Sosok lelaki yang menampakkan wajah amarah, kini berada di tengah kamar Arum. Tubuhnya berdiri tegak, menggenggam selendang Arum yang tertinggal di kamarnya. Arum berusaha menahan hatinya.
“Lihatlah ini! Kau … sudah melanggar janjimu. Kenapa … menginjak kamarku!”
Langkah cepat Wojo, membuat Arum mendadak mundur hingga punggungnya menempel di tembok. Wajah mereka sangat dekat. Bahkan, hanya berjarak satu senti saja.
Wojo mendekatkan wajahnya. Dia mencengkeram selendang milik Arum yang ternyata tertinggal di kamarnya.
Wojo tidak bisa lagi menahan amarahnya. Dia berteriak, "Oh engkau terkutuk! Semoga dikutuk setiap kehidupanmu! Celakalah, karena kau selalu akan meneguk racun kehidupan. Karena engkau, aku dalam sekejap merasakan kebahagiaan diriku dirampok oleh dirimu!"
"Tidakkah engkau membuatku membayar mahal kesedihan dan kesengsaraan diriku ini? Yang membuat tubuhku lemah harus menahan beban berat, tertekan dengan berbagai
Lontaran yang terucap di dalam mulut Hendra, membuat sang kakak mengernyit, lalu bertanