.
"Astaga! Dasar operator, cuma tujuh ribu doang ditagih mulu," celotehku karena kesal setiap kali pesan masuk ke ponselku, memberitahu kalau pinjaman pulsa kemarin belum kulunasi.
Yah, tentu saja. Kalau saja aku punya uang untuk apa aku menerima pinjaman pulsa dari si Om Teko itu, kan? Kurang kerjaan saja jadinya. Sudah tahu tanggal tua begini seharusnya pihak mereka mengerti kalau suamiku belum gajian. Lagian nunggu gaji dari menulis juga belum tahu entah kapan, orang tulisannya aja sudah dibaca atau belum sama pemirsa aku 'nggak tau. Boro-boro buka gemboknya. Sabar."Ada apa, sih, Dek?" tanya suamiku yang mungkin muak dengan suara cemprengku, "Orang, kok, setiap hari ngomel mulu. Enggak bosen apa? Entar cepet tua baru tahu rasa!" sambungnya ketus seperti biasa."Eh-eh, Abang! Apa-apaan, sih. Malah 'ndoakan adek cepet tua. Seneng, ya, kalau Adek cepet mati terus kawin lagi gitu, hah?" gertakku tak terima, masa iya aku dibilang cepat tua auto emosi tingkat Dewa Api lah."Nah, ini. Dibilangin malah gantian marah, emak-emak jaman sekarang emang begitu, kebanyakan nonton drama kolosal jadi galaknya kayak ayam baru turun dari sarang. Hii!" lagi-lagi suamiku mengejek serius sambil bergidik."Eh, aku ngomel demi kebaikan kita juga," tukasku tak mau kalah."Kebaikan apaan, ngomel gitu. Terus itu hutang apaan?""Hutang pulsa dari operator," jawabku singkat sambil memanyunkan bibir sok manja berusaha mencairkan suasana, tapi sepertinya gagal."Kok, bisa-bisanya Adek bikin hutang tanpa sepengetahuan Abang, hah? Sejak kapan adek begitu, bikin hutang diam-diam?" hardiknya sambil melotot.Buset, dah! Suamiku ini nggak sadar diri juga. Uang bulanan saja dia yang pegang entah untuk apa, aku cuma dijatah seratus ribu setiap Minggu. Apa dia kira uang segitu cukup untuk semua hal, belum lagi nanti kalau ada sumbangan dadakan."Eh, Abang! Aku hutang pulsa untuk membuka aplikasi menulisku, ya! Moga aja dari sana entar aku dapat royalti. Kalau sudah, aku akan beli bedak dan pakaian mahal. Mengharapkan gajian Abang entah kemana uang segitu banyak. Apa Abang pikir uang seratus ribu cukup untuk seminggu," ujarku panjang lebar. "Aku harus susah payah sendiri demi uang jajanku.""Waw! Pintar sekali sekarang melawan suami, ya! Belajar dari mana? Dari sinetron mewek-mewek itu, hah?!" sahutnya sinis seraya menepuk kedua telapak tangannya bak bos mafia.Sepertinya emosi suamiku sudah mulai terpancing. Ayo, marahlah. Aku juga sedang semangat empat lima ini untuk meluapkan unek-unek yang menjejal diruang kepalaku. Bukan niatku untuk kurang ajar, tapi sesekali dia harus mendengar alarm keras dariku."Tanya aku belajar dari mana? Tentu dari dirimu, Bang! Lihatlah, apa selama ini kau mencukupi nafkahku dengan gaji segunungmu itu? Kau bawa kemana uang itu?" Dengan berani aku menantangnya. "Kamu pikir aku ini babu, kalaupun babu aku perlu gaji, tapi mana? Abang asik main dan mentraktir kawan, sementara aku harus memutar otak untuk mengolah jatah