Suasana ruang tamu mendadak hening setelah Clara mengutarakan pendapatnya. Sementara anggota Kanigara menghela nafas. Ada kesalahpahaman di sini dan itu harus segera diluruskan.
“Bukan begitu sayang. Bukan sama Sebastian, ya kali sama putra kedua tante ini. Kan dia masih sekolah.”
Carissa menuntun Clara duduk ke sofa yang kosong dan muat untuk mereka berdua.
“Maksudnya?”
Kini giliran Clara yang mendadak lemot, seperti yang ia tuduh pada bi Asih.
“Sebenarnya tante dan om melamar kamu untuk nikah sama putra pertama kami bukan sama Ian. Cuma malam ini dia tidak bisa datang karena mengurus perpindahan dari Singapura.”
“Oh dia benar-benar jadi kuliah di sana?” tanya Martin yang sedari tadi hanya menyimak sama seperti istrinya. Ia juga sempat mengira kalau putrinya akan dilamar untuk putra keduanya. Jelas hal itu membuat Martin tidak setuju.
Tapi dia memilih diam menunggu respon dan keputusan dari Clara dulu siapa tau putrinya benar-benar suka dan mau menerima lamaran itu.
Reinard mengangguk. “Iya, tapi sekarang dia mau pindah tugas ke Jakarta.”
Martin mangut-mangut. “Berarti sudah lama ya dia tinggal di sana.”
“Benar. Tapi sejak kepergian neneknya dua bulan lalu, dia jadi merasa bosan tinggal di sana, mungkin itu alasannya dia ingin kembali ke Jakarta,” jawab Reinard.
“Jadi bukan sama bocah ini, kan?” tanya Clara pelan sambil memperhatikan orang yang ia maksud yang duduk di sofa berhadapan dengannya.
Mata Sebastian terbelalak lalu menatap tidak suka setelah mendengarkan kalimat yang dilontarkan oleh Clara.
“Enak saja. Bocah-bocah gini udah bisa juga kali buat anak.”
Ucapan absurd itu jelas membuat semua pasang mata tertuju padanya.
Sebastian tentu terkaget kala ditatap horor oleh mereka apalagi mamanya.
“Kenapa pada liatin Ian? Kan Ian cuma merespon ucapan kak Clara. Tenang aja ma pa, Ian nggak pernah lakuin hal-hal yang aneh kok,” ujar Sebastian memberi penjelasan maksud dari perkataannya barusan.
Semuanya menghela nafas lega meski ada sedikit keraguan dengan ucapan Sebastian.
Tak terasa waktu pun terus berlalu, setelah kedua keluarga itu selesai berbincang membahas mengenai perjodohan putra dan putri mereka.
Kini semuanya sudah berada di ruang makan keluarga Magenta. Beberapa masakan sudah tersaji di sana dan tampak terlihat enak sampai tatatapan Sebastian berhenti pada satu masakan yang membuatnya tidak berselera.
“Ini apa tan?” tanya Sebastian menatap aneh pada mangkuk yang tak jauh darinya.
“Nggak tau. Itu hasil masakan Clara.”
Semuanya pun kini menatapi Clara seakan menantikan jawabannya karena mereka pun penasaran pada makanan itu.
“Itu dimsum loh. Masa nggak tau.”
“Dimsum apaan ini, hancur gini. Mana bentuknya aneh lagi.” komen Sebastian dengan wajah julidnya.
Mama Clara terlihat mengangguk setuju. Dia bernafas lega, akhirnya ada juga yang memberi komentar pada masakan putrinya itu. Tadi sore dia melihat putrinya berkutat di dapur memasak sesuatu di sana. Saat melihat masakan itu, mama Clara berniat ingin berkomentar tapi tidak jadi karena tidak ingin merusak mood putrinya yang terlihat bagus saat itu.
“Jangan sepele, meskipun hancur gini tapi jangan ragukan dengan rasanya. Coba deh dijamin enak,” seru Clara dengan memasang wajah penuh keyakinan.
“Silahkan dinikmati. Aku sudah susah payah loh masakin ini. Enak kok.”
Tapi meskipun begitu semuanya terlihat ragu akan dengan ucapan Clara.
Martin juga mengamati makanan yang dimasak oleh putrinya. Ia sangat mengenali putrinya dengan dengan baik.
Semoga putrinya ada sedikit perubahan.
