🏵️🏵️🏵️
Kak Bara langsung membopong Bunda ke kasur yang ada di ruang TV lalu membaringkannya. Kak Hana turut mengikuti. Sementara aku masih tetap menangis mengingat penuturan lelaki tadi.
“Apa maksud ucapan Anda tadi? Anda puas melihat Bunda saya pingsan?” Kak Bara kembali ke ruang tamu sambil meninggikan suaranya.
“Tapi itu kenyataan, Nak. Dia sedang mengandung cucu kami.” Laki-laki itu memberikan balasan sembari menunjuk ke arahku.
“Adik saya tidak sehina yang Anda tuduhkan. Saya tidak terima dengan fitnah Anda. Saya minta sekarang, pergi dari rumah ini!” Kak Bara tampak sangat marah.
“Mas! Bunda udah sadar!” Terdengar suara teriakan Kak Hana.
Aku dan Kak Bara langsung menuju ruang TV. Aku langsung memeluk Bunda dan meminta ampun kepadanya. Walaupun kehamilanku bukan karena keinginanku, tetapi aku tetap merasa bersalah terhadap wanita yang telah melahirkanku itu.
“Kenapa kamu minta maaf, Sayang?” tanya Bunda setelah aku melepas pelukan.
“Lily hamil, Bun.” Aku tidak sanggup lagi menyembunyikan kehamilanku dari Bunda.
Beliau spontan langsung mendaratkan tamparan di wajahku. “Dasar anak tidak tahu diri! Ini balasan yang kamu berikan pada Bunda? Dosa apa yang Bunda lakukan hingga anak gadis Bunda satu-satunya tega mencoreng nama baik keluarga?” Bunda menumpahkan air matanya lalu mendorongku. “Kenapa kamu melakukan dosa besar itu? Kenapa?” Beliau berteriak.
“Lily nggak bersalah, Bu.” Tiba-tiba pemuda yang bernama Alex, kini berdiri di ruang TV bersama kedua orang tuanya. “Saya berserta Papa dan Mama saya yang bertanggung jawab atas kehamilan Lily.” Aku tidak mengerti apa maksudnya. Apa dia benar-benar mengenalku?
“Iya, Mbak. Jangan salahkan calon mantu saya,” ucap mama Alex.
Kak Bara menghampiri Alex lalu menarik kerah kemeja yang dia kenakan. “Jadi, kalian sengaja menjebak Adik saya?” Kak Bara membuka suara. “Apa salah Adik saya?”
“Kami tidak pernah memiliki niat seperti itu, Mas. Biarkan Mama saya yang jelasin semuanya karena apa yang terjadi terhadap Lily ada hubungannya dengan Om Anjas.” Alex memberikan jawaban panjang lebar. Aku sangat terkejut saat pemuda itu menyebut nama Ayah.
“Jangan bawa-bawa almarhum Ayah saya!” Kak Bara kembali meninggikan suaranya.
“Tenangkan dirimu, Nak. Saya akan jelaskan semuanya.” Mamanya Alex berjalan ke arah Bunda lalu duduk di sampingnya.
🏵️🏵️🏵️
Wanita yang bernama Bu Laras dan tidak lain adalah mamanya Alex, akhirnya menceritakan kenyataan yang tidak pernah aku ketahui selama ini. Bukan hanya aku, tetapi juga Bunda, Kak Bara, dan Kak Hana.
Ternyata Bu Laras adalah mantan kekasih Ayah. Mereka tidak dapat bersatu karena terhalang restu orang tua. Namun, walaupun Ayah dan Bu Laras tidak berjodoh, mereka tidak menyimpan rasa dendam sama sekali. Mereka bahkan sepakat akan menikahkan anak-anak mereka sebagai gantinya.
Laki-laki yang bernama Pak Fandy dan tidak lain adalah papanya Alex, juga setuju dengan rencana dan keinginan istrinya. Namun, Alex sebagai anak tunggal justru menikahi kekasihnya tiga tahun yang lalu. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA.
