[September 2021]
Berteman dengan sepi menjadi hobi Sakha sejak enam bulan resmi bercerai dari Tabitha. Tidak ada lagi kegiatan menyenangkan dalam hidup yang bisa membuatnya bergairah. Semangatnya dalam menjalani hidup menguap bersamaan dengan perginya Tabitha dari hidupnya. Jika biasanya Sakha sangat menikmati pekerjaannya sebagai fotografer−ia bekerja untuk National Geographic yang berkantor pusat di daerah Kebon Jeruk−kali ini tidak lagi. Ia masih tetap bekerja karena hanya itu satu-satunya yang membuat dirinya tetap hidup−tidak hanya mengurung diri di kamar yang pengap karena jendela kamarnya jarang dibuka dan berbau asap rokok yang menempel di mana-mana.
Dulu, sebelum mengenal Tabitha, Sakha adalah perokok berat. Ia tak bisa menjalani hari tanpa rokok. Setiap pagi, sarapannya adalah secangkir kopi hitam pekat dan sebatang rokok. Tanpa rokok, ia tidak akan bisa bekerja. Dan rata-rata Sakha akan menghabiskan satu bungkus rokok setiap harinya. Seiring berjalannya waktu, saat ia mulai mengenal dan dekat dengan Tabitha, mau tak mau Sakha mengurangi kebiasaannya. Di samping karena ingin menunjukkan citra yang baik di depan Tabitha, juga karena wanita itu menderita penyakit asma bawaan. Maka, sebisa mungkin Sakha selalu tampil bersih dan wangi−sesuatu yang sangat bukan Sakha yang biasanya sangat berantakan dan bau asap rokok melekat di tubuhnya−saat bertemu Tabitha.
“Aku mau buat satu pengakuan,” kata Sakha di suatu sore menjelang malam kala itu.
Tujuh tahun yang lalu. Saat itu sedang hujan. Keduanya terjebak di sebuah kafe retro yang cukup ramai.
“Jangan bilang kalau kamu aslinya udah punya pacar,” tebak Tabitha. Matanya menyipit karena penasaran.
Sakha tertawa kecil. Tebakan polos Tabitha baginya sangat lucu.
“Bukan, Tabitha. I’m a gentleman. Nggak akan mendekati orang yang udah punya pasangan ataupun mendekati orang lain waktu masih punya pasangan.”
“Well….” Tabitha berpikir keras hingga kernyitan di keningnya bermunculan. Ia kembali menebak. “Kamu mendapat tawaran pekerjaan di luar negeri? NatGeo akhirnya sadar kalau bakat kamu terlalu berharga untuk disia-siakan di sini aja?”
Sakha menggeleng. Senyum manis bertahan di wajah tampannya. Walau nyatanya, ia memang pernah mendapat tawaran untuk bekerja di kantor pusat National Geographic yang berada di Amerika Serikat. Itu sudah setahun yang lalu sebelum mengenal Tabitha. Pekerjaan itu datang bersamaan dengan meninggalnya sang ayah, yang kemudian memaksa Sakha untuk tetap tinggal karena tak bisa meninggalkan ibunya sendirian.
“Terus apa?” Tabitha makin penasaran. Ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat. Membuat Sakha bisa menghirup parfum beraroma buah-buahan segar dari tubuh wanita itu.
“Padahal aku nggak berniat main tebaik-tebakan.”
Sakha memandang Tabitha dengan geli.
“Aku cuma mau cerita kalau aku sebenarnya perokok. Aku nggak pernah cerita sebelumnya karena aku nggak mau membuat kesan buruk di awal perkenalan.”
Seketika pengertian muncul di wajah Tabitha. Ia tersenyum simpul.
“Aku tahu.”
“Kamu tahu?”
Tabitha mengangguk dengan pasti.
“Albert yang cerita,” kata Tabitha a. Albert adalah teman Sakha yang kebetulan juga mengenal Tabitha. Laki-laki itu yang mencomblangkan Sakha dan Tabitha. Dan di sinilah mereka sekarang. Duduk berhadapan di kencan mereka yang keempat. “Tapi tanpa dia cerita pun aku bisa tahu.”
Kemudian, dengan tak enak hati Tabitha lanjut berkata, “To be honest, indra penciumanku cukup sensitif, jadi aku bisa samar membaui asap rokok yang menempel di tubuh kamu.”
Sakha tampak sangat malu. Ternyata meskipun ia sudah menggosok tubuhnya berkali-kali saat mandi dan menyemprotkan parfum−yang jarang-jarang ia lakukan−ternyata tidak cukup untuk menghilangkan bau rokok di tubuhnya.