Tak lama kemudian Carissa pun membuka suara.
Carissa menepuk pelan pundak Sebastian. “Kamu Ian jangan begitu. Caman mama udah niat banget loh masakin ini buat kita.”
Ada perasaan haru dalam diri Clara ketika mendengar ucapan camernya.
Clara dalam posisi duduk menundukkan kepala diam-diam mencuri pandangan pada Carrisa bergerak mengambil sumpit yang tersedia di meja sisinya berniat mencicipi dimsun ala Clara.
Dimsun buruk rupa itu akhirnya terangkat dan mencoba masuk ke dalam mulutnya Carissa.
Dengan tatapan penasaran, Sebastian pun bertanya. “Bagaimana ma? Enak?”
Sebastian melihat sang mama tidak menunjukkan ekspresi apapun. Jadi wajar dia bertanya seperti itu.
“Enak kok,” jawab Carissa sembari mengunyah makanan yang ada dimulutnya.
Sebastian yang telanjur kepo pun mengambil satu bagian dan memasukkan ke dalam mulutnya.
Belum ada beberapa detik mengunyah, Sebastian dengan merasa sedikit bersalah pada orang tua Clara berlari pergi meninggalkan meja makan menuju dapur ingin membuang sesuatu yang ada di mulutnya ke westafel cuci piring.
“Anjir. Tuh orang masak apaan sih.”
Sebastian kembali mengumur-ngumur isi dalam mulutnya dengan air westafel lalu membuangnya. Setelah itu dia kembali lagi bergabung dengan yang lain.
“Mama kok bisa tahan sih sama rasa asinnya.”
Lalu Sebastian menatap horor mata Clara. “Kak Clara bisa masak nggak sih? Kasihan deh nanti bang Gino tiap hari dapat masakan begitu kalau nikah sama kak Clara.”
‘Memang itu tujuanku. Jadi urungkan niat kalian yang ingin menjadikanku anggota Kanigara.'
“Maafkan aku. Aku kira masakan buatanku seenak itu.”
Begitulah Clara. Lain dihati lain pula kata-kata yang keluar dari bibirnya.
“Jadi kamu belum ada cobain?” tanya Sebastian yang sudah tidak memanggil Clara dengan sebutan ‘kak’
Clara mengeleng polos.
“Tidak masalah sayang. Nanti tante bisa mengajarmu memasak.”
“Maaf ya jeng. Ini akibat dimanjain papanya,” ucap Sara lalu menatap ke arah Martin.
Selama ini Martin memang melarang keras putrinya untuk masuk ke dalam dapur. Ia lebih suka putrinya untuk belajar dengan rajin saja. Jika urusan memasak itu urusan belakang jika Clara berumah tangga nantinya.
Karena saat awal-awal menikah, Martin masih ingat betul bahwa istrinya juga tidak pandai memasak. Tapi karena terus belajar melalui ponsel dan ajaran mendiang dari ibunya, akhirnya Sara bisa juga memasak makanan yang enak dilidahnya.
“It’s okay sayang. Jangan sedih dong.” ujar papa Clara.
Clara mencoba berpura-pura untuk tersenyum.
Ia sedih bukan karena masalah masakannya tidak enak melainkan karena rencananya untuk membatalkan perjodohan itu gagal lagi. Tampak Carissa tidak mempermasalahkan kekurangannya itu. Clara mengira calon mertuanya itu akan tidak menyukai dirinya karena tidak bisa memasak dengan baik untuk putranya nanti.
Untuk melarutkan suasana di ruangan itu, Martin pun membuka suara untuk memimpin acara makan malam mereka.
Dengan perasaan berbeda-beda yang dirasakan oleh mereka karena masakan Clara, mereka pun memulai makan malamnya.
Makan malam pun usai, tetapi mereka masih berada di ruang makan sembari berbincang-bincang kecil. Biasalah percakapan-percakapan orang tua seputar kehidupan.
Sementara Clara dan Sebastian sibuk dengan ponselnya masing-masing entah menghubungi siapa.
Dalam keadaan hening begitu, tiba-tiba penjaga pos gerbang kediamanan Magenta datang menghampiri hingga ke ruang makan.
“Ada apa pak Toyib?” tanya Martin penasaran.
‘Anjir namanya.’ batin Sebastian dengan muka julidnya membuat Clara menatap tidak suka pada Sebastian. Ia tau kalau pemuda itu sedang mengatakan sesuatu yang jelek pada pekerja papanya.
