🏵️🏵️🏵️
“Saya nggak mungkin hamil, Dok.” Aku tidak dapat membendung air mata melihat hasil laporan kesehatanku dari dokter siang ini di rumah sakit.
“Tapi saya nggak mungkin salah, Mbak. Nama yang tertera di kertas itu juga nama Mbak. Lily Amelia.”
Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Jangankan punya suami, pacar pun aku tidak punya. Aku tidak percaya dengan penjelasan dokter. Aku tetap beranggapan kalau beliau telah melakukan kesalahan.
Aku sangat ingat, kurang lebih dua minggu yang lalu, aku mendatangi rumah sakit ini untuk memeriksa keadaan perutku yang tiba-tiba sakit. Setelah mengonsumsi obat dari dokter, aku kembali sehat seperti sediakala.
Akan tetapi, hari ini aku kembali ke tempat ini karena merasakan sesuatu yang aneh tadi pagi sebelum berangkat ke kampus. Ketika buang air kecil, aku melihat bercak darah di pakaian dalam yang kukenakan. Padahal belum saatnya kedatangan tamu bulanan.
Aku sengaja tidak memberitahukan kepada Bunda karena tidak ingin membuatnya khawatir. Sejak kepergian Ayah menghadap Sang Pencipta dua bulan yang lalu, kesehatan Bunda sedikit menurun. Aku tahu kalau beliau merasa sangat kehilangan.
Untung Kak Bara dan Kak Hana—istrinya, juga Naya—anak mereka, memilih tinggal di rumah setelah kepergian Ayah. Bunda pun merasa terhibur dengan kelucuan cucunya. Bunda juga mengaku sangat bersyukur memiliki menantu seperti Kak Hana.
Sekarang, aku tidak tahu harus bagaimana menyampaikan hal memalukan ini kepada Bunda dan Kak Bara. Mereka pasti akan berpikiran tidak baik terhadapku. Seorang gadis yang belum menikah, tiba-tiba dinyatakan positif hamil.
“Bagaimana mungkin saya bisa hamil, Dok? Anda harus tahu kalau saya belum menikah.” Aku masih tetap tidak ingin percaya melihat hasil yang terdapat di kertas itu.
“Tapi itu kenyataannya, Mbak.”
“Saya ingin ketemu dengan dokter yang memeriksa saya dua minggu yang lalu.” Aku berharap mendapatkan penjelasan atas hasil yang tertera di kertas tersebut.
“Beliau sedang cuti karena ada urusan di luar kota.”
“Apa?”
Bagaimana caranya aku mendapatkan penjelasan jika dokter yang memeriksa keadaanku saat itu, sedang tidak berada di tempat? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Kepada siapa aku harus mengadu?
🏵️🏵️🏵️
Aku tidak mengerti, kenapa setelah mengetahui diriku sedang hamil saat ini, rasa mual tiba-tiba muncul. Bagaimana ini? Jangan sampai orang-orang di rumah tahu dengan keadaanku sekarang. Aku pun memilih segera menuju kamar.
Setelah makan malam tadi, kami sekeluarga seperti biasanya, bersantai di ruang TV. Kak Bara bercerita kalau dirinya diangkat menjadi direktur di kantor tempatnya bekerja karena direktur lama meminta dimutasi ke kota lain.
Aku melihat kebahagiaan terpancar di wajah Bunda. Namun, tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Aku berpikir kalau beliau pasti terharu dengan pencapaian Kak Bara. Aku pun mengusap punggung wanita yang melahirkanku tersebut.
“Seandainya Ayah kalian masih ada, pasti bahagia banget melihat kesuksesan anaknya.” Bunda pun membuka suara. Ternyata beliau sedang mengingat Ayah.
Melihat kesedihan di wajah Bunda, aku makin takut dengan kehamilanku. Aku tidak tahu harus bagaimana menyampaikan kenyataan ini kepadanya. Ditambah lagi dengan rasa mual yang datang tiba-tiba hingga membuatku memilih beranjak menuju kamar.