Bu Laras mengaku sangat sedih karena tidak menepati janjinya terhadap Ayah. Namun, takdir mengubah segalanya karena setelah dua tahun pernikahan Alex, istrinya bermain api dengan pria lain karena menganggap laki-laki itu tidak dapat memberikan keturunan.
“Sebenarnya, Alex menyarankan untuk melakukan inseminasi buatan ke rahim Indah, temannya sejak kecil. Tapi saya mengetahui kebenaran yang mengejutkan. Indah bersedia melakukan itu karena ingin menguasai harta keluarga saya. Saya pun mengambil tindakan untuk menepati janji saya kepada Mas Anjas.” Bu Laras memberikan penjelasan panjang lebar.
“Tapi kenapa harus menggunakan cara seperti itu?” Bunda sepertinya tetap tidak terima dengan tindakan Bu Laras.
“Saya tidak punya pilihan lain, Mbak, karena saat itu, Alex terpengaruh dengan kata-kata manis Indah. Saya tidak ikhlas jika anak saya jatuh lagi ke pelukan wanita tidak benar.” Bu Laras kembali memberikan penjelasan.
“Tapi saya tetap tidak terima. Tindakan Ibu sangat kejam. Itu termasuk kejahatan. Saya minta, tolong pergi dari rumah saya sekarang.” Aku terkejut melihat sikap Bunda.
Tiba-tiba Alex menurunkan posisi tubuhnya lalu berlutut di kaki Bunda. “Izinkan saya menikahi Lily, Bu, demi anak dalam kandungannya. Anak itu bukan hanya anak saya, tapi anak Lily juga. Cucu Ibu.” Aku kembali menitikkan air mata setelah mendengar penuturan Alex. Aku masih merasa seperti mimpi kalau saat ini sedang mengandung. Bagaimana dengan kuliahku?
“Lily tidak akan pergi dari rumah ini. Saya tidak akan membiarkan anak saya tinggal bersama orang-orang kejam. Pergi dari rumah saya!” Bunda meninggikan suaranya, kemudian beliau melihat ke arah Kak Bara. “Usir mereka dari sini!”
🏵️🏵️🏵️Ketika Alex hendak melangkah, tiba-tiba perutku terasa kram. “Auh!” Aku merintih kesakitan.“Kamu kenapa, Ly?” Alex langsung menghampiriku lalu memegang tanganku.“Jangan sentuh anak saya!” Bunda langsung menepiskan tangan Alex.“Saya khawatir dengan keadaan Lily, Bu.” Alex menunjukkan wajah panik.“Kamu nggak ada hak atas anak saya. Pergi dari rumah saya.” Bunda seolah-olah tidak peduli dengan ucapan Alex.Kak Hana yang sejak tadi hanya sebagai pendengar, tiba-tiba membuka suara. “Kasihan Lily, Bun. Saat seperti ini, dia pasti butuh ayah dari anak dalam kandungannya.”“Lebih kasihan lagi kalau Lily jatuh ke tangan penjahat seperti mereka.” Bunda memberikan balasan sambil melihat ke arah Alex, kemudian pandangannya berpindah ke Pak Fandy dan Bu Laras yang belum beranjak dari ruang TV.Aku sangat tahu bagaimana perasaan Bunda saat ini. Beliau pasti terpukul dengan apa yang terjadi terhadapku. Selama ini, Bunda selalu mengaku bangga memiliki anak-anak yang berbakti kepada oran
