Setelah merasa berjalan cukup jauh, Agatha berhenti sejenak di sebuah taman kecil di dekat apartemen Dessy. Ia duduk di bangku taman, berusaha menenangkan pikirannya yang kalut. Pikirannya terus berputar, memikirkan kemungkinan apa yang sebenarnya terjadi antara Dessy dan Niko. Agatha mengambil napas dalam-dalam dan memutuskan untuk mengirim pesan kepada Dessy. "Des, aku sudah sampai di depan apartemenmu tadi, tapi ada urusan mendadak yang harus kuselesaikan. Kita bisa bertemu lain kali?" tulis Agatha dalam pesan singkat. Setelah mengirim pesan tersebut, Agatha menatap langit yang mulai berubah warna menjelang senja. Dia merasa sendirian, tetapi dia tahu bahwa dia harus menemukan kekuatan dalam dirinya untuk menghadapi semua ini. Dengan perasaan campur aduk, Agatha akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah ibunya lebih dulu. Di perjalanan, ia bertekad untuk tetap merahasiakan kehamilannya dari semua orang dan mencari tahu lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi antara
Malam itu, setelah semua orang tertidur, Bintang duduk di ruang kerja, mencoba mencerna semua informasi yang diterimanya. Ia tahu bahwa untuk menyelesaikan masalah ini, ia perlu mencari kebenaran tanpa menimbulkan lebih banyak masalah dalam keluarganya.Tak lama kemudian, Agatha yang kesulitan untuk tidur memberanikan diri untuk berbicara dengan Bintang. Ia merasa bahwa ia harus jujur tentang perasaannya, meskipun tidak mengungkapkan semuanya. Dia tahu suaminya saat ini pasti sedang menyendiri di ruangannya."Mas, aku perlu bicara denganmu," kata Agatha, membuka pintu dengan suara lembut.Bintang mengangguk dan mengisyaratkan Agatha untuk duduk. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Agatha?""Aku merasa ada banyak hal yang tidak kita ketahui satu sama lain. Aku melihat sesuatu yang membuatku khawatir kemarin, dan aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi antara Dessy dan Niko," kata Agatha dengan hati-hati.Bintang menatap Agatha dengan mata penuh pertanyaan. "Apa yang kamu lihat, Aga
Agatha memutuskan untuk pergi ke rumah sakit sendiri. Dia merasa bahwa situasinya mendesak dan tidak ingin membuang waktu untuk memberi tahu Aera terlebih dahulu. Pikiran tentang kondisi Bintang yang kritis membuatnya tidak bisa menunda lebih lama.Dengan langkah cepat, Agatha keluar rumah dan segera mencari taksi atau transportasi lain yang bisa membawanya ke rumah sakit secepat mungkin. Selama perjalanan, pikirannya terus berperang dengan berbagai kemungkinan yang mungkin terjadi.Setelah perjalanan yang terasa begitu panjang, Agatha akhirnya tiba di rumah sakit. Dia berlari masuk, mengabaikan tatapan orang-orang di sekitarnya, dan langsung menuju ke bagian informasi untuk mencari tahu di mana Bintang dirawat. Jantungnya berdebar kencang saat dia mendekati meja resepsionis."Permisi, saya istri Pak Bintang. Dia baru saja dibawa ke sini karena kecelakaan. Di mana saya bisa menemukannya?" tanyanya dengan suara yang hampir terputus oleh kegelisahan.Petugas resepsionis segera memer
Bu Gita menatap Agatha yang masih terbaring tak sadarkan diri, hatinya dipenuhi perasaan kasihan dan keprihatinan. Di saat-saat sulit seperti ini, Agatha tidak hanya harus menghadapi ketidakpastian tentang kondisi Bintang, tetapi juga mengandung seorang anak tanpa dukungan yang memadai. Bu Gita merasakan beban berat yang dipikul oleh menantunya.Dengan lembut, Bu Gita mengusap tangan Agatha yang dingin. "Agatha, kamu sudah sangat kuat. Aku berjanji akan berada di sisimu," bisiknya penuh kasih.Pak Johan berdiri di dekat pintu, mengawasi dengan cemas. "Kita harus memastikan Agatha mendapatkan semua yang dia butuh kan," katanya. "Kita tidak bisa membiarkan dia melalui ini sendirian."Moona, yang duduk di samping ranjang, mengangguk setuju. "Agatha sudah berusaha keras untuk menjaga rahasia ini, demi kebahagiaan Mas Bintang dan Aera. Sekarang saatnya kita yang menjaga dia."Bu Gita merasakan air mata mengalir di pipinya saat dia melihat wajah Agatha yang pucat. "Aku tidak pernah tahu