Tadi dokter akhirnya mendapatkan informasi mengenai kehamilanku. Dia pun memberikan penjelasan. Aku ingin menangis mendengar kenyataan yang dia sampaikan. Ternyata seseorang meminta dokter yang memeriksaku saat itu, melakukan inseminasi buatan.
Siapa yang sengaja berbuat seperti itu kepadaku? Apa dia tidak tahu kalau perbuatannya ini termasuk kejahatan? Kenapa aku seolah-olah terbius saat dokter melakukan inseminasi buatan tersebut? Apa karena aku terlalu menahan rasa sakit hingga tidak menyadari apa yang terjadi?
Siapa yang menanam benih di rahimku? Anak siapa yang aku kandung? Bagaimana aku menjelaskan ini kepada keluarga? Aku tidak tahu seperti apa reaksi mereka jika mengetahui kejadian aneh ini.
Jika perutku makin membesar, apa kata orang-orang atau teman-teman di kampus? Mungkin mereka akan mengolok-olokku karena hamil di luar nikah. Apa mereka akan percaya kalau aku mengaku tidak pernah melakukan hubungan layaknya suami istri?
Tanpa diminta, air mataku terjun bebas dari tempatnya. Siapa pun tidak akan terima berada di posisi seperti ini. Aku tidak sanggup menanggung beban ini sendirian. Sampai kapan aku menyembunyikan kebenaran ini dari keluargaku? Tidaaak!
“Ly, kamu kenapa?” Aku dikagetkan suara Kak Hana sambil mengetuk pintu.
🏵️🏵️🏵️Bagaimana ini? Apa mungkin Kak Hana mendengar tangisan dan teriakanku? Jangan sampai kakak iparku itu menyampaikan apa yang dia dengar kepada Bunda dan Kak Bara. Aku harus segera membenahi diri dan berusaha bersikap tenang.Aku pun mengusap air mataku lalu melangkah untuk membuka pintu. Aku berusaha tersenyum kepada Kak Hana supaya dia tidak curiga dengan apa yang aku lakukan tadi. Aku belum mampu menceritakan apa yang terjadi saat ini kepadanya.“Tadi Kakak dengar ada suara nangis sambil teriak.” Ternyata dugaanku benar, Kak Hana mengetahui apa yang kulakukan.“Oh, itu suara dari TV, Kak. Tadi aku lagi nonton. Tapi pas dengar suara Kakak, aku langsung matiin TV-nya.” Aku terpaksa berbohong kepadanya.“Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu, ‘kan, dari Kakak?” Sepertinya dia tidak percaya dengan alasan yang kuberikan.“Nggak, Kak.” “Kalau memang lagi ada masalah, jangan sungkan untuk cerita ke Kakak.” Kak Hana mengusap pundakku lalu beranjak dari depan kamarku.Terus terang, a
🏵️🏵️🏵️Kak Bara langsung membopong Bunda ke kasur yang ada di ruang TV lalu membaringkannya. Kak Hana turut mengikuti. Sementara aku masih tetap menangis mengingat penuturan lelaki tadi.“Apa maksud ucapan Anda tadi? Anda puas melihat Bunda saya pingsan?” Kak Bara kembali ke ruang tamu sambil meninggikan suaranya.“Tapi itu kenyataan, Nak. Dia sedang mengandung cucu kami.” Laki-laki itu memberikan balasan sembari menunjuk ke arahku.“Adik saya tidak sehina yang Anda tuduhkan. Saya tidak terima dengan fitnah Anda. Saya minta sekarang, pergi dari rumah ini!” Kak Bara tampak sangat marah.“Mas! Bunda udah sadar!” Terdengar suara teriakan Kak Hana.Aku dan Kak Bara langsung menuju ruang TV. Aku langsung memeluk Bunda dan meminta ampun kepadanya. Walaupun kehamilanku bukan karena keinginanku, tetapi aku tetap merasa bersalah terhadap wanita yang telah melahirkanku itu.“Kenapa kamu minta maaf, Sayang?” tanya Bunda setelah aku melepas pelukan.“Lily hamil, Bun.” Aku tidak sanggup lagi me
