Ebizawa tersenyum tipis, seolah ia sudah menduga jawaban itu. “Kamu mungkin sudah meninggalkan dunia itu, tapi dunia itu tidak akan pernah meninggalkanmu. Kami punya cara untuk menarikmu kembali, Abizar. Kamu tahu itu.”
Elsa menatap Abizar dengan rasa takut yang semakin membesar. “Apa maksudmu? Apa yang akan mereka lakukan padamu?” suaranya bergetar, penuh kekhawatiran.Abizar menatap Elsa, mencoba untuk meyakinkannya meskipun hatinya sendiri dipenuhi oleh ketakutan. “Elsa, aku akan melindungimu. Aku tidak akan membiarkan mereka mendekat padamu. Aku berjanji.”Namun, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Elsa bisa melihat ekspresi di wajah Ebizawa yang tidak biasa—sebuah senyuman yang penuh dengan rencana jahat yang tidak terlihat jelas. “Mungkin, Abizar,” katanya pelan, “tapi ada banyak hal yang belum kamu ketahui. Dunia ini tak pernah memberimu kesempatan untuk benar-benar bebas. Dan kami, keluarga Ebizawa, tidak membiarkan siapa pun keluar begituAbizar mengalihkan pandangannya dari luar jendela, menatap Elsa dengan mata yang penuh perhitungan. “Aku... aku tidak ingin kamu terjebak dalam bahaya ini lebih lama. Aku tidak ingin melihat kamu terluka karena pilihan yang aku buat.” Elsa menunduk, seketika perasaan bersalah yang terus membayangi hatinya kembali muncul. “Tapi, aku yang memilih ini. Aku yang membiarkan kamu masuk dalam hidupku, Abizar. Aku yang tidak berpikir jauh ke depan. Sekarang, kita berdua terjebak.” Abizar menggenggam tangan Elsa dengan lembut, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. “Tidak, Elsa. Aku yang memutuskan untuk berada di sini. Semua yang terjadi, aku yang memilih. Jangan pernah merasa bersalah atas ini. Ini adalah jalan yang aku pilih, dan aku akan menanggung semua risikonya.” Tapi Elsa tahu—rasa takut itu ada di mata Abizar. Ia bukan hanya khawatir tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang akan mencoba merusak hubungan mereka. Elsa bisa
Di mansion yang sepi, Elsa duduk terjaga di ruang tamu. Hujan telah berhenti, tapi ketenangan malam tidak mampu mengusir kegelisahan dalam hatinya. Abizar yang tadi telah pergi untuk menyiapkan beberapa hal, meninggalkannya sendirian. Meskipun ia tahu Abizar bertujuan untuk melindunginya, Elsa merasa jauh lebih takut daripada sebelumnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Semua pilihan terasa salah. Dan ketika ia menghadap ke luar jendela, melihat cahaya kota yang redup, Elsa menyadari bahwa cinta memang sebuah permainan berbahaya—dan mungkin, kali ini, mereka tidak akan bisa keluar dari permainan ini tanpa mengorbankan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.Hujan yang tadi malam mengguyur perlahan memudar, tapi bekasnya masih terasa. Pagi itu, udara terasa berat, seolah setiap hembusan angin membawa pesan yang tidak ingin diterima oleh siapa pun yang mendengarnya. Di luar jendela, langit tampak cerah, tetapi dalam hati Elsa, ada awan kelabu yang men
Elsa memutar video yang dikirim Natasya. Suara dari video itu mengisi ruang yang sebelumnya penuh dengan keheningan. Elsa menatap wajah Abizar yang mulai berubah, wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat cemas. Dia menghela napas, mencoba mencari cara untuk menjelaskan, namun Elsa sudah terlalu lama tenggelam dalam pikirannya sendiri untuk bisa mendengar penjelasan apa pun. Setelah video selesai, Elsa menatapnya dengan tajam. “Kamu bilang... kamu hanya memanfaatkan aku untuk keluar dari dunia ini. Itu benar, kan?” Abizar terdiam. Matanya yang penuh rasa cemas itu beralih ke layar ponsel Elsa, lalu kembali padanya. “Elsa, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak pernah...” Abizar berhenti, menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku tahu, ini terlihat buruk. Sangat buruk. Tapi... percayalah, aku tidak pernah berniat untuk melukai kamu.” Elsa bisa melihat bahwa Abizar sedang berusaha keras untuk menjelask
