentang kekuasaan, Zera. Ini tentang keselamatanmu. Dunia ini kejam, dan pernikahan ini akan melindungimu dari musuh-musuh kita." "Jangan berpura-pura peduli, Dante. Aku tahu kau hanya ingin mengendalikan aku. Aku tidak akan membiarkan diriku terjebak dalam jebakanmu." Dante menatap Zera dengan frustrasi, tampak tidak bisa membuatnya memahami niatnya. Ketegangan semakin memuncak, dan Zera merasakan beratnya kata-kata Dante. "Aku tidak akan memaksamu jika kau benar-benar menolak. Tapi pikirkanlah dengan bijak. Dunia ini tidak memberi banyak pilihan." Zera merasa terperangkap dalam dilema yang menyakitkan. Setiap kata Dante seperti jarum yang menusuk hatinya, membuatnya merasa semakin lemah dan tidak berdaya. Di satu sisi, dia tahu bahaya yang mengintainya, namun di sisi lain, dia tidak ingin menyerahkan kebebasannya begitu saja. "Aku akan berpikir. Tapi jangan harap aku akan tunduk pada keinginanmu begitu saja," Zera menjawab, suaranya hampir bergetar. Dante mengangguk perlahan, menyadari bahwa Zera butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Ketegangan di antara mereka menciptakan jurang yang semakin lebar, membuat hubungan mereka yang sudah rumit menjadi lebih sulit. Zera merasa dikhianati dan tidak bisa mempercayai Dante, sementara Dante merasa frustrasi karena niat baiknya tidak dipahami.Krisis kepercayaan antara Zera dan Dante semakin memperburuk situasi di mansion. Setiap interaksi diwarnai ketegangan, dengan Zera yang ketakutan dan cemas, sementara Dante terus mencoba meyakinkannya tentang pentingnya pernikahan demi keselamatan mereka berdua.Suatu malam, ketika Zera sedang duduk di taman mansion dengan wajah yang letih, Dante mendekatinya dengan langkah pelan. Mereka berdiri dalam keheningan beberapa saat sebelum Dante akhirnya berbicara."Zera, aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi aku butuh kau untuk mempercayaiku. Setidaknya beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya," katanya dengan nada lembut, berusaha menenangkan Zera yang tampak gelisah.Zera menatap Dante dengan mata yang dipenuhi ketakutan dan kebingungan. "Mengapa aku harus mempercayaimu, Dante? Semua yang kau lakukan hanya membuatku merasa terjebak... seperti aku ini tak punya pilihan," jawabnya, suaranya bergetar.Dante merasakan keputusasaan Zera dan menatapnya dengan penuh iba. "Karena aku pedul
"Aku tidak akan memaksamu menjadi sesuatu yang kau tidak inginkan," kata Dante dengan nada lembut, menatap Zera dengan penuh kesungguhan.Zera merasakan ketulusan dalam kata-kata Dante, meskipun hatinya masih dipenuhi keraguan. Dia tahu bahwa mereka harus bersatu untuk menghadapi ancaman yang datang, tapi ketakutan itu masih ada."Baiklah, Dante... kita akan melakukannya. Tapi... tapi aku butuh kepastian. Aku butuh kebebasan dan kepercayaan dalam hubungan ini," ucap Zera dengan suara pelan dan ragu, sambil menguatkan hatinya. Dia merasa tak punya pilihan lain selain percaya pada Dante, meski hatinya masih ragu.Dante mengangguk, merasa lega dan bersyukur. Mereka tahu bahwa jalan di depan masih penuh dengan tantangan, tapi untuk saat ini, mereka telah membuat langkah besar menuju pemahaman dan kerjasama yang lebih baik.Mereka mulai merencanakan pernikahan dengan hati-hati, mempersiapkan segala sesuatunya untuk memastikan aliansi mereka kuat dan musuh-musuh mereka tidak punya kesempata
Malam tiba, dan pesta pernikahan berlanjut di ballroom mansion yang megah. Tiba-tiba, Leo muncul dengan wajah tegang dan mendekati Zera dengan hati-hati."Zera, kita harus bicara. Sekarang," kata Leo dengan nada pelan tapi mendesak.Zera merasakan urgensi dalam suara Leo, dan meskipun hatinya berdebar kencang, dia mengikuti Leo keluar dari keramaian ke sebuah ruangan yang sepi. Di sana, Leo memberitahunya sebuah kebenaran yang mengejutkan."Dante tidak sepenuhnya jujur padamu, Zera. Perlindungan yang dia janjikan padamu hanya sebagian dari rencana besarnya. Dia berencana menggunakan pernikahan ini untuk mengambil alih kekuasaan musuh-musuhnya dan memperkuat posisinya sendiri, bukan semata-mata untuk melindungimu," jelas Leo, suaranya penuh kekhawatiran.Zera terdiam, merasa marah dan dikhianati, tetapi juga sangat takut. Mendengar pengkhianatan ini membuatnya merasa semakin lemah dan tak berdaya. Meskipun sebelumnya dia sudah mengkhawatirkan hal ini, tetap saja hatinya sakit mengetahu