🏵️🏵️🏵️Ketika Alex hendak melangkah, tiba-tiba perutku terasa kram. “Auh!” Aku merintih kesakitan.“Kamu kenapa, Ly?” Alex langsung menghampiriku lalu memegang tanganku.“Jangan sentuh anak saya!” Bunda langsung menepiskan tangan Alex.“Saya khawatir dengan keadaan Lily, Bu.” Alex menunjukkan wajah panik.“Kamu nggak ada hak atas anak saya. Pergi dari rumah saya.” Bunda seolah-olah tidak peduli dengan ucapan Alex.Kak Hana yang sejak tadi hanya sebagai pendengar, tiba-tiba membuka suara. “Kasihan Lily, Bun. Saat seperti ini, dia pasti butuh ayah dari anak dalam kandungannya.”“Lebih kasihan lagi kalau Lily jatuh ke tangan penjahat seperti mereka.” Bunda memberikan balasan sambil melihat ke arah Alex, kemudian pandangannya berpindah ke Pak Fandy dan Bu Laras yang belum beranjak dari ruang TV.Aku sangat tahu bagaimana perasaan Bunda saat ini. Beliau pasti terpukul dengan apa yang terjadi terhadapku. Selama ini, Bunda selalu mengaku bangga memiliki anak-anak yang berbakti kepada oran
🏵️🏵️🏵️“Om yang mana?” Kak Bara bertanya kepada Naya.“Tadi di depan, Pah.”“Apa Om yang tadi ke sini, Sayang?” Sekarang, Kak Hana yang bertanya.“Bukan, Mah. Naya belum pernah lihat Om-nya.” Naya memberikan jawaban sambil menggeleng. Itu artinya, Alex bukan pengirim buket bunga itu. Aaargh! Kenapa aku berpikir kalau pemuda itu yang mengirimnya?“Ya udah, Naya main lagi, ya.” Kak Hana sepertinya ingin melanjutkan pembicaraan kami tadi. Mungkin dia tidak ingin anaknya mendengar obrolan orang dewasa.“Iya, Mah.” Naya menyunggingkan senyuman lalu beranjak. Biasanya dia bermain di teras depan.Terus terang, walaupun saat ini aku tetap memikirkan kehamilanku dan nasibku ke depannya, tetapi aku juga penasaran dengan seseorang yang telah mengirim bunga kepadaku. Apa tujuannya melakukan itu?Mungkin jika aku tidak sedang mengandung saat ini, aku pasti akan bahagia menyambut perhatian dan kejutan orang yang mengirimkan bunga itu. Namun, kenyataan tidak seindah harapan. Aku justru merasakan
🏵️🏵️🏵️“Saya sengaja jemput kamu,” ucap pemuda yang tadi berdiri di samping mobilnya. Dia Alex.“Saya bisa pulang sendiri, Pak.” Aku memberikan balasan. Aku sengaja memanggilnya dengan sebutan ‘Pak’ karena dia bos di kantor keluarganya. Kak Hana yang menceritakan hal itu kepadaku.“Kamu tanggung jawab saya sekarang.” Aku terkejut mendengar ucapannya.“Apa? Tanggung jawab?” Kak Andrew tampak kaget. “Siapa orang ini, Ly?” tanya pemuda itu kepadaku sambil menunjuk Alex.“Saya ….” Sebelum Alex melanjutkan apa yang ingin dia katakan, aku memberikan isyarat supaya diam. Jangan sampai dia menceritakan tentang kehamilanku kepada Kak Andrew karena aku belum siap untuk itu.“Kenalin, Kak … beliau adik sepupu Ayah. Namanya Pak Alex.” Aku pun memperkenalkan Alex kepada Kak Andrew. Aku terpaksa berbohong.“Kok, kamu nggak panggil ‘Om’?”Kepalaku makin pusing mendengar balasan Kak Andrew. Kenapa, sih, dia mempermasalahkan sebutan yang aku gunakan untuk Alex? Aku harus cari alasan lagi agar dia t
