"Terimakasih. A-aku juga ingin minta maaf karena saat Putri menceritakan tentang uang yang hilang itu, aku terima mentah-mentah tanpa aku konfirmasi pada kalian. Kalian mau kan memaafkan dan kembali berteman denganku?" tanya Rina penuh harap. "Hm, yang lalu biarlah berlalu. Tidak usah dibahas lagi. Tapi memangnya Putri ngomong apa aja ke kamu, Rin?" tanya Laila. Walaupun dia sudah memaafkan kejadian kemarin, tapi dia penasaran juga dengan apa yang dikatakan Putri pada Rina, sehingga Rina juga menjauhi mereka. Rina menghela nafas sejenak. "Putri bilang kalian sombong, pelit, suka pamer tapi nggak mau ngasih kue atau jajan sih. Lalu dia bilang kalau Laila sudah memfitnah nya mengambil uang Amelia. Itu aja. Sekarang aku tahu, yang salah itu dia, bukan kalian," sahut Rina lagi. Laila tersenyum. "Sudahlah. Jangan dibicarakan lagi. Aku harap hal ini sudah selesai, Rin. Semua berhak mendapatkan kesempatan kedua, termasuk Putri. Jadi kalau dia mau makan atau belajar bareng kita, lebih baik
Wajah Laila memang langsung memucat saat melihat dokter Marzuki yang membawa selembar kertas undangan pernikahan di tangannya."Itu ... Undangan untuk siapa, Dokter?" tanya Laila dengan menahan segala rasa cemburu dan cemas yang ada di hatinya. Dokter Marzuki mengangkat surat undangan pernikahan yang ada di tangan nya dan memperlihatkan nya pada Laila. "Oh ini. Ini untuk saya. Tadi saat mau jalan ke kantin, ada bidan yang memberikan undangan ini untuk saya," sahut Dokter Marzuki, membuat Laila nyaris melompat bahagia."Oh, syukur lah kalau begitu," ucap Laila tanpa sadar. Dokter Marzuki tampak mengerutkan keningnya lalu tertawa kecil seraya menoleh ke arah Laila. Sepertinya dokter Marzuki tahu kenapa Laila bertingkah seperti itu, tapi lelaki itu justru pura-pura tidak tahu dan menatap Laila dengan jenaka. "Emangnya kenapa, La? Kamu kok kayaknya seneng kalau saya mendapatkan undangan pernikahan?" tanya Dokter Marzuki tersenyum simpul. Laila tersipu. "Uhm, mitosnya kalau sering dat
Setahun kemudian, Hari ini malam Minggu, Laila berdiri di samping seorang ibu bersalin yang sedang berteriak kesakitan karena sedang mengalami pembukaan fase aktif* di jalan lahirnya. Dengan lembut, Laila memeriksa kontraksi perut dan setelah yakin ibu bersalin tersebut kontraksi nya sudah hilang, gadis itu memeriksa denyut jantung janin dengan Doppler yang dipegang nya. Suara jantung janin yang keras menunjukkan angka normal di mesin Doppler itu membuat Laila tersenyum.Saat ini Laila mendapat tugas praktek di salah satu rumah sakit negeri. Dan Laila telah bertekad untuk tetap bersemangat sampai akhir, menemani dan membantu bidan senior yang sedang bertugas dinas malam saat ini. Laila menunjukkan angka di Doppler pada bidan senior yang berdiri di samping nya. Bidan itu mengangguk. "Denyut jantung bayi sehat, kontraksi perut masih kurang aktif hang, Bu. Sekarang sudah waktu nya untuk periksa dalam. Mari diperiksa dulu."Pasien itu dengan mendesis menahan sakit di perut nya berusa