Zera duduk sendirian di pojok sebuah kafe kecil, masih mengenakan gaun pengantin yang kini terlihat lusuh dan berantakan. Matanya sembab, dan wajahnya memancarkan keletihan yang mendalam. Pikirannya penuh dengan kebingungan dan rasa sakit, membuatnya merasa perlu melarikan diri sejenak dari semua kekacauan yang telah terjadi.Tak jauh dari tempatnya duduk, seorang pria tua dengan aura otoritas yang mengintimidasi memasuki kafe. Dia adalah Vittorio Marcelino, kakek Dante, dan kepala keluarga Marcelino yang terkenal kejam dan penuh taktik. Langkahnya pelan namun penuh keyakinan saat ia mengenali Zera dan mendekatinya.Dengan nada tenang namun penuh wibawa, Vittorio berkata, "Sepertinya kau membutuhkan teman bicara, nona muda."Zera mengangkat wajahnya perlahan, terkejut melihat pria tua itu. Tubuhnya menegang, dan bibirnya bergetar sedikit saat ia menyadari siapa yang berdiri di hadapannya. Zera tahu siapa Vittorio Marcelino, namun tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya di tempat
Zera menatap ke luar jendela kafe, matanya menerawang. Pertemuan dengan Vittorio meninggalkan dampak yang lebih besar daripada yang dia sadari sebelumnya. Pria tua itu telah memberikan perspektif baru tentang dirinya dan posisi yang dia tempati dalam keluarga Marcelino. Sebuah perspektif yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya, bahwa mungkin dia bisa menjadi lebih dari sekadar alat dalam permainan ini.Angin sore yang dingin masuk dari celah pintu kafe yang terbuka, membawa Zera kembali ke kenyataan. Dia meremas cangkir kopi di depannya yang mulai dingin, pikirannya berputar pada Dante. Dante dan pertemuan mereka dulu. Saat itu dia hanya seorang gadis yang berusaha bertahan dari kekacauan dalam rumahnya setelah ibu tirinya, Celeste, masuk dalam kehidupannya. Zera ingat betul malam itu. Dia berada dalam keadaan buruk—babak belur dan berantakan setelah dihajar oleh Celeste. Namun, meskipun tubuhnya terasa sakit, dia tetap melarikan diri ke hutan untuk mencari tempat tenang.Itu ada
"Ayah, kenapa kita harus melakukan ini? Aku… aku selalu mencoba menjadi anak yang baik, memenuhi semua harapan kalian. Tapi, kenapa rasanya aku selalu gagal di mata kalian? Tolong, katakan kalau ini semua hanya mimpi buruk, dan aku akan segera terbangun. Ayah, aku mohon… jangan serahkan aku pada orang yang bahkan tak pernah kutemui."Zera memandang ayahnya dengan penuh harap, meskipun hatinya sudah mulai retak melihat ekspresi dingin yang menghiasi wajah ayahnya.“Ini bukan perjodohan biasa, Zera. Kau bisa menyelamatkan keluarga ini dari kehancuran. Kami tidak punya pilihan lain.”Zera tertegun. Rasa takut dan sakit hati langsung menyergap dirinya. “Ayah… Tidak, jangan lakukan ini. Aku mohon!” Zera berlutut di hadapan ayahnya, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku akan bekerja keras, aku akan melakukan apa saja, tapi jangan serahkan aku seperti ini.”Namun, bukannya mendapat simpati, ayahnya justru memalingkan wajah, menolak untuk menatap mata putrinya yang penuh harap. “Kau tidak
Hatinya masih bergejolak dengan perasaan marah dan kecewa setelah mendengar orang tuanya menjualnya begitu saja kepada pria ini. Ketika Dante akhirnya muncul di hadapannya, tatapan mata Zera dipenuhi dengan rasa takut yang bercampur aduk dengan ingatan yang tiba-tiba menyeruak.Saat Dante mendekat, Zera mendadak merasakan sebuah memori yang begitu kuat menghantam pikirannya—malam gelap yang penuh bahaya, ketika seorang pria terluka parah di sebuah jalanan sepi, dan Zera, dengan keberanian yang jarang ia tunjukkan, memutuskan untuk menolongnya tanpa tahu siapa pria itu. Luka yang begitu dalam, darah yang mengalir deras, dan rasa panik yang tak bisa ia lupakan, semua itu kini kembali dalam ingatannya dengan begitu jelas."Kau...," Zera berbisik, matanya membesar karena terkejut. "Kau adalah pria yang pernah kutolong waktu itu."Dante berhenti, sorot matanya berubah sejenak, menunjukkan sesuatu yang hampir seperti pengakuan. Kemudian, senyuman tipis terbentuk di bibirnya, sebuah senyum y
Setelah menghadapi situasi sulit, Zera kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Namun seakan ketenangan tidak berpihak padanya, terdengar ketukan di pintu kamarnya. Zera tahu siapa itu tanpa harus melihat—ayahnya, dengan langkah beratnya yang biasa, diikuti oleh suara ketukan yang lebih pelan dari ibu tirinya. Zera menatap pintu dengan tatapan dingin, menimbang apakah dia akan membiarkan mereka masuk.Namun sebelum dia sempat memutuskan...Pintu terbuka dengan cepat, dan ayah Zera melangkah masuk, diikuti oleh ibu tirinya dengan wajah yang tak menunjukkan penyesalan sedikitpun."Apa yang terjadi padamu, Zera?" Ayahnya bertanya dengan nada suara yang tegang, meskipun jelas dia berusaha menenangkan diri. "Mengapa kamu menutup diri seperti ini?"Zera berbalik dengan cepat, matanya bersinar dengan kemarahan yang tak terbendung. "Mengapa aku menutup diri?!" Zera hampir berteriak. "Aku baru saja diberitahu bahwa kalian menjualku kepada pria itu! Kalian mengatakan ini perjodohan, tap