Tanpa sadar, hanya tersisa dirinya yang belum dipanggil sementara para wanita tadi yang menurut Gina saingan beratnya dalam mendapatkan pekerjaan tersebut justru ditolak semuanya!
‘Mereka semua ditolak, bagaimana dengan aku?’ Hati Gina berbisik demikian. Tak lama, seorang pegawai perempuan menuntun Gina untuk masuk ke sebuah ruangan. Di dalamnya, Gina bisa melihat ada seorang pria yang sedang duduk di sofa besar. Pria itu tampak sangat berwibawa dengan kemeja putih dan celana hitam. Namun, tatapannya sangat tajam seolah ingin mengintimidasi siapapun yang ada di hadapannya. Ia tampak mengerutkan dahi ketika melihat Gina masuk membawa bayi di gendongannya, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. “Ini yang terakhir?” tanya pria itu akhirnya pada pegawai perempuan yang membawa Gina masuk. Suaranya terdengar berat, tetapi seolah mampu membuat siapapun yang mendengarnya merasa takluk. “Iya, Tuan. Namanya Gina Nirmala, dia membawa anaknya yang masih bayi, Tuan,” jawab pegawai itu dengan hati-hati. Pria itu adalah Bara Gautama, seorang CEO dari perusahaan properti besar di negara ini, Gautama Urban Property. Entah alasan apa yang membuatnya mencari seorang ibu susu, yang jelas, semua orang tahu bahwa ia akan melakukan segala cara untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya yang baru lahir satu bulan yang lalu. Melihat tatapan penuh intimidasi dari Bara, Gina menundukkan kepalanya. Ia merasa takut dan tidak pantas ketika melihat pria itu. Bagaimanapun juga, saat ini penampilannya sangat tidak layak. Namun, ia juga masih berharap untuk bisa mendapat pekerjaan ini. “Berapa usia anakmu?” tanya Bara dengan tegas. Mendengar itu, Gina yang tahu bahwa pertanyaan itu untuknya, langsung menjawab dengan hati-hati. “Sa–satu bulan, Tuan.” “Suruh dia pompa ASInya, lalu berikan ASI itu untuk Gavin,” perintah Bara pada salah satu pegawainya. “Baik, Tuan,” jawab sang pegawai dengan patuh. “Mari, ikut saya.” Gina kembali melangkah mengikuti sang pegawai menuju ruangan kecil yang berada di dalam ruang kerja Bara. Ia dengan pasrah mengikuti permintaan untuk memompa ASI miliknya dan menaruhnya di sebuah botol bayi. Setelah botol bayi itu penuh dengan ASI, Gina memberikannya kepada sang pegawai. Sambil menunggu, Gina merasa cukup cemas, tetapi juga penuh harapan. Ini adalah satu-satunya pekerjaan yang mungkin bisa dengan cepat membuatnya mampu menjamin kehidupan anaknya. Gina menatap Raya yang masih terlelap dengan tenang, lalu berbisik lembut, “Doakan Mama agar bisa dapat pekerjaan ya, Nak.” Tak lama kemudian, Gina kembali dipanggil. Sebelum keluar dari ruangan kecil itu, sejenak Gina merapikan penampilannya, lalu menghela napas dalam, berharap akan mendapat hasil yang baik. Di sana, pegawai yang tadi membawa ASI Gina telah kembali. Pegawai itu menunjukkan botol bayi yang sebelumnya penuh dengan ASI, kini telah kosong. “Tuan, sepertinya Tuan Muda cocok dengan ASI itu. Tuan Muda meminumnya hingga habis,” jelas pegawai itu. Bara tampak sedikit mengerutkan dahinya, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. Ia mengalihkan pandangannya pada Gina, menatap Gina yang sedang menggendong anaknya dengan penuh kasih sayang. “Bawa dia untuk membersihkan diri. Aku tidak mau anakku disusui wanita lusuh dan bau keringat,” titah Bara yang langsung diikuti dengan anggukan kepala pegawainya. “Tu–Tuan, jadi maksudnya saya …” ucap Gina lirih, masih tidak begitu mengerti