“Aku lagi berusaha buat berhenti,” tutur Sakha kemudian disertai ringisan.
“You do?” Tabitha tak percaya, lalu menyeruput kopi yang sudah dingin.
Sakha mengangguk. “Ya, tapi mungkin bakal butuh waktu yang lama.”
Tabitha manggut-manggut. Ia kembali menatap Sakha dengan sorot penasaran.
“Boleh tahu kenapa kamu mau berhenti merokok? Mungkin ada alasan tertentu?”
Sakha memandang Tabitha dengan lekat. Setelah beberapa saat, laki-laki itu dengan serius−dalam suara yang agak serak−berkata, “Karena ada perempuan manis yang aku suka. Dan untuk bisa dekat sama dia, aku harus mulai berhenti karena aku nggak mau membuat dia nggak nyaman berada di sisiku.”
Ekspresi Tabitha tetap tenang saat menyahut, “Perempuan itu aku?”
Sakha dibuat terkejut karena Tabitha tanpa ragu bertanya.
Dan untuk membuat Tabitha terkesan, ia pun menjawab dengan lantang dan percaya diri, “Ya. Empat kali kencan mungkin kelihatannya terlalu singkat. Tapi aku yakin kalau rasa sukaku ke kamu cukup besar dan aku nggak mau menyia-nyiakan kesempatan ini untuk bisa lebih dekat dari sekadar teman ngobrol. I really like you, Tabitha.”
Pipi Tabitha bersemu. Tabitha seperti sudah menduga dan menunggu momen ini datang karena kemudian tanpa keraguan sedikit pun ia membalas, “I really like you too, Sakha. Tapi kamu nggak perlu memaksakan diri buat berhenti merokok hanya karena aku atau karena siapa pun itu selain karena diri kamu sendiri yang memang mau. Asal nggak ngerokok waktu jalan sama aku, aku nggak masalah kok.”
“Aku nggak memaksakan diri,” koreksi Sakha cepat-cepat sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Tabitha menahan senyum. Ia memainkan cuping cangkir kopi dan memutar-mutarnya. Matanya tertuju pada Sakha yang menjadi semakin salah tingkah dibuatnya.
“Then it's great. And... So, are we a couple now?” tanya Tabitha memastikan.
Sakha tersenyum lebar. Ia pun menjawab dengan tegas dan mantap, “Yes. We are a couple now.”
Tabitha balas tersenyum sama lebarnya.
“Wow, Albert pasti besar kepala banget karena berhasil nyomblangin kita,” kata Tabitha dengan nada ceria yang tak bisa ditutup-tutupi. Ia merogoh tas untuk mengambil ponsel−sejak masuk ke dalam kafe, Tabitha tidak memegang ponsel karena mengobrol seru dengan Sakha membuat ia melupakan ponsel yang biasanya tak pernah lepas dari genggaman−lalu mengajak Sakha berswafoto. “Mau aku pamerin ke Albert,” ujar wanita itu lagi tanpa ditanya.
Kenangan manis tujuh tahun yang lalu itu menghantam Sakha habis-habisan saat ia sedang membersihkan sampah-sampah file di penyimpanan lokal di laptopnya. Ada ribuan foto Tabitha yang ia masukkan ke dalam satu folder yang ia beri nama ‘Love of My Life’. Sejak satu jam yang lalu, Sakha sudah berniat menghapusnya. Namun, ia masih tak rela. Yang ia lakukan selanjutnya hanyalah memandangi satu demi satu foto mantan istrinya sambil menyulut rokok dan kemudian bergelung dalam kepulan asap rokok yang memenuhi kamarnya.
Perpisahannya dengan Tabitha tidak hanya membuat laki-laki itu menjadi anti sosial, tetapi juga kembali menjadikan dirinya perokok. Karena itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tenang. Sesuatu yang mungkin tidak secara langsung dibenci Tabitha, tetapi satu hal yang dijauhi wanita itu karena kesehatannya. Dan hal itu selalu mengingatkannya pada momen saat ia mulai menjalin hubungan dengan wanita itu.
Di beberapa waktu, saat ia telah menghabiskan berbatang-batang rokok, seringkali Sakha berharap Tabitha muncul di hadapannya. Agar ia memiliki alasan untuk berhenti. Karena ia cukup yakin akan mendapatkan ketenangannya kembali jika ia melihat Tabitha ada di dalam jarak pandangnya. Tidak perlu lagi berteman dengan rokok. Namun, tentu saja harapan itu tidak pernah terwujud hingga berbulan-bulan lamanya yang terasa menyesakkan. Tabitha telah ia lepaskan dan mustahil ia akan mendapatkan wanita itu kembali.
