Meski mereka mengatakan itu pada Lavendra, rasa bersalah dalam dirinya seolah tumbuh dan membuatnya merasa tidak enak. Ketika Daza sampai nantinya, tatapan tajam dan benci past akan langsung mengarah kepadanya, dan juga menunjukkan seberapa tidak senang dia.
Lavendra duduk di meja makan dengan pakaian milik iparnya. Ia termenung dan terus menunduk. Memikirkan bagaimana amarah dari Daza yang akan meluap setelah pertemuan ini, akan membuat Lavendra makin sulit memikat suaminya tersebut.“Kenapa mendadak memintaku datang sih, kali-“Daza yang terdengar baru masuk dan sudah marah-marah, ditambah dengan hentakan kakinya, membuat Lavendra berdegup kencang sampai mau copot rasanya dari tempatnya. Dan ketika sudah sampai di meja makan, Daza yang mendapati ada dirinya di sana langsung berhenti bicara.Diliriknya sedikit sang suami yang ada di depannya, benar saja. Wajah ketus serta tidak senang benar-benar mengarah kepada dirinya seorang. Makin tidak berani Lavendra menaikkan kepala untuk sekedar melihatnya tersebut.“Kenapa dia ada di sini?” singgung Daza dengan suara yang dingin.“Kenapa? Dia sekarang bagian dari anggota keluarga kita, jadi tidak ada hak dia untuk tidak hadir kecuali dia ada halangan,” jawab papa mertuanya.Daza hanya bisa berdesis kesal setelah mendengarnya. Tentu ia tidak senang dan mau melampiaskan amarahnya kepada dirinya. Namun, Lavendra segera memalingkan wajah dan tidak mau menatapnya. Rasanya seperti mau diremukkan badan Lavendra saat melihat wajah darinya itu.Akhirnya Daza juga duduk bersama mereka. Selama perjamuan makan malam, suasana benar-benar tegang dan membuat Lavendra merasa tidak nyaman. Saat menelan makanan pun rasanya benar-benar sakit sekali. Karena Daza tidak henti-hentinya memberikan tatapan tajam, dan itu membuat dirinya merasa makin tidak nyaman.Tingg. Bunyi alat makan yang sudah diletakkan di atas piring. Lavendra melirik, dan melihat mertuanya selesai makan. Mereka mengelap bibir dan mulai sedikit bergumam dengan suara pelan antar satu sama lain. Huh, Lavendra sudah menyiapkan diri bahwa dirinya akan mendengar ucapan dari mereka berdua.“Daza,” Mama mertuanya memanggil.Daza yang masih mengunyah tersebut menoleh ke arah mamanya, tidak kaget sambil menaikkan alisnya. Tidak dijawab karena mulutnya masih mengunyah.“Kamu masih memiliki hubungan dengan Lora?”Langsung berhenti Daza mengunyah kala itu. Pandangannya kini berubah melihat ke arah Lavendra sambil melotot, memberikan intimidasi kepadanya karena mertuanya bisa tahu hal tersebut. Habis sudah dirinya ini.Namun, Diana, iparnya tidak tinggal diam begitu saja. Dia yang duduk di sebelah Lavendra segera memberikan alasan kenapa mertuanya bisa tahu dan juga tentunya langsung menyalahkan Daza atas apa yang sudah terjadi kepadanya ini.“Aku yang memergoki wanita murahan tersebut menyiram Lavendra di pinggir jalan. Kamu tidak punya otak apa sampai bisa meninggalkan istrimu sendiri begitu saja?!”“JANGAN SEBUT DIA MURAHAN!” Daza berteriak ketika mendengar Lora dikatakai.Merinding sebenarnya Lavendra mendengarnya. Sekaligus, Lavendra merasa sangat sakit hati sekali. Daza yang kini menjadi suaminya masih lebih memilih untuk membela wanita tersebut, ketimbang menanyai dirinya yang telah mendapatkan perlakuan tidak enak dari wanita tersebut.“Lalu? Wanita pelacur?!” Diana tidak kalah diam.