yang Abang beri, apa itu masuk akal?"Sekarang dia mati kutu, kan? Apa yang kuucapkan memang benar adanya. "Dan satu lagi, Bang!""Apa?" Dia menghardik memotong kata-kataku, "Kamu tidak terima dengan pemberianku, hah? Baik, kalau begitu cari saja suami lain yang mau memberikan seluruh gajinya untuk istri tidak tahu diri sepertimu. Sudah bagus masih dikasih makan, ini malah ngelunjak saja. Sana, pergilah! Mulai hari ini kamu bulan istriku! Paham!"Suara lantang itu tajam menusuk ulu hatiku. Sakit, luar biasa sakit. Aku sudah cukup mengalah selama ini, tak pernah menuntut hidup mewah meskipun ia punya segudang anggaran yang seharusnya bisa memanjakanku sebagai seorang istri. Tapi nyatanya, dia tidak lebih dari seorang pecundang tak tahu malu. Cuma gara-gara hutang tujuh ribu saja dia berani menalakku dengan angkuh. "Kamu tidak sadar sedang berbicara dengan siapa, Bang? Aku istrimu! Suksesmu hari ini adalah bagian dari doaku juga, tapi Abang tak adil padaku. Abang terlalu serakah. Silahkan nikmati harta yang kamu bangga-baggakan itu, tapi dengar! Aku tak pernah sedikitpun iklhas dunia akhirat, camkan itu!"Tidak perlu menumpahkan air mata untuk lelaki tak tahu adab seperti itu, aku sudah cukup siap untuk kata-katanya. Tangisku terlalu berharga, kalau hanya untuk meratapi luka yang setiap hari sudah sangat biasa aku lalui saat menljadi pasangan hidupnya. Sekarang tidak lagi, dan tidak akan lagi. "Kamu memang tidak tahu diri, tidak ingat aku memungutmu dari tempat sampah, hah?" Jari telunjuknya terus mengacung tepat ke wajahku, "sekarang kamu sudah pandai menceramahiku, tidak bersyukur sudah kuberi status dan tempat berteduh. Memang benar, sampah memang selamanya sampah!" umpatnya dengan mata memerah dan dada yang selalu membusung, menunjukkan betapa sombongnya maklhuk satu ini. Tiada filter dia berbicara kasar padaku, sekian lama aku berusaha dan berjuang merubah diriku yang dulu, tapi tak pernah dia hargai sedikitpun. Malah selalu diungkit. Akhirnya masih dengan kemurkaannya yang mungkin tak akan bisa padam, ia pergi meninggalkanku yang sementara masih bungkam sambil menonton kelakuan tak elok suamiku itu. Lebih tepatnya mantan suami."Hari ini, kamu bisa berkata seperti itu. Kamu tak tahu, sampah itu bisa didaur ulang. Dan nanti, aku akan tunjukkkan betapa berharganya sampah itu," gumamku lirih.Dengan penuh keyakinan kukemasi barangku, aku bersumpah dalam hati akan membuatnya menyesal sepanjang hayat telah memperlakukan diriku seperti ini. Tunggu saja, Bang, akan kubuktikan tujuh ribu yang sedang kuperjuangkan hari ini akan menjadi Terios suatu saat nanti.Dengan mantap jiwa seperti slogan sopir-sopir truck kekinian kubulatkan tekad, tak akan membiarkan hatiku hancur di acak-acak pria yang selalu menyakiti hati ini. Meskipun tulang ini serasa lunglai, tapi aku tak boleh terlihat lemah apalagi didepan mantan suamiku yang super duper angkuh bin sombong.Sebentar kutoleh ke arah tempatnya duduk yang masih asik