Karena diawal-awal masuk kerja, Clara juga melakukan hal yang sama. Mengingat itu Clara menjadi merasa berdosa banget padahal pak Toyib sangat baik dan benar-benar mengabdikan dirinya pada keluarganya.
“Ini pak... ada penyusup yang mencoba masuk ke rumah. Tadi saya lihat mereka ngintip-ngintip dari arah jendela situ,” pak Toyib pun menunjukkan jendela yang ia maksud.
“Apa?!”
Teriak mamanya membuat jantung Clara mau copot. “Mama ih suaranya bikin kaget aja,” seru Clara sembari mengusap-usap dadanya.
Bukan hanya Clara melainkan semua yang ada di meja makan itu juga ikut terkejut.
“Penyusupnya gimana bisa masuk pak? Berarti bapak nggak bagus jagain gerbangnya,”celetuk Sebastian.
Clara mengangguk setuju. Baru juga ia memuji cara kerja pak Toyib.
“Maaf pak atas kelalaian saya. Tadi pas bukain gerbang buat kamunya.” Pak Toyib menunjuk ke arah Sebastian. “Saya lupa langsung kunciin karena mendadak perut saya mules pak. Jadi saya langsung tinggalin begitu aja gerbangnya tanpa dikunci dulu. Sekali lagi maaf pak.”
“Jadi penyusupnya dimana?” tanya Martin.
“Diluar pak sudah saya ikat.”
***
Bersambung...
Di malam hari dekat gerbang kediaman Magenta terlihat dua orang berpakaian hitam dengan memakai penutup kepala layaknya seorang pencuri mencoba membuka pintu gerbang tersebut. “Gerbangnya nggak dikunci sek.” “Kita kayak pencuri anjrit.” “Lebih tepatnya penguntit pesek.” “Stop panggil gue pesek napa,” serunya tidak suka. “Kan memang faktanya begitu sayang. Sudah... kita debatnya nanti aja. Ayo masuk... keburu penjaganya datang.” Kedua orang itu melewati pos jaga. Terlihat di sana seseorang sudah tertidur pulas di dalam pos tersebut. “Pelan-pelan. Tungguin gue,” ucap orang itu memanggil temannya yang berjalan cepat di depannya. “Kurasa ini terlalu berlebihan nggak? Mending kita langsung masuk ke rumahnya secara baik-baik daripada ngendap-endap gini.” Orang yang berjalan paling depan menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. “Itu memang bagus, tapi aku suka ide ini, lebih menantang dan menegangkan tau,” “Ntar lo tanggung jawab ya kalau bokap sama nyokap gue sampai tau
Sudah dua minggu berlalu setelah acara lamaran malam. Clara dengan berat hati mau nggak mau harus menerimanya ketika sang papa justru menyetujui lamaran tersebut. Rencananya acara pertunangan akan dilakukan setelah kepulangan pria bernama Georgino Kanigara kembali ke Jakarta. Di pagi hari yang cerah, suasana di Kanigara University sudah terlihat ramai berdatangan mahasiswa yang berlalu lalang mengisi kawasan kampus tersebut. Ada yang sudah memulai aktivitas belajar mengajarnya, ada juga yang masih menunggu kehadiran sang dosen yang belum kunjung hadir ke ruang kelas belajar mereka. “Anjir, pagi-pagi gue udah dibuat olahraga sama nih kampus.” Clara tampak sedang menaiki tangga menuju lantai tiga gedung fakultas Ekonomi Bisnis. “Untung kelas gue ada di lantai tiga.” “Pakai lift napa sih. Masa di gedung sebelah udah dibuat liftnya. Dasar tuh petinggi-petinggi kampus pilih kasih banget.” Sepanjang menaiki tangga, Clara terus mengomel. Tak hanya itu, sesekali Clara juga menyempat di