dengan apa yang baru saja ia dengar. Namun, Bara tidak langsung menjawab. Ia menatap Gina sambil mengangkat satu alisnya. “Tidak mau bekerja?” “Mau, saya mau kerja, Tuan!” jawab Gina dengan penuh antusias. “Terima kasih banyak, Tuan.” Bara hanya menanggapi ucapan terima kasih Gina seadanya. Gina yang merasa sangat senang, terus mengulas senyum di wajahnya. Hingga tanpa sadar, ia telah dituntun menuju salah satu kamar di rumah besar itu. “Ini kamarmu, sudah ada baju dan perlengkapan lain di sana. Bersihkan dirimu, lalu makanlah makanan yang sudah disiapkan di dalam. Setelah itu, kamu harus mulai menyusui Tuan Gavin, bayi Tuan Bara,” jelas pegawai itu kepada Gina. Ketika melihat kamar yang diberikan untuknya, Gina merasa terkejut. Kamar itu sangat luas, kalau tidak salah, bahkan setara dengan luar ruang tamu di rumah Haris dulu. “Ini benar kamarku? Apa nggak terlalu besar?” tanya Gina dengan ragu. Pegawai itu tersenyum, lalu menggelengkan kepalanya perlahan. “Ini memang kamarmu. Aku akan pergi dulu, nanti Arin akan mengantarmu ke kamar Tuan Gavin." Pegawai perempuan itu tampaknya memang mengetahui bahwa Gina adalah teman Arin. Setelah selesai bicara, ia langsung pergi meninggalkan Gina. Gina mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar, di sudut kamar ada sebuah meja yang telah penuh dengan makanan. Gina merasa seolah ini adalah bayaran atas rasa sakitnya sebelumnya. Tanpa berpikir lama, Gina meletakkan Raya di ranjang bayi yang sudah disediakan, lalu pergi membersihkan diri. Setelah selesai, ia langsung menyantap makanan yang disediakan dengan begitu lahap. “Terima kasih, Tuhan,” kata Gina lirih sambil sekali lagi menyuapkan makanan ke mulutnya. Air matanya bahkan hampir menetes karena rasa syukur itu. Tak lama kemudian, Arin masuk dan langsung mengajak Gina untuk pergi ke kamar Gavin. “Gina, hafalkan setiap sudut ruangan di rumah ini karena aku nggak mungkin akan temenin kamu terus di sini,” kata Arin dengan santai. Gina mengangguk pelan sambil terus memperhatikan semua sudut rumah yang terasa sangat besar baginya. Ketika sampai di kamar Gavin, naluri keibuan Gina mencuat saat melihat betapa tampannya anak Bara yang mirip dengan ayahnya tersebut. Jauh di dasar hati Gina, ingin sekali Gina mengetahui, mengapa anak setampan itu tidak disusui oleh ibu kandungnya sendiri? Gina tidak berani, khawatir dianggap ikut campur masalah orang lain. Yang penting sekarang ia punya tempat tinggal dan pekerjaan. Setelah Arin pergi, Gina langsung menyusui Gavin. Bayi itu benar-benar menyusu dengan kuat, Gina sampai dibuat kewalahan. “Pinter banget nyusunya, minum yang banyak ya biar cepat besar,” kata Gina lirih dengan senyum di wajahnya. Beberapa saat kemudian, Gavin tertidur setelah diberi ASI oleh Gina sampai kenyang. Gina memastikan bahwa Gavin benar-benar tertidur pulas baru kemudian, ia perlahan turun dari tempat tidur itu, dan melangkah keluar dari kamar untuk kembali ke kamarnya dan ganti menyusui anaknya sendiri. "Anakku mana?" tanya Gina pada Arin yang saat itu ada di kamar Gina. "Oh, sama pengasuh Tuan Muda, Gin. Aman," jawab Arin singkat sambil ingin meninggalkan Gina karena ia masih banyak pekerjaan yang harus dilakukannya. Namun, Gina mencekal pergelangan tangannya hingga niat Arin untuk pergi tidak terealisasi. "Aku mau ketemu Raya, Rin. Dia pasti lapar," kata Gina dengan wajah yang penuh harap. "Nggak akan kelaparan, aman. Anak kamu itu diurus babysitter terbaik Pak Bara, sudah diberikan susu formula juga, susu formula terbaik!" jelas Arin dan Gina mengerutkan keningnya mendengar apa yang diucapkan oleh teman satu kampungnya tersebut. "Apa?!”