dengan ponselnya, kemudian dengan cepat dia berbalik menolehku. Kini kami saling pandang tapi terlihat beda tatapannya, tak seperti sesaat tadi yang sempat berapi-api seperti orang kerasukan jin kuda lumping.Bang Umar bangkit dan secepat kilat ia meraih tanganku, menggenggam erat, "Kau mau kemana, Dek?!" Terduduk ia dilantai seolah berlutut, "jangan tinggalin Abang, ku mohon. Tadi aku tak serius, cuma emosi saja. Tolong, Dek! Kau sudah mengenalku, kan?" Rengeknya seperti orang yang hilang ingatan. Cihh ...Enteng sekali dia berkata seperti itu.Kubiarkan dia mengiba, mengais sisa
Mataku terbelalak. Sama, aku pun kaget setengah mati saat melihat sesosok pria yang kini berada di depanku."Kamu?"Kami saling mengacungkan telunjuk, sama-sama menuding dengan raut wajah kesal."Heh, sedang apa kamu di rumahku, hemms?"Pria itu yang langsung berdiri lagi setelah sepersekian detik yang lalu duduk di sofa empuk yang barang kali miliknya ini."A ... aku? Aku sedang apa?" Saking gugupnya malah balik bertanya.Ya, aku sedang apa disini. Bukan kemauanku juga datang kemari, gadis cantik itu yang membawaku. Sial!Aku menghindar dari Bang Umar tapi malah ketemu sama biang rusuh satu ini. Ya Allah, dunia ini terlalu sempit kah untukku?"Eh, apa itu?" Dia menunjuk ke arah buntalan sarungku. "Kamu minggat dari rumah, hah? Terus datang kesini mencariku, gitu?"Tuduhannya sungguh kejam, aku memang minggat tapi bukan datang mencarinya. Toh, aku ju
"Mbak, biar saja Bibi nanti yang ngerjain itu," kata Ema mengagetkan sekaligus membuyarkan hayalanku jadi orang kaya."Eh ... sudah siap, kok!" jawabku tergagap."Mbak sudah kenal ,ya, sama ayah Aris?"Bola mataku membulat diiringi senyum licik.Ah, andai saja anak ini tahu kisahku dulu bersama ayahnya yang menyebalkan itu pasti dia akan merasakan kejengkelan yang hakiki, sama seperti yang kurasakan saat ini."Eh, iya, Ema. Apa benar kamu anaknya Aris?"Nekat kusampaikan pertanyaan ini, sedari tadi memang sangat mengganjal. Soalnya cepat sekali dia punya anak gadis sedang usianya cuma beda beberapa tahun saja dariku dan saat aku menikah sama Bang Umar dulu kayaknya dia juga belum berumah tangga, sungguh aneh.Ema menatapku dan memberikan hadiah indah, yaitu senyum manis yang enggan pergi dari wajah imutnya."Sebenarnya, aku ini anaknya Abang ayah Aris. Tapi ayahku sudah tiada, mak
"Aris! Ngapain?"Tanyaku penasaran ada apa ia membangunkan ku tengah malam begini. Pekerjaanku baru di mulai esok pagi tapi mengapa ia datang jam segini. Apa ada tugas mendadak, batinku menerka.Tak langsung menjawab, ia malah mendorong pintu agak keras."Buka! Aku mau masuk!""Eh ... eh, mau ngapain masuk! Tidak boleh!" jawabku cepat. Aku mulai takut dengan sikapnya.Beberapa saat kami saling dorong, persis anak berumur lima tahun rebutan mainan. Tentu saja akhirnya aku yang kalah karena tenaganya lebih kuat.Aku terjengkang ke belakang, "ups, Aris!"Teriakanku membuatnya berang. Matanya membulat seperti jengkol tua untuk gulai."Apa, sih, berisik!" gertaknya tak kalah kuat seolah tidak merasa bersalah sedikitpun melihatku tersungkur.Kuusap pinggul kiri yang tadi membentur lantai, sakit. Aris sengaja melempar senyum mengejek mungkin senang melihatku meri