“Ma,” seru Georgino memanggil mamanya.Hari sudah menjelang sore, setelah tidur sebentar Georgino terbangun dan langsung turun ke bawah menemui mamanya.Georgino berjalan cepat menuruni anak tangga lalu mengedarkan pandanganya mencari keberadaan sang mama.“Mama dimana?”Georgino mencoba pergi ke ruang santai, siapa tau mamanya sedang menonton drakor di sana, pikir Georgino. Tapi hasilnya nihil, Georgino tidak mendapati mamanya ada di sana.‘Kemana, apa lagi di dapur?’Tanpa menunggu lama Georgino turun ke dapur untuk memastikan.“Gino kamu udah bangun.”Ketika ingin masuk ke dapur, Georgino tersentak kaget mendengar suara mamanya dari arah belakangnya, “Mama dari mana saja sih, Gino dari tadi nyariin," raut wajahnya terlihat kesal sekali, mungkin karena dibuat terkejut sama mamanya.Lain dengan Carissa justru terlihat kebingungan, “Mama nggak kem
“Bisa tepos bokong gue kalau lama-lama duduk di sini,” gerutu Clara. Dia sedang menunggu seseorang di salah satu kursi beton yang tersedia tak jauh dari gerbang utama Universitas Kanigara sembari mengipas-ngipas karena kegerahan.‘Menunggu sesuatu yang sangat menyebalkan bagiku.’Clara justru jadi bernyanyi dalam hatinya.Seseorang yang diutus untuk menjemputnya belum menunjukkan tanda-tanda akan kedatangan dari orang tersebut.Kedua teman Clara sudah pulang duluan sekitar sepuluh menit yang lalu. Makanya Clara duduk sendirian di sana.“Kenapa lama sekali? Nggak tau apa menunggu itu capek banget,” hanya itulah yang bisa Clara lakukan, menggerutu lalu kesal sendiri.“Tau gitu, aku nebeng sama Tasya tadi.”Clara jadi melamun dengan tatapan yang memandang lurus ke arah gerbang.Lalu tak lama kemudian Clara menajamkan penglihatannya ketika melihat sebuah mobil mewah berwarna mer
‘Sebastian panjang umurnya,’ pikir Clara. Orang yang sedang mereka bicarakan akhirnya datang juga. Sementara Sebastian di dalam mobilnya dengan tatapan heran melihat Clara sedang menunjuk ke arahnya. “Ngapain lagi nih orang?” Di sisi lain, Carissa berjalan maju mendekati mobil itu membuat Sebastian jadi menghentikan mobilnya sejengkal tepat di depan mamanya. Terlihat Carissa langsung mengitari mobilnya menuju pintu tempat Sebastian berada. Sebastian menoleh ke samping melihat mamanya. “Ian... keluar mama bilang,” ujar Carissa sambil terus mengetuk kaca jendela mobilnya. Sebastian di dalam mobil mengabaikan perkataan mamanya, dia justru memalingkan wajah dan melihat ke arah Clara sedang memeletkan lidah ke arahnya, “Gue nggak tau dia sudah ngomong apa sama mama. Awas kau Clara.” Kemudian Sebastian menoleh ke samping dan melihat wajah mamanya, “Firasat gue nggak enak lagi.” “Ian buka pintunya,” perin
“Selamat datang di rumah kami sayang,” seru Carissa ketika pintu besar rumah itu sudah terbuka, “Semoga kamu nyaman menginap di sini ya.”Clara mengangguk pelan dan tampak ragu. Clara tidak tau apakah dirinya akan merasa nyaman atau tidak di sana apalagi mengingat ada Sebastian di rumah itu.Dan jangan lupa juga dengan calon suaminya. Siapa tau keduanya memiliki sikap yang tak jauh berbeda, sama-sama menjengkelkan.Ah... memikirkan itu Clara jadi mendadak merasa jadi tidak betah. Padahal dia akan memasuki rumah besar tersebut.‘Tidak-tidak, kau sendiri yang menyetujuinya Clara.’Karena menghargai Carissa yang berstatus lebih tua darinya, Clara jadi setuju untuk menginap beberapa hari di sana sembari menunggu kepulangan orang tuanya dari Bali.Raut wajah Clara yang tadi tampak sedang berkeluh kesah seketika berubah menjadi full senyum ketika memasuki rumah besar itu yang tampak seperti istana.Kini Clara berdiri tercengang merasa takjub melihat rumah besar milik keluarga Kanigara. Des
“Selamat datang di rumah kami sayang,” seru Carissa ketika pintu besar rumah itu sudah terbuka, “Semoga kamu nyaman menginap di sini ya.” Clara mengangguk pelan dan tampak ragu. Clara tidak tau apakah dirinya akan merasa nyaman atau tidak di sana apalagi mengingat ada Sebastian di rumah itu. Dan jangan lupa juga dengan calon suaminya. Siapa tau keduanya memiliki sikap yang tak jauh berbeda, sama-sama menjengkelkan. Ah... memikirkan itu Clara jadi mendadak merasa jadi tidak betah. Padahal dia akan memasuki rumah besar tersebut. ‘Tidak-tidak, kau sendiri yang menyetujuinya Clara.’ Karena menghargai Carissa yang berstatus lebih tua darinya, Clara jadi setuju untuk menginap beberapa hari di sana sembari menunggu kepulangan orang tuanya dari Bali. Raut wajah Clara yang tadi tampak sedang berkeluh kesah seketika berubah menjadi full senyum ketika memasuki rumah besar itu yang tampak seperti istana. Kini Clara berdiri tercengang merasa takjub melihat rumah besar milik keluarga Kanigar
“Apa yang kau lakukan, nak? Astaga.., kamu kan bisa tahan sebentar napa sampai kalian menikah?”Georgino langsung menjauhkan tubuhnya ketika mendengar suara mamanya, dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka berdua.Carissa meletakkan nampan berisi minuman dan makanan ringan ke atas meja lalu menghampiri Clara.Lalu tatapan yang nyalang tertuju pada Georgino, “Kamu mau apakan dia?” Carissa tak lupa memberi pukulan pada lengan kekarnya Georgino.Tanpa sadar Clara tersenyum tipis menyaksikan itu.“Gino nggak ngapain-ngapain dia.” Kemudian melihat ke arah Clara, “Tadi matanya kelilipan, terus dia minta tolong itu nge-check siapa tau ada yang masuk.”“Ya kan?” tanya Georgino sambil menatap Clara dengan intimidasi seakan menyuruh Clara untuk membenarkan ucapannya barusan.
“Baiklah, besok aku akan pergi ke sana.” Clara menutup panggilan telponnya. Clara menoleh ketika pintu kamarnya terbuka. Ada Georgino yang berdiri di sana lalu berjalan pelahan memasuki kamar.Seperti tidak ada niat untuk menyambut kepulangan sang suami, dia melangkah acuh menuju kasur dan duduk ditepi ranjang kemudian memainkan ponselnya.Georgino di dekat meja untuk meletakkan tas kerjanya di sana.“Apa masih sakit?”Clara tidak menjawab, dia sibuk memainkan ponselnya. Georgino mendekat, "Hei", panggil Georgino. "Aku sedang berbicara denganmu.”"Oh. Kau memanggilku— sorry, saking sibuknya dengan ponsel.” Clara berpura-pura seakan-akan tidak mendengarnya tadi.Clara mengalihkan pandangannya dan jadi salah tingkah karena Georgino hanya diam namun terus memandangnya dengan tajam. “Kenapa kau menatapku seperti itu?” Clara tidak tahan lagi saat ditatap seperti itu oleh Georgino.Pria itu mengabaikannya, Georgino masih menatap Clara dengan intens. "Apa masih sakit?" Georgino kembali bert
“Ra, bisa diam napa, gue jadi pusing lihat lo mondar-mandir gitu.”Karina menoleh menghadap Tasya lalu menatap Clara lagi. “Betul tuh. Apa udah nggak sakit lagi. Lo kan baru siap coblos semalam?”Keduanya sedari tadi sibuk memperhatikan Clara yang mondar-mandir seperti setrika sejak mereka memberitaukan bahwa Georgino bersama Kiara diperpustakaan.‘Sial. Udah dapat enaknya aja, berani juga dia asik-asik’an dengan si Kiara itu.’“Kalian tidak berbohong, kan? Mereka nggak ngapa-ngapain, kan?” tanyanya yang tidak tahan lagi karena penasaran di dorong rasa cemburu. Maybe.“Tadi sih nggak ada. Cuma Kiara aja nabrak kak Darian habis itu dia pergi, makanya kami bisa bertemu dengan pak Gino.” sahut Karina.“Tapi bisa aja, kan pas kita pergi dia jumpai pak Gino lagi.” timpal Tasya membuat Karina terlebih Clara menatap heran ke arah gadis itu.“Lo kok gitu sih Sya.” Karina memukul kakinya Tasya.Tasya terkekeh ditempatnya melihat Clara yang sudah meringkuk di sofa panjang di depannya. Dari waj
Clara sudah berada di dalam kamarnya lagi tengah berbaring memeluk gulingnya dengan erat sembari memikirkan sesuatu yang membebani pikirannya.“Kenapa ya? Heran aja gitu, tumben-tumbenan aja dia mau balik ke sini. Biasa juga harus dipaksa dulu, itupun kalau boleh dihitung biasanya cuma setahun sekali, udah kayak anniversary aja.” Clara bergumam pelan.Suara ketukan pintu membuat Clara menoleh ke arah pintu. “Siapa?” Clara bertanya pada dirinya sendiri. “Mama kan baru pergi lagi? Apa bibi? Tapi ngapain?”Meski merasa malas, Clara memaksa dirinya berjalan membuka pintu kamar. Saat pintu terbuka, Clara dengan wajah melongoh terkejut melihat kehadiran kedua sahabatnya.“Hai.” sapa Karina.“Kalian sejak—Maksudku ngapain kalian kesini?”Karina tidak menjawab, dia tersenyum-senyum sendiri karena sikap Clara yang sangat menggemaskan saat ini. Clara terlihat lucu dimatanya kalau sedang dalam mode blo-on“Gila. Rumah suami lo besar juga ya. Rumah orang tua gue nggak ada apa-apanya.” decak Karin
“Semoga tim kak Darian menang. Sayang kita nggak bisa datang, mana si Clara juga ijin nggak masuk lagi.” tutur Karina.“Katanya sih sakit.” timpal Tasya. “Tapi sumpah deh aku jera kalau mau ngajak dia ke bar lagi. Tatapan pak Gino waktu itu seram. Untung si Clara bertingkah, jadi bisa ngalihin perhatian dia.”“Masa sih.” seru Karina tidak percaya.“Kau mah nggak tau. Kan kau lagi mabuk juga waktu itu.”Di kampus, Tasya dan Karina sudah berjalan keluar dari gedung fakultas mereka. Untuk hari ini mereka hanya satu jadwal matkul saja. Jadi setelah tidak memiliki kegiatan lagi.“Kita mau kemana?”“cari makan dulu, siap itu kita pergi lihat Clara.”“Memang kau tau dia tinggal dimana?”“Kan bisa ditanya nanti sama Clara lewat telpon, kalau nggak sharelock.”Langkah keduanya mendadak terhenti ketika melihat sosok pria yang sangat dia kenal.“Pak Gino.”Tasya dan Karina saling tatap-tatapan. Sepertinya pikiran mereka saling terhubung hingga tanpa dikomando terlelebih dahulu, baik Karina dan
“Apa yang kau kau lakukan di dalam sana? Udah lumutan aku gara-gara nungguin kalian.”Georgino malas menanggapinya, dia menatap Haris dengan raut wajah datar. “Berisik.” ucapnya singkat, namun wajahnya tampak begitu kesal. “Kalau kau memang nggak mau kerja samaku lagi mending kembali ke Singapura sana.”Haris mencebikkan bibirnya. “Santai napa bos. Sensi amat.”Georgino mengulurkan tangannya mengambil paper bag yang dipegang sama Haris. Dia membukanya untuk memeriksa barang yang dibawakan oleh asistennya itu.“Pakaian dari rumah, kan?”“Iya. Aku mana tau ukuran baju istrimu, jadi mending ke rumah aja, eh syukurnya ada nyonya besar di rumah. Jadi gampang deh, yang susahnya cuma nungguin kalian di sini.”“Orangtuaku udah pulang?” Georgino mengabaikan ucapan terakhir dari Haris.“Sudah, makanya pakaian nona Clara mamamu yang ngambilin.”“Oke, terima kasih. Kalau begitu kau boleh pulang.”“Tentu saja... eh tapi kalian mau pulang sekarang, kan? Mamamu tadi nanyain. Kau sih orang nelpon ngg