"Mas, aku telat tiga bulan. Aku bingung sekali karena setelah aku melakukan tes kehamilan, hasilnya positif ..."Hening sejenak lalu terdengar suara isak tangis lebih keras dari arah kamar Rina yang setengah terbuka itu. Laila seolah membeku di depan pintu kamar Rina. Badannya gemetar dan jantung nya berdebar kencang. Hilang sudah rasa lelah dan kantuknya setelah semalam dinas dengan pasien yang membludak. Gadis itu mematung di depan pintu kamar Rina, bingung dengan langkah apa yang sebaiknya dilakukan nya. Lama Laila menunggu apa yang akan dilakukan oleh Rina, sedangkan dia sendiri juga tengah "Mas, aku takut sama orang tuaku. Kamu mau kan menghadap orang tuaku bersama-sama. Kita harus menghadap orang tuaku, Mas! Aku ... takut. Hiks, hiks."Hening sejenak. Hanya helaan nafas Rina yang terdengar begitu putus asa. "Yang, kenapa kamu diam? Bicaralah dengan jelas. Apa yang harus aku lakukan sekarang?! Aku bingung. Pikiran ku benar-benar buntu," sambung Rina lagi.Gadis itu lalu menya
"Rina, berhenti! Jangan gil* kamu!"Laila dengan cepat menepis tangan kanan Rina yang sedang memegang cutter.Cutter itu terjatuh begitu saja di lantai. Rina terdiam dan menundukkan kepalanya saat Laila menyentuh bahunya dengan khawatir. "Rin, apa tangan mu sakit? Maaf kalau tadi aku terlalu kasar saat menepis ...,""Aku sudah hancur, Laila ..."Suara Rina begitu lirih terdengar. Kepala gadis itu tetap menunduk dengan rambut yang kusut masai. Laila terdiam. Sebenarnya dia tahu kalau telah lancang karena menguping percakapan temannya, tapi hal itu dilakukan nya karena dia sudah melihat Rina yang nyaris melakukan hal yang berbahaya, dan Laila tidak mau jika sahabat nya sampai melakukan hal yang lebih bod*h lagi. "Rin, aku tahu perasaan kamu. Aku akan membantu kamu untuk melewati hal ini," ujar Laila tulus. Suasana menjadi hening sejenak."Kamu tadi sudah menguping sampai mana?""Aku telah mendengar kan semuanya, Rin. Maafkan aku. Tapi aku akan ada selalu ada untuk kamu," sahut Laila
Tubuh Laila seakan membeku, dan Laila yakin bahwa Rina pun merasakan hal yang sama. "Bu, tapi Bu ..." Suara Rina nyaris seperti anak tikus yang terjepit saat melihat mata Bu Yanik melotot padanya. "Saya tidak bisa melakukan konsultasi laporan pasien sekarang. Urusan kamu lebih penting. Ayo ikut saya ke ruang periksa!" instruksi Bu Yanik terdengar tegas dan dingin. "Ba-baiklah, Bu," sahut Rina dengan suara lirih. Rina pun mengikuti Bu Yanik berjalan menuju ke ruang periksa. Ruang periksa yang dimaksud di sini adalah ruangan untuk melakukan ujian tahap atau ujian praktek. Ada sederet bed yang berfungsi untuk memeriksa pasien hamil saat ujian pemeriksaan kehamilan, patung-patung dan boneka peraga untuk ujian persalinan maupun perasat lain. Mata Rina dan Laila bertatapan saat Rina melewati teman nya itu menuju pintu keluar ruang dosen. Pandangan mata Rina seolah menyiratkan permintaan tolong pada Laila agar terlepas dari situasi seperti ini, tapi Laila pun tidak bisa berbuat apapu
"Yu, sakit perut kamu sudah semakin sering?" tanya Juleha yang baru saja muncul dari pintu kamar mandi ruang bersalin puskesmas membuat Laila terkejut. "Lho, Juleha? Kalian akan melahirkan bersamaan? Wah, Alhamdulillah. Semoga lancar ya proses persalinan nya," ujar Laila tulus seraya menurunkan kan tangan nya. Laila merasa Ayu dan Juleha tidak akan mau bersalaman dengannya tapi hal itu tidak menjadi masalah baginya. Juleha pun tidak kalah kaget melihat wajah Laila. "Kamu kok di sini sih? Bikin kaget saja!" cetus Juleha, menatap penuh rasa penasaran pada Laila dan Ayu bergantian. Laila hanya tersenyum. "Hm, aku memang sudah ijin pada kepala puskesmas untuk membantu persalinan di sini. Jangan cemas, aku sudah terlatih kok, insyaallah, tiga bulan lagi jadwalku wisuda. Jadi aku sudah resmi jadi bidan, Ju."Juleha melengos. "Aku tidak peduli dengan kapan kamu lulus. Kamu mau kesini karena mau pamer kalau kamu berhasil kuliah kan? Beda dengan kami yang sekarang justru akan menjadi emak
Laila seketika terbatuk dan tersedak nasi yang dimakan nya. "Uhuk ... Uhuk ...!"Dokter Marzuki langsung membukakan tutup botol air mineral milik Laila lalu mendekatkannya ke arah gadis itu. "Kenapa kamu, Mbak?" tanya Dokter Marzuki agak panik. Laila menyedot air mineral di botol nya lalu menghela nafas dalam-dalam. 'Heh, kok dokter yang nanya sih? Harusnya aku dong yang nanya kenapa hari ini pertanyaan nya aneh banget?" tanya Laila dalam hati. Setelah Laila tidak terbatuk-batuk lagi, dokter Marzuki menatap Laila lalu mengulangi pertanyaannya. "Jadi, apa kamu sudah punya pacar, La?" "Nah itu dia!" sahut Laila seraya meletakkan garpu dan sendok nya ke mangkuk. Gadis itu lalu menyedekapkan kedua tangannya di depan dada, membuat dokter Marzuki mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu, La?""Dokter, selama ini kan Dokter nggak pernah sekalipun bertanya saya dekat dengan siapa atau saya pacaran dengan siapa kan? Kok sekarang mendadak dokter tanya siapa pacar saya? Jelas saja kalau saya
Tiara mendelik, dia langsung terduduk di ranjang hotel dan memutar ulang video yang menampilkan sosoknya yang sedang marah-marah. "Sial*n! Siapa yang telah merekam dan mempermalukanku? Ini pasti kerjaan bocil genit itu! Bisa-bisa nya mas Marzuki mencintai anak kecil padahal aku masih hidup. Aku tidak terima! Aku akan membalas bocil itu!"Tangan Tiara mengepal. "Tapi apa yang bisa aku lakukan untuk membuat mas Marzuki meninggalkan bocil itu?!"Tiara berdiri lalu mondar mandir di dalam kamar hotelnya, mencari ide untuk membuat Marzuki membenci Laila. Mendadak sebuah ide terlintas di kepalanya. "Ah, betul juga! Kalau wajah Laila menjadi cacat, Mas Marzuki dan Yasmin pasti tidak mau mendekati bocil itu lagi. Dan saat itulah aku akan merebut perhatian mereka. Mereka pasti akan menerima perhatian dariku," desis Tiara dengan penuh keyakinan. Dia lantas membuka internet lalu mencari tahu di online shop tentang barang yang bisa membantu rencananya. ***Laila dengan tangan gemetar mencelupk
Tiara yang sudah mengenal suara di belakang nya menghela nafas dan berbalik ke belakang. "Hai, Mas Rizki. Kamu sampai di sini juga?" tanya Tiara berbasa basi seraya menyedekapkan kedua tangan di depan dadanya. "Tentu saja. Setelah kamu minggat, aku langsung memerintahkan orang untuk mencari keberadaan kamu. Ternyata kamu di sini. Jauh-jauh dari jakarta ke kota terpencil ini hanya untuk mengganggu suami orang. Ck, ck, aku tidak menyangka kalau kamu akan berbuat sesuatu seperti ini. Kamu benar-benar berbakat menjadi pelakor, Ti," sahut Rizki, sang suami. Tiara tergelak. "Pelakor? Hati-hati kalau kamu bicara, Mas! Dia mantan suamiku, jadi aku ...""Memang di masa lalu, dia adalah suami kamu. Tapi saat ini dia kan sudah mempunyai keluarga baru, istri baru, seharusnya kamu tahu diri dan tidak merusak kehidupan rumah tangganya!"Tawa Tiara semakin terdengar keras. "Hahaha! Kamu ini lucu sekali, Mas! Kamu dulu menjadi pebinor dan merebutku dari mas Marzuki sehingga kami bercerai, dan sek
"Mas, tolong aku!" ujar Tiara dengan penuh harap menatap ke arah Marzuki. "Aku mengalami KDRT! Aku kabur dari suamiku! Tolong tampung aku di rumah kamu, Mas!" seru Tiara lagi dengan sangat memelas. Laila mendelik, sebenarnya dalam hatinya sangat ingin mencakar dan menjambak Tiara. Tapi ditahannya karena Laila tidak mau mengotori tangan nya dengan memegang sampah. Wajah Marzuki menegang melihat Tiara yang datang menemui mereka, apalagi di hadapan Yasmin. "Kok kamu bisa kesini?" tanya Marzuki dengan wajah parau. Ditatapnya wajah dan tubuh Tiara yang terdapat lebam-lebam di beberapa tempat. "Mas, kalau enggak di sini, aku harus kemana? Lihatlah luka-luka di tubuhku ini. Aku dipukuli suami ku. Tidakkah kamu kasihan, Mas? Aku hanya punya kamu. Kamu kan tahu kalau orang tuaku meninggal sejak SMA dan aku bisa hidup karena bantuan kamu," ujar Tiara dengan wajah memelas. Baru saja Laila hendak merespon ucapan Tiara saat Marzuki menunjuk wajah Tiara dengan serius. "Kamu tahu bahwa hanya a
Laila terbangun dan merab* ranjang di samping nya."Kok kosong? Mana mas Marzuki ya?" gumam Laila lalu duduk di atas ranjang dan melihat sekeliling kamar."Mungkin masih salat di masjid atau lihat tivi. Hm, ini kan hari Minggu. Puskesmas libur dan hanya on call," ujar Laila lagi. Dia melihat ke arah jam di kamar. "Sudah jam lima nih. Musti mandi dulu sebelum salat."Laila pun bergegas ke kamar mandi yang terletak di dalam kamar lalu segera membersihkan diri. Setelah mandi dan menunaikan salat subuh, Laila mengering kan rambut nya dengan hair dryer lalu keluar dari kamar. "Mama! Selamat ulang tahun!" seru Yasmin riang begitu Laila membuka pintu kamarnya. Laila yang saat itu sedang mengenakan daster warna kuning merasa sangat bahagia dan terkejut saat melihat kue berbentuk lingkaran mungil yang sedang dipegang oleh Yasmin. Lalu dari arah belakang tampak Marzuki yang sedang mengenakan celemek dan membawa sendok sayur sedang berjalan menuju ke arah Laila dan Yasmin. Sedangkan bi Inah
Laila terbangun saat merasakan dinginnya AC yang menyentuh kulitnya, dengan segera di Laila menarik selimut nya lagi. "Dingin ya?" sapa sebuah suara yang berbisik di telinga Laila. Laila mengangguk manja. Dan Marzuki yang ada di belakang Laila memeluk erat sang istri semakin erat. "Ya sudah. Aku peluk lagi. Atau kamu mau kita mengulang yang semalam?" tanya Marzuki seraya menciumi pundak dan punggung Laila sehingga perempuan itu terkikik geli dan manja. "Mas, geli tahu!" bisik Laila lalu membalikkan badannya ke arah Marzuki. Mereka saling bertatapan di dalam remang cahaya lampu kamar tidur. Laila memandang jam bulat melalui pundak Marzuki yang tertempel di dinding kamar. 'Masih jam satu rupanya.'Marzuki meletakkan tangannya ke pipi Laila dan berbisik merdu. "Kenapa kamu memandang kearah belakang ku? Aku hanya ingin kamu menatap ke arahku, Sayang."Marzuki menangkup wajah Laila lalu mengecup pipi istrinya perlahan. Laila mengalihkan pandangan nya ke arah Marzuki. "Lalu aku harus
"Mama! Papa!" Yasmin melambaikan tangan pada Laila dan Marzuki dari layar ponsel. "Sayang!" Laila memberikan kecup jauh untuk gadis kecil itu."Mama dimana?" tanya Yasmin lagi."Bagaimana ini, Yang? Kita jemput Yasmin di pintu masuk hotel. Daripada nanti dia bertemu dengan Tiara lebih dulu."Marzuki menoleh pada Laila dan terlihat bingung."Baiklah Mas, ayo kita jemput mami dan Yasmin." Laila menarik tangan Marzuki dan mereka berjalan menuju gapura pintu masuk hotel."Mama!"Yasmin berlari dan menghambur memeluk Laila. "Hap!"Laila memeluk Yasmin beberapa lama, lalu melanjutkan langkah menuju papi dan mami kemudian mencium punggung tangan keduanya."Yasmin sudah makan?" tanya Laila sambil mengelus kepala Yasmin perlahan. "Belum, Ma.""Ayo makan dulu ke resto. Restonya bagus dan ada kolam renangnya." Laila berjalan mendahului Marzuki dan orangtuanya menuju ke resto."Yasmin mau makan apa?" tanya Marzuki."Ayam goreng, Pa."Marzuki segera menulis ayam goreng krispi di kertas menu l
Dokter 91"Insyallah saya lebih baik dalam mengasuhnya daripada sang ibu kandung yang menelantarkannya. Dan jangan coba-coba mendekati suami saya setelah Mbak dengan semena-mena membuangnya. Tolong jangan hadir sebagai orang ketiga diantara kami. Terimakasih atas pengertiannya," kata Laila seraya memandang tajam pada Tiara. Laila melihat tangan Tiara yang putih terkepal di atas meja kafe. "Kalem saja Mbak. Bukankah mbak sudah punya suami juga? Jadi mari kita berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."Tiara menatap tajam ke arah Laila. "Tunggu saja Laila. Saya pastikan kita akan segera bertemu lagi. Bagaimanapun Yasmin itu adalah darah daging saya. Dan saya pastikan Mas Marzuki akan menceraikan kamu!"Tiara mengacungkan telunjuknya ke arah Laila. Dan Laila menurunkan telunjuk Tiara dengan santai. "Oh ya? Baru ingat kalau masih punya darah daging? Kemana saja kamu selama ini saat Yasmin kesepian dan tidak punya teman bermain karena ibunya menghilang?"Kamu yang tidak tahu
"Tiara?" gumam Marzuki kaget.Laila juga tidak kalah kagetnya karena dia ingat betul siapa Tiara itu."Tolong! Ada yang berprofesi dokter di sini? Atau tenaga medis? Perempuan ini dadanya tidak bergerak lagi."'Ya benar! Walaupun aku belum pernah melihat fotonya, tapi aku yakin dia pasti ibunya Yasmin. Garis wajah dan lengkung bibirnya yang sensual sama persis dengan gadis kecil itu. Kenapa dia di sini. Apa mas Marzuki sengaja mengajakku ke sini untuk mencari ibu Yasmin lagi? Tapi perempuan itu butuh tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Ya Tuhan, jika mas Marzuki yang melakukan CPR, hatiku tidak ikhlas karena kalau memberikan nafas buatan, bib*r mereka akan langsung bersentuhan. Bagaimana ini?' gumam Laila bingung.Hati Laila berperang antara rasa cemburu dan rasa kemanusiaan. Digenggamnya tangan Marzuki yang berdiri di sebelahnya. Terasa dingin dan tatapan matanya seakan juga menyiratkan kegalauan dan kebimbangan hati.'Mas, apakah masih ada namanya di hatimu?'Laila menghela
Aku tidak ingin kamu hanya menjadi seperti pelangi di langit ku, yang hanya muncul setelah hujan sejenak kemudian meninggalkan pergi.***Beberapa hari setelahnya,"Wah bagus sekali kamar hotel yang kamu pesan, Mas," kata Laila seraya membuka tirai kamar dan memandang keluar. Langsung terlihat kolam renang yang dikelilingi perpaduan rumpun mawar dan pohon palem botol sebagai pagar hidupnya."Kamu suka?" tanya dokter Marzuki memeluk Laila dari belakang. Hembusan napasnya terasa hangat di telinga.Sekarang musim liburan sekolah, dan Marzuki memutuskan untuk mengajak Laila bulan madu di Bali, sedangkan Yasmin ingin menghabiskan liburannya di rumah Ambar dan Iwan. "Suka banget Mas. Makasih ya," sahut Laila lalu membalikkan badan dan mengecup hidung dokter Marzuki dengan lembut."Kamu ..., minta jatah ya?"Pertanyaan Marzuki membuat Laila nyaris tersedak."Apa? Nggak kok! Memang kalau istri mencium suami lebih dahulu berarti minta gituan ya?" tanya Laila manyun tapi tetap mengalungkan ked