"Bee, kamu kok malah bikin kopi bukannya tidur lagi? Ini jam dua pagi lho! Kamu mau ngapain?" tanya Sakah bertubi-tubi saat laki-laki itu muncul sekitar dua puluh menit kemudian. Suara itu kontan saja menyentak lamunan Tabitha yang tengah menyeduh kopi. Wanita itu mendongak untuk mendapati Sakha berdiri di depannya, terpisahkan oleh meja makan. Sakha mencangklong travel bag yang baru kemarin dibawanya ke rumah itu. "Kamu mau kopi juga?" Tabitha berusaha mengenyahkan rasa takut kehilangan yang tiba-tiba mencekiknya. Sakha mengernyitkan kening. Tampak bingung dengan sikap santai Tabitha. "Mau atau enggak?" tanya Tabitha lagi yang sudah akan langsung beranjak mengambil satu cangkir bersih. Sakha pun menggeleng. "Aku ke sini bukan untuk ngopi sama kamu." Tabitha membelalak. Terlalu kaget dengan jawaban yang dilontarkan laki-laki itu. Sakha sontak menyadari respons-nya agak ketus dan ia segera meralat, "Maksudku, aku sengaja datang jam segini biar nggak bikin kamu repot." Tabitha ti
Sakha berbalik. Tak mampu menatap wajah Tabitha yang tampak kesakitan karena ucapannya. Tapi mengapa? Mengapa Tabitha harus menunjukkan ekspresi menyedihkan itu, yang membuat Sakha merasa bersalah? Sungguh tak adil. Tabitha berkali-kali membuat Sakha tampak seperti tokoh antagonis yang merusak hidup wanita itu. Padahal, jika Tabitha mau sebentar saja melihat dari posisi Sakha, maka yang terjsdi pun sebaliknya. Sakha juga menjadi korban dari sikap Tabitha yang berubah-ubah. Jika dibuat perbandingan, mungkin saja Sakha-lah yang paling banyak menerima rasa sakit. Namun, ini semua bukan tentang siapa yang paling tersakiti yang boleh bertindal sesukanya. Jika dunia berputar dengan hal-hal itu sebagai pondasinya, mungkin sejak dulu tidak akan pernah ada namnya kedamaian. Sebab, setiap korban yang merasa paling tersakiti akan selalu bertindak semena-mena. "Sakha, tunggu sebentar," tahan Tabitha lagi saat Sakha sudah benar-benar membuka pintu. Angin malam berembus masuk, membuat Tabitha m
"Semalam, kita nggak pakai kondom," kata Sakha begitu blak-blakan setelah ia dan Tabitha selesai sarapan. "Aku... lagi nggak di masa subur. Tenang aja," balas Tabitha yang sesungguhnya tetap juga khawatir. Saat masih menikah, selama empat tahun itu, mereka berusaha menghadirkan satu janin untuk bisa tumbuh di rahim Tabitha, tetapi tak kunjung berhasil. Tabitha bahkan sudah nyaris putus asa dan memanfaatkan keadaan itu untuk menggugat cerai Sakha, walau masalah sesungguhnya bukan hal itu. Namun, bukan hal yang mustahil jika kali ini mereka mendapatkan jackpot hanya setelah mereka melakukannya sebanyak dua kali malam tadi, kan? "Kita bercinta dalam keadaan tanpa ikatan, Bee. Kamu yakin tetap bisa tenang?" tembak Sakha yang kini sudah berpindah posisi. Piring-piring kotor sudah Sakha tumpuk dan bawa ke kitchen sink untuk ia cuci. Sementara Tabitha tetap duduk di tempatnya karena Sakha tidak mengizinkannya untuk bergerak setelah pagi tadi saat bangun tidur Tabitha mengeluh kakinya be
Pembicaraan serius tentang nasib hubungannya dengan Sakha tadi terputus begitu saja sebelum mencapai kesepakatan karena ponsel Sakha berdering nyaring, menampilkan nama Pramudya. Sakha langsung beranjak pergi dari dapur untuk mengangkat telepon dari atasannya di kantor itu dan tidak kelihatan berkeliaran di lantai satu rumah itu hingga dua puluh menit kemudian. Saat Sakha akhirnya muncul, pakaiannya sudah berganti menjadi lebih rapi. Laki-laki itu mencangklong dua tas berbeda yang Tabitha tahu isinya laptop dan kamera. "Kamu mau ke mana?" "Meeting sama orang kantor. Hari ini mau pilih-pilih foto yang mau dipamerkan nanti." "Di kantor?" Sakha mengernyit. "Iya. Memangnya di mana lagi?" "Kemarin kamu meeting dari rumah." Sakha tertawa kecil saat bisa menebak kalau Tabitha tidak ingin ditinggal sendirian di rumah. "Kamu butuh space buat mikir soal apa yang kita bicarakan tadi. Harus udah punya jawaban sampai aku pulang sore nanti—" "Kamu meeting dari pagi sampai sore? Kok lama?"