🏵️🏵️🏵️“Om yang mana?” Kak Bara bertanya kepada Naya.“Tadi di depan, Pah.”“Apa Om yang tadi ke sini, Sayang?” Sekarang, Kak Hana yang bertanya.“Bukan, Mah. Naya belum pernah lihat Om-nya.” Naya memberikan jawaban sambil menggeleng. Itu artinya, Alex bukan pengirim buket bunga itu. Aaargh! Kenapa aku berpikir kalau pemuda itu yang mengirimnya?“Ya udah, Naya main lagi, ya.” Kak Hana sepertinya ingin melanjutkan pembicaraan kami tadi. Mungkin dia tidak ingin anaknya mendengar obrolan orang dewasa.“Iya, Mah.” Naya menyunggingkan senyuman lalu beranjak. Biasanya dia bermain di teras depan.Terus terang, walaupun saat ini aku tetap memikirkan kehamilanku dan nasibku ke depannya, tetapi aku juga penasaran dengan seseorang yang telah mengirim bunga kepadaku. Apa tujuannya melakukan itu?Mungkin jika aku tidak sedang mengandung saat ini, aku pasti akan bahagia menyambut perhatian dan kejutan orang yang mengirimkan bunga itu. Namun, kenyataan tidak seindah harapan. Aku justru merasakan
🏵️🏵️🏵️“Saya sengaja jemput kamu,” ucap pemuda yang tadi berdiri di samping mobilnya. Dia Alex.“Saya bisa pulang sendiri, Pak.” Aku memberikan balasan. Aku sengaja memanggilnya dengan sebutan ‘Pak’ karena dia bos di kantor keluarganya. Kak Hana yang menceritakan hal itu kepadaku.“Kamu tanggung jawab saya sekarang.” Aku terkejut mendengar ucapannya.“Apa? Tanggung jawab?” Kak Andrew tampak kaget. “Siapa orang ini, Ly?” tanya pemuda itu kepadaku sambil menunjuk Alex.“Saya ….” Sebelum Alex melanjutkan apa yang ingin dia katakan, aku memberikan isyarat supaya diam. Jangan sampai dia menceritakan tentang kehamilanku kepada Kak Andrew karena aku belum siap untuk itu.“Kenalin, Kak … beliau adik sepupu Ayah. Namanya Pak Alex.” Aku pun memperkenalkan Alex kepada Kak Andrew. Aku terpaksa berbohong.“Kok, kamu nggak panggil ‘Om’?”Kepalaku makin pusing mendengar balasan Kak Andrew. Kenapa, sih, dia mempermasalahkan sebutan yang aku gunakan untuk Alex? Aku harus cari alasan lagi agar dia t
🏵️🏵️🏵️“Apa yang ada dalam pikiran kamu, Sayang?” Bunda memegang kedua lenganku setelah kami duduk di ruang TV. “Harusnya kamu menghindari laki-laki yang udah menghancurkan masa depanmu.”Mungkin benar kata Bunda, tidak seharusnya aku membiarkan Alex untuk mendekatiku karena perbuatan orang tuanya adalah kejahatan. Namun, kenapa aku tidak mampu menolak laki-laki itu? Ada apa denganku?“Maafin Lily, Bun, tapi tadi perut Lily kram lagi. Dia yang bawa Lily ke rumah sakit.” Aku pun memberikan penjelasan kepada Bunda.“Kenapa kamu nggak hubungi Kak Bara atau Kak Hana?”“Tadi Pak Alex jemput Lily ke kampus, Bun.”“Jangan sebut namanya di depan Bunda!” Wanita yang melahirkanku itu menaikkan suara. Entah kenapa sikap lembut yang beliau miliki selama ini seolah-olah hilang. Mungkin karena masih sangat terpukul atas kepergian Ayah.“Dek! Obat kamu masih sama saya.” Aku mendengar suara Alex. Kenapa dia tidak menyebut namaku?“Ternyata dia belum pergi? Apa lagi yang dia inginkan?” Wajah Bunda
🏵️🏵️🏵️Aku tetap tidak ingin menjawab telepon tersebut walaupun nada deringnya telah beberapa kali mengeluarkan suara. Mungkin lebih baik aku merebahkan tubuh sambil mengingat kenangan bersama Ayah. Aku sangat merindukan apa pun yang beliau lakukan dulu.Baru saja aku akan membuka album foto di ponsel untuk memandang wajah tampan Ayah, tiba-tiba ada pesan masuk. Aku pun membukanya, ternyata pengirimnya adalah nomor yang tadi menelepon.[Kenapa nggak angkat telepon saya, Dek?] Isi pesan masuk tersebut.[Maaf, ini siapa?] Aku memberikan balasan.[Ini Alex.]Apa? Dari mana laki-laki itu mendapatkan nomor ponselku? Apa mungkin dari Kak Hana? Seandainya Bunda tahu hal ini, entah apa yang akan beliau lakukan. Aku tidak yakin jika wanita yang melahirkanku itu akan membiarkan anak bungsunya ini membalas pesan dari Alex.[Saya telepon lagi, ya. Tolong diangkat. Saya mau ngomong.] Alex kembali mengirim pesan.[Ada perlu apa, Pak?] Aku ingin tahu apa tujuannya meneleponku.[Apa kamu tidak ber