Aku termangu melihat suasana ramai dimana kami berada sekarang. Sebuah pelataran parkir yang luas, di depannya ada gedung megah menjulang bertuliskan 'LV MALL' .Berapa tahun aku tak berkunjung ke daerah sini sampai aku tak mengenali pusat perbelanjaan ini. Akhirnya bisa cuci mata juga aku, hal yang belum pernah kulakukan sepanjang lima tahun menjadi istri Bang Umar."Ayo, Tante, kita turun!"Tak kujawab seruan Ema, mengikut saja.Aah!Nafasku terasa lega.Baiklah, aku akan menikmati hari ini meskipun hanya sebagai asisten Aris saja. Tapi cukuplah membuatku senang. Setidaknya aku bisa melihat dunia luar lagi setelah bertahun aku di kurung dalam rumah oleh Bang Umar si pelit itu.Ema melonjak, melambaik
Hari berganti. Tiba waktunya untukmenjalankan tugas utama. Yaitu menyiapkan keperluan Aris sebelum ia berangkat kerja.Pertama sekali aku harus mengurus diriku sendiri. Setelah selesai mematut diri di depan cermin dan kurasa sudah cukup rapi, aku segera meluncur ke kamar Aris.Kubuka pintunya dengan perlahan, dia masih tengkurap tertutup selimut sebatas leher. Hanya kepalanya yang terlihat."Ris! Bangun!" suaraku agak keras.Ia hanya bergerak-gerak sedikit merenggangkan tangannya."Ris!"Kutambah satu oktaf suaraku supaya telinganya mendengar lebih jelas. Akhirnya, dengan malas ia bangun juga.Kulemparkan selembar anduk padanya, supaya ia bergegas mandi. Tanpa ada perlawanan Aris menurut sa
Aku, Aris dan Ema saling pandang.Sekarang keluar sifat aslinya, Aris dan Ema masih keheranan mendengar pertanyaan ibu sekaligus nenek ini yang mungkin tidak biasa bicara dengan nada keras seperti itu.Aku tidak heran sama sekali, kurasa ingatannya masih baik dan benar. Mudah sekali ia menyimpulkan, berarti dia tahu siapa aku.Lagi-lagi Aris tersenyum, berusaha menenangkan ibunya yang menurutku sudah hampir hilang kendali karena kaget atau mungkin juga frustasi karena anak kesayangannya ini belum juga beristri. Hhh."Ibu jangan khawatir, aku tahu batasan ku!" terang Aris pada ibunya.Cihh!Aris!Pandai sekali kamu berkilah, kalau jaga batasan tidak mungkin menyuruhku memasangkan dasimu tadi pagi.
"Aris! Lepaskan,sakit!""Ikut aku!"Aris menyeretku keluar dari kamar menuju ruang tamu. Di sana ibu itu sudah terlihat memasang wajah seram.Ema di pojok sofa menangis tersedu-sedu. Aku kasihan melihatnya. Apa yang terjadi barusan?Sampai anak manis itu sesenggukan begitu. Dasar jahat! Mereka semua jahat."Ini kan, yang menggoda abangmu dulu sampai ia bercerai?"Jari telunjuk wanita tua itu mengarah tepat ke jidatku. Sumpah! Tuduhannya membuatku naik pitam."Jaga batasanmu, Bu! Aku masih menghormatimu sampai saat ini!" jawabku dengan berani.Aris menusukkan tatapan mautnya untukku."Katakan padaku itu tidak benar, Yuke!"
