Sekarang aku sadar, aku sudah membuatmu merasa seperti tidak ada artinya. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku ingin kamu tahu, apa pun yang terjadi, aku akan berjuang untukmu.” Diana terdiam, wajahnya terlihat semakin pudar oleh keraguan. Hujan yang terus mengguyur hanya menambah ketegangan di antara mereka. Ada begitu banyak pertanyaan yang mengganggu pikiran Diana, dan semuanya terasa begitu kacau. “Kamu bilang kamu akan berjuang, tapi untuk apa? Untuk aku? Atau untuk keluargamu yang penuh dengan kekerasan itu?” Gerald menarik napas panjang, matanya penuh dengan keteguhan. "Aku tak bisa mengubah masa laluku, Diana. Aku tak bisa menghapus apa yang telah terjadi, tapi aku bisa memilih untuk meninggalkan semua itu demi kamu. Aku tidak akan pernah membiarkan mereka mengganggu hidupmu lagi. Aku akan melindungimu, apa pun yang terjadi." Diana terdiam, pikirannya berputar cepat. Rasa takutnya mulai bercampur dengan sedikit rasa percaya. Ada sesuatu dalam diri Gerald yang membuatnya
Diana duduk di sofa, tangan yang gemetar memeluk lututnya. Setiap tetesan hujan yang terdengar, bagai dentingan jarum waktu yang terus mengingatkan betapa rumitnya jalan yang harus ia pilih. Gerald berdiri di dekat jendela, memandangi pemandangan yang kabur oleh hujan, wajahnya jauh dari tenang. Matanya kosong, seperti sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Diana merasakan kehadiran Gerald yang tegang, namun tak tahu apa yang harus ia katakan. Hati Diana dipenuhi dengan rasa bersalah, rasa takut, dan kebingungannya yang semakin dalam. "Gerald," Diana akhirnya mengangkat suaranya, berusaha mengatasi ketegangan yang memenuhi udara. "Aku merasa seperti... aku yang menyebabkan semua ini. Kamu terjebak dalam situasi ini karena aku." Gerald menghela napas panjang dan berbalik menatap Diana, matanya memancarkan kesungguhan yang begitu dalam. “Diana, bukan kamu yang menyebabkan ini. Aku yang memilih untuk berada di sini, denganmu. Aku yang datang dengan segala konsekuensinya. Jang
Ludwig tersenyum tipis, seolah ia sudah menduga jawaban itu. “Kamu mungkin sudah meninggalkan dunia itu, tapi dunia itu tidak akan pernah meninggalkanmu. Dia punya cara untuk menarikmu kembali, Gerald. Kamu tahu itu.” Ucap Ludwig setelah itu dia pergi bersama asistennya. Diana menatap Gerald dengan rasa takut yang semakin membesar. “Apa maksudmu? Apa yang akan mereka lakukan padamu?” suaranya bergetar, penuh kekhawatiran. Gerald menatap Diana, mencoba untuk meyakinkannya meskipun hatinya sendiri dipenuhi oleh ketakutan. “Diana, aku akan melindungimu. Aku tidak akan membiarkan mereka mendekat padamu. Aku berjanji.” Namun, ketegangan di antara mereka semakin terasa. Diana bisa melihat ekspresi di wajah Ludwig yang tidak biasa—sebuah senyuman yang penuh dengan rencana jahat yang tidak terlihat jelas. “Mungkin, Gerald,” katanya pelan, “tapi ada banyak hal yang belum kamu ketahui. Dunia ini tak pernah memberimu kesempatan untuk benar-benar bebas. Dan kami, keluarga Ludwig, tidak membi
Gerald mengalihkan pandangannya dari luar jendela, menatap Diana dengan mata yang penuh perhitungan. “Aku... aku tidak ingin kamu terjebak dalam bahaya ini lebih lama. Aku tidak ingin melihat kamu terluka karena pilihan yang aku buat.” Diana menunduk, seketika perasaan bersalah yang terus membayangi hatinya kembali muncul. “Tapi, aku yang memilih ini. Aku yang membiarkan kamu masuk dalam hidupku, Gerald. Ayahku yang menginginkan semua ini tapi dia yang memulai perang." Gerald menggenggam tangan Diana dengan lembut, mencoba menenangkan hatinya yang gelisah. “Tidak, Diana. Aku yang memutuskan untuk berada di sini. Semua yang terjadi, aku yang memilih. Jangan pernah merasa bersalah atas ini. Ini adalah jalan yang aku pilih, dan aku akan menanggung semua risikonya.” Tapi Diana tahu—rasa takut itu ada di mata Gerald. Ia bukan hanya khawatir tentang dirinya, tetapi juga tentang orang-orang yang akan mencoba merusak hubungan mereka. Diana bisa merasakan tekanan itu, seakan dunia sedang