“DIAM KAMU!” BRAKHHH. Daza marah sampai menggebrak meja di depannya.Lavendra tentu saja kaget melihat Daza yang menjadi seperti itu. Sementara yang lain tampak tidak terlalu kaget dan merasa tidak senang dengan tindakannya. Keras kepala Daza yang Lavendra tidak tahu pasti membuat keluarganya sendiri muak.CTAKKK… CTAKKK… CTAKKK…. Bunyi tersebut membuat semua orang yang berada di sana menoleh ke arah pintu masuk. Lavendra yang baru di sini saja sudah bisa menerka siapa yang datang itu. Dia adalah orang yang datang kepadanya, menawarkan pernikahan dengan suara yang halus.Dia adalah kakek Daza. Pria paruh paya tersebut datang bersama tongkatnya, berjalan tertatih didampingi oleh perawat yang kini bersamanya. Pria tersebut tampak sangat marah dan langsung menatap Daza. Daza menghindari tatapan itu dengan raut wajah yang kesal.“Jadi, Daza masih menjalin hubungan wanita itu?” tanya kakek.“Ayah…, ayah di kamar saja dulu, biar aku yang-“ Papa mertuanya bangun dan menghampiri kakek, mencoba untuk menjauhkannya.Namun, kakek langsung menepis tangan papa mertuanya. Dengan raut yang kesal sambil memberikan tatapan benci kepada Daza yang masih tampak duduk tidak langsung menghadapinya.Kakek berjalan mendekat ke arah meja makan. Meski sudah tua, dia masih menunjukkan bagaimana wibawanya sebagai seorang pemimpin yang ditakuti. Makanya semua yang ada di sana masih hormat dan tidak abai akan bagaimana kesehatan dari kakek.Kakek awalnya hanya menatap saja ketika sudah berada di sebelah Daza. Lalu ia beranjak, dan menuju kursi yang memang sengaja di kosongkan karena itu memang milik dari kakek. Dia duduk dan mulai menyiapkan diri. Berdehem kecil, membuat semua orang langsung menatap sang kakek.“Jadi, Daza, kamu masih mencintai wanita itu?” tanya kakek.“Ya,” singkatnya.Kakek menganggukkan kepalanya kembali. Apa yang akan dilakukan oleh kakek? Apa dia akan mengembalikan Lavendra kepada orang tuanya sekarang ini? Lavendra merasa takut akan hal yang akan menimpanya kedepannya.“Baiklah,” ucap kakek.Daza melihat ke arah sang kakek. Mood-nya yang tadinya kesal seolah langsung sirna dan merasa bingung mendengar ucapannya. Berbinar dan rasa berbunga yang tumbuh dalam dirinya pasti menggeluti hati Daza sampai dia berani menatap kakeknya.“Jadi, kakek merestuiku?”Tatapan kakek Daza yang tidak berubah membuat terkaan Lavendra makin menjadi-jadi. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh kakek Daza sampai dia mengatakan satu kata yang membuat lemas sekujur tubuh dari Lavendra ini?“Iya.”DEG. Langsung rasanya mau mati rasa tubuh Lavendra mendengarnya. Daza sudah mau berseru bahagia mendengarnya. Dia bahkan bangun dari duduknya. Wajahnya yang berseri yang baru pertama kali dirinya lihat, bahkan saat pernikahan saja wajah tersebut tidak ada sama sekali.Daza hendak berbicara, mengatakan perasaannya yang bahagia dan juga senang. Namun, itu hanya sesaat semata.“Kenapa tidak dari dulu saja? Dengan begitu, aku tidak perlu menikah-““Tapi warisan akan kakek berikan kepada Lavendra. Segera urus perceraianmu dengannya, dan kakek akan segera menulis surat wasiatnya,” ucap kakek, yang langsung bangun dari duduknya. Beliau pergi dengan cara yang elegan.Daza syok mendengarnya. Ia membatu dan langsung tidak bergerak. Bahkan, ekspresi wajahnya kini berubah menjadi orang yang tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia benar-benar berada di titik yang paling direndahkan. Wajahnya kembali kesal, dan kembali mendelik tajam ke arah Lavendra. Sekarang dirinya berada di situasi yang tidak diuntungkan.Pertemuan itu benar-benar berakhir mengerikan bagi Lavendra. Karena, pada akhirnya dirinya harus pulang mengikuti Daza yang ada di depannya. Rasa takutnya seolah membuatnya makin lama makin tidak terkendali. Daza pasti tambah membencinya kalau seperti ini terus. Saat terus mengikuti langkah Daza, mendadak saja pria tersebut berhenti dan membuat Lavendra tidak sengaja menabraknya, BRUKHHH, untung saja tidak sampai terjatuh. Daza menoleh ke arahnya dengan wajah yang sudah merah memarah. Makin ciut tentunya Lavendra diberikan tatapn begitu. Bukan pilihannya untuk mengadu, namun, ini karena secara tidak sengaja Diana sempat memergokinya, makanya semuanya jadi sangat runyam begini. Apa yang harus dirinya lakukan supaya suaminya ini tidak marah seperti ini? “Dasar murahan! Bisa-bisanya kamu mengadu dan membuatku jadi begini!” ucapnya dengan penuh kemarahan. Daza kembali melihat kedepan, dan berjalan meninggalkannya, “Pulang sendiri! Tidak sudi aku pulang denganmu!” kesalnya. “Kalau kamu