Satubulan berlalu, Aris mentransfer uang gajiku sebagai asisten pribadinya. Sesuai rencana, aku akan mentraktir Ema yang kuketahui baru saja menerima raport karena ujian semester pertama telah usai, itung-itung hadiah kecil karena nilainya yang lumayan bagus.Aku juga mengajak Aris yang kebetulan hari ini tidak ada jadwal lembur, biar tambah seru. Ah, bukan! Kali aja dia akan merasa tak enak jika aku yang keluar duit, jadi bisa dibayari, deh! Oh, pintarnya aku!Sebuah tempat makan sea food kupilih, bukan yang mentereng cuma yang kaki lima saja. Jaga-jaga kalau Aris tega membiarkanku membayar, setidaknya masih terjangkau oleh isi dompetku. Tahu sendiri kan, si Aris itu bagaimana? Pria yang sebulan lalu mengikrarkan diriku sebagai calon istrinya, dia memang selalu membuatku mati kutu."Kamu punya duit ngajak aku makan disini?" tanya Aris sambil membenahi cara duduknya.Ya ampun, ini orang. Ya, punya lah, kan aku baru gajian. Remeh bang
"Jangan sembunyikan apapun dariku, Ke. Kamu tidak akan pernah berhasil menipuku," ucapnya setengah berbisik.Katakan padaku, Ris. Apakah ini sandiwara baru untuk membalaskan sakit hatimu dulu.Adakah kamu mencuri kesempatan dari ketidakberdayaanku saat ini?Sungguh aku tidak sanggup!Beberapa asisiten butik terpana menyaksikan kami yang seperti sedang beradegan drama Korea. Bahkan ada dari mereka yang ikut tersedu saking meresapi setiap momentum yang terjadi. Kami berdua menjadi pusat perhatian, sebelum akhirnya Siska kembali datang.Aku kaget bukan kepalang, bagaimana caraku nanti menjelaskan padanya soal gaun ini. Apa mungkin aku mengatakan sangat ingin mencobanya untuk terakhir kali?Betapa pintarnya aku tadi, sampai tidak berfikir jauh tentang ini."Hai, Yuke!" sapanya tidak menunjukkan raut marah sama sekali.Aku dilema."Maafkan aku, seharusnya aku tidak lancang memak
Klontengan alarm dari ponsel yang kupasangtepat jam setengah lima pagi memaksaku mengakhiri mimpi. Terpaksa mata ini terbuka walaupun berat, aku tidak boleh malas-malasan. Rupanya tadi malam Aris tidak membangunkanku. Tega sekali dia membiarkanku tidur di sofa begini, kelihatan sekali kalau aku ini sedang menumpang. Hhh!Setelah kutunaikan dua rakaat wajib dan semua keperluanku sendiri, segera aku menuju kamar Aris. Kubuka pintu dengan kunci serep yang ia beri. Terlihat dia sudah tidak ada di tempat tidur. Oh, mungkin sedang mandi.Tak mau membuang waktu lagi, segera kusiapkan pakaiannya yang kuambil dari ruang ganti. Meletakkan di meja khusus yang ada di ruang itu. Dia sudah mengerti.Tinggal jas yang belum, dan itu ada lemari sendiri. Warna nafi yang kupilih kali ini untuk memadankan kemeja abu rokok. Akan terlihat elegan sekali."Yuke, sudah siap bajuku?" tiba-tiba dia masuk keruang ganti tanpa mengetuk pintu dahulu.Spontan
(ARIS)"Ke, sini!"Enak sekali dia jam segini sudah mapan saja, mainan ponsel lagi. Dasar tidak tahu diri banget janda mantan pacar satu ini.Suaraku yang menggelegar tidak serta-merta membuatnya kaget, batu memang. Kugedor sekali lagi pintu kamarnya dengan keras supaya dia mendengar."Apaan sih, Ris? Kamu itu, ya. Nggak tahu waktu banget sih!" jawabnya seenak sendiri."Eh, disini kamu aku gaji. Jadi bekerjalah .....""Dengan baik dan benar! Aku tahu, Bos!" jawabnya sambil mendelik.Eh, cepat sekali dia menjawabku. Dan sudah pintar menantangku juga sekarang, dasar mantan tidak tahu diri. Bikin kerjaanku nambah saja, ngurusin dia."Bikinkan aku mie, aku tunggu di ruang tamu. A
"Aris! Lepaskan,sakit!""Ikut aku!"Aris menyeretku keluar dari kamar menuju ruang tamu. Di sana ibu itu sudah terlihat memasang wajah seram.Ema di pojok sofa menangis tersedu-sedu. Aku kasihan melihatnya. Apa yang terjadi barusan?Sampai anak manis itu sesenggukan begitu. Dasar jahat! Mereka semua jahat."Ini kan, yang menggoda abangmu dulu sampai ia bercerai?"Jari telunjuk wanita tua itu mengarah tepat ke jidatku. Sumpah! Tuduhannya membuatku naik pitam."Jaga batasanmu, Bu! Aku masih menghormatimu sampai saat ini!" jawabku dengan berani.Aris menusukkan tatapan mautnya untukku."Katakan padaku itu tidak benar, Yuke!"