“Kenapa Raya diberi susu formula? ASI aku itu berlimpah, Arin! Aku bisa menyusui dua bayi sekaligus! Aku harus ketemu Raya!" kata Gina dengan kesal.Gina shock sekaligus marah karena Raya diberikan susu formula tanpa sepengetahuannya. Ia ingin mencari pengasuh yang dikatakan Arin untuk mengambil Raya. Akan tetapi, niat Gina dihentikan oleh Arin, dan temannya itu menatap serius wajah Gina, pertanda ia tidak mau Gina sulit untuk diatur."Kamu harus tahan diri kamu, Gina! Ini rumah orang yang berkuasa, dia wajib dipatuhi, apa yang dilakukan oleh pengasuh tuan muda itu atas perintah Pak Bara langsung, jadi, kamu enggak usah bereaksi kayak gini, bikin kamu nanti dipecat!"Arin mengucapkan kata-kata itu sambil mencengkram salah satu tangan Gina, agar Gina tidak nekat untuk mencari babysitter Gavin yang sedang menjaga Raya. Akan tetapi, Gina tetap tidak terima, anaknya diberikan susu formula padahal Raya, anak yang paling berhak mendapatkan ASI darinya ketimbang anak orang lain."Kamu tahu
Keduanya beradu pandang, dan Gina semakin merasa, dari tatapan mata Bara yang sekarang menatapnya, pria itu benar-benar ingin menegaskan pada Gina bahwa ia tidak mau ditentang karena ia yang berkuasa atas siapapun di rumah besar tersebut.'Bagaimana ini? Ternyata Arin benar, orang ini nggak mudah untuk dihadapi, tapi aku nggak mau mengorbankan Raya, aku bekerja seperti ini untuk Raya, nggak mungkin aku justru mengabaikan kebutuhan Raya....'Dalam gejolak perasaannya yang merasa sudah diujung tanduk ketika melihat tatapan Bara padanya, Gina mengucapkan kalimat itu di dalam hati seraya terus menguatkan diri bahwa keputusannya itu tidak bisa diubah lagi, meski oleh Bara sekalipun."Aku tanya padamu, Gina, jika aku tidak mau mengabulkan permintaanmu, kamu mau apa? Aku yang membuat aturan di sini, bukan, kau!"Suara Bara yang mengucapkan kalimat itu membuat Gina semakin tercekat di tempatnya berdiri, namun, bayangan wajah Raya berkelebat di benak Gina, dan itu membuat Gina semakin berusaha
Suara Karina melengking bercampur dengan suara tangisan Gavin yang terganggu dengan teriakan ibunya sendiri bercampur pula dengan keinginannya yang ingin mendapatkan ASI dari Gina.Situasi itu begitu kacau hingga membuat Bara datang karena mendengar keributan tersebut."Ada apa ini? Kenapa ribut sekali? Gina! Kenapa Gavin sampai menangis seperti itu?"Bertubi-tubi, Bara melontarkan pertanyaan pada Gina yang kebingungan harus berbuat apa dengan tekanan yang diberikan oleh istri Bara di hadapannya."Mas, aku nggak setuju kamu mempekerjakan ibu susu segala di rumah ini! Perempuan seperti dia nggak pantas untuk Gavin, aku nggak setuju!!" Karina tetap menyampaikan rasa keberatannya pada sang suami, dan itu membuat Gina semakin membisu di tempatnya meskipun ia tidak tega mendengar tangisan Gavin atas perbuatan sang ibu kandung bayi tersebut."Kalau kamu tidak setuju, lakukan tugas itu untuk Gavin!" sahut Bara berusaha tetap tenang walaupun wajahnya menyiratkan kemarahan karena tidak suka h