🏵️🏵️🏵️“Apa yang ada dalam pikiran kamu, Sayang?” Bunda memegang kedua lenganku setelah kami duduk di ruang TV. “Harusnya kamu menghindari laki-laki yang udah menghancurkan masa depanmu.”Mungkin benar kata Bunda, tidak seharusnya aku membiarkan Alex untuk mendekatiku karena perbuatan orang tuanya adalah kejahatan. Namun, kenapa aku tidak mampu menolak laki-laki itu? Ada apa denganku?“Maafin Lily, Bun, tapi tadi perut Lily kram lagi. Dia yang bawa Lily ke rumah sakit.” Aku pun memberikan penjelasan kepada Bunda.“Kenapa kamu nggak hubungi Kak Bara atau Kak Hana?”“Tadi Pak Alex jemput Lily ke kampus, Bun.”“Jangan sebut namanya di depan Bunda!” Wanita yang melahirkanku itu menaikkan suara. Entah kenapa sikap lembut yang beliau miliki selama ini seolah-olah hilang. Mungkin karena masih sangat terpukul atas kepergian Ayah.“Dek! Obat kamu masih sama saya.” Aku mendengar suara Alex. Kenapa dia tidak menyebut namaku?“Ternyata dia belum pergi? Apa lagi yang dia inginkan?” Wajah Bunda
🏵️🏵️🏵️Aku tetap tidak ingin menjawab telepon tersebut walaupun nada deringnya telah beberapa kali mengeluarkan suara. Mungkin lebih baik aku merebahkan tubuh sambil mengingat kenangan bersama Ayah. Aku sangat merindukan apa pun yang beliau lakukan dulu.Baru saja aku akan membuka album foto di ponsel untuk memandang wajah tampan Ayah, tiba-tiba ada pesan masuk. Aku pun membukanya, ternyata pengirimnya adalah nomor yang tadi menelepon.[Kenapa nggak angkat telepon saya, Dek?] Isi pesan masuk tersebut.[Maaf, ini siapa?] Aku memberikan balasan.[Ini Alex.]Apa? Dari mana laki-laki itu mendapatkan nomor ponselku? Apa mungkin dari Kak Hana? Seandainya Bunda tahu hal ini, entah apa yang akan beliau lakukan. Aku tidak yakin jika wanita yang melahirkanku itu akan membiarkan anak bungsunya ini membalas pesan dari Alex.[Saya telepon lagi, ya. Tolong diangkat. Saya mau ngomong.] Alex kembali mengirim pesan.[Ada perlu apa, Pak?] Aku ingin tahu apa tujuannya meneleponku.[Apa kamu tidak ber
🏵️🏵️🏵️Alex tetap membawaku ke salah satu restoran ternama di kota ini. Namun, aku sangat terkejut melihat sikap para pekerja di tempat ini. Mereka menunduk lalu mengucapkan salam kepada Alex. Apa mungkin karena laki-laki itu seorang bos perusahaan? Di samping itu, Alex juga membawaku ke ruangan VIP. “Tolong siapkan menu yang telah saya pesan tadi,” ucap Alex kepada beberapa pelayan restoran.“Baik, Pak.” Mereka memberikan balasan lalu beranjak.Tiba-tiba aku merasakan mual, padahal tidak ada aroma makanan. Apa mungkin karena sedang bersama Alex? Selalu seperti itu. Anak dalam kandunganku mungkin sangat menyadari keberadaan ayahnya.“Kamu mual lagi, Dek?” tanya Alex.“Iya, Pak.”“Saya antar ke toilet, ya.” Dia pun berdiri lalu memapahku.Aku telah berusaha untuk mengeluarkan sesuatu yang membuatku mual, tetapi tidak berhasil. Hanya air liur saja yang keluar. Terus terang, aku lelah dengan keadaan seperti ini. Aku pun meminta agar kami kembali duduk.Ternyata menu pesanan Alex telah