Karena hari ini adalah hari libur, Lavendra mencoba untuk produktif, meski sebenarnya ia tahu akan sedikit sulit mendekati Daza karena pastinya hari ini Lora juga akan berada di rumah yang sama, Lavendra mencoba untuk abai. Ia membersihkan seluruh rumah menggunakan kedua tangannya, dan tidak membiarkan sedikit noda pun tertinggal.Ia juga sedikit memasak untuk dirinya sendiri. Lavendra hanya membuatkan roti panggang untuk dua orang yang pasti akan bangun siang dan hanya akan membuatnya seperti orang bodoh. Pekerjaan rumah yang paling Lavendra sukai, ialah merapikan pakaian.Meski hanya pakaiannya, saja, ia merasa sudah cukup senang. Karena ia bisa sambil mendengarkan lagu melakukannya. Hari menjelang siang dan Daza akhirnya bangun, setelah terdengar pintunya tersebut terbuka. Lavendra yang melihat ke arah tangga, melihat Daza turun dari sana.“Hei, sarapan hari ini apa?” tanya Daza yang masih mengantuk.“Roti panggang coklat,” jawab Lavendra.Daza yang baru saja turun tersebut, berhen
Lora yang biasanya marah dan juga bisa meledak serta melakukan apa pun kepada dirinya ini, mendadak ciut. Bola matanya gemetar saat melihat wajahnya yang benar-benar marah. Lora sampai mundur ketika melihat bahwa Lavendra melangkahkan kaki ke depan mendekatinya.Daza yang baru pertama kali melihat Lavendra meledak tersebut juga sontak terdiam. Dia mulai bangun dari duduknya dan mencoba untuk menjauhkan Lora dari pandangan Lavendra. Daza memasang badan untuk melindungi wanita yang dia sayangi tersebut.“Hentikan. Kamu tidak sopan sekali!” tegas Daza.Seperti baru saja kerasukan, Lavendra seolah tutup telinga mendengar apa yang dikatakan oleh Daza tersebut. Kalau ia bisa meraih Lora sekarang, ia akan meraih dan mencabiknya. Bagaimana ia tidak marah, nyaris setengah rambut panjang yang ia rawat sepenuh hati tersebut hilang mendadak di tangan wanita gila itu.Entah tenaga darimana yang ia dapatkan tersebut, Lavendra mendorong Daza hingga ia terjatuh, bahkan menabrak meja yang ada di sebel
Daza akhirnya mau tidak mau harus menurut kepada sang kakek. Tampaknya amarah sang kakek yang sudah mulai tua ini benar-benar tidak terbendung sama sekali. Dan sekarang, tampaknya Daza akan kehilangan banyak hal gara-gara wanita bernama Lavendra itu!“Kamu ke kamar saja,” pinta Daza dengan suara pelan, meminta Lora untuk pergi.“TIDAK! Biarkan wanita itu di sini!” tegas sang kakek melarangnya.Lora yang tadinya hendak beranjak langsung berhenti. Ia hanya bisa menunduk tidak berani menatap wajah mereka yang ada di depannya. Baginya, keluarga Daza adalah keluarga yang sangat menyeramkan. Rasanya seperti mencoba mengadu nasib berhadapan dengan mereka.Mereka berempat berhadapan, tetapi Lora tidak duduk sama sekali. Ia merasa sangat malu dan takut berada di dekat dua orang yang memiliki kuasa yang sangat besar tersebut. Mereka terlalu mneyeramkan kalau dihadapi secara langsung.Akhirnya Daza duduk bersama mereka, dan mencoba tegak melihat sang kakek dan papanya yang memasang wajah muram k