🏵️🏵️🏵️Alex tetap membawaku ke salah satu restoran ternama di kota ini. Namun, aku sangat terkejut melihat sikap para pekerja di tempat ini. Mereka menunduk lalu mengucapkan salam kepada Alex. Apa mungkin karena laki-laki itu seorang bos perusahaan? Di samping itu, Alex juga membawaku ke ruangan VIP. “Tolong siapkan menu yang telah saya pesan tadi,” ucap Alex kepada beberapa pelayan restoran.“Baik, Pak.” Mereka memberikan balasan lalu beranjak.Tiba-tiba aku merasakan mual, padahal tidak ada aroma makanan. Apa mungkin karena sedang bersama Alex? Selalu seperti itu. Anak dalam kandunganku mungkin sangat menyadari keberadaan ayahnya.“Kamu mual lagi, Dek?” tanya Alex.“Iya, Pak.”“Saya antar ke toilet, ya.” Dia pun berdiri lalu memapahku.Aku telah berusaha untuk mengeluarkan sesuatu yang membuatku mual, tetapi tidak berhasil. Hanya air liur saja yang keluar. Terus terang, aku lelah dengan keadaan seperti ini. Aku pun meminta agar kami kembali duduk.Ternyata menu pesanan Alex telah
🏵️🏵️🏵️“Saya nggak mungkin hamil, Dok.” Aku tidak dapat membendung air mata melihat hasil laporan kesehatanku dari dokter siang ini di rumah sakit.“Tapi saya nggak mungkin salah, Mbak. Nama yang tertera di kertas itu juga nama Mbak. Lily Amelia.”Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Jangankan punya suami, pacar pun aku tidak punya. Aku tidak percaya dengan penjelasan dokter. Aku tetap beranggapan kalau beliau telah melakukan kesalahan.Aku sangat ingat, kurang lebih dua minggu yang lalu, aku mendatangi rumah sakit ini untuk memeriksa keadaan perutku yang tiba-tiba sakit. Setelah mengonsumsi obat dari dokter, aku kembali sehat seperti sediakala.Akan tetapi, hari ini aku kembali ke tempat ini karena merasakan sesuatu yang aneh tadi pagi sebelum berangkat ke kampus. Ketika buang air kecil, aku melihat bercak darah di pakaian dalam yang kukenakan. Padahal belum saatnya kedatangan tamu bulanan.Aku sengaja tidak memberitahukan kepada Bunda karena tidak ingin membuatnya khawatir. Sejak ke
🏵️🏵️🏵️Bagaimana ini? Apa mungkin Kak Hana mendengar tangisan dan teriakanku? Jangan sampai kakak iparku itu menyampaikan apa yang dia dengar kepada Bunda dan Kak Bara. Aku harus segera membenahi diri dan berusaha bersikap tenang.Aku pun mengusap air mataku lalu melangkah untuk membuka pintu. Aku berusaha tersenyum kepada Kak Hana supaya dia tidak curiga dengan apa yang aku lakukan tadi. Aku belum mampu menceritakan apa yang terjadi saat ini kepadanya.“Tadi Kakak dengar ada suara nangis sambil teriak.” Ternyata dugaanku benar, Kak Hana mengetahui apa yang kulakukan.“Oh, itu suara dari TV, Kak. Tadi aku lagi nonton. Tapi pas dengar suara Kakak, aku langsung matiin TV-nya.” Aku terpaksa berbohong kepadanya.“Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu, ‘kan, dari Kakak?” Sepertinya dia tidak percaya dengan alasan yang kuberikan.“Nggak, Kak.” “Kalau memang lagi ada masalah, jangan sungkan untuk cerita ke Kakak.” Kak Hana mengusap pundakku lalu beranjak dari depan kamarku.Terus terang, a