Pintu kamarnya diketuk dari luar−membuyarkan kemuraman Sakha sejenak. Kemudian terdengar suara Ibu. “Kha, kamu masih tidur? Ibu mau jenguk Bu RT ke rumah sakit.”
Sakha meletakkan rokoknya di asbak yang hampir penuh dengan puntung rokok tanpa mematikannya. Lalu beranjak ke arah pintu dan membukanya cukup lebar. “Sama siapa, Bu? Mau aku antar?”
Ibu mengernyit. Tampaknya merasa tidak begitu nyaman saat anaknya membawa aroma rokok saat membuka pintu. “Oh, nggak usah. Ibu berangkat bareng-bareng sama tetangga sebelah dan depan rumah. Ibu cuma mau ingetin kamu biar nggak lupa makan malam. Lauk pauk sama sayur ada di meja makan. Tinggal kamu angetin.”
Sakha tersenyum tipis. Perhatian ibunya menjadi berkali-kali lipat sejak ia bercerai dengan Tabitha. “Bu, nggak perlu nunggu malam, kalau aku lapar aku bakal langsung makan.”
“Kamu kebanyakan ngerokok sampai kadang lupa nggak makan,” gerutu Ibu.
“Nanti aku makan, Bu. Nggak usah khawatir.” Sakha memberikan tatapan penuh sesal. Tak enak hati karena seringkali membuat ibunya khawatir akan keadaannya yang memang mengkhawatirkan−atau lebih tepatnya terlalu menyedihkan.
Ibu geleng-geleng kepala karena tingkah anak semata wayangnya. Kemudian pamit pergi saat mendengar namanya diserukan oleh tetangganya dari luar−mengajaknya untuk segera berangkat.
Sepeninggal Ibu, Sakha mematikan rokoknya yang masih setengah utuh dengan menyurukkan ujungnya yang membara ke ceruk asbak. Lalu matanya kembali terpaku pada foto-foto Tabitha yang ada di laptopnya. Sekilas Sakha pun tersenyum kecut saat kerinduan terhadap mantan istrinya itu dengan bangsatnya mencabik-cabik hatinya.
“Are you happy now, Bee?” bisik Sakha lirih. “Because I’m not.”
Dan jawaban yang didapatnya hanyalah kekosongan.
Setelah cukup puas membiarkan hatinya menikmati cabikan perih kerinduan, Sakha mematikan laptop. Kemudian meraih tas yang berisi kamera dan perlengkapan yang ia butuhkan untuk memotret dan mencangklongnya di bahu, kemudian menjejalkan ponsel dan dompet ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan. Tak lupa Sakha membawa rokok dan lighter.
Dua menit kemudian ia meninggalkan kamarnya yang penuh sesak.
Sakha berkendara melintasi jalanan kota Jakarta yang padat. Mobilnya merayap lambat di antara kendaraan-kendaraan lain. Suara klakson bersahutan di sana sini, meneriakkan emosi para pengendara yang tidak sabar ingin segera sampai ke tujuan, walaupun itu sama sekali tidak ada gunanya karena jalanan akan tetap macet.
Bersamaan dengan lampu lalu lintas yang kembali berubah dari warna hijau ke warna merah−dalam sepuluh menit, mobil Sakha hanya bergerak sepanjang enam meter−Sakha merasakan getaran dari ponselnya.
Sakha merogoh saku celana, mengambil ponselnya yang layarnya menampilkan sederet pesan dari Ibu yang membuat Sakha terpaku.
