Diana hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya terasa hancur. Ia tahu bahwa ini adalah keputusan yang harus diambil, namun tak ada kata yang bisa mewakili perasaannya. Ia hanya bisa berharap, berdoa, agar Gerald bisa keluar dari situasi ini dengan selamat. Sementara itu, di tempat yang jauh, Arga duduk di ruang kerjanya, merenung. Sudah beberapa hari sejak pertemuannya dengan Diana, sejak ia mengetahui bahwa Gerald berada di titik yang tak bisa mundur lagi. Setiap tindakan yang ia ambil, setiap keputusan yang ia buat, kini terasa seperti beban yang semakin berat. Ia merenung, melihat kembali setiap langkah yang ia ambil untuk melindungi Diana, langkah-langkah yang pada akhirnya membawa mereka ke sini. Keputusan-keputusan yang membuatnya merasa semakin terperangkap dalam lingkaran kebohongan dan pengkhianatan. Mungkinkah ia telah melangkah terlalu jauh? Mungkinkah ia salah memilih jalan? Arga menyandarkan kepalanya pada kursi, merasakan kelelahan yang luar biasa. “Diana, apa yang
Namun Diana tetap berdiri tegak, tak bergeming. Ia tahu bahwa keputusan ini akan membuatnya berada di tengah-tengah konflik yang lebih besar dari sekedar cinta. Tetapi hatinya telah bulat. “Aku sudah cukup lama hidup dalam ketakutan. Kali ini, aku ingin memilih untuk melawan.” Ludwig mengangkat alisnya, merasa terkejut dengan keteguhan hati Diana. Namun, rasa terkejut itu tak bertahan lama. Dengan senyum yang tak terlihat ramah, ia berkata, “Kau berani, Diana. Tapi keberanianmu tidak akan mengubah apa pun. Kau pikir dengan ancamanmu ini aku akan mundur? Ini adalah permainan yang lebih besar dari sekedar cinta.” Diana menatapnya dengan mata yang tajam, tidak sedikit pun gentar. “Aku sudah tidak peduli dengan permainan ini lagi, Kakek. Jika kamu ingin menghancurkan kami, lakukanlah. Tapi aku akan bertahan. Apa pun yang terjadi, aku akan bertahan.” Gerald meraih tangan Diana lagi, lebih keras kali ini, mencoba untuk menariknya keluar dari ruangan. “Diana, kita harus pergi. Sekarang.”
Abizar berjalan maju, matanya tajam memandang Ludwi. "Berhentilah menyakiti cucumu, Ludwig," katanya dengan suara yang tegas. "Kalau tidak, kau akan berhadapan dengan Klan Ebizawa." Ludwig memandang Abizar dengan wajah yang tajam, tapi dia tidak berani melawan. Dia tahu bahwa Klan Ebizawa adalah salah satu keluarga terkuat di seluruh negara, dan dia tidak ingin berhadapan dengan mereka. Setelah itu Abizar dan beberapa orang lainnya pergi. Mereka berjalan dengan cepat, berharap bisa menyelamatkan Diana sebelum terlambat. "Kita harus membawa Diana ke rumah sakit sekarang. Kita tidak bisa membiarkannya terluka lebih parah lagi." "Terima kasih, Abizar. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kamu tidak datang." Ucap Gerald yang sudah kacau. "Jangan khawatir, Gerald. Kita akan menyelamatkan Diana. Sekarang, mari kita bawa dia ke rumah sakit." Mereka tiba di rumah sakit dan membawa Diana ke ruang operasi. "Kita harus melakukan operasi darurat untuk menyelamatkan nyawanya." Ucap Do