Di mansion yang sepi, Diana duduk terjaga di ruang tamu. Hujan telah berhenti, tapi ketenangan malam tidak mampu mengusir kegelisahan dalam hatinya. Gerald yang tadi telah pergi untuk menyiapkan beberapa hal, meninggalkannya sendirian. Meskipun ia tahu Gerald bertujuan untuk melindunginya, Diana merasa jauh lebih takut daripada sebelumnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Semua pilihan terasa salah. Dan ketika ia menghadap ke luar jendela, melihat cahaya kota yang redup, Diana menyadari bahwa cinta memang sebuah permainan berbahaya—dan mungkin, kali ini, mereka tidak akan bisa keluar dari permainan ini tanpa mengorbankan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Hujan yang tadi malam mengguyur perlahan memudar, tapi bekasnya masih terasa. Pagi itu, udara terasa berat, seolah setiap hembusan angin membawa pesan yang tidak ingin diterima oleh siapa pun yang mendengarnya. Di luar jendela, langit tampak cerah, tetapi dalam hati Diana, ada awan kelabu yang menggelayut—teba
Diana memutar video yang dikirim Natasya. Suara dari video itu mengisi ruang yang sebelumnya penuh dengan keheningan. Diana menatap wajah Gerald yang mulai berubah, wajahnya yang biasanya tegas kini terlihat cemas. Dia menghela napas, mencoba mencari cara untuk menjelaskan, namun Diana sudah terlalu lama tenggelam dalam pikirannya sendiri untuk bisa mendengar penjelasan apa pun. Setelah video selesai, Diana menatapnya dengan tajam. “Kamu bilang... kamu hanya memanfaatkan aku untuk keluar dari dunia ini. Itu benar, kan?” Gerald terdiam. Matanya yang penuh rasa cemas itu beralih ke layar ponsel Diana, lalu kembali padanya. “Diana, itu tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku tidak pernah...” Gerald berhenti, menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku tahu, ini terlihat buruk. Sangat buruk. Tapi... percayalah, aku tidak pernah berniat untuk melukai hatimu.” Diana bisa melihat bahwa Gerald sedang berusaha keras untuk menjelaskan, namun setiap kata yang keluar
Diana menggigit bibirnya, mencoba mencerna kata-kata Gerald. “Lalu siapa yang melakukan ini? Kenapa mereka melakukannya?” Gerald mengerutkan kening, matanya tajam. “Kakek." Dia yang bermain di belakang layar ini. Semua ini bagian dari permainan besar yang dia atur. Dia tahu kalau aku bisa keluar dari dunia ini dengan bantuanmu, Diana. Dan dia tidak bisa membiarkan itu terjadi. Jadi, dia memanfaatkan Natasya untuk menjebak kita.” Diana terdiam. Semua yang dikatakan Gerald mulai masuk akal, meskipun rasanya sulit untuk mempercayainya sepenuhnya. “Tapi... bagaimana dengan Arga?” tanya Diana, mengingat pertemuan mereka yang lalu. “Apakah dia juga terlibat dalam semua ini?” Gerald menatapnya dengan serius. “Arga... dia adalah pion dalam permainan Kakekku. Tapi kita harus berhati-hati, Diana. Mereka berdua bekerja sama untuk menghancurkan kita. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan terjebak dalam permainan mereka.” Diana merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Semua ini semakin rumi