Aku, Aris dan Ema saling pandang.Sekarang keluar sifat aslinya, Aris dan Ema masih keheranan mendengar pertanyaan ibu sekaligus nenek ini yang mungkin tidak biasa bicara dengan nada keras seperti itu.Aku tidak heran sama sekali, kurasa ingatannya masih baik dan benar. Mudah sekali ia menyimpulkan, berarti dia tahu siapa aku.Lagi-lagi Aris tersenyum, berusaha menenangkan ibunya yang menurutku sudah hampir hilang kendali karena kaget atau mungkin juga frustasi karena anak kesayangannya ini belum juga beristri. Hhh."Ibu jangan khawatir, aku tahu batasan ku!" terang Aris pada ibunya.Cihh!Aris!Pandai sekali kamu berkilah, kalau jaga batasan tidak mungkin menyuruhku memasangkan dasimu tadi pagi.
Hari berganti. Tiba waktunya untukmenjalankan tugas utama. Yaitu menyiapkan keperluan Aris sebelum ia berangkat kerja.Pertama sekali aku harus mengurus diriku sendiri. Setelah selesai mematut diri di depan cermin dan kurasa sudah cukup rapi, aku segera meluncur ke kamar Aris.Kubuka pintunya dengan perlahan, dia masih tengkurap tertutup selimut sebatas leher. Hanya kepalanya yang terlihat."Ris! Bangun!" suaraku agak keras.Ia hanya bergerak-gerak sedikit merenggangkan tangannya."Ris!"Kutambah satu oktaf suaraku supaya telinganya mendengar lebih jelas. Akhirnya, dengan malas ia bangun juga.Kulemparkan selembar anduk padanya, supaya ia bergegas mandi. Tanpa ada perlawanan Aris menurut sa
Aku termangu melihat suasana ramai dimana kami berada sekarang. Sebuah pelataran parkir yang luas, di depannya ada gedung megah menjulang bertuliskan 'LV MALL' .Berapa tahun aku tak berkunjung ke daerah sini sampai aku tak mengenali pusat perbelanjaan ini. Akhirnya bisa cuci mata juga aku, hal yang belum pernah kulakukan sepanjang lima tahun menjadi istri Bang Umar."Ayo, Tante, kita turun!"Tak kujawab seruan Ema, mengikut saja.Aah!Nafasku terasa lega.Baiklah, aku akan menikmati hari ini meskipun hanya sebagai asisten Aris saja. Tapi cukuplah membuatku senang. Setidaknya aku bisa melihat dunia luar lagi setelah bertahun aku di kurung dalam rumah oleh Bang Umar si pelit itu.Ema melonjak, melambaik
"Aris! Ngapain?"Tanyaku penasaran ada apa ia membangunkan ku tengah malam begini. Pekerjaanku baru di mulai esok pagi tapi mengapa ia datang jam segini. Apa ada tugas mendadak, batinku menerka.Tak langsung menjawab, ia malah mendorong pintu agak keras."Buka! Aku mau masuk!""Eh ... eh, mau ngapain masuk! Tidak boleh!" jawabku cepat. Aku mulai takut dengan sikapnya.Beberapa saat kami saling dorong, persis anak berumur lima tahun rebutan mainan. Tentu saja akhirnya aku yang kalah karena tenaganya lebih kuat.Aku terjengkang ke belakang, "ups, Aris!"Teriakanku membuatnya berang. Matanya membulat seperti jengkol tua untuk gulai."Apa, sih, berisik!" gertaknya tak kalah kuat seolah tidak merasa bersalah sedikitpun melihatku tersungkur.Kuusap pinggul kiri yang tadi membentur lantai, sakit. Aris sengaja melempar senyum mengejek mungkin senang melihatku meri