"Bagaimana?"Tangan Valeria mengepal. Dia masih tak menyangka kepada pria yang duduk di hadapannya dengan balutan jas hitam tersenyum remeh memandangnya. Seorang mantan suami yang sudah menceraikannya selama tiga tahun kini menawarkan uang untuk menutupi kerugian yang menimpa perusahaannya. "Apa maksudmu Tuan Alan? Aku tidak sudi menerima uang yang Kau berikan!" maki Vale sambil melemparkan amplop coklat berisi uang yang berada di atas meja ke wajah Alan. Weni sang asisten yang sejak tadi duduk di sofa dengan tenang melihat Tuan Alan dihina seperti itu langsung buka suara. '' Anda bisa saja menolaknya Nona Valeria tapi bagaimana dengan ribuan karyawan yang bekerja di perusahaan orangtua Anda yang sedang berada di ujung tanduk?" "Itu urusanku bukan urusan kalian. Jangan sok tahu tentang masalah keluargaku. Sekarang pergilah, kalian tentu tahu pintu keluar di mana." Baru saja Weni ingin menyahuti Valeria, Alan langsung mengisyaratkan tangannya agar jangan bicara. Alan memajukan
"Kau harus menuruti apa yang ku mau selama Violet tidak berada disisiku. Calon istriku itu akan pergi ke itali selama tiga bulan karena ada pekerjaan di sana. Kau tentu tahu kebutuhan biologisku selama Kita masih menjadi suami istri dulu." "Aku bukan pelacurmu simpan saja uangmu itu," ucap Valeri dengan tatapan tajam kepada Alan. "Nona Valeria kenapa Kau masih saja keras kepala. Aku menawarkan keuntungan untukmu. Kau akan bahagia dan perusahaan Kakekmu itu akan aman. Apa Kau tahu hutang Ayahmu sangat menumpuk. Beberapa para investor menarik uangnya. Dan Kau jangan lupa Ayahmu juga berhutang banyak kepadaku," urai Alan dengan tenang duduk di atas meja kerjanya sambil melipatkan kedua tangannya. "Kau sudah gila Aku tidak akan pernah mau menerima tawaranmu sudah cukup Kita pernah mengenal. Jadi jangan sok baik untuk menolongku. Kalau Kau ingin hartaku maka ambil saja. Aku tidak perduli lagi permisi," jawab Valeria dengan wajah datarnya lalu pergi dari ruangan itu tanpa memakai gaun
"Kau habis dari mana Vale?" tanya Cathy yang sejak tadi menunggunya. "Maaf ... Aku tadi ada urusan sedikit, kenapa belum tidur?" "Owh Aku belum mengantuk saja. Emm ... Vale tadi Ibuku telpon memintaku pergi ke rumah Tante Nana. Tanteku sakit tak ada yang mengurusnya. Bisakah Aku pinjam mobilmu kesana?" "Kau itu bagaimana pakai saja jangan sungkan. Apa Aku boleh ikut?" "Ah ... tidak jangan Aku hanya sebentar saja. Kamu di rumah saja tidak apa-apakan?" "Ok baiklah, ini kunci mobilnya Kamu hati-hati di jalan." Tanpa curiga kepada Cathy, Vale mengantarnya keluar rumah sampai wanita itu pergi mengendarai mobilnya. Vale masuk ke dalam rumah Dia berjalan menaiki tangga menuju kamar. Sudah tiga hari wanita itu menginap di rumah temannya. Vale mempunyai harta gono gini dari mantan suaminya tapi Dia tidak pernah menghuni rumah mewah yang diberikannya. Beberapa mobil mewah pun berdebu digarasi rumah itu. Dan beberapa aset seperti properti dan restoran tidak pernah Dia urus. Meskipu
"Kau mau membawaku kemana? Sepertinya jalan ini ke rumah utama. Hey apa Kau sudah gila! Aku mau turun di sini saja ... berhenti ku bilang!" Ckit ... ! Suara bunyi rem mendadak terdengar jelas di telinga mereka. Alan melirik Vale yang ingin keluar dari mobil BMW mewahnya. "Coba saja Kau keluar Aku pastikan Kita akan melakukannya di sini." "Apa Kau tuli hah! Aku tidak mau ke rumah itu dan berhenti mengancamku, Alan." "Kita akan tetap ke sana karena itu rumahmu!" tanpa menghiraukan caci maki Vale. Alan tetap membawa Vale ke rumah utama mereka yang dulu pernah mereka tinggali bersama. Menempuh perjalanan selama 30 menit dengan banyak drama akhirnya sampai di depan pintu mewah pagar hitam sudah ada penjaga yang membukanya menyambut mereka. Alan turun dari mobil tanpa Vale yang masih betah bertahan diam di dalam mobil. Tanpa memaksa Vale turun Alan bersandar ke tiang kokoh rumahnya dengan menghisap rokok sambil melihat Vale yang masih tetap bertahan di dalam mobilnya. Beberapa p
Suara cuitan burung di luar balkon terdengar riuh cahaya yang menembus ke dalam kamar cukup membuat Vale mengerjapkan matanya yang baru bangun dari mimpinya. Tak jauh darinya ada sosok pria yang sedang memandangnya tanpa berkedip. Kedua mata mereka saling berpandangan dan Vale lah yang pertama memutus pandangan tersebut. "Mandilah ikut bersamaku ke kantor." "Untuk apa bukannya sekarang Kamu yang akan menjadi bosnya." "Kau akan mengetahuinya setelah tiba di sana. Bersiap-siaplah Aku menunggumu di bawah Kita sarapan bersama." Setelah melihat Alan pergi dari kamar Vale bergegas mandi dengan cepat karena dia juga penasaran dengan ucapan pria itu. Di atas ranjang ada stelan pakaian kantor untuknya. Blouse berwarna biru dan rok span berwarna hitam. Terlihat sangat sopan karena itu yang diinginkan Alan. Setelah mengecek beberapa riasan di wajahnya Vale keluar dan turun menghampiri Alan yang sejak tadi sudah menunggunya. Tapi baru beberapa langkah kakinya tertahan tanpa mau digerakk
Elsa memutar video yang dikirim Natasya. Suara dari video itu mengisi ruang yang sebelumnya penuh dengan keheningan. Elsa menatap wajah Abizar yang mulai berubah, wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat cemas. Dia menghela napas, mencoba mencari cara untuk menjelaskan, namun Elsa sudah terlalu lama tenggelam dalam pikirannya sendiri untuk bisa mendengar penjelasan apa pun. Setelah video selesai, Elsa menatapnya dengan tajam. “Kamu bilang... kamu hanya memanfaatkan aku untuk keluar dari dunia ini. Itu benar, kan?” Abizar terdiam. Matanya yang penuh rasa cemas itu beralih ke layar ponsel Elsa, lalu kembali padanya. “Elsa, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak pernah...” Abizar berhenti, menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku tahu, ini terlihat buruk. Sangat buruk. Tapi... percayalah, aku tidak pernah berniat untuk melukai kamu.” Elsa bisa melihat bahwa Abizar sedang berusaha keras untuk menjelask
Di mansion yang sepi, Elsa duduk terjaga di ruang tamu. Hujan telah berhenti, tapi ketenangan malam tidak mampu mengusir kegelisahan dalam hatinya. Abizar yang tadi telah pergi untuk menyiapkan beberapa hal, meninggalkannya sendirian. Meskipun ia tahu Abizar bertujuan untuk melindunginya, Elsa merasa jauh lebih takut daripada sebelumnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Semua pilihan terasa salah. Dan ketika ia menghadap ke luar jendela, melihat cahaya kota yang redup, Elsa menyadari bahwa cinta memang sebuah permainan berbahaya—dan mungkin, kali ini, mereka tidak akan bisa keluar dari permainan ini tanpa mengorbankan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri.Hujan yang tadi malam mengguyur perlahan memudar, tapi bekasnya masih terasa. Pagi itu, udara terasa berat, seolah setiap hembusan angin membawa pesan yang tidak ingin diterima oleh siapa pun yang mendengarnya. Di luar jendela, langit tampak cerah, tetapi dalam hati Elsa, ada awan kelabu yang men