🏵️🏵️🏵️Alex tetap membawaku ke salah satu restoran ternama di kota ini. Namun, aku sangat terkejut melihat sikap para pekerja di tempat ini. Mereka menunduk lalu mengucapkan salam kepada Alex. Apa mungkin karena laki-laki itu seorang bos perusahaan? Di samping itu, Alex juga membawaku ke ruangan VIP. “Tolong siapkan menu yang telah saya pesan tadi,” ucap Alex kepada beberapa pelayan restoran.“Baik, Pak.” Mereka memberikan balasan lalu beranjak.Tiba-tiba aku merasakan mual, padahal tidak ada aroma makanan. Apa mungkin karena sedang bersama Alex? Selalu seperti itu. Anak dalam kandunganku mungkin sangat menyadari keberadaan ayahnya.“Kamu mual lagi, Dek?” tanya Alex.“Iya, Pak.”“Saya antar ke toilet, ya.” Dia pun berdiri lalu memapahku.Aku telah berusaha untuk mengeluarkan sesuatu yang membuatku mual, tetapi tidak berhasil. Hanya air liur saja yang keluar. Terus terang, aku lelah dengan keadaan seperti ini. Aku pun meminta agar kami kembali duduk.Ternyata menu pesanan Alex telah
🏵️🏵️🏵️Aku tetap tidak ingin menjawab telepon tersebut walaupun nada deringnya telah beberapa kali mengeluarkan suara. Mungkin lebih baik aku merebahkan tubuh sambil mengingat kenangan bersama Ayah. Aku sangat merindukan apa pun yang beliau lakukan dulu.Baru saja aku akan membuka album foto di ponsel untuk memandang wajah tampan Ayah, tiba-tiba ada pesan masuk. Aku pun membukanya, ternyata pengirimnya adalah nomor yang tadi menelepon.[Kenapa nggak angkat telepon saya, Dek?] Isi pesan masuk tersebut.[Maaf, ini siapa?] Aku memberikan balasan.[Ini Alex.]Apa? Dari mana laki-laki itu mendapatkan nomor ponselku? Apa mungkin dari Kak Hana? Seandainya Bunda tahu hal ini, entah apa yang akan beliau lakukan. Aku tidak yakin jika wanita yang melahirkanku itu akan membiarkan anak bungsunya ini membalas pesan dari Alex.[Saya telepon lagi, ya. Tolong diangkat. Saya mau ngomong.] Alex kembali mengirim pesan.[Ada perlu apa, Pak?] Aku ingin tahu apa tujuannya meneleponku.[Apa kamu tidak ber
🏵️🏵️🏵️“Apa yang ada dalam pikiran kamu, Sayang?” Bunda memegang kedua lenganku setelah kami duduk di ruang TV. “Harusnya kamu menghindari laki-laki yang udah menghancurkan masa depanmu.”Mungkin benar kata Bunda, tidak seharusnya aku membiarkan Alex untuk mendekatiku karena perbuatan orang tuanya adalah kejahatan. Namun, kenapa aku tidak mampu menolak laki-laki itu? Ada apa denganku?“Maafin Lily, Bun, tapi tadi perut Lily kram lagi. Dia yang bawa Lily ke rumah sakit.” Aku pun memberikan penjelasan kepada Bunda.“Kenapa kamu nggak hubungi Kak Bara atau Kak Hana?”“Tadi Pak Alex jemput Lily ke kampus, Bun.”“Jangan sebut namanya di depan Bunda!” Wanita yang melahirkanku itu menaikkan suara. Entah kenapa sikap lembut yang beliau miliki selama ini seolah-olah hilang. Mungkin karena masih sangat terpukul atas kepergian Ayah.“Dek! Obat kamu masih sama saya.” Aku mendengar suara Alex. Kenapa dia tidak menyebut namaku?“Ternyata dia belum pergi? Apa lagi yang dia inginkan?” Wajah Bunda
