Dengan berlari, dia menuju ke kamar asramanya. Mendadak dia terkejut saat baru saja membuka kamar asramanya karena dia melihat Putri sedang membuka lemari baju milik Amelia. "Putri, apa yang kamu lakukan?" tanya Laila kaget. Putri pun nyaris terlompat mendengar suara Laila dari belakang tubuh nya. Pandangan nya nanar menatap Laila, sedangkan Laila terkejut saat melihat Putri beberapa lembar uang berwarna merah, biru dan ungu di tangan gadis itu. Putri masih saja terdiam dan justru dengan santai mengunci pintu lemari mungil milik Amelia. "Put, uang siapa itu?" tanya Laila dengan to the point karena Putri yang masih terdiam. "Ini uang ku sendiri, La!" seru Putri yakin sambil memasukkan uang di dalam genggaman nya ke dalam saku."Heh, jangan bohong kamu, Put!" seru Laila mencekal tangan Putri yang hendak berlalu melewati nya. "Lepaskan tanganku, La!" Putri menepis tangan Laila kasar. Lalu dengan cepat berlalu dari hadapan Laila. Gadis itu menatap lemari di sebelah kanan nya dan kepe
Laila menghela nafas kesal. "Tidak seberapa katamu? Aku tetap tidak terima. Kalau kamu tidak mau menegurnya langsung, ayo kita lapor kan pada ibu asrama!" cetus Laila tegas. Laila segera menarik tangan Amelia untuk keluar dari kamar asrama melangkah dengan cepat menuju ke kamar ibu asrama. Suasana ruang asrama saat itu sedang sepi. Beberapa penghuni asrama ada yang sedang makan siang di kantin, di warung, di ruang makan asrama, ada pula yang sedang belajar di perpustakaan kampus. Putri dan Rina tidak tampak di kamar asrama, sehingga Laila memilih untuk mengadukan kejadian Amelia pada ibu asrama untuk "mengadili"nya. Pintu kamar ibu asrama diketuk dan Laila mengucap salam. Tak lama kemudian pintu dibuka dari dalam oleh ibu asrama.Kedua gadis itu menatap ke arah ibu asrama. Tampak wajah Amelia yang ragu untuk masuk kedalam kamar ibu asrama. "Ada apa, Amel? Laila?" tanya ibu asrama menatap kedua anak asuhnya itu. Amelia menelan ludah dengan ragu, tangannya menarik tangan Laila aga
Laila tersungkur ke lantai dan Amelia segera memeluk nya. "Astaga, La, bibir kamu terluka. Ayo ikut aku ke ibu asrama!" seru Amelia cemas. Tangannya terulur mendekati pipi Laila. Semua mahasiswi yang ada di depan kamar mawar, mulai berkerumun mengundang anak-anak dari kamar lain untuk mengerubungi dan melihat kejadian itu. "Apa kamu tahu, Mel, La! Kalian selama ini terlalu sok cakep, sok kaya, sok punya pacar. Aku muak mendengar semua cerita kalian. Enak sekali hidup kalian seperti tidak pernah hidup susah! Dan sekarang, kalian memfitnah aku mencuri uang Amelia yang nggak seberapa itu pada ibu asrama. Tarik kembali laporan kalian pada ibu asrama! Kalian jahat! Awas saja kalau sampai aku nggak bisa lulus atau sampai keluarga ku malu! Aku akan membalas ketidakadilan ini!" seru Putri lagi. Dia merengsek ke arah Laila yang masih bersimpuh di lantai depan kamarnya. Karena ada sebuah rencana yang sedang dia lakukan saat ini untuk menjebak Putri agar tidak sengaja mengakui perbuatannya.
"Terimakasih. A-aku juga ingin minta maaf karena saat Putri menceritakan tentang uang yang hilang itu, aku terima mentah-mentah tanpa aku konfirmasi pada kalian. Kalian mau kan memaafkan dan kembali berteman denganku?" tanya Rina penuh harap. "Hm, yang lalu biarlah berlalu. Tidak usah dibahas lagi. Tapi memangnya Putri ngomong apa aja ke kamu, Rin?" tanya Laila. Walaupun dia sudah memaafkan kejadian kemarin, tapi dia penasaran juga dengan apa yang dikatakan Putri pada Rina, sehingga Rina juga menjauhi mereka. Rina menghela nafas sejenak. "Putri bilang kalian sombong, pelit, suka pamer tapi nggak mau ngasih kue atau jajan sih. Lalu dia bilang kalau Laila sudah memfitnah nya mengambil uang Amelia. Itu aja. Sekarang aku tahu, yang salah itu dia, bukan kalian," sahut Rina lagi. Laila tersenyum. "Sudahlah. Jangan dibicarakan lagi. Aku harap hal ini sudah selesai, Rin. Semua berhak mendapatkan kesempatan kedua, termasuk Putri. Jadi kalau dia mau makan atau belajar bareng kita, lebih baik
Wajah Laila memang langsung memucat saat melihat dokter Marzuki yang membawa selembar kertas undangan pernikahan di tangannya."Itu ... Undangan untuk siapa, Dokter?" tanya Laila dengan menahan segala rasa cemburu dan cemas yang ada di hatinya. Dokter Marzuki mengangkat surat undangan pernikahan yang ada di tangan nya dan memperlihatkan nya pada Laila. "Oh ini. Ini untuk saya. Tadi saat mau jalan ke kantin, ada bidan yang memberikan undangan ini untuk saya," sahut Dokter Marzuki, membuat Laila nyaris melompat bahagia."Oh, syukur lah kalau begitu," ucap Laila tanpa sadar. Dokter Marzuki tampak mengerutkan keningnya lalu tertawa kecil seraya menoleh ke arah Laila. Sepertinya dokter Marzuki tahu kenapa Laila bertingkah seperti itu, tapi lelaki itu justru pura-pura tidak tahu dan menatap Laila dengan jenaka. "Emangnya kenapa, La? Kamu kok kayaknya seneng kalau saya mendapatkan undangan pernikahan?" tanya Dokter Marzuki tersenyum simpul. Laila tersipu. "Uhm, mitosnya kalau sering dat
Setahun kemudian, Hari ini malam Minggu, Laila berdiri di samping seorang ibu bersalin yang sedang berteriak kesakitan karena sedang mengalami pembukaan fase aktif* di jalan lahirnya. Dengan lembut, Laila memeriksa kontraksi perut dan setelah yakin ibu bersalin tersebut kontraksi nya sudah hilang, gadis itu memeriksa denyut jantung janin dengan Doppler yang dipegang nya. Suara jantung janin yang keras menunjukkan angka normal di mesin Doppler itu membuat Laila tersenyum.Saat ini Laila mendapat tugas praktek di salah satu rumah sakit negeri. Dan Laila telah bertekad untuk tetap bersemangat sampai akhir, menemani dan membantu bidan senior yang sedang bertugas dinas malam saat ini. Laila menunjukkan angka di Doppler pada bidan senior yang berdiri di samping nya. Bidan itu mengangguk. "Denyut jantung bayi sehat, kontraksi perut masih kurang aktif hang, Bu. Sekarang sudah waktu nya untuk periksa dalam. Mari diperiksa dulu."Pasien itu dengan mendesis menahan sakit di perut nya berusa
"Mas, aku telat tiga bulan. Aku bingung sekali karena setelah aku melakukan tes kehamilan, hasilnya positif ..."Hening sejenak lalu terdengar suara isak tangis lebih keras dari arah kamar Rina yang setengah terbuka itu. Laila seolah membeku di depan pintu kamar Rina. Badannya gemetar dan jantung nya berdebar kencang. Hilang sudah rasa lelah dan kantuknya setelah semalam dinas dengan pasien yang membludak. Gadis itu mematung di depan pintu kamar Rina, bingung dengan langkah apa yang sebaiknya dilakukan nya. Lama Laila menunggu apa yang akan dilakukan oleh Rina, sedangkan dia sendiri juga tengah "Mas, aku takut sama orang tuaku. Kamu mau kan menghadap orang tuaku bersama-sama. Kita harus menghadap orang tuaku, Mas! Aku ... takut. Hiks, hiks."Hening sejenak. Hanya helaan nafas Rina yang terdengar begitu putus asa. "Yang, kenapa kamu diam? Bicaralah dengan jelas. Apa yang harus aku lakukan sekarang?! Aku bingung. Pikiran ku benar-benar buntu," sambung Rina lagi.Gadis itu lalu menya
"Rina, berhenti! Jangan gil* kamu!"Laila dengan cepat menepis tangan kanan Rina yang sedang memegang cutter.Cutter itu terjatuh begitu saja di lantai. Rina terdiam dan menundukkan kepalanya saat Laila menyentuh bahunya dengan khawatir. "Rin, apa tangan mu sakit? Maaf kalau tadi aku terlalu kasar saat menepis ...,""Aku sudah hancur, Laila ..."Suara Rina begitu lirih terdengar. Kepala gadis itu tetap menunduk dengan rambut yang kusut masai. Laila terdiam. Sebenarnya dia tahu kalau telah lancang karena menguping percakapan temannya, tapi hal itu dilakukan nya karena dia sudah melihat Rina yang nyaris melakukan hal yang berbahaya, dan Laila tidak mau jika sahabat nya sampai melakukan hal yang lebih bod*h lagi. "Rin, aku tahu perasaan kamu. Aku akan membantu kamu untuk melewati hal ini," ujar Laila tulus. Suasana menjadi hening sejenak."Kamu tadi sudah menguping sampai mana?""Aku telah mendengar kan semuanya, Rin. Maafkan aku. Tapi aku akan ada selalu ada untuk kamu," sahut Laila
Tiara mendelik, dia langsung terduduk di ranjang hotel dan memutar ulang video yang menampilkan sosoknya yang sedang marah-marah. "Sial*n! Siapa yang telah merekam dan mempermalukanku? Ini pasti kerjaan bocil genit itu! Bisa-bisa nya mas Marzuki mencintai anak kecil padahal aku masih hidup. Aku tidak terima! Aku akan membalas bocil itu!"Tangan Tiara mengepal. "Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membuat mas Marzuki meninggalkan bocil itu?!"Tiara berdiri lalu mondar mandir di dalam kamar hotelnya, mencari ide untuk membuat Marzuki membenci Laila. Mendadak sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ah, betul juga! Kalau wajah Laila menjadi cacat, Mas Marzuki dan Yasmin pasti tidak mau mendekati bocil itu lagi. Dan saat itulah aku akan merebut perhatian mereka. Mereka pasti akan menerima perhatian dariku," desis Tiara dengan penuh keyakinan. Dia lantas membuka internet lalu mencari tahu di online shop tentang barang yang bisa membantu rencananya. ***Laila dengan tangan gemetar mencelupk
Tiara yang sudah mengenal suara di belakang nya menghela nafas dan berbalik ke belakang. "Hai, Mas Rizki. Kamu sampai di sini juga?" tanya Tiara berbasa basi seraya menyedekapkan kedua tangan di depan dadanya. "Tentu saja. Setelah kamu minggat, aku langsung memerintahkan orang untuk mencari keberadaan kamu. Ternyata kamu di sini. Jauh-jauh dari jakarta ke kota terpencil ini hanya untuk mengganggu suami orang. Ck, ck, aku tidak menyangka kalau kamu akan berbuat sesuatu seperti ini. Kamu benar-benar berbakat menjadi pelakor, Ti," sahut Rizki, sang suami. Tiara tergelak. "Pelakor? Hati-hati kalau kamu bicara, Mas! Dia mantan suamiku, jadi aku ...""Memang di masa lalu, dia adalah suami kamu. Tapi saat ini dia kan sudah mempunyai keluarga baru, istri baru, seharusnya kamu tahu diri dan tidak merusak kehidupan rumah tangganya!"Tawa Tiara semakin terdengar keras. "Hahaha! Kamu ini lucu sekali, Mas! Kamu dulu menjadi pebinor dan merebutku dari mas Marzuki sehingga kami bercerai, dan sek
"Mas, tolong aku!" ujar Tiara dengan penuh harap menatap ke arah Marzuki. "Aku mengalami KDRT! Aku kabur dari suamiku! Tolong tampung aku di rumah kamu, Mas!" seru Tiara lagi dengan sangat memelas. Laila mendelik, sebenarnya dalam hatinya sangat ingin mencakar dan menjambak Tiara. Tapi ditahannya karena Laila tidak mau mengotori tangan nya dengan memegang sampah. Wajah Marzuki menegang melihat Tiara yang datang menemui mereka, apalagi di hadapan Yasmin. "Kok kamu bisa kesini?" tanya Marzuki dengan wajah parau. Ditatapnya wajah dan tubuh Tiara yang terdapat lebam-lebam di beberapa tempat. "Mas, kalau enggak di sini, aku harus kemana? Lihatlah luka-luka di tubuhku ini. Aku dipukuli suami ku. Tidakkah kamu kasihan, Mas? Aku hanya punya kamu. Kamu kan tahu kalau orang tuaku meninggal sejak SMA dan aku bisa hidup karena bantuan kamu," ujar Tiara dengan wajah memelas. Baru saja Laila hendak merespon ucapan Tiara saat Marzuki menunjuk wajah Tiara dengan serius. "Kamu tahu bahwa hanya a
Laila terbangun dan merab* ranjang di samping nya."Kok kosong? Mana mas Marzuki ya?" gumam Laila lalu duduk di atas ranjang dan melihat sekeliling kamar."Mungkin masih salat di masjid atau lihat tivi. Hm, ini kan hari Minggu. Puskesmas libur dan hanya on call," ujar Laila lagi. Dia melihat ke arah jam di kamar. "Sudah jam lima nih. Musti mandi dulu sebelum salat."Laila pun bergegas ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar lalu segera membersihkan diri. Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, Laila mengering kan rambut nya dengan hair dryer lalu keluar dari kamar. "Mama! Selamat ulang tahun!" seru Yasmin riang begitu Laila membuka pintu kamarnya. Laila yang saat itu sedang mengenakan daster warna kuning merasa sangat bahagia dan terkejut saat melihat kue berbentuk lingkaran mungil yang sedang dipegang oleh Yasmin. Lalu dari arah belakang tampak Marzuki yang sedang mengenakan celemek dan membawa sendok sayur sedang berjalan menuju ke arah Laila dan Yasmin. Sedangkan bi Inah
Laila terbangun saat merasakan dinginnya AC yang menyentuh kulitnya, dengan segera di Laila menarik selimut nya lagi. "Dingin ya?" sapa sebuah suara yang berbisik di telinga Laila. Laila mengangguk manja. Dan Marzuki yang ada di belakang Laila memeluk erat sang istri semakin erat. "Ya sudah. Aku peluk lagi. Atau kamu mau kita mengulang yang semalam?" tanya Marzuki seraya menciumi pundak dan punggung Laila sehingga perempuan itu terkikik geli dan manja. "Mas, geli tahu!" bisik Laila lalu membalikkan badannya ke arah Marzuki. Mereka saling bertatapan di dalam remang cahaya lampu kamar tidur. Laila memandang jam bulat melalui pundak Marzuki yang tertempel di dinding kamar. 'Masih jam satu rupanya.'Marzuki meletakkan tangannya ke pipi Laila dan berbisik merdu. "Kenapa kamu memandang kearah belakang ku? Aku hanya ingin kamu menatap ke arahku, Sayang."Marzuki menangkup wajah Laila lalu mengecup pipi istrinya perlahan. Laila mengalihkan pandangan nya ke arah Marzuki. "Lalu aku harus
"Mama! Papa!" Yasmin melambaikan tangan pada Laila dan Marzuki dari layar ponsel. "Sayang!" Laila memberikan kecup jauh untuk gadis kecil itu."Mama dimana?" tanya Yasmin lagi."Bagaimana ini, Yang? Kita jemput Yasmin di pintu masuk hotel. Daripada nanti dia bertemu dengan Tiara lebih dulu."Marzuki menoleh pada Laila dan terlihat bingung."Baiklah Mas, ayo kita jemput mami dan Yasmin." Laila menarik tangan Marzuki dan mereka berjalan menuju gapura pintu masuk hotel."Mama!"Yasmin berlari dan menghambur memeluk Laila. "Hap!"Laila memeluk Yasmin beberapa lama, lalu melanjutkan langkah menuju papi dan mami kemudian mencium punggung tangan keduanya."Yasmin sudah makan?" tanya Laila sambil mengelus kepala Yasmin perlahan. "Belum, Ma.""Ayo makan dulu ke resto. Restonya bagus dan ada kolam renangnya." Laila berjalan mendahului Marzuki dan orangtuanya menuju ke resto."Yasmin mau makan apa?" tanya Marzuki."Ayam goreng, Pa."Marzuki segera menulis ayam goreng krispi di kertas menu l
Dokter 91"Insyallah saya lebih baik dalam mengasuhnya daripada sang ibu kandung yang menelantarkannya. Dan jangan coba-coba mendekati suami saya setelah Mbak dengan semena-mena membuangnya. Tolong jangan hadir sebagai orang ketiga diantara kami. Terimakasih atas pengertiannya," kata Laila seraya memandang tajam pada Tiara. Laila melihat tangan Tiara yang putih terkepal di atas meja kafe. "Kalem saja Mbak. Bukankah mbak sudah punya suami juga? Jadi mari kita berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."Tiara menatap tajam ke arah Laila. "Tunggu saja Laila. Saya pastikan kita akan segera bertemu lagi. Bagaimanapun Yasmin itu adalah darah daging saya. Dan saya pastikan Mas Marzuki akan menceraikan kamu!"Tiara mengacungkan telunjuknya ke arah Laila. Dan Laila menurunkan telunjuk Tiara dengan santai. "Oh ya? Baru ingat kalau masih punya darah daging? Kemana saja kamu selama ini saat Yasmin kesepian dan tidak punya teman bermain karena ibunya menghilang?"Kamu yang tidak tahu
"Tiara?" gumam Marzuki kaget.Laila juga tidak kalah kagetnya karena dia ingat betul siapa Tiara itu."Tolong! Ada yang berprofesi dokter di sini? Atau tenaga medis? Perempuan ini dadanya tidak bergerak lagi."'Ya benar! Walaupun aku belum pernah melihat fotonya, tapi aku yakin dia pasti ibunya Yasmin. Garis wajah dan lengkung bibirnya yang sensual sama persis dengan gadis kecil itu. Kenapa dia di sini. Apa mas Marzuki sengaja mengajakku ke sini untuk mencari ibu Yasmin lagi? Tapi perempuan itu butuh tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Ya Tuhan, jika mas Marzuki yang melakukan CPR, hatiku tidak ikhlas karena kalau memberikan nafas buatan, bib*r mereka akan langsung bersentuhan. Bagaimana ini?' gumam Laila bingung.Hati Laila berperang antara rasa cemburu dan rasa kemanusiaan. Digenggamnya tangan Marzuki yang berdiri di sebelahnya. Terasa dingin dan tatapan matanya seakan juga menyiratkan kegalauan dan kebimbangan hati.'Mas, apakah masih ada namanya di hatimu?'Laila menghela
Aku tidak ingin kamu hanya menjadi seperti pelangi di langit ku, yang hanya muncul setelah hujan sejenak kemudian meninggalkan pergi.***Beberapa hari setelahnya,"Wah bagus sekali kamar hotel yang kamu pesan, Mas," kata Laila seraya membuka tirai kamar dan memandang keluar. Langsung terlihat kolam renang yang dikelilingi perpaduan rumpun mawar dan pohon palem botol sebagai pagar hidupnya."Kamu suka?" tanya dokter Marzuki memeluk Laila dari belakang. Hembusan napasnya terasa hangat di telinga.Sekarang musim liburan sekolah, dan Marzuki memutuskan untuk mengajak Laila bulan madu di Bali, sedangkan Yasmin ingin menghabiskan liburannya di rumah Ambar dan Iwan. "Suka banget Mas. Makasih ya," sahut Laila lalu membalikkan badan dan mengecup hidung dokter Marzuki dengan lembut."Kamu ..., minta jatah ya?"Pertanyaan Marzuki membuat Laila nyaris tersedak."Apa? Nggak kok! Memang kalau istri mencium suami lebih dahulu berarti minta gituan ya?" tanya Laila manyun tapi tetap mengalungkan ked