Gerald berhenti sejenak, memandangnya dengan mata yang penuh arti. “Aku tahu. Dia tidak akan pernah melepaskanku, tidak pernah. Tapi aku sudah tidak bisa kembali. Dunia ini, keluarga ini, itu semua bukan lagi tempatku. Aku hanya ingin hidup denganmu, Diana. Aku hanya ingin kamu tetap aman.” Diana menelan ludah. Ada begitu banyak perasaan yang bercampur aduk dalam dirinya—cinta, ketakutan, kebingungan. “Tapi kalau kamu pergi ke sana, kamu akan... akan berhadapan dengan Kakek. Apa yang akan terjadi padamu?” Gerald menghela napas panjang, berjalan mendekat, dan duduk di sampingnya. “Aku tidak tahu, Diana. Tapi apa yang lebih buruk dari ini? Kehidupan yang terus terjebak dalam kebohongan dan pengkhianatan? Aku sudah cukup. Kali ini, aku harus memilih untuk melawan.” Diana merasa air mata mulai menggenang di matanya. “Aku takut, Gerald. Aku takut kehilanganmu. Aku tidak ingin terluka lagi, tidak seperti dulu.” Gerald meraih tangannya, menggenggamnya dengan lembut. “Aku akan selalu ber
Alan memerintahkan baby sister datang ke hotel untuk menjaga Anya. Sedangkan dia ingin bermesraan bersama Valeria. "Aku bukannya senang merayakan wasiatmu, tapi aku speechless kenapa Ayah Satia tidak jujur dan malah berhutang banyak denganku. Apa dia hanya pura-pura saja? Pantas saja dia meninggalkan perusahaan, pergi ke Rusia bersama wanita mudanya, hanya untuk mengujiku," ucap Alan yang kini sedang menciumi tubuh Vale dengan mesra. Valeria tertawa kecil. "Jadi, semua ini adalah ujian? Ujian yang sangat mahal!" Alan mencium leher Valeria. "Ya, ujian untuk melihat apakah kita cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama-sama. Dan sejauh ini, ki
"Terima kasih sudah menjadi suamiku kembali. Meskipun kau membuatku sedikit khawatir tadi malam." Alan tertawa kecil. "Maaf, sayang. Aku terlalu bersemangat." Valeria mencubit lengan Alan pelan. "Lain kali, jangan terlalu bersemangat. Tapi... aku senang." Alan memeluk Valeria. "Baiklah, sayang. Aku berjanji akan lebih lembut... kecuali jika kau menginginkan sebaliknya. Malam yang luar biasa. Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bersama seperti ini. "Aku juga. Rasanya seperti kita kembali muda lagi." "Kita akan selalu muda di hati, sayang. Selamanya."
Reinhard dan Elsa, dua anak Alan Chester Clark yang gendut dan lucu, berlarian di sekitar taman pesta pernikahan Abizar, membuat para tamu undangan tertawa. Mereka berguling-guling di atas rumput, mengejar kupu-kupu, dan saling kejar-kejaran. 'Lihatlah mereka! Seperti dua anak kelinci yang berlarian!" ucap para tamu. "Mereka sangat menggemaskan! Aku jadi ingin punya anak juga." Di sisi lain taman, Valeria, dan Violet, duduk di sebuah bangku tamu undangan, menikmati suasana pesta sambil mengobrol. Anya duduk di pangkuan Valeria, tersenyum terus tanpa henti. "Anya, kamu kenapa senyum terus? Ada yang lucu ya?" Violet tertawa. "Dia memang selalu ceria. Lihat giginya, baru tumbuh beberapa
"Jadi, anakku sudah mulai mengikuti jejak ayahnya, ya?" ucap Alan sambil tertawa. Valeria mendelik. "Jangan tertawa! Ini serius! Aku khawatir dia akan terlalu banyak pacar nanti." Alan masih tertawa. "Tenanglah. Aku yakin dia akan baik-baik saja. Setidaknya dia punya bakat alami. Mungkin suatu hari nanti dia akan menulis buku tentang pengalaman pacarannya, judulnya." "Petualangan Cinta Seorang Playboy Cilik". Valeria memukul pelan lengan Alan. "Jangan mengada-ada! Ini serius!" Alan tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku berjanji akan membicarakan ini dengan Reinhard. Tapi jangan berharap aku akan melarangnya pacaran. Aku sendiri kan juga pernah mengalami masa-masa itu. Tapi aku akan memastikan dia tahu batasannya. Aku tidak ingin dia terluka."