🏵️🏵️🏵️Alex tetap membawaku ke salah satu restoran ternama di kota ini. Namun, aku sangat terkejut melihat sikap para pekerja di tempat ini. Mereka menunduk lalu mengucapkan salam kepada Alex. Apa mungkin karena laki-laki itu seorang bos perusahaan? Di samping itu, Alex juga membawaku ke ruangan VIP. “Tolong siapkan menu yang telah saya pesan tadi,” ucap Alex kepada beberapa pelayan restoran.“Baik, Pak.” Mereka memberikan balasan lalu beranjak.Tiba-tiba aku merasakan mual, padahal tidak ada aroma makanan. Apa mungkin karena sedang bersama Alex? Selalu seperti itu. Anak dalam kandunganku mungkin sangat menyadari keberadaan ayahnya.“Kamu mual lagi, Dek?” tanya Alex.“Iya, Pak.”“Saya antar ke toilet, ya.” Dia pun berdiri lalu memapahku.Aku telah berusaha untuk mengeluarkan sesuatu yang membuatku mual, tetapi tidak berhasil. Hanya air liur saja yang keluar. Terus terang, aku lelah dengan keadaan seperti ini. Aku pun meminta agar kami kembali duduk.Ternyata menu pesanan Alex telah
🏵️🏵️🏵️Aku tetap tidak ingin menjawab telepon tersebut walaupun nada deringnya telah beberapa kali mengeluarkan suara. Mungkin lebih baik aku merebahkan tubuh sambil mengingat kenangan bersama Ayah. Aku sangat merindukan apa pun yang beliau lakukan dulu.Baru saja aku akan membuka album foto di ponsel untuk memandang wajah tampan Ayah, tiba-tiba ada pesan masuk. Aku pun membukanya, ternyata pengirimnya adalah nomor yang tadi menelepon.[Kenapa nggak angkat telepon saya, Dek?] Isi pesan masuk tersebut.[Maaf, ini siapa?] Aku memberikan balasan.[Ini Alex.]Apa? Dari mana laki-laki itu mendapatkan nomor ponselku? Apa mungkin dari Kak Hana? Seandainya Bunda tahu hal ini, entah apa yang akan beliau lakukan. Aku tidak yakin jika wanita yang melahirkanku itu akan membiarkan anak bungsunya ini membalas pesan dari Alex.[Saya telepon lagi, ya. Tolong diangkat. Saya mau ngomong.] Alex kembali mengirim pesan.[Ada perlu apa, Pak?] Aku ingin tahu apa tujuannya meneleponku.[Apa kamu tidak ber
🏵️🏵️🏵️“Apa yang ada dalam pikiran kamu, Sayang?” Bunda memegang kedua lenganku setelah kami duduk di ruang TV. “Harusnya kamu menghindari laki-laki yang udah menghancurkan masa depanmu.”Mungkin benar kata Bunda, tidak seharusnya aku membiarkan Alex untuk mendekatiku karena perbuatan orang tuanya adalah kejahatan. Namun, kenapa aku tidak mampu menolak laki-laki itu? Ada apa denganku?“Maafin Lily, Bun, tapi tadi perut Lily kram lagi. Dia yang bawa Lily ke rumah sakit.” Aku pun memberikan penjelasan kepada Bunda.“Kenapa kamu nggak hubungi Kak Bara atau Kak Hana?”“Tadi Pak Alex jemput Lily ke kampus, Bun.”“Jangan sebut namanya di depan Bunda!” Wanita yang melahirkanku itu menaikkan suara. Entah kenapa sikap lembut yang beliau miliki selama ini seolah-olah hilang. Mungkin karena masih sangat terpukul atas kepergian Ayah.“Dek! Obat kamu masih sama saya.” Aku mendengar suara Alex. Kenapa dia tidak menyebut namaku?“Ternyata dia belum pergi? Apa lagi yang dia inginkan?” Wajah Bunda