Daza tidak bisa mnegedipkan mata saat melihat Lavendra di depannya. Ia seolah tidak dapat berkedip melihat bagaimana ada seseorang yang biasanya tampak sangat kalem dan polos, sekarang malah kelihatan seperti orang yang berbeda?‘Benar-benar cantik.’Lavendra yang baru saja pulang tersebut merasa bingung. Daza menatapnya seolah ada yang salah pada dirinya tersebut. Apa cara berpakaiannya aneh? Atau dirinya terlihat berbeda dengan rambut barunya? Aihh, harusnya ia menolak saat Diana mengajaknya mencari pakaian baru. Karena ia jadi kelihatan super aneh sekali.“Ke- Kenapa?” tanya Lavendra merasa gugup.Bukan lagi karena penampilannya. Melainkan karena pasti baru saja terjadi sesuatu yang tidak beres, sampai-sampa Lora keluar rumah dengan wajah kesal. Tadi saat bertemu dengan papa dan kakek juga pasti ada sesuatu yang dibicarakan, pasti tidak baik-baik saja saat ini.Daza bangun dari duduknya, lalu mendekat ke arahnya dengan perlahan. Ia berada di depan dari Lavendra, dan terus menerus m
Lavendra kembali menutup pemberian orang tuanya. Rasanya sedikit lega mendapatkan kabar dari orang tuanya meski sudah jauh. Tenang sekali. Sekarang, di depannya juga ada teman dekatnya, Riko, yang sudah lama sekali tidak bertemu.“Ngomong-ngomong, kenapa sendirian di sini? Kamu kan sudah menikah,” singgung dari Riko.Mendengarnya langsung membuat suasana hati Lavendra kembali memburuk. Padahal baru saja ia merasa senang melihat pemberian berharga tersebut. Tetapi, menyinggung soal itu lagi, membuat Lavendra merasa benar-benar buruk. Ia sedikit galau.Riko meletakkan sebelah tangan di atas meja dengan posisi badan sedikit ke depan, dia seolah menerka dan juga sudah sadar mengenai apa yang terjadi pada Lavendra ini.“Apa suamimu tidak seperti yang kamu pikirkan?” ucapnya sambil terkekeh.Lavendra mengangkat kepala dan melihat Riko yang ada di depannya. Pria ini benar-benar memiliki insting yang kuat dan sangat tepat sekali. Ia bahkan bisa membuat dirinya merasa merinding karena cara men
Dia menggernyitkan dahi sambil sedikit menganga mendengar apa yang dikatakan oleh orang yang ada di depannya ini. benar-benar tidak tahu diri. Rasanya Lavendra bisa sampai tepok jidat mendengar ucapan dari Daza barusan. Daza yang melihat tas yang dibawa oleh Lavendra tersebut, segera merebutnya dengan kasar dan membuat Lavendra terkaget dan rasa tidak percaya setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Daza tadi. “Apa yang kamu lakukan!” balas Lavendra memekik, sambil berusaha merebut kembali tas tersebut. Namun, Daza seolah mencoba menjauhkan benda tersebut dengan tidak membiarkan Lavendra berhasil mengambilnya kembali. Sebenarnya Lavendra merasa sangat kesal sekali. Tapi ia tahan mengingat bahwa orang yang ada di depannya ini adalah suaminya sekarang. Kesal Lavendra, setiap kali ia mencoba merebutnya, Daza pasti akan menjauhkannya. Ia sampai kehilangan imej yang berusaha ia bangun dengan sangat sopan dan juga ramah. “Kembalikan padaku!” pekiknya. “Kenapa? Apa karena ‘PRIA’ itu y
Lavendra tidak memikirkan lagi soal suaminya yang mungkin saja kelaparan atau semacamnya. Dia masih tidak bisa melupakan bagaimana Daza dengan mudahnya meremehkan barang-barang yang ia bawa kemarin. Luka hatinya terus terasa sampai saat ini.Tetapi, masih syukur Lavendra memilih tidak menceritakannya pada siapa-siapa soal bagaimana Daza yang tidak punya hati itu berbicara. Jadi, seharusnya Daza masih merasa tenang, kan?Ketika di kantor pun, Lavendra memilih untuk tidak melakukan pekerjaan yang berkaitan atau terhubung langsung dengan Daza. Guna mengurangi sedikit rasa sakit hatinya, dia berharap bahwa semoga rasa tidak nyaman ini segera mereda.‘Apa aku keterlaluan?’ batinnya yang sedikit bimbang.Ia berada di taman dekat perusahaannya. Pergi ketika jam istirahat membuatnya merasa lega. Dengan membawa kotak bekalnya, Lavendra duduk di sana tanpa merasakan beban yang sama lagi. Setidaknya Lavendra sekarang mencoba meredakan emosinya sendiri.“Kamu tak membawa makanan untukku juga?” ta