Diluar ruangan perawatan di lorong markas. "Hei lihat apa Kamu!" "Apa? Aneh juga kalau dibayangkan. Seorang yang selalu merasa terlihat keren di mata orang lain kini penampakannya seperti ini, kacau sekali." "Untung saja wanitaku tak memilihmu sebagai suaminya," tunjuk Juan sampai tertawa terbahak-bahak. "Sial! Kau juga seperti Casper selalu saja datang tak di jemput!" gerutu Gerald yang pergi menuju ruangan Abizar. Dia melewati Alan begitu saja. "Ups ... rupanya kau butuh teman bicara?" ledek Alan yang sengaja mengikuti langkah Gerald dibelakangnya. Apa terjadi sesuatu dengan pembatalan pernikahanmu itu?" "Tidak! Jangan banyak bual Alan, bisa diam tidak! Sana pergi Valeria menunggumu." "Ah ... jadi teringat sesuatu, belum lama waktu aku berkumpul di rumah Dominic Clan. Dia mengatakan temannya yang bernama Gerald butuh bantuan. Karena ada masalah dalam pembatalan pernikahannya. Dan..." "Tuan Alan Chester Clark, listen to me! Tolong dengar hubungan kita tidak sedekat itu
"Saya Dokter, saya anak dari wanita yang anda operasi. Bagaimana hasilnya apa ibuku baik-baik saja. Dokter Ayu bagaimana?'" tanya Charlote dengan penuh harap. "Maaf! Hanya kata maaf yang keluar dari mulut Dokter Ayu sambil tertunduk begitu pun suster.. Tomi yang berdiri dibelakang mereka menatap iba Charlote. "Tidak! Bukan itu yang ku ingin dengar dari mulut anda!" teriak Charlote dengan nada tinggi. "Maaf kami semua sudah berusaha di saat kami sedang melakukan operasi kardiogramnya semakin lemah dan kacau. Detak jantungnya tiba-tiba berhenti dan semakin memburuk. Kami semua sudah berusaha. Nona Charlote, anda harus sabar." "Tidak!" Charlote mendorong Dokter Ayu dan meringsek masuk ke dalam ruang operasi menyambar tubuh ibunya yang sudah terbujur kaku. "Ibu! Ibu ini aku anakmu Charlote. Ibu aku mohon kembalilah," ucapnya dengan suara parau. "Kau sudah berjanji tadi pagi kita mau ke makam Ayah. Tapi ... tapi kenapa ibu meninggalkan aku." "Ibu!" suara tangisan yang menyayat h
"Kau siapkan mobilku." "Baik Tuan, kalau begitu saya akan menyiapkan mobil dan menunggu anda di lobi setelah anda sudah siap." "Hem ... pergilah." Dengan gerakan tangan dari Tuannya Tian pergi meninggalkan Tomi yang membelakanginya sambil menikmati pemandangan kota Jogjakarta yang begitu terkenal dengan kuliner tradisional dan keramah tamahan warganya. 'Sudah dua tahun kau pergi kemana Charlote. Begitu sulit menemukanmu. Apa kau baik-baik saja diluar sana. Semua negara sudah aku cari tak ada satupun tanda-tanda kehadiranmu,' monolognya dengan perasaan yang begitu hampa. Tomi pergi bersama asistennya Tian dengan pakaian santai. Menikmati perjalanan di kota Jogja untuk menghilangi rasa penat belakangan ini. "Kau menikmati perjalanan ini Tian." "Sangat Tuan, bagaimana dengan anda." "Hem ... sedikit menikmati tapi kenapa malam ini agak berbeda. Lihatlah dilangit banyak bintang-bintang bersinar dan berkilau." "Banyak masyarakat awam bilang pandanglah langit yang gelap seandai
Tomi memeluk erat Charlote. Dia mencium lama rambut Charlote yang wangi bunga rose. "Tidak, kau sudah mengacaukan hidupku berjanjilah tak akan pergi lagi, Chatlote." Deg! Detak jantung Charlote begitu cepat ketika Tomi tiba-tiba mengungkapakan perasaannya. "Kau ... Kau sudah memiliki kekasih Tomi, jangan seperti ini. Jangan buat kekasihmu bersedih, aku bukan perebut kekasih orang." Dekapan Tomi menegang matanya terbuka mendengar ucapan Charlote. Ya dia memang mempunyai kekasih tapi wanita inilah yang belakangan ini menjadi pemilik hati sebenarnya. Wanita ini sudah membuat dia membohongi kekasihnya. Tomi melepas pelukannya tangannya menangkup wajah cantik Charlote dengan sorot mata lembut. "Kau yang ku inginkan tunggulah sebentar lagi kita akan bersama." "Apa kau tidak mengerti, aku tidak cinta sama kamu Tomi. Kita hanya sepasang manusia yang tak sengaja bertemu dalam hubunganku bersama Alan. mantan bosmu. Kau tahu betul siapa yang selalu mengisi hatiku sampai saat ini. Tolo