Abizar mengalihkan pandangannya dari luar jendela, menatap Elsa dengan mata yang penuh perhitungan. “Aku... aku tidak ingin kamu terjebak dalam bahaya ini lebih lama. Aku tidak ingin melihat kamu terluka karena pilihan yang aku buat.” Elsa menunduk, seketika perasaan bersalah yang terus membayangi hatinya kembali muncul. “Tapi, aku yang memilih ini. Aku yang membiarkan kamu masuk dalam hidupku, Abizar. Aku yang tidak berpikir jauh ke depan. Sekarang, kita berdua terjebak.” Abizar menggenggam tangan Elsa dengan lembut, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. “Tidak, Elsa. Aku yang memutuskan untuk berada di sini. Semua yang terjadi, aku yang memilih. Jangan pernah merasa bersalah atas ini. Ini adalah jalan yang aku pilih, dan aku akan menanggung semua risikonya.” Tapi Elsa tahu—rasa takut itu ada di mata Abizar. Ia bukan hanya khawatir tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang akan mencoba merusak hubungan mereka. Elsa bisa
Ebizawa tersenyum tipis, seolah ia sudah menduga jawaban itu. “Kamu mungkin sudah meninggalkan dunia itu, tapi dunia itu tidak akan pernah meninggalkanmu. Kami punya cara untuk menarikmu kembali, Abizar. Kamu tahu itu.”Elsa menatap Abizar dengan rasa takut yang semakin membesar. “Apa maksudmu? Apa yang akan mereka lakukan padamu?” suaranya bergetar, penuh kekhawatiran.Abizar menatap Elsa, mencoba untuk meyakinkannya meskipun hatinya sendiri dipenuhi oleh ketakutan. “Elsa, aku akan melindungimu. Aku tidak akan membiarkan mereka mendekat padamu. Aku berjanji.”Namun, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Elsa bisa melihat ekspresi di wajah Ebizawa yang tidak biasa—sebuah senyuman yang penuh dengan rencana jahat yang tidak terlihat jelas. “Mungkin, Abizar,” katanya pelan, “tapi ada banyak hal yang belum kamu ketahui. Dunia ini tak pernah memberimu kesempatan untuk benar-benar bebas. Dan kami, keluarga Ebizawa, tidak membiarkan siapa pun keluar begitu
Elsa duduk di sofa, tangan yang gemetar memeluk lututnya. Setiap tetesan hujan yang terdengar, bagai dentingan jarum waktu yang terus mengingatkan betapa rumitnya jalan yang harus ia pilih. Abizar berdiri di dekat jendela, memandangi pemandangan yang kabur oleh hujan, wajahnya jauh dari tenang. Matanya kosong, seperti sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Elsa merasakan kehadiran Abizar yang tegang, namun tak tahu apa yang harus ia katakan. Hati Elsa dipenuhi dengan rasa bersalah, rasa takut, dan kebingungannya yang semakin dalam. "Abizar," Elsa akhirnya mengangkat suaranya, berusaha mengatasi ketegangan yang memenuhi udara. "Aku merasa seperti... aku yang menyebabkan semua ini. Kamu terjebak dalam situasi ini karena aku."Abizar menghela napas panjang dan berbalik menatap Elsa, matanya memancarkan kesungguhan yang begitu dalam. “Elsa, bukan kamu yang menyebabkan ini. Aku yang memilih untuk berada di sini, denganmu. Aku yang datang dengan segala ko