🏵️🏵️🏵️“Saya sengaja jemput kamu,” ucap pemuda yang tadi berdiri di samping mobilnya. Dia Alex.“Saya bisa pulang sendiri, Pak.” Aku memberikan balasan. Aku sengaja memanggilnya dengan sebutan ‘Pak’ karena dia bos di kantor keluarganya. Kak Hana yang menceritakan hal itu kepadaku.“Kamu tanggung jawab saya sekarang.” Aku terkejut mendengar ucapannya.“Apa? Tanggung jawab?” Kak Andrew tampak kaget. “Siapa orang ini, Ly?” tanya pemuda itu kepadaku sambil menunjuk Alex.“Saya ….” Sebelum Alex melanjutkan apa yang ingin dia katakan, aku memberikan isyarat supaya diam. Jangan sampai dia menceritakan tentang kehamilanku kepada Kak Andrew karena aku belum siap untuk itu.“Kenalin, Kak … beliau adik sepupu Ayah. Namanya Pak Alex.” Aku pun memperkenalkan Alex kepada Kak Andrew. Aku terpaksa berbohong.“Kok, kamu nggak panggil ‘Om’?”Kepalaku makin pusing mendengar balasan Kak Andrew. Kenapa, sih, dia mempermasalahkan sebutan yang aku gunakan untuk Alex? Aku harus cari alasan lagi agar dia t
🏵️🏵️🏵️“Om yang mana?” Kak Bara bertanya kepada Naya.“Tadi di depan, Pah.”“Apa Om yang tadi ke sini, Sayang?” Sekarang, Kak Hana yang bertanya.“Bukan, Mah. Naya belum pernah lihat Om-nya.” Naya memberikan jawaban sambil menggeleng. Itu artinya, Alex bukan pengirim buket bunga itu. Aaargh! Kenapa aku berpikir kalau pemuda itu yang mengirimnya?“Ya udah, Naya main lagi, ya.” Kak Hana sepertinya ingin melanjutkan pembicaraan kami tadi. Mungkin dia tidak ingin anaknya mendengar obrolan orang dewasa.“Iya, Mah.” Naya menyunggingkan senyuman lalu beranjak. Biasanya dia bermain di teras depan.Terus terang, walaupun saat ini aku tetap memikirkan kehamilanku dan nasibku ke depannya, tetapi aku juga penasaran dengan seseorang yang telah mengirim bunga kepadaku. Apa tujuannya melakukan itu?Mungkin jika aku tidak sedang mengandung saat ini, aku pasti akan bahagia menyambut perhatian dan kejutan orang yang mengirimkan bunga itu. Namun, kenyataan tidak seindah harapan. Aku justru merasakan
🏵️🏵️🏵️Ketika Alex hendak melangkah, tiba-tiba perutku terasa kram. “Auh!” Aku merintih kesakitan.“Kamu kenapa, Ly?” Alex langsung menghampiriku lalu memegang tanganku.“Jangan sentuh anak saya!” Bunda langsung menepiskan tangan Alex.“Saya khawatir dengan keadaan Lily, Bu.” Alex menunjukkan wajah panik.“Kamu nggak ada hak atas anak saya. Pergi dari rumah saya.” Bunda seolah-olah tidak peduli dengan ucapan Alex.Kak Hana yang sejak tadi hanya sebagai pendengar, tiba-tiba membuka suara. “Kasihan Lily, Bun. Saat seperti ini, dia pasti butuh ayah dari anak dalam kandungannya.”“Lebih kasihan lagi kalau Lily jatuh ke tangan penjahat seperti mereka.” Bunda memberikan balasan sambil melihat ke arah Alex, kemudian pandangannya berpindah ke Pak Fandy dan Bu Laras yang belum beranjak dari ruang TV.Aku sangat tahu bagaimana perasaan Bunda saat ini. Beliau pasti terpukul dengan apa yang terjadi terhadapku. Selama ini, Bunda selalu mengaku bangga memiliki anak-anak yang berbakti kepada oran