Sore hari menjelang, mentari mulai terbenam, menorehkan warna jingga dan ungu di langit. Alan dan Valeria masih berbaring di ranjang, saling berpelukan. Suasana kamar masih dipenuhi aroma intim dan sisa-sisa gairah. Valeria tersenyum. "Aku merasa sangat senang. Seperti kembali ke masa pacaran kita dulu." "Aku juga. Rasanya seperti waktu berhenti, hanya ada kita berdua." "Anak-anak akan kembali dalam seminggu. Kita harus memanfaatkan waktu ini sebaik mungkin." "Tentu. Bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama? Sesuatu yang romantis, hanya untuk kita berdua." "Ide bagus! Bagaimana kalau kita membuat pasta? Dengan saus truffle dan anggur merah?" Alan tersenyum. "Kau selalu tahu
Jan 23.00 malam baru pulang dari kantor. Ia masuk ke kamar , melihat Valeria, matanya melebar. Ia berjalan mendekat dengan langkah pasti. Kamar gelap hanya diterangi cahaya remang dari lampu tidur di meja samping ranjang. Alan berbisik, sedikit serak. "Wow..." menatap Valeria yang tertidur pulas dengan lingerie sutra berwarna merah marun. "Pekerjaan yang melelahkan di kantor, langsung sirna begitu melihatmu..." Alan mendekati Valeria dan menyentuh pipinya dengan lembut, jari-jarinya merasakan kelembutan kulit Valeria. "Lingerie itu... sangat menggoda." Ia menarik napas dalam-dalam, aroma parfum Valeria memenuhi indranya. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku tenang dan... tergoda sekaligus." Ia menunduk, mencium lembut leher Valeria. "Kau luar biasa, Valeria." Alan kemudian berbaring di samping Valeria, memeluknya dengan erat. Ia merasakan detak jantung Valeria yang t
"Kau menginap di sini atau pulang, Boy?" "Aku langsung pulang saja, Kak. Kan ada jet pribadi Kakak." Boy tersenyum. Alan tersenyum. "Ya sudah. Aku ke ruang kerja dulu." Alan menyerahkan Anya ke Valeria. "Anya, sayang, ikut Mommy ya." Valeria menerima Anya. "Tentu, Sayang." "Reinhard dan Elsa ke mana, Kak?" "Mereka tadi, setelah berenang, katanya mau bermain di taman bersama teman-temannya. Sepertinya mereka sudah pulang juga. melihat ke arah pintu. "Ah, lihat! Mereka sudah pulang." Reinhard dan Elsa masuk, membawa beberapa mainan kecil. "Mom! Papa!" teriak Reinhard. "Paman Boy!" seru Els
Valeria segera mempersiapkan diri untuk menyusui Anya. Alan meletakkan Anya di pangkuan Valeria, dan Anya langsung menempelkan mulutnya ke dada Valeria, menghisap dengan lahapnya. Valeria menatap Anya yang sedang menyusu. "Nah, sudah tenang sekarang, ya, Sayang. Minum yang banyak biar kuat." Alan duduk di samping Valeria. "Dia memang cepat sekali laparnya." "Iya juga ya. Besok aku harus lebih sering memberinya ASI. Jangan sampai dia kelaparan lagi." Valeria menatap Anya dengan penuh kasih sayang. "Mommy sayang Anya." Alan memeluk Valeria dari belakang. "Aku juga sayang kalian semua. Keluarga kecilku yang sempurna." Anya selesai menyusu dan tertidur pulas di pangkuan Valeria. Suasana menjadi tenang dan damai. Valeria berbisik kepada Alan. "Dia sudah tidur. Tidurnya sangat nyenyak." "Kita juga perlu istirahat sebentar, Sayang. Hari ini cukup melelahkan." Valeria dan
Alan dan Valeria tetap berpelukan, tenang dan damai. Keheningan di antara mereka dipenuhi dengan cinta yang dalam dan pengertian yang mendalam. Alan berbisik pelan. "Ingatkah kau... saat kita pertama kali bertemu?" Valeria tersenyum lembut muncul di wajahnya. "Tentu saja. Di kafe kecil itu, dengan hujan yang turun deras di luar." Kenangan itu muncul kembali di benak mereka, membawa mereka kembali ke masa-masa awal hubungan mereka. Mereka mengingat perasaan gugup, debaran jantung, dan percikan cinta pertama yang mekar di antara mereka. "Saat itu... aku tahu. Aku tahu kau adalah orang yang tepat untukku." "Aku juga, Sayang. Aku merasakannya sejak pandangan pertama." Mereka saling bertukar tatapan, tatapan yang penuh cinta, kepercayaan, dan pen