🏵️🏵️🏵️“Saya sengaja jemput kamu,” ucap pemuda yang tadi berdiri di samping mobilnya. Dia Alex.“Saya bisa pulang sendiri, Pak.” Aku memberikan balasan. Aku sengaja memanggilnya dengan sebutan ‘Pak’ karena dia bos di kantor keluarganya. Kak Hana yang menceritakan hal itu kepadaku.“Kamu tanggung jawab saya sekarang.” Aku terkejut mendengar ucapannya.“Apa? Tanggung jawab?” Kak Andrew tampak kaget. “Siapa orang ini, Ly?” tanya pemuda itu kepadaku sambil menunjuk Alex.“Saya ….” Sebelum Alex melanjutkan apa yang ingin dia katakan, aku memberikan isyarat supaya diam. Jangan sampai dia menceritakan tentang kehamilanku kepada Kak Andrew karena aku belum siap untuk itu.“Kenalin, Kak … beliau adik sepupu Ayah. Namanya Pak Alex.” Aku pun memperkenalkan Alex kepada Kak Andrew. Aku terpaksa berbohong.“Kok, kamu nggak panggil ‘Om’?”Kepalaku makin pusing mendengar balasan Kak Andrew. Kenapa, sih, dia mempermasalahkan sebutan yang aku gunakan untuk Alex? Aku harus cari alasan lagi agar dia t
🏵️🏵️🏵️“Om yang mana?” Kak Bara bertanya kepada Naya.“Tadi di depan, Pah.”“Apa Om yang tadi ke sini, Sayang?” Sekarang, Kak Hana yang bertanya.“Bukan, Mah. Naya belum pernah lihat Om-nya.” Naya memberikan jawaban sambil menggeleng. Itu artinya, Alex bukan pengirim buket bunga itu. Aaargh! Kenapa aku berpikir kalau pemuda itu yang mengirimnya?“Ya udah, Naya main lagi, ya.” Kak Hana sepertinya ingin melanjutkan pembicaraan kami tadi. Mungkin dia tidak ingin anaknya mendengar obrolan orang dewasa.“Iya, Mah.” Naya menyunggingkan senyuman lalu beranjak. Biasanya dia bermain di teras depan.Terus terang, walaupun saat ini aku tetap memikirkan kehamilanku dan nasibku ke depannya, tetapi aku juga penasaran dengan seseorang yang telah mengirim bunga kepadaku. Apa tujuannya melakukan itu?Mungkin jika aku tidak sedang mengandung saat ini, aku pasti akan bahagia menyambut perhatian dan kejutan orang yang mengirimkan bunga itu. Namun, kenyataan tidak seindah harapan. Aku justru merasakan
🏵️🏵️🏵️Ketika Alex hendak melangkah, tiba-tiba perutku terasa kram. “Auh!” Aku merintih kesakitan.“Kamu kenapa, Ly?” Alex langsung menghampiriku lalu memegang tanganku.“Jangan sentuh anak saya!” Bunda langsung menepiskan tangan Alex.“Saya khawatir dengan keadaan Lily, Bu.” Alex menunjukkan wajah panik.“Kamu nggak ada hak atas anak saya. Pergi dari rumah saya.” Bunda seolah-olah tidak peduli dengan ucapan Alex.Kak Hana yang sejak tadi hanya sebagai pendengar, tiba-tiba membuka suara. “Kasihan Lily, Bun. Saat seperti ini, dia pasti butuh ayah dari anak dalam kandungannya.”“Lebih kasihan lagi kalau Lily jatuh ke tangan penjahat seperti mereka.” Bunda memberikan balasan sambil melihat ke arah Alex, kemudian pandangannya berpindah ke Pak Fandy dan Bu Laras yang belum beranjak dari ruang TV.Aku sangat tahu bagaimana perasaan Bunda saat ini. Beliau pasti terpukul dengan apa yang terjadi terhadapku. Selama ini, Bunda selalu mengaku bangga memiliki anak-anak yang berbakti kepada oran