Untuk sesaat, Bara hanya diam mematung di tempatnya dengan tangan yang masih memegang handle pintu kamar Gavin, seolah sekarang ia berubah menjadi sebuah arca tidak bisa bergerak, hanya melotot lurus ke arah dada Gina yang terlihat di matanya.Sebenarnya, Bara yang ke kamar Gavin memang berniat untuk menenangkan diri di kamar anaknya. Setelah pertengkarannya dengan sang istri yang terjadi beberapa saat yang lalu di depan Gina, Bara menjadi merasa tidak enak, karena tidak seharusnya masalah rumah tangganya diketahui oleh orang lain. Sebab itulah, pikirannya menjadi sedikit gusar. Namun, begitu tiba di kamar Gavin, ia justru melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat."Maaf, lanjutkan saja, setelah itu, ke ruang makan untuk makan!" ucap Bara setelah berhasil menguasai keterkejutannya. Ia memalingkan wajahnya sejenak, lalu kembali menutup pintu dan melangkah pergi. Walaupun terkejut, Bara mampu tetap bersikap tenang hingga Gina merasa hanya dirinya yang terkejut karena bagian tubuh
Mendengar Bara yang memberikan perintah seolah tidak mau dibantah, Gina semakin bingung. Sekarang ia tidak tahu harus bagaimana, melakukan perintah Bara, tapi perutnya pasti tidak akan terima, atau menolak yang pasti berujung membuat sang atasan marah.Sekarang, Gina bukan hanya merasa canggung saja, tapi juga ketakutan karena sudah membuat Bara sepertinya sangat tersulut emosi."Kenapa tidak dimakan juga? Apa kau benar-benar termasuk perempuan yang cerewet dengan berat badan sendiri?!"Bentakan yang diberikan oleh Bara membuat nyali Gina semakin menciut. Ia sekarang benar-benar tidak menyangka, acara makan yang biasanya sangat ia sukai justru sekarang berubah menjadi sebuah momok menakutkan untuknya."Sungguh, saya tidak seperti itu, Tuan. Saya … saya–""Ah sudahlah. Habiskan makanan itu kalau memang kamu tidak bermaksud seperti yang aku katakan tadi!" potong Bara dengan suaranya yang sama seperti tadi, penuh kemarahan meskipun sekarang nadanya sudah diturunkan sedikit.Gina kembali
Ucapan dingin itu dibisikkan oleh Karina dengan disertai cengkraman tangan Karina yang semakin erat mencengkram pundak Gina. Gina mengernyit menahan sakit karena perbuatan istri Bara tersebut, tapi ia tidak berani melepaskan cengkraman itu lantaran khawatir akan makin membuat Karina marah."Maaf, Nyonya, saya tidak bermaksud untuk demikian, saya juga tidak mungkin bersaing dengan Nyonya karena saya ke sini untuk bekerja bukan melakukan hal yang lain. Tolong percaya pada saya."Sembari menahan rasa sakit akibat cengkraman yang dilakukan oleh Karina pada pundaknya, Gina berusaha untuk menjelaskan agar kemarahan ibunya Gavin itu tidak semakin berkobar.Namun, Karina yang sudah kepalang marah sekaligus cemburu tidak peduli dengan penjelasan dan ekspresi kesakitan yang ada di wajah Gina, ia justru menikmati karena ia tidak suka dianggap remeh. "Suamiku itu tampan, aku pun mengakuinya, kau pasti sedang mencari cara untuk membuat dia lebih memperhatikan kamu, kan? Aku sudah banyak menemuka
Mendengar apa yang dikatakan oleh Karina, Bara semakin marah. Ia berharap, Karina bisa sedikit demi sedikit berubah jika ia terus mempermasalahkan hal itu pada sang istri, tapi ternyata, Karina justru semakin lupa diri bahkan berani menentangnya hingga Bara jadi hilang kesabaran. Laki-laki itu segera beranjak menuju lemari pakaian yang ada di sudut kamar. Setelah itu ia menurunkan koper yang ada di atas lemari tersebut hingga Karina terkejut setengah mati melihat apa yang dilakukan oleh sang suami. Belum lagi Karina melontarkan pertanyaan kenapa sang suami menurunkan koper itu segala, Bara sudah mendorong koper itu ke hadapannya dengan wajah yang terlihat menahan amarah. "Kalau kamu tidak bisa menerima apa yang menjadi aturanku ketika kamu menjadi istriku, lebih baik kamu pergi dari sini!" kata Bara memberikan perintah setelah koper itu ada di hadapan Karina karena dorongan keras yang dilakukannya. Wajah putih Karina memucat. Tidak hanya sebuah perintah, Bara juga sampai membe