Keesokan harinya Clara terbangun dari tidurnya, dia memegang kepalanya yang serasa mau pecah. Sementara disebelahnya, Georgino merasa masih ngantuk, langsung menarik Clara ke dalam dekapannya. "Jangan bergerak. Lebih baik kau tidur lagi.”Mendengar suara serak Georgino membuat mata Clara melotot sempurna. Dia menoleh dan melihat Georgino dalam keadaan shirtless alias bertelanjang dadanya.Merasakan ada sensasi hangat yang terhantar karena tubuh mereka saling bersentuhan, sontak Clara menyibak selimut dan melihat tubuhnya dalam keadaan polos yang sedang didekap oleh Georgino.“Akkkhhh.”Clara menjerit kala melihat sesuatu tersembunyi di dalam selimut dan sukses membuat Clara kembali menutup selimutnya. Clara segera terduduk membuat tidur Georgino jadi terganggu.“Kenapa kau berisik sekali?!”“Apa yang sudah kau lakukan padaku?” cecar Clara dengan tatapan sinis bercampur marah.“Memangnya apa yang sudah kulakukan padamu?”Clara menggeram tak percaya. Ingin bertanya, justru pria itu ya
“Clara! Gadis ini,” Georgino merasa mendadak merasa pusing menghadapi tingkah Clara.Gadis itu memisahkan diri dari Georgino yang sedang melakukan check in hotel. Mau tidak mau Georgino harus datang menjemput Clara yang terlihat menunjuk ke arah dinding.“Apa yang kau lakukan di sini?”Clara melihat Georgino sebentar lalu tersenyum senang.“Aku mau lukisan ini. Cantik.”Menyadari Clara ingin menggapai lukisan itu, Georgino pun dengan cepat mencegah. Tanpa berpikir panjang Georgino langsung menarik tangan Clara menuju meja resepsionis.Sedari tadi tingkah mereka tak luput dari perhatian dari para resepsionis di sana. Georgino kembali lanjut menyelesaikan adminitrasinya sementara Clara terkurung karena dikekep oleh oleh salah satu tangan Georgino. Antisipasi agar Clara tidak berulah lagi.“Dia istri saya.”Georgino akhirnya kembali membuka suaranya dan memberitau kalau perempuan yang ada disampingnya itu adalah istrinya. Pasalnya sedari tadi resepsionis hotel itu terus menatap aneh ke a
Acara seminar sudah selesai, Darian terburu-buru meninggalkan kampus. Mobilnya keluar dari parkiran dan melaju meninggalkan kawasan kampus.. Ia membawanya mobilnya dengan kecepatan tinggi karena terburu-buru mengejar sesuatu.Tiba-tiba ketika di gerbang kampus, ada seorang gadis yang berjalan keluar tanpa memperhatikan jalannya karena fokus memainkan ponsel. Darian yang telat menyadarinya langsung membantir stir tapi naas, mobilnya ternyata tetap mengenai gadis itu hingga tak sadarkan diri.Darian mendapati ada luka di dahi dan pelipisnya, tapi dia mencoba untuk mengabaikannya dan langsung turun dan keluar untuk menemui orang itu.“Sial. Dia pinsan lagi.” Umpat Darian saat melihat gadis itu tertidur tengkurap di jalan.Darian mendekat dan membalikan tubuh korban dari mobilnya. Darian seperti pernah melihat dan mengenali gadis itu.Darian menatap ke sekelilingnya. Melihat tidak ada orang pada moment itu, Darian pun buru-buru membawanya masuk ke dalam mobil. Jika ada yang tau, bisa ruy
“Mama mau kemana?”Sepulang dari kampus Clara melihat mertuanya tampak bersiap-siap hendak pergi ke suatu tempat.“Sayang, apa sudah siap?” Tiba-tiba Reinard muncul menghampiri istrinya dan menantunya. “Eh kamu sudah pulang,” ucap Reinard saat baru menyadari keberadaan Clara.“Iya Pa.” balas Clara sekenanya. “Ini Papa dan Mama pada mau kemana?”“Mau ke Singapura sayang,” jawab Carissa sambil membetulkan dasi yang dikenakan oleh Reinard.“Singapura? Ngapain Ma? Ada urusan kerja ya?”“Iya, sekalian juga menghadiri acara pernikahan putri dari rekan kerja papamu.”Clara hanya mengangguk. “Memang berapa hari mama dan papa di sana?”“Paling dua tiga hari sayang. Sehabis pesta, besoknya kami langsung pulang.” jawab Carissa sementara Reinard sedang sibuk menghubungi seseorang di ponselnya.“Bukan besok ya pestanya?”Carissa mengeleng. “Lusa. Kalau besok Mama dan Papa liburan dulu.”“Seandainya Gino nggak ada kegiatan seminar, udah kamu dan Gino yang mama suruh pergi ke sana,” tambah Carissa