"Tuan setelah ini apa Anda akan memberi tahu Tuan dan Nyonya besar? Mereka pasti senang" "Tidak biarkan saja seperti ini sampai waktunya mereka akan kuberitahu." "Apa tujuan Anda menikahi Nyonya Charlote?" "Aku hanya membantunya belum lama perusahaan mendiang Ayah Charlote bekerja sama dengan perusahaan Clan. Keluarga serakah itu menguasai perusahaan dan beberapa aset milik Ayah Charlote setelah diselidiki Dominic, asal mula perusahaan itu. Perusahaan Clan tidak akan bekerja sama dengan perusahaan yang pemilik sahnya tidak turun langsung bertemu dengannya. Dominic memintaku membangun rumah sakit di Jogja rupanya selama ini pria itu tahu keberadaan Charlote. Dia bilang datanglah ke Jogja pergilah ke taman yang ramai. Adiknya Julia menyukai nasi gudeg di alun-alun. Menggelikan sekali seorang keturunan Clan sangat menyukai makanan itu. Rupanya ada niat terselubung dibelakangnya," urai Tomi. "Dan anda beruntung bertemu dengan Nonya Charlote, Tuan Tomi." "Hem, sangat walaupun tak
Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t
"Kau menginap di sini atau pulang, Boy?" "Aku langsung pulang saja, Kak. Kan ada jet pribadi Kakak." Boy tersenyum. Alan tersenyum. "Ya sudah. Aku ke ruang kerja dulu." Alan menyerahkan Anya ke Valeria. "Anya, sayang, ikut Mommy ya." Valeria menerima Anya. "Tentu, Sayang." "Reinhard dan Elsa ke mana, Kak?" "Mereka tadi, setelah berenang, katanya mau bermain di taman bersama teman-temannya. Sepertinya mereka sudah pulang juga. melihat ke arah pintu. "Ah, lihat! Mereka sudah pulang." Reinhard dan Elsa masuk, membawa beberapa mainan kecil. "Mom! Papa!" teriak Reinhard. "Paman Boy!" seru Els
Valeria segera mempersiapkan diri untuk menyusui Anya. Alan meletakkan Anya di pangkuan Valeria, dan Anya langsung menempelkan mulutnya ke dada Valeria, menghisap dengan lahapnya. Valeria menatap Anya yang sedang menyusu. "Nah, sudah tenang sekarang, ya, Sayang. Minum yang banyak biar kuat." Alan duduk di samping Valeria. "Dia memang cepat sekali laparnya." "Iya juga ya. Besok aku harus lebih sering memberinya ASI. Jangan sampai dia kelaparan lagi." Valeria menatap Anya dengan penuh kasih sayang. "Mommy sayang Anya." Alan memeluk Valeria dari belakang. "Aku juga sayang kalian semua. Keluarga kecilku yang sempurna." Anya selesai menyusu dan tertidur pulas di pangkuan Valeria. Suasana menjadi tenang dan damai. Valeria berbisik kepada Alan. "Dia sudah tidur. Tidurnya sangat nyenyak." "Kita juga perlu istirahat sebentar, Sayang. Hari ini cukup melelahkan." Valeria dan
Alan dan Valeria tetap berpelukan, tenang dan damai. Keheningan di antara mereka dipenuhi dengan cinta yang dalam dan pengertian yang mendalam. Alan berbisik pelan. "Ingatkah kau... saat kita pertama kali bertemu?" Valeria tersenyum lembut muncul di wajahnya. "Tentu saja. Di kafe kecil itu, dengan hujan yang turun deras di luar." Kenangan itu muncul kembali di benak mereka, membawa mereka kembali ke masa-masa awal hubungan mereka. Mereka mengingat perasaan gugup, debaran jantung, dan percikan cinta pertama yang mekar di antara mereka. "Saat itu... aku tahu. Aku tahu kau adalah orang yang tepat untukku." "Aku juga, Sayang. Aku merasakannya sejak pandangan pertama." Mereka saling bertukar tatapan, tatapan yang penuh cinta, kepercayaan, dan pen