"Apa? Kena denda?" ulang Gina sambil membelalakkan matanya pertanda sangat terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. "Iya! Ada denda diberlakukan kalau kamu dipecat oleh Pak Bara!" jawab Arin dengan wajah yang terlihat sangat serius, untuk meyakinkan pada Gina, bahwa apa yang dikatakannya itu memang benar-benar sebuah kenyataan. 'Gawat. Ternyata, keluarga Pak Bara itu memang keluarga yang menakutkan, aku pikir hanya istrinya saja yang menakutkan sikapnya, tapi juga suaminya....' Gina membatin, sambil mencengkram lututnya, seolah shock dengan apa yang sekarang ia dengar dari teman satu kampungnya tersebut. "Gina, aku nggak mau kamu sampai dipecat. Di sini kamu nggak punya siapa-siapa lagi, kalau kamu sampai kehilangan pekerjaan ini, gimana kamu akan menghidupi Raya? Selain itu, kalau kamu dipecat, kemungkinan aku juga akan kena, Gina!” Suara Arin kembali terdengar, dan itu membuat Gina semakin tenggelam dalam kecemasan. Gina menghela napas panjang, ia menatap Arin deng
Mendadak, Gina merasa sangat gugup ketika Bara menatapnya sedemikian rupa hingga ia merasa canggung dan sangat gelisah.Namun, hatinya berulang kali menyadarkan Gina bahwa ia tidak boleh terlalu banyak berharap lantaran ia dan Bara sangat sulit disejajarkan karena ia sadar dirinya siapa. Sebab itulah, Gina menegaskan pada dirinya sendiri, ia tidak mau berpikir macam-macam hanya ingin fokus pada tujuannya yaitu membuat kehidupan Raya terjamin sampai Raya besar dan menikah dengan pria pilihannya."Tentang apa yang dikatakan oleh Bu Karina yang bilang kalau saya mengabaikan Tuan Muda Gavin, dan hanya fokus pada Raya saja, itu tidak benar, Tuan karena -""Sudahlah, tidak perlu diteruskan!"Bara memotong penjelasan Gina lalu berbalik dan melangkah menuju pintu kamar Gavin dengan luapan rasa kecewanya yang memuncak.Hal yang sangat ditunggu Bara, bahwa Gina akan mengklarifikasi tentang apa yang dikatakan oleh Karina bahwa perempuan itu tidak mau menikah lagi lantaran terlalu mencintai mant
Bara ingin membentak Santi lebih lanjut seperti biasanya jika ia sedang marah dengan orang yang bekerja dengannya. Akan tetapi, tiba-tiba saja kata-kata Gina terngiang di telinganya di mana, Gina mengatakan bahwa ia sebenarnya pria yang baik dan bukan pria yang tidak punya perasaan. Berpikir sampai di sana, Bara berusaha menahan diri untuk tidak membentak lebih lanjut Santi sampai ia harus mengepalkan telapak tangannya untuk menahan diri agar tidak melakukan hal itu."Kali ini kau kuberikan kesempatan, tapi jika terulang kembali, kau benar-benar tidak akan aku beri ampun, Santi!" ucapnya setelah itu berbalik meninggalkan Santi tanpa peduli perempuan itu masih bersimpuh seperti tadi di tempatnya.Santi membeku di tempatnya, sampai kemudian, Arin menemukannya dan berjongkok membantunya untuk bangkit. "Ada apa? Kamu kena marah Pak Bara?" tanyanya pada Santi karena tadi ia sempat melihat sosok Bara yang menghilang dari balik pintu ruang tengah.Santi mengangkat wajahnya dan menatap ke