🏵️🏵️🏵️Kak Bara langsung membopong Bunda ke kasur yang ada di ruang TV lalu membaringkannya. Kak Hana turut mengikuti. Sementara aku masih tetap menangis mengingat penuturan lelaki tadi.“Apa maksud ucapan Anda tadi? Anda puas melihat Bunda saya pingsan?” Kak Bara kembali ke ruang tamu sambil meninggikan suaranya.“Tapi itu kenyataan, Nak. Dia sedang mengandung cucu kami.” Laki-laki itu memberikan balasan sembari menunjuk ke arahku.“Adik saya tidak sehina yang Anda tuduhkan. Saya tidak terima dengan fitnah Anda. Saya minta sekarang, pergi dari rumah ini!” Kak Bara tampak sangat marah.“Mas! Bunda udah sadar!” Terdengar suara teriakan Kak Hana.Aku dan Kak Bara langsung menuju ruang TV. Aku langsung memeluk Bunda dan meminta ampun kepadanya. Walaupun kehamilanku bukan karena keinginanku, tetapi aku tetap merasa bersalah terhadap wanita yang telah melahirkanku itu.“Kenapa kamu minta maaf, Sayang?” tanya Bunda setelah aku melepas pelukan.“Lily hamil, Bun.” Aku tidak sanggup lagi me
🏵️🏵️🏵️Bagaimana ini? Apa mungkin Kak Hana mendengar tangisan dan teriakanku? Jangan sampai kakak iparku itu menyampaikan apa yang dia dengar kepada Bunda dan Kak Bara. Aku harus segera membenahi diri dan berusaha bersikap tenang.Aku pun mengusap air mataku lalu melangkah untuk membuka pintu. Aku berusaha tersenyum kepada Kak Hana supaya dia tidak curiga dengan apa yang aku lakukan tadi. Aku belum mampu menceritakan apa yang terjadi saat ini kepadanya.“Tadi Kakak dengar ada suara nangis sambil teriak.” Ternyata dugaanku benar, Kak Hana mengetahui apa yang kulakukan.“Oh, itu suara dari TV, Kak. Tadi aku lagi nonton. Tapi pas dengar suara Kakak, aku langsung matiin TV-nya.” Aku terpaksa berbohong kepadanya.“Kamu nggak lagi nyembunyiin sesuatu, ‘kan, dari Kakak?” Sepertinya dia tidak percaya dengan alasan yang kuberikan.“Nggak, Kak.” “Kalau memang lagi ada masalah, jangan sungkan untuk cerita ke Kakak.” Kak Hana mengusap pundakku lalu beranjak dari depan kamarku.Terus terang, a
🏵️🏵️🏵️“Saya nggak mungkin hamil, Dok.” Aku tidak dapat membendung air mata melihat hasil laporan kesehatanku dari dokter siang ini di rumah sakit.“Tapi saya nggak mungkin salah, Mbak. Nama yang tertera di kertas itu juga nama Mbak. Lily Amelia.”Bagaimana mungkin aku bisa hamil? Jangankan punya suami, pacar pun aku tidak punya. Aku tidak percaya dengan penjelasan dokter. Aku tetap beranggapan kalau beliau telah melakukan kesalahan.Aku sangat ingat, kurang lebih dua minggu yang lalu, aku mendatangi rumah sakit ini untuk memeriksa keadaan perutku yang tiba-tiba sakit. Setelah mengonsumsi obat dari dokter, aku kembali sehat seperti sediakala.Akan tetapi, hari ini aku kembali ke tempat ini karena merasakan sesuatu yang aneh tadi pagi sebelum berangkat ke kampus. Ketika buang air kecil, aku melihat bercak darah di pakaian dalam yang kukenakan. Padahal belum saatnya kedatangan tamu bulanan.Aku sengaja tidak memberitahukan kepada Bunda karena tidak ingin membuatnya khawatir. Sejak ke