"Aera, hentikan!" seru Bu Shinta dengan suara tegas. "Ini bukan saatnya untuk kekerasan dan menyalahkan. Kita semua berada di sini karena kita peduli pada Bintang."Aera menatap Bu Shinta dengan mata yang penuh air mata dan kemarahan. "Apa hakmu ikut campur? Aku istrinya! Aku punya hak untuk marah dan merasa terluka!"Bu Shinta tidak melepaskan tangan Aera, pandangannya tetap tenang namun tegas. "Aku adalah ibu Agatha, dan aku tidak akan membiarkanmu menyakiti putriku. Aku mengerti kamu marah dan terluka, tapi ini bukan cara untuk mengatasi rasa sakitmu."Agatha yang merasa bersalah mencoba menjelaskan dengan suara bergetar. "Aera, kami tidak bermaksud mengabaikanmu. Aku sangat menyesal jika kamu merasa ditinggalkan.""Tidak ada yang harus kamu sesali, Mbak Agatha. Akulah yang bertanggung jawab. Aku hanya tidak ingin Aera terguncang dengan kabar ini, karena dia sedang hamil. Aku juga yang melarang kalian menghubunginya," kata Moona.Bu Gita dan Pak Johan yang mendengar keributan
Aera dengan susah payah membawa Rocky masuk ke apartemennya, berjuang untuk membopong tubuh beratnya yang tidak sadar. Dengan bantuan penjaga gedung, mereka berhasil membaringkan Rocky di tempat tidur. Aera menghela napas panjang, merasa kelelahan dan frustrasi.Setelah memastikan Rocky terbaring dengan nyaman, Aera duduk di tepi tempat tidur, menatap wajahnya yang tertidur lelap. "Rocky, kamu harus berubah. Kita tidak bisa terus begini," gumamnya dengan nada penuh kekhawatiran.Saat Aera bersiap untuk pergi meninggalkan apartemen Rocky, dia merasakan tangannya ditarik dengan keras. Rocky, yang setengah sadar dari pengaruh alkohol, menariknya ke tempat tidur. Matanya yang sayu menatap Aera dengan campuran kebingungan dan keputusasaan."Aera, jangan pergi!" seru Rocky, suaranya serak dan lemah.Aera merasa jantungnya berdetak cepat. Dia tidak bisa menahan perasaan campur aduk yang menguasainya—marah, khawatir, dan sedikit kasihan. Dia mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Roc
Agatha, Pak Jinwoo, dan Bu Shinta duduk di ruang tamu bersama detektif polisi yang menangani kasus kecelakaan Bintang. Suasana ruangan terasa tegang dan berat, setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Detektif membuka sebuah buku catatan dan bersiap untuk mendengarkan penjelasan dari orang tua Agatha.Bu Shinta bertanya, suaranya terdengar berat dan penuh dengan kebingungan. "Detektif, apa yang membawa kalian datang kemari?"Detektif mengangkat alisnya, tertarik. "Kami butuh penjelasan lebih jauh tentang Sandy, kami belum mendengar tentang dia. Silakan cerita detailnya."Bu Shinta mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. "Sandy adalah adik Agatha. Dia memiliki masalah yang sangat serius dengan kemarahannya sejak kecil. Dia sering terlibat perkelahian di sekolah, dan akhirnya kami memutuskan untuk mengirimnya ke sekolah khusus."Pak Jinwoo melanjutkan. "Namun, Sandy tidak bisa menerima keputusan itu. Dia merasa dikhianati oleh kami, dan suatu malam,
Agatha masih duduk di kursi rumah sakit, air mata mengalir deras di pipinya. Dia merasa begitu hancur, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Moona yang sejak tadi mencarinya, akhirnya berhasil menemukannya. Dia memeluknya Agatha erat, berusaha menenangkannya."Mbak, aku akan mengantarmu pulang," bisik Moona lembut, khawatir terjadi sesuatu pada kakak iparnya.Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, telepon Agatha berdering. Dia melihat nomor detektif tertera di layar."Agatha, kami butuh kamu segera. Kami menemukan Sandy," suara detektif terdengar tegas di telepon.Agatha terdiam sejenak, mencoba mencerna semuanya. Dia menatap Moona yang terlihat bingung."Kembalilah, Moona. Kamu harus menjaga Bintang dan kedua orang tuamu, mereka pasti terkejut. Ini mungkin satu-satunya kesempatanku untuk menemukan jawaban, aku tidak ingin kalian terlibat," kata Agatha dengan lembut."Berjanjilah untuk kembali dengan selamat." Moona melepaskan tangan Agatha dengan berat.Aga