"Apa kamu bilang? Gina lebih baik daripada aku? Lebih baik dari segi mana? Dia itu diceraikan suaminya! Lebih baik dari segi mana si Gina itu daripada aku?!"Tidak terima dikatakan lebih buruk dari pada Gina, Karina mengucapkan kalimat tersebut dengan nada meninggi di hadapan Bara. Ini membuat Gavin dan Raya terusik suara kerasnya hingga membuat kedua bayi itu menangis. Melihat hal itu, Bara murka. Ia segera meminta Karina untuk keluar dari kamar anaknya karena tidak suka kehadiran Karina membuat dua bayi di kamar itu menangis.Namun, Karina yang tidak suka dianggap buruk daripada Gina tidak mau keluar begitu saja dari kamar tersebut. Ia melangkahkan kakinya mendekati sang mantan suami dan berhenti tepat di hadapan suaminya itu dengan jarak yang begitu dekat. "Hanya karena dia menjadi ibu susu anak kita, kamu lupa kalau aku adalah ibunya Gavin? Kamu menyebut dia lebih baik daripada aku padahal dia hanya memanfaatkan kamu, Bara!"Ucapan yang dilontarkan oleh Karina terdengar jelas
Melihat perubahan wajah Gina, Karina mengutuk perempuan itu di dalam hati, sebab, ia sekarang yakin Gina pasti menyukai mantan suaminya tersebut.Hingga membuat Karina semakin kesal dengan Gina yang saat itu duduk menyamping karena menyusui Raya seolah tidak mau dadanya terlihat mata Karina."Wajahmu berubah, mendengar Bara memintaku untuk bertemu dengan Gavin, itu berarti dugaanku selama ini benar, kamu datang ke sini bukan hanya untuk bekerja, tapi juga ingin mengambil hati Bara, iya, kan?" ucap Karina tanpa peduli rengekan Gavin yang benar-benar terganggu dengan apa yang diucapkannya pada sang ibu susu penggantinya tersebut.Gina memperhatikan Gavin yang gelisah, dan ia sebenarnya khawatir anak Bara itu akan menangis lantaran Karina justru fokus mengomelinya tapi mengabaikan keadaan anaknya sendiri seperti itu.Namun, ia tidak bisa berbuat apapun untuk sekarang karena Raya sendiri masih asyik menyedot puting susunya lantaran anaknya itu merasa belum puas mendapatkan jatah itu sekar
"Heem, baiklah. Jangan bersikap dingin pada perempuan yang sudah memberikanmu anak, Bara. Biar bagaimanapun, aku tetap ibu dari Gavin, kamu tidak bisa menyangkal hal itu."Karina mengingatkan sesuatu yang tidak boleh dilupakan oleh Bara, hingga Bara menghela napas mendengarnya."Apa yang kau mau?" tanyanya dengan nada yang masih datar. "Aku sudah mengatakannya, apakah aku perlu mengulang?""Aku akan meminta Gina membawa Gavin untukmu!""Tunggu!" Langkah Bara terhenti ketika Karina mencegahnya untuk beranjak setelah ia selesai mengatakan akan meminta Gina untuk membawa Gavin untuknya."Aku ingin ke kamar Gavin sendiri, memangnya tidak boleh?"Kembali Bara menghela napas. Sejujurnya ia tidak suka Karina masuk ke dalam kamar Gavin, hanya saja karena ia sadar, Karina adalah ibunya Gavin, mau tidak mau ia tidak bisa bersikap terlalu keras mencegah apa yang diinginkan oleh perempuan tersebut hingga akhirnya, Bara terpaksa mengizinkan meskipun setengah hati."Jangan membuat keonaran, Karin
Pertanyaan Bara yang selanjutnya jadi membuat Gina semakin dalam terpaku di tempatnya.Jika ia menjawab dengan jujur pertanyaan itu, apakah akan mempengaruhi sikap Bara padanya nanti? Dan jika ia berbohong, apakah itu adalah jalan keluar yang baik?"Kau tidak mau menjawab, karena kau tidak suka urusan pribadimu diketahui oleh orang lain?"Suara Bara membuyarkan pergulatan batin Gina yang lagi-lagi terjadi setelah tadi ia sempat merasa lega karena sudah berhasil menjawab pertanyaan Bara dengan baik."Bukan seperti itu, Tuan.""Kalau begitu, kenapa tidak dijawab? Kau diceraikan atau minta cerai?"Bara mendesak, hingga Gina merasa terdesak. Pendapat Bara menyikapi perempuan yang diceraikan pasti buruk karena pria itu sendiri menceraikan Karina. Apakah jika ia jujur menjawab bahwa ia diceraikan, Bara juga akan menganggapnya buruk?'Gina. Kau sudah dianggap baik dalam bekerja, masalah kehidupan pribadimu buruk atau tidak, itu bukan masalah orang lain, kau tidak perlu takut untuk jujur, se