Ibu
Kha, Ibu lupa bilang tadi
Minggu depan kamu ikut Ibu ke rumah teman arisan Ibu, ya
Anaknya mau kenalan sama kamu
[Oktober 2021] Rupanya, ibunya tidak main-main saat mengatakan bahwa Sakha harus mulai menjalin hubungan serius dengan wanita baru. Meski Sakha sudah menolak, ibunya tetap memaksa Sakha agar ikut wanita berusia enam puluh tahun itu untuk ikut ke rumah teman arisannya hari ini. “Bu, aku dan Bitha bahkan belum setahun berpisah. Aku nggak mau buru-buru,” kata Sakha saat mobil yang ia setiri keluar dari area perumahan dan bergabung dengan kendaraan-kendaraan lain di jalanan kota Jakarta pagi tiu. Ibunda Sakha itu berkali-kali mematut diri di cermin kecil yang selalu wanita itu bawa-bawa ke mana pun ia pergi. Seraya merapikan kerudungnya, Ibu menjawab, “Cuma kenalan saja, Kha. Daripada kamu mengurung diri terus di rumah. Ibu sedih melihat anak Ibu nggak punya semangat. Ibu rindu anak Ibu yang dulu.” “Menjodoh-jodohkan aku dengan anak teman Ibu juga nggak akan lantas membuat aku kembali menjadi seperti dulu, Bu,” balas Sakha. Laki-laki itu menambahkan dalam hati, “Kecuali aku kembali b
[Oktober 2021] Juda adalah teman mengobrol yang menyenangkan. Itu adalah kesan pertama yang Sakha dapatkan setelah satu jam mengobrol dengan wanita itu. Mereka berdua bekerja di bidang yang berbeda. Sakha adalah fotografer profesional yang bekerja di NatGeo, sementara Juda adalah seorang akuntan yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Jakarta. Namun, obrolan di antara mereka bisa mengalir lancar. Sakha bahkan tertawa beberapa kali−selama setahun terakhir Sakha nyaris lupa caranya tersenyum dan tertawa lepas−karena lelucon yang dibuat oleh Juda. Bahkan saat Juda mengucapkan kata-kata sarkas pun Sakha bisa terhibur. Selama mengobrol sama sekali tidak ada pembahasan tentang ke mana arah hubungan mereka ke depannya, sebab sejak mereka berkenalan di awal Juda menegaskan bahwa pertemuan itu murni karena permintaan orang tua. Sakha pun tidak mempermasalahkan itu karena ia pun tidak menaruh ekspektasi tinggi pada pertemuannya dengan wanita yang dijodohkan dengannya itu. Juda baru mula
[Maret 2022] Tabitha menatap dua tanaman kaktus yang ia beri nama Kha dan Bee dengan tatapan kosong. Meski kaktus-kaktus itu mengingatkannya pada Sakha−mantan suami Tabitha yang menghadiahkan tanaman itu saat anniversary pernikahan mereka yang kedua−dan selalu menyebabkan rasa sakit di dada, Tabitha tak tega membuang dua tanaman yang masih tumbuh dengan subur itu. Sehingga sampai hari ini, kedua tanaman itu masih Tabitha rawat dengan sepenuh hati meski harus menahan rasa sakit setiap kali bayangan tentang Sakha terlintas di kepalanya. Pernah suatu hari Tabitha menyerahkan dua kaktus itu kepada ibunya untuk dirawat di rumah−beberapa minggu setelah resmi bercerai dari Sakha. Namun, selang dua minggu, mendadak ibunya mengabari jika kaktus-kaktus Tabitha nyaris mati. Tabitha langsung datang ke rumah ibunya untuk mengambil kembali dua kaktus itu−Tabitha bawa ke tempat kerjanya−dan ajaibnya mereka bisa kembali tumbuh dengan baik setelah satu bulan Tabitha mati-matian merawatnya. Kejadian
Tabitha tersenyum miris. Bukannya memakan bekal yang ia bawa dari rumah, Tabitha malah meraih ponselnya yang sejak tadi tergeletak di meja kerjanya dan membuka salah satu akun sosial medianya. Selama ini, Tabitha hanya memanfaatkan sosial media untuk mengikuti trend terkini yang berhubungan dengan pekerjaannya di bidang kreatif itu. Namun, dalam beberapa minggu terakhir ini Tabitha mendadak semakin sering membuka second account yang sengaja ia buat untuk kepentingan pribadi. Hal itu bermula sejak Tabitha tak sengaja melihat mantan suaminya mengunggah sebuah foto di suatu tempat yang ingin wanita itu datangi tetapi belum kesampaian. Sakha mengunggah foto pemandangan kota Yunani ketika senja. Saat matahari sudah nyaris tenggelam sepenuhnya di peraduan. Foto yang diunggah Sakha itu tidak bisa Tabitha abaikan begitu saja. Sebab, caption di unggahan itu langsung menarik perhatian Tabitha. Sakha menuliskan sepenggal lirik lagu milik Secondhand Serenade yang berjudul Your Call. . 🎵And I’