Sekarang aku sadar, aku sudah membuatmu merasa seperti tidak ada artinya. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku ingin kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku akan berjuang untukmu.”Elsa terdiam, wajahnya terlihat semakin pudar oleh keraguan. Hujan yang terus mengguyur hanya menambah ketegangan di antara mereka. Ada begitu banyak pertanyaan yang mengganggu pikiran Elsa, dan semuanya terasa begitu kacau. “Kamu bilang kamu akan berjuang, tapi untuk apa? Untuk aku? Atau untuk keluargamu yang penuh dengan kekerasan itu?”Abizar menarik napas panjang, matanya penuh dengan keteguhan. "Aku tak bisa mengubah masa laluku, Elsa. Aku tak bisa menghapus apa yang telah terjadi, tapi aku bisa memilih untuk meninggalkan semua itu demi kamu. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengganggu hidupmu lagi. Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi."Elsa terdiam, pikirannya berputar cepat. Rasa takutnya mulai bercampur dengan sedikit rasa percaya. Ada sesuatu dalam diri Abi
Darwin menghela napas panjang, melihat adiknya yang semakin terpuruk dalam kebingungannya. Ia tidak ingin Elsa merasa tertekan, tetapi ia juga tidak bisa begitu saja menerima hubungan ini tanpa memahami lebih dalam siapa Abizar sebenarnya.“Elsa, aku hanya ingin melindungimu,” kata Darwin dengan suara yang lebih lembut, meskipun masih penuh kekhawatiran. “Aku tidak ingin kau terjebak dalam bahaya. Tapi jika kau memilihnya, aku tidak bisa melarangmu. Aku hanya berharap kau tidak menyesal nantinya.”Elsa menunduk, matanya mulai berembun. “Aku... aku perlu waktu untuk memikirkannya,” ujarnya pelan.Abizar merasakan keputusasaannya, namun ia tetap berusaha tegar. “Elsa, aku akan menunggu. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Keputusan ada padamu.”Darwin menatap keduanya, wajahnya kaku, seolah menahan perasaan yang bergejolak di dalam dada. “Aku berharap kau tahu apa yang kau lakukan, Abizar. Karena jika kau menyakiti Elsa, aku tidak akan segan-segan un
Elsa hanya mengangguk, tangannya menggenggam erat ujung gaun putih yang ia kenakan. Sesuatu dalam hatinya berkata bahwa Abizar tulus. Tetapi ketakutan tetap membayang. Masa depan mereka, tantangan yang menanti, semuanya terasa begitu besar.Pintu ruang tamu terbuka dengan keras, dan masuklah Darwin, diikuti oleh Maya. Wajah Darwin terlihat gelap, lebih serius dari biasanya. Maya, yang selalu menjadi penengah, kali ini tampak hanya mengamati, duduk di salah satu kursi tanpa mengatakan apa-apa. Elsa merasakan perbedaan pada dirinya—sebuah ketegangan yang baru, yang tak pernah ada sebelumnya.Darwin menatap Abizar dengan tatapan yang sangat tajam. “Abizar, aku sudah memberi kamu kesempatan. Tapi sekarang, aku ingin mendengarnya langsung darimu. Apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan adikku?” Suara Darwin rendah namun penuh ancaman, dan Elsa merasakan getaran di dalam dadanya. Ini bukan pertemuan biasa.Abizar menghela napas, matanya berseri-seri, namun je
Abizar menghela napas panjang, seolah sudah menyiapkan diri untuk jawaban ini sejak lama. “Aku siap kehilangan segalanya. Selama aku tidak kehilangan dirimu.” Suaranya tegas, tanpa keraguan sedikit pun. “Aku tak peduli apa yang akan terjadi. Aku tak peduli berapa banyak musuh yang akan datang, atau betapa sulitnya hidup kita nanti. Aku hanya ingin kamu, hanya kamu, Elsa.”Kata-kata Abizar menggema di hati Elsa. Ia bisa merasakan ketulusan dalam setiap kalimat yang diucapkannya, dan seketika itu juga, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ketakutannya tak lagi bisa menahan langkahnya. Meski perasaan takut itu masih ada, ada juga sebuah keberanian yang mulai tumbuh. Keberanian untuk memilih kebahagiaannya, meskipun itu berarti harus melawan segala yang sudah ia kenal.“Abizar...” Elsa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air matanya yang sudah hampir jatuh. “Aku memilihmu. Aku memilih kita.”Abizar terdiam sejenak, lalu sebuah senyuman yang tulus mun