"Itu....""Katakan saja, katakan apa yang ada di dalam otakmu tentangku. Apakah menurutmu, aku adalah pria yang tidak punya perasaan?" desak Bara, semakin tidak sabar untuk mengetahui apa yang dipikirkan oleh Gina tentangnya.Gina tertunduk dalam, merasa bingung didesak jujur oleh Bara tapi jika ia jujur, ia khawatir, akan membuat Bara marah.Akan tetapi, apakah ia bisa untuk tidak menjawab? Sepertinya juga tidak akan bisa karena Bara pasti tidak akan memberikan kesempatan itu padanya. "Menurut saya, Tuan itu...."Kalimat Gina terhenti di kerongkongan seolah ada batu yang menyumbat mulutnya hingga ia tidak bisa mengatakan semuanya dengan lancar."Lanjutkan! Kenapa berhenti? Kau ingin membuat Raya dan Gavin menangis karena kau terlalu lama di sini?"Kembali Bara mendesak, dan hal ini membuat Gina semakin sulit untuk menguasai dirinya sendiri. "Kau tidak mau bicara juga, Gina?" Suara Bara membuyarkan lamunan Gina yang bergulat sendiri dengan perasaannya agar ia memiliki kekuatan untu
"Ya, saya percaya, Mbak. Mbak bukan perempuan yang suka berbohong, saya tahu itu."Gina mengucapkan syukur tidak terhingga mendengar apa yang diucapkan oleh Bi Narsih. Tidak bisa ia ungkapkan kata-kata lagi perasaan syukur Gina selain mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Bi Narsih dengan mata yang mulai berkaca-kaca lantaran ia terharu, Bi Narsih percaya dengan apa yang dikatakannya."Ajak Pak Bara bicara, biar semuanya jadi jelas, tidak apa-apa, saya yakin, Pak Bara tidak akan marah," dukung Bi Narsih sebelum akhirnya ia keluar dari kamar itu setelah mengingatkan Gina yang harus meminum minuman kemasan instan sari kacang hijau yang tadi dibawanya.***"Tuan."Bara menghentikan langkahnya ketika Santi memanggilnya. Tanpa bersuara, ia meminta Santi mengatakan apa yang ingin dikatakan oleh perempuan itu dengan isyarat saja, dan melihat isyarat itu, Santi memandang berkeliling untuk memastikan bahwa di sekitar mereka tidak ada orang lain."Anu, Tuan. Begini, tadi tidak sengaja mend
Karena merasa kepikiran dan merasa bersalah, keesokan harinya Gina kembali mendekati Arin yang saat itu sedang melakukan tugasnya membersihkan kamar Gavin kembali."Heeem, kamu masih enggak percaya juga kalau ternyata kamu itu penyebab perceraian antara Pak Bara dan Ibu Karina?" tanya Arin ketika Gina mendekatinya dan Arin langsung mengucapkan kalimat tersebut padahal Gina belum bicara sama sekali apa yang ingin disampaikannya pada teman satu kampungnya itu."Iya. Aku berpikir juga gitu, makanya aku mau ngomong sama kamu, kalau aku bahas ini sama Pak Bara, kira-kira gimana? Aku lancang, enggak?" kata Gina yang tidak lagi menyangkal tuduhan yang dialamatkan Arin padanya tentang dirinya yang kata Arin adalah penyebab perceraian atasannya tersebut."Enggak usah! Buat apa? Kamu mau ngajak Pak Bara ngomong empat mata gitu? Siapa kamu, Gina? Lancang itu sih, bisa-bisa kita berdua akan dipecat, aku enggak mau!" Sambil bicara demikian, Arin melotot pada Gina pertanda ia tidak setuju dengan a