🏵️🏵️🏵️Kak Bara langsung membopong Bunda ke kasur yang ada di ruang TV lalu membaringkannya. Kak Hana turut mengikuti. Sementara aku masih tetap menangis mengingat penuturan lelaki tadi.“Apa maksud ucapan Anda tadi? Anda puas melihat Bunda saya pingsan?” Kak Bara kembali ke ruang tamu sambil meninggikan suaranya.“Tapi itu kenyataan, Nak. Dia sedang mengandung cucu kami.” Laki-laki itu memberikan balasan sembari menunjuk ke arahku.“Adik saya tidak sehina yang Anda tuduhkan. Saya tidak terima dengan fitnah Anda. Saya minta sekarang, pergi dari rumah ini!” Kak Bara tampak sangat marah.“Mas! Bunda udah sadar!” Terdengar suara teriakan Kak Hana.Aku dan Kak Bara langsung menuju ruang TV. Aku langsung memeluk Bunda dan meminta ampun kepadanya. Walaupun kehamilanku bukan karena keinginanku, tetapi aku tetap merasa bersalah terhadap wanita yang telah melahirkanku itu.“Kenapa kamu minta maaf, Sayang?” tanya Bunda setelah aku melepas pelukan.“Lily hamil, Bun.” Aku tidak sanggup lagi me
🏵️🏵️🏵️Bagaimana ini? Apa mungkin Kak Hana mendengar tangisan dan teriakanku? Jangan sampai kakak iparku itu menyampaikan apa yang dia dengar kepada Bunda dan Kak Bara. Aku harus segera membenahi diri dan berusaha bersikap tenang.Aku pun mengusap air mataku lalu melangkah untuk membuka pintu. Aku berusaha tersenyum kepada Kak Hana supaya dia tidak curiga dengan apa yang aku lakukan tadi. Aku belum mampu menceritakan apa yang terjadi saat ini kepadanya.“Tadi Kakak dengar ada suara nangis sambil teriak.” Ternyata dugaanku benar, Kak Hana mengetahui apa yang kulakukan.“Oh, itu suara dari TV, Kak. Tadi aku lagi nonton. Tapi pas dengar suara Kakak, aku langsung matiin TV-nya.” Aku terpaksa berbohong kepadanya.“Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu, ‘kan, dari Kakak?” Sepertinya dia tidak percaya dengan alasan yang kuberikan.“Nggak, Kak.” “Kalau memang lagi ada masalah, jangan sungkan untuk cerita ke Kakak.” Kak Hana mengusap pundakku lalu beranjak dari depan kamarku.Terus terang, a
🏵️🏵️🏵️“Saya nggak mungkin hamil, Dok.” Aku tidak dapat membendung air mata melihat hasil laporan kesehatanku dari dokter siang ini di rumah sakit.“Tapi saya nggak mungkin salah, Mbak. Nama yang tertera di kertas itu juga nama Mbak. Lily Amelia.”Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Jangankan punya suami, pacar pun aku tidak punya. Aku tidak percaya dengan penjelasan dokter. Aku tetap beranggapan kalau beliau telah melakukan kesalahan.Aku sangat ingat, kurang lebih dua minggu yang lalu, aku mendatangi rumah sakit ini untuk memeriksa keadaan perutku yang tiba-tiba sakit. Setelah mengonsumsi obat dari dokter, aku kembali sehat seperti sediakala.Akan tetapi, hari ini aku kembali ke tempat ini karena merasakan sesuatu yang aneh tadi pagi sebelum berangkat ke kampus. Ketika buang air kecil, aku melihat bercak darah di pakaian dalam yang kukenakan. Padahal belum saatnya kedatangan tamu bulanan.Aku sengaja tidak memberitahukan kepada Bunda karena tidak ingin membuatnya khawatir. Sejak ke