[April 2022]Sakha menatap nanar cincin kawinnya dengan Tabitha yang masih ia simpan meski sudah bercerai dari wanita itu selama setahun. Cincin itu yang dulunya menghuni jari manis Sakha. Tidak pernah laki-laki itu lepaskan, karena itu adalah salah satu bukti−selain buku nikah−bahwa ia telah mengikatkan diri pada sebuah ikatan sakral bernama pernikahan dengan wanita yang ia cintai.Setelah bercerai, Sakha masih mengenakan cincin itu selama lebih dari satu bulan. Sakha baru melepaskan cincin itu saat beberapa kali Ibu menegurnya. Bahkan Ibu menyuruh Sakha agar menjual cincin itu saja, tetapi Sakha tidak melakukannya. Sakha menyimpan cincin kawin itu di sudut lemari yang paling jauh agar tidak tergelitik untuk mengenakannya lagi.Hari ini adalah hari spesial.Sangat spesial bagi Sakha jika saja pernikahannya dengan Tabitha tidak kandas di tengah jalan. Tepat di hari ini, Sakha resmi menjadikan Tabitha sebagai kekasihnya, delapan tahun yang lalu. Dan juga lima tahun lalu, Sakha meminang
“Ini udah setahun, kan?” tanya Albert yang menyandarkan tubuh di sofa dengan tubuh sedikit melorot.Kaki Albert terjulur lurus di lantai yang berlapis karpet. Laki-laki itu terlalu kekenyangan setelah menyantap berbagai menu makanan cepat saja yang tadi ia dan Alex bawa saat Sakha meminta mereka untuk datang.Meski Alex tadi bercanda soal ajakannya untuk merayakan kegalauan Sakha, Albert menganggapnya serius. Laki-laki itu mengajak Alex membeli banyak makanan dan berkaleng-kaleng soda. Saat tiba di rumah Sakha, Albert bahkan begitu saja mengatakan bahwa laki-laki itu tahu kalau hari ini adalah hari anniversary pernikahan Sakha dan Tabitha.Kata Albert, daripada hanya bersedih sendirian dan mengurung diri di kamar, akan lebih baik jika merayakan kemuramannya bersama sahabat-sahabatnya yang selalu bersabar menghadapi bagaimana merananya Sakha pada tanggal-tanggal pentingnya bersama Tabitha. Sakha sempat mengumpati Albert karena tak berhenti mengejeknya, tetapi tak urung laki-laki itu be
Rasanya seperti sudah setahun lamanya Sakha tidak menginjakkan kaki di kantor pusat NatGeo. Tetapi, nyatanya Sakha memang jarang ke kantor bahkan nyaris tidak pernah, kecuali saat diminta untuk datang menghadiri meeting penting atau dipanggil oleh Bos Besar. Sebab, pekerjaannya menuntut laki-laki itu untuk lebih sering berada di luar ruangan. Sehari-harinya bersinggungan dengan sinar matahari.Hari ini, Sakha datang ke kantor karena pagi-pagi sekali tadi sudah dihubungi sekretaris bosnya untuk membahas sesuatu yang penting. Sakha mau tidak mau menyeret kakinya ke kantor dengan malas-malasan. Masih dengan mata mengantuk, Sakha masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan laki-laki itu menuju lantai 5.Ada beberapa wajah familiar yang Sakha kenali saat keluar dari lift dan melewati bilik-bilik ruang kerja yang sebagian besar kosong. Sakha juga punya satu bilik di sana, tetapi nyaris tidak pernah Sakha singgahi karena terlalu sibuk bekerja di lapangan. Sakha menyapa mereka singkat dan lang
Sakha butuh waktu untuk memproses informasi yang diserapnya pagi ini, saat matanya bahkan masih terasa berat karena kurang tidur. Saat selesai mengedit foto subuh tadi, Sakha hanya berencana untuk hunting foto sebentar, lalu menghabiskan waktunya untuk tidur. Menghimpun energi yang telah terkuras karena beberapa hari terakhir ia sibuk ke sana kemari untuk memotret. Berangkat pagi buta dan pulang tengah malam. Bahkan sempat tidak pulang selama dua hari hanya untuk mendapatkan satu dua lembar foto yang sempurna dari angle yang berbeda. “Kira-kira berapa lama proyek ini berlangsung?” Sakha memecah keheningan. Pramudya yang sudah sibuk dengan tablet di tangannya itu mendongak. “Bisa sebulan atau dua bulan. Tergantung kalian bisa kerja cepat atau tidak. Targetnya maksimal enam bulan harus sudah selesai.” Kerja cepat yang dimaksud Pramudya bukan hanya menyelesaikan tugas yang diberikan dengan hasil seadanya. Tetapi harus SEMPURNA. Setidaknya itu yang menjadi pegangan Sakha dalam menggel
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Bee—" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengen—" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T