"Mbak, biar saja Bibi nanti yang ngerjain itu," kata Ema mengagetkan sekaligus membuyarkan hayalanku jadi orang kaya.
"Eh ... sudah siap, kok!" jawabku tergagap."Mbak sudah kenal ,ya, sama ayah Aris?"Bola mataku membulat diiringi senyum licik.Ah, andai saja anak ini tahu kisahku dulu bersama ayahnya yang menyebalkan itu pasti dia akan merasakan kejengkelan yang hakiki, sama seperti yang kurasakan saat ini.
"Eh, iya, Ema. Apa benar kamu anaknya Aris?"Nekat kusampaikan pertanyaan ini, sedari tadi memang sangat mengganjal. Soalnya cepat sekali dia punya anak gadis sedang usianya cuma beda beberapa tahun saja dariku dan saat aku menikah sama Bang Umar dulu kayaknya dia juga belum berumah tangga, sungguh aneh.Ema menatapku dan memberikan hadiah indah, yaitu senyum manis yang enggan pergi dari wajah imutnya."Sebenarnya, aku ini anaknya Abang ayah Aris. Tapi ayahku sudah tiada, makanya aku memanggilnya ayah, lagipula aku sekolah dekat sini. Jadinya tinggal disini sambil bantu-bantu mengurus rumah, soalnya ayah Aris kadang suka nggak pulang," terang gadis itu panjang kali lebar jadi luas."Jadi dia belum punya anak?" tanyaku lagi penasaran.Gadis itu tergelak lirih, "punya anak dari mana, Tante? Nikah aja belum," sahutnya sambil tersipu."Ooh, begitu?" balasku tanda mengerti.Gadis ini ramah sekali, sesaat kuingat dia anaknya abangnya Aris? Berarti anaknya Bang Adi, ya. Dan dia sudah almarhum sekarang. Oh, kasih tak sampaiku. Mudah-mudahan surga tempatmu, bisikku berdoa."Eh, kalau begitu aku manggilnya Tante saja, ya. Masa sih, mbak. Kan, kurang etis, ya."Aku hanya membalasnya dengan senyum seujung gunting, kecil plus runcing. Hhh!Ya Allah, tawaran gadis ini membuatku merasa sudah uzur saja. Apa wajahku sebegitu tua sampai Ema berinisiatif memanggilku Tante?Ah, tentu saja. Wajah ini belum pernah tersentuh produk skincare sama sekali setelah menikah. Bang Umar terlalu medit padaku, jangankan untuk perawatan tubuh, bisa selamat makan sepekan saja sudah sangat beruntung.Aku kembali ke ruang tamu dan Ema pun kembali ke kamarnya, mungkin belajar atau apa aku juga tidak tahu.Belum lagi duduk, Aris sudah mengintimidasiku dengan tatapan bengis khas mata elangnya.Jelas saja aku mendengus kesal, cihh!
Kaki ini tiba-tiba terhenti sendiri."Kenapa berdiri disitu? Duduk!"Tanpa senyum ia menghardikku, meskipun aku tahu betul ia tidak sedang marah namun tetap saja hatiku terasa sakit. Kapan dia bisa bicara dengan kata-kata lembut, pantas saja dia belum menikah hingga kini. Wanita mana yang tahan sama ocehan sadisnya itu. Aku saja yang karena terpaksa dan itupun karena aku sudah kenal lahir batin sehingga kuat menghadapinya."Kapan mau pulang?""Ris!"Ya Allah, nangis darah hatiku mendengar pertanyaan itu. Sungguh kejam dirimu, Ris."Kenapa kaget? Tak mengapa kan, aku bertanya seperti itu?" tukasnya dingin tanpa senyum sedikitpun.Duh Gusti!Ini cobaan atau ujian untukku. Batinku meraung-raung tidak karuan. Ingin rasanya kukarungin saja pria satu ini lalu simpan dalam lemari. Oh!"Ris, aku tidak punya tempat tinggal. Aku juga tidak punya siapapun, kamu tahu, kan?"Mencoba sedikit memelas, barangkali bisa luluh sedikit saja batu es setinggi gunung Everest yang membeku di hatinya."Maksudmu mau tinggal disini, iya? Boleh, tapi ...."Ia sengaja menyekat kalimatnya membuatku penasaran sambil terus memutar-mutar ponselnya dengan himpitan jari. Senyum culasnya terlihat jelas, pasti ada satu hal gila yang ia inginkan. Dasar curang!"Tapi apa?""Tapi pakai syarat, dan itu berat. Sanggup?"Pertanyaannya menambah beban jantungku semakin berat untuk berdetak. Kukira aku sudah tewas ternyata belum. Hhh!"Syarat apa, Ris?"Gusti Allah, kurendahkan hatiku demi tempat tinggal. Lindungi aku dari keegoisan manusia aneh satu ini, pintaku."Hhmm. Hahahaha ...."Aris terbahak seperti sedang mendapat kemenangan telak. Tangannya di tepuk-tepuk kan ke paha kekarnya itu.Astaghfirullah!Apa-apaan dia tertawa begitu, jantungku berubah arah. Sekarang berdentum kencang. Ya, Allah, mudah-mudahan pria ini tidak benar-benar gila.Jujur aku mulai ketakutan dan pikiranku kacau balau."Heh, stop. Katakan apa maumu?" tanyaku lantang menghentikan tawanya seketika.Kembali ia menusuk mataku dengan tatapannya yang super tajam, setajam jarum pentul."Aku serius. Melihatmu ketakutan aku jadi terhibur, terimakasih." Tandasnya sepele.What? Barusan dia bilang apa? Ya Tuhan! Ketakutannku dia anggap hiburan? Dasar aneh. Geram sekali aku, ingin rasanya menelannya secara utuh. Hhh!"Aku butuh orang yang selalu ada untukku, bisa?" tawarnya serius."Maksudnya?" sahutku bingung."Emm, pekerjaanku banyak. Jadwalku juga padat. Aku butuh orang yang bisa mengurus semua keperluanku. Itu kalau sanggup?"Sungguh, ini berat. Tapi demi tempat tinggal sementara akan ku coba terima tawaran itu."Maksudmu ja ...?""Asisten pribadi!" jawabnya singkat.Kuremas-remas jemariku, asisten pribadi? Apa aku harus menyiapkan barang pribadinya juga?Terbayang sudah di otakku, itu menjijikkan.
"Apa yang kamu pikirkan, Yuke? Menolak? Kamu tidak butuh tempat tinggal? Tidak butuh uang? Hemms?" tersenyum licik."Apa aku juga harus menyiapkan barang pribadimu juga? Uups!" Akhirnya terlontar juga pertanyaan bodoh itu. Tak sanggup rasanya aku mengangkat wajah, malu."Tentu saja!" sahut Aris singkat, padat berkhasiat. Eh, tepat maksudnya.Aris benar-benar menikmati ketidak berdayaanku dan aku tidak punya pilihan. Tidak ada kesempatan untuk berfikir panjang saat ini. Ah, setidaknya aku punya gaji nanti. Bisalah untuk bergaya sedikit, memperbaiki penampilanku supaya Bang Umar tahu betapa cantiknya diriku nanti dan akan kupastikan dia akan menyesal sampai jungkir balik. Hhh!Bersiap-siaplah, Abang!Aku akan berubah menjadi wanita paling cantik sejagad raya ini. Akan ku acak-acak rambut ikalnya itu biar nambah krebo."Hahaha ...," tawa girangku tidak tertahan lagi."Woii! Yuke! Masih waras kah kamu?"Deg!Gertakan Aris menyadarkanku dari hayalan tingkat tinggi. Astaghfirullah, Yuke!"Tidur sana, besok pekerjaanmu di mulai. Itu kamar tamu!" perintah Aris.Ia beringsut, meninggalkankan diriku yang masih linglung seperti orang amnesia. Oh, baiklah! Aku akan tidur.Terimakasih, Ris, untuk kebaikanmu hari ini. Masalah besok kita lihat saja besok, itu tidak penting bagiku. Akhirnya, aku dapat kesempatan untuk tidur di ranjang nyaman. Oh, ternyata begini rasanya. Saking nyamannya aku sampai lupa cara untuk memejamkan mata padahal ingin cepat rasanya aku terlelap. Pasti mimpi indah akan datang untukku, namun bukan bersama Bang Umar. Cihh!Aku tak Sudi!Dokk! Dokk! Dokk!Hei, siapa malam-malam begini mengetuk pintu kamar wanita, tidak sopan. Kututup aplikasi paling pintar sedunia berlogo huruf 'g', tadi aku sedang mencari tutorial cara tidur di kamar nyaman dengan baik dan benar supaya sesuai dengan tempatnya. Tapi gedoran pintu tak tahu adab itu memaksaku untuk menutup aplikasi itu untuk sementara.Segera kulangkahkan kaki dengan penuh curiga menuju pintu dan membukanya sedikit, kukeluarkan separuh kepala mengintip siapa yang ada diluar."Aris? Ngapain?""Aris! Ngapain?"Tanyaku penasaran ada apa ia membangunkan ku tengah malam begini. Pekerjaanku baru di mulai esok pagi tapi mengapa ia datang jam segini. Apa ada tugas mendadak, batinku menerka.Tak langsung menjawab, ia malah mendorong pintu agak keras."Buka! Aku mau masuk!""Eh ... eh, mau ngapain masuk! Tidak boleh!" jawabku cepat. Aku mulai takut dengan sikapnya.Beberapa saat kami saling dorong, persis anak berumur lima tahun rebutan mainan. Tentu saja akhirnya aku yang kalah karena tenaganya lebih kuat.Aku terjengkang ke belakang, "ups, Aris!"Teriakanku membuatnya berang. Matanya membulat seperti jengkol tua untuk gulai."Apa, sih, berisik!" gertaknya tak kalah kuat seolah tidak merasa bersalah sedikitpun melihatku tersungkur.Kuusap pinggul kiri yang tadi membentur lantai, sakit. Aris sengaja melempar senyum mengejek mungkin senang melihatku meri
Aku termangu melihat suasana ramai dimana kami berada sekarang. Sebuah pelataran parkir yang luas, di depannya ada gedung megah menjulang bertuliskan 'LV MALL' .Berapa tahun aku tak berkunjung ke daerah sini sampai aku tak mengenali pusat perbelanjaan ini. Akhirnya bisa cuci mata juga aku, hal yang belum pernah kulakukan sepanjang lima tahun menjadi istri Bang Umar."Ayo, Tante, kita turun!"Tak kujawab seruan Ema, mengikut saja.Aah!Nafasku terasa lega.Baiklah, aku akan menikmati hari ini meskipun hanya sebagai asisten Aris saja. Tapi cukuplah membuatku senang. Setidaknya aku bisa melihat dunia luar lagi setelah bertahun aku di kurung dalam rumah oleh Bang Umar si pelit itu.Ema melonjak, melambaik
Hari berganti. Tiba waktunya untukmenjalankan tugas utama. Yaitu menyiapkan keperluan Aris sebelum ia berangkat kerja.Pertama sekali aku harus mengurus diriku sendiri. Setelah selesai mematut diri di depan cermin dan kurasa sudah cukup rapi, aku segera meluncur ke kamar Aris.Kubuka pintunya dengan perlahan, dia masih tengkurap tertutup selimut sebatas leher. Hanya kepalanya yang terlihat."Ris! Bangun!" suaraku agak keras.Ia hanya bergerak-gerak sedikit merenggangkan tangannya."Ris!"Kutambah satu oktaf suaraku supaya telinganya mendengar lebih jelas. Akhirnya, dengan malas ia bangun juga.Kulemparkan selembar anduk padanya, supaya ia bergegas mandi. Tanpa ada perlawanan Aris menurut sa
Aku, Aris dan Ema saling pandang.Sekarang keluar sifat aslinya, Aris dan Ema masih keheranan mendengar pertanyaan ibu sekaligus nenek ini yang mungkin tidak biasa bicara dengan nada keras seperti itu.Aku tidak heran sama sekali, kurasa ingatannya masih baik dan benar. Mudah sekali ia menyimpulkan, berarti dia tahu siapa aku.Lagi-lagi Aris tersenyum, berusaha menenangkan ibunya yang menurutku sudah hampir hilang kendali karena kaget atau mungkin juga frustasi karena anak kesayangannya ini belum juga beristri. Hhh."Ibu jangan khawatir, aku tahu batasan ku!" terang Aris pada ibunya.Cihh!Aris!Pandai sekali kamu berkilah, kalau jaga batasan tidak mungkin menyuruhku memasangkan dasimu tadi pagi.
"Aris! Lepaskan,sakit!""Ikut aku!"Aris menyeretku keluar dari kamar menuju ruang tamu. Di sana ibu itu sudah terlihat memasang wajah seram.Ema di pojok sofa menangis tersedu-sedu. Aku kasihan melihatnya. Apa yang terjadi barusan?Sampai anak manis itu sesenggukan begitu. Dasar jahat! Mereka semua jahat."Ini kan, yang menggoda abangmu dulu sampai ia bercerai?"Jari telunjuk wanita tua itu mengarah tepat ke jidatku. Sumpah! Tuduhannya membuatku naik pitam."Jaga batasanmu, Bu! Aku masih menghormatimu sampai saat ini!" jawabku dengan berani.Aris menusukkan tatapan mautnya untukku."Katakan padaku itu tidak benar, Yuke!"
(ARIS)"Ke, sini!"Enak sekali dia jam segini sudah mapan saja, mainan ponsel lagi. Dasar tidak tahu diri banget janda mantan pacar satu ini.Suaraku yang menggelegar tidak serta-merta membuatnya kaget, batu memang. Kugedor sekali lagi pintu kamarnya dengan keras supaya dia mendengar."Apaan sih, Ris? Kamu itu, ya. Nggak tahu waktu banget sih!" jawabnya seenak sendiri."Eh, disini kamu aku gaji. Jadi bekerjalah .....""Dengan baik dan benar! Aku tahu, Bos!" jawabnya sambil mendelik.Eh, cepat sekali dia menjawabku. Dan sudah pintar menantangku juga sekarang, dasar mantan tidak tahu diri. Bikin kerjaanku nambah saja, ngurusin dia."Bikinkan aku mie, aku tunggu di ruang tamu. A
Klontengan alarm dari ponsel yang kupasangtepat jam setengah lima pagi memaksaku mengakhiri mimpi. Terpaksa mata ini terbuka walaupun berat, aku tidak boleh malas-malasan. Rupanya tadi malam Aris tidak membangunkanku. Tega sekali dia membiarkanku tidur di sofa begini, kelihatan sekali kalau aku ini sedang menumpang. Hhh!Setelah kutunaikan dua rakaat wajib dan semua keperluanku sendiri, segera aku menuju kamar Aris. Kubuka pintu dengan kunci serep yang ia beri. Terlihat dia sudah tidak ada di tempat tidur. Oh, mungkin sedang mandi.Tak mau membuang waktu lagi, segera kusiapkan pakaiannya yang kuambil dari ruang ganti. Meletakkan di meja khusus yang ada di ruang itu. Dia sudah mengerti.Tinggal jas yang belum, dan itu ada lemari sendiri. Warna nafi yang kupilih kali ini untuk memadankan kemeja abu rokok. Akan terlihat elegan sekali."Yuke, sudah siap bajuku?" tiba-tiba dia masuk keruang ganti tanpa mengetuk pintu dahulu.Spontan
"Jangan sembunyikan apapun dariku, Ke. Kamu tidak akan pernah berhasil menipuku," ucapnya setengah berbisik.Katakan padaku, Ris. Apakah ini sandiwara baru untuk membalaskan sakit hatimu dulu.Adakah kamu mencuri kesempatan dari ketidakberdayaanku saat ini?Sungguh aku tidak sanggup!Beberapa asisiten butik terpana menyaksikan kami yang seperti sedang beradegan drama Korea. Bahkan ada dari mereka yang ikut tersedu saking meresapi setiap momentum yang terjadi. Kami berdua menjadi pusat perhatian, sebelum akhirnya Siska kembali datang.Aku kaget bukan kepalang, bagaimana caraku nanti menjelaskan padanya soal gaun ini. Apa mungkin aku mengatakan sangat ingin mencobanya untuk terakhir kali?Betapa pintarnya aku tadi, sampai tidak berfikir jauh tentang ini."Hai, Yuke!" sapanya tidak menunjukkan raut marah sama sekali.Aku dilema."Maafkan aku, seharusnya aku tidak lancang memak
Satubulan berlalu, Aris mentransfer uang gajiku sebagai asisten pribadinya. Sesuai rencana, aku akan mentraktir Ema yang kuketahui baru saja menerima raport karena ujian semester pertama telah usai, itung-itung hadiah kecil karena nilainya yang lumayan bagus.Aku juga mengajak Aris yang kebetulan hari ini tidak ada jadwal lembur, biar tambah seru. Ah, bukan! Kali aja dia akan merasa tak enak jika aku yang keluar duit, jadi bisa dibayari, deh! Oh, pintarnya aku!Sebuah tempat makan sea food kupilih, bukan yang mentereng cuma yang kaki lima saja. Jaga-jaga kalau Aris tega membiarkanku membayar, setidaknya masih terjangkau oleh isi dompetku. Tahu sendiri kan, si Aris itu bagaimana? Pria yang sebulan lalu mengikrarkan diriku sebagai calon istrinya, dia memang selalu membuatku mati kutu."Kamu punya duit ngajak aku makan disini?" tanya Aris sambil membenahi cara duduknya.Ya ampun, ini orang. Ya, punya lah, kan aku baru gajian. Remeh bang
"Jangan sembunyikan apapun dariku, Ke. Kamu tidak akan pernah berhasil menipuku," ucapnya setengah berbisik.Katakan padaku, Ris. Apakah ini sandiwara baru untuk membalaskan sakit hatimu dulu.Adakah kamu mencuri kesempatan dari ketidakberdayaanku saat ini?Sungguh aku tidak sanggup!Beberapa asisiten butik terpana menyaksikan kami yang seperti sedang beradegan drama Korea. Bahkan ada dari mereka yang ikut tersedu saking meresapi setiap momentum yang terjadi. Kami berdua menjadi pusat perhatian, sebelum akhirnya Siska kembali datang.Aku kaget bukan kepalang, bagaimana caraku nanti menjelaskan padanya soal gaun ini. Apa mungkin aku mengatakan sangat ingin mencobanya untuk terakhir kali?Betapa pintarnya aku tadi, sampai tidak berfikir jauh tentang ini."Hai, Yuke!" sapanya tidak menunjukkan raut marah sama sekali.Aku dilema."Maafkan aku, seharusnya aku tidak lancang memak
Klontengan alarm dari ponsel yang kupasangtepat jam setengah lima pagi memaksaku mengakhiri mimpi. Terpaksa mata ini terbuka walaupun berat, aku tidak boleh malas-malasan. Rupanya tadi malam Aris tidak membangunkanku. Tega sekali dia membiarkanku tidur di sofa begini, kelihatan sekali kalau aku ini sedang menumpang. Hhh!Setelah kutunaikan dua rakaat wajib dan semua keperluanku sendiri, segera aku menuju kamar Aris. Kubuka pintu dengan kunci serep yang ia beri. Terlihat dia sudah tidak ada di tempat tidur. Oh, mungkin sedang mandi.Tak mau membuang waktu lagi, segera kusiapkan pakaiannya yang kuambil dari ruang ganti. Meletakkan di meja khusus yang ada di ruang itu. Dia sudah mengerti.Tinggal jas yang belum, dan itu ada lemari sendiri. Warna nafi yang kupilih kali ini untuk memadankan kemeja abu rokok. Akan terlihat elegan sekali."Yuke, sudah siap bajuku?" tiba-tiba dia masuk keruang ganti tanpa mengetuk pintu dahulu.Spontan
(ARIS)"Ke, sini!"Enak sekali dia jam segini sudah mapan saja, mainan ponsel lagi. Dasar tidak tahu diri banget janda mantan pacar satu ini.Suaraku yang menggelegar tidak serta-merta membuatnya kaget, batu memang. Kugedor sekali lagi pintu kamarnya dengan keras supaya dia mendengar."Apaan sih, Ris? Kamu itu, ya. Nggak tahu waktu banget sih!" jawabnya seenak sendiri."Eh, disini kamu aku gaji. Jadi bekerjalah .....""Dengan baik dan benar! Aku tahu, Bos!" jawabnya sambil mendelik.Eh, cepat sekali dia menjawabku. Dan sudah pintar menantangku juga sekarang, dasar mantan tidak tahu diri. Bikin kerjaanku nambah saja, ngurusin dia."Bikinkan aku mie, aku tunggu di ruang tamu. A
"Aris! Lepaskan,sakit!""Ikut aku!"Aris menyeretku keluar dari kamar menuju ruang tamu. Di sana ibu itu sudah terlihat memasang wajah seram.Ema di pojok sofa menangis tersedu-sedu. Aku kasihan melihatnya. Apa yang terjadi barusan?Sampai anak manis itu sesenggukan begitu. Dasar jahat! Mereka semua jahat."Ini kan, yang menggoda abangmu dulu sampai ia bercerai?"Jari telunjuk wanita tua itu mengarah tepat ke jidatku. Sumpah! Tuduhannya membuatku naik pitam."Jaga batasanmu, Bu! Aku masih menghormatimu sampai saat ini!" jawabku dengan berani.Aris menusukkan tatapan mautnya untukku."Katakan padaku itu tidak benar, Yuke!"
Aku, Aris dan Ema saling pandang.Sekarang keluar sifat aslinya, Aris dan Ema masih keheranan mendengar pertanyaan ibu sekaligus nenek ini yang mungkin tidak biasa bicara dengan nada keras seperti itu.Aku tidak heran sama sekali, kurasa ingatannya masih baik dan benar. Mudah sekali ia menyimpulkan, berarti dia tahu siapa aku.Lagi-lagi Aris tersenyum, berusaha menenangkan ibunya yang menurutku sudah hampir hilang kendali karena kaget atau mungkin juga frustasi karena anak kesayangannya ini belum juga beristri. Hhh."Ibu jangan khawatir, aku tahu batasan ku!" terang Aris pada ibunya.Cihh!Aris!Pandai sekali kamu berkilah, kalau jaga batasan tidak mungkin menyuruhku memasangkan dasimu tadi pagi.
Hari berganti. Tiba waktunya untukmenjalankan tugas utama. Yaitu menyiapkan keperluan Aris sebelum ia berangkat kerja.Pertama sekali aku harus mengurus diriku sendiri. Setelah selesai mematut diri di depan cermin dan kurasa sudah cukup rapi, aku segera meluncur ke kamar Aris.Kubuka pintunya dengan perlahan, dia masih tengkurap tertutup selimut sebatas leher. Hanya kepalanya yang terlihat."Ris! Bangun!" suaraku agak keras.Ia hanya bergerak-gerak sedikit merenggangkan tangannya."Ris!"Kutambah satu oktaf suaraku supaya telinganya mendengar lebih jelas. Akhirnya, dengan malas ia bangun juga.Kulemparkan selembar anduk padanya, supaya ia bergegas mandi. Tanpa ada perlawanan Aris menurut sa
Aku termangu melihat suasana ramai dimana kami berada sekarang. Sebuah pelataran parkir yang luas, di depannya ada gedung megah menjulang bertuliskan 'LV MALL' .Berapa tahun aku tak berkunjung ke daerah sini sampai aku tak mengenali pusat perbelanjaan ini. Akhirnya bisa cuci mata juga aku, hal yang belum pernah kulakukan sepanjang lima tahun menjadi istri Bang Umar."Ayo, Tante, kita turun!"Tak kujawab seruan Ema, mengikut saja.Aah!Nafasku terasa lega.Baiklah, aku akan menikmati hari ini meskipun hanya sebagai asisten Aris saja. Tapi cukuplah membuatku senang. Setidaknya aku bisa melihat dunia luar lagi setelah bertahun aku di kurung dalam rumah oleh Bang Umar si pelit itu.Ema melonjak, melambaik
"Aris! Ngapain?"Tanyaku penasaran ada apa ia membangunkan ku tengah malam begini. Pekerjaanku baru di mulai esok pagi tapi mengapa ia datang jam segini. Apa ada tugas mendadak, batinku menerka.Tak langsung menjawab, ia malah mendorong pintu agak keras."Buka! Aku mau masuk!""Eh ... eh, mau ngapain masuk! Tidak boleh!" jawabku cepat. Aku mulai takut dengan sikapnya.Beberapa saat kami saling dorong, persis anak berumur lima tahun rebutan mainan. Tentu saja akhirnya aku yang kalah karena tenaganya lebih kuat.Aku terjengkang ke belakang, "ups, Aris!"Teriakanku membuatnya berang. Matanya membulat seperti jengkol tua untuk gulai."Apa, sih, berisik!" gertaknya tak kalah kuat seolah tidak merasa bersalah sedikitpun melihatku tersungkur.Kuusap pinggul kiri yang tadi membentur lantai, sakit. Aris sengaja melempar senyum mengejek mungkin senang melihatku meri