Setelah mengirimkan hasil pekerjaan yang ditugaskan oleh atasannya melalui email, Tabitha bingung mau melakukan apa lagi agar tidak bosan. Ia sudah mengulang-ulang rutinitas yang sama selama tiga hari terakhir ini hingga kebosanan menghantuinya. Jika Tabitha masih terus terjebak pada kegiatan yang sama sampai cutinya habis dua hari lagi, Tabitha pasti sudah akan gila.'Kamu masih harus banyak istirahat, Bee. Nggak boleh banyak kegiatan berat yang hanya akan semakin memperlambat proses pemulihan kamu. Sabar sedikit bisa kan? Cuma tinggal beberapa hari lagi kamu udah bisa kerja di kantor lagi kayak biasanya,' kata Sakha saat Tabitha merengek kepada laki-laki itu agar dibolehkan pergi keluar pagi tadi.Tabitha menatap ponselnya yang sepi. Pesannya untuk Sakha yang terkirim dua jam yang lalu masih belum terbaca. Sepertinya, meeting yang Sakha hadiri berlangsung lebih lama dari perkiraan laki-laki itu yang katanya akan pulang sebelum jam empat sore. Sementara sekarang sudah pukula setengah
Jona sudah menunggu di lobi saat Tabitha memasuki gedung kantornya diikuti Sakha yang bersikeras mengantar wanita itu sampai ke ruang kerjanya. Tabitha sudah menolak diantar sampai ke dalam karena ia tidak ingin rekan kerjanya heboh, tetapi Sakha tidak peduli. Laki-laki itu beralasan ingin memastikan Tabitha benar-benar selamat sampai tujuan. Katanya, "Biar aku bisa tenang, Bee. Ini kan hari pertama kamu kerja lagi, masih pakai alat bantu buat jalan dan belum benar-benar terbiasa. Aku nggak mau kamu kesusahan." Kekhawatiran Sakha sangat berlebihan. Menurut Tabitha pribadi, perlakuan Sakha terhadapnya yang overprotektif itu hanya akan menghambat proses pemulihan kakinya. Tetapi memang dasar Sakha keras kepala. Alasan yang Tabitha utarakan itu menurut Sakha hanya akal-akalan wanita itu saja yang gatal ingin bertingkah pecicilan. "Duh, akur banget pasangan baru yang lagi kasmaran kedua. Silau mata gue," ejek Jona sembari pura-pura muntah saat matanya menangkap gestur Sakha mengelus
Pesan berisi hal serius yang dikirimkan Tabitha pagi tadi membuat Sakha tidak bisa fokus memilah foto-foto. Kemarin, Sakha dan tim yang ditunjuk oleh Pramudya agar membantu Sakha mempersiapkan pameran memang sudah mensortir banyak foto, tetapi untuk keputusan finalnya—foto mana saja yang akan dipamerkan—ada di tangan Sakha. Sakha sebenarnya sudah akan menyinggung masalah 'itu' dan meminta Tabitha menjelaskan sedetail-detailnya, tetapi Sakha sengaja menunggu waktu. Ia perlu mempersiapkan diri untuk mendengar jawaban Tabitha. Salha pikir Tabitha juga belum siap membicarakannya karena mereka kemarin sepakat akan menikmati waktu berdua dulu sebelum memikirkan masalah lain yang membutuhkan momen yang pas dan juga berbekal pikiran yang jernih. "Apa lagi masalahmu, Sakha? Bukankah kamu sudah mendapatkan mantan istrimu kembali? Tapi kenapa kamu malah murung?" Cecaran pertanyaan Pramudya yang tiba-tiba muncul itu membuat Sakha ingin kabur saja. Sakha malas meladeni bosnya yang belakangan in
"Kenapa, Tha? Makanannya nggak enak? Nggak sesuai selera lo ya?"Pertanyaan beruntun dari Haga menyentak Tabitha dari lamunannya terkait balasan Sakha yang meminta Tabitha menunda membicarakan masa lalu. Padahal, tadinya Tabitha sudah yakin sekali setelah obrolannya dengan Jona."Tha? Are you okay?" tegur Haga lagi karena Tabitha malah melanjutkan lamunannya tanpa menjawab apa-apa."Oh, nggak. Maksud gue, bukan makanannya yang nggak enak. Gue... gue juga baik-baik aja, tapi gue cuma lagi kepikiran sesuatu," balas Tabitha dengan agak terbata sebelum Haga salah paham.Dua jam sebelum jam makan siang tadi, Haga mengirimkan pesan tentang ajakan makan siang dan Tabitha langsung menyetujuinya. Tabitha perlu memastikan bahwa pertemanannya dengan Haga yang baru terjalin itu tidak rusak hanya karena kecanggungan menyebalkan beberapa waktu lalu karena Sakha."Yakin?" Haga memastikan."Iya, gue nggak papa. Nih, gue makan," ringis Tabitha yang kemudian menyuapkan satu sendok penuh makanan ke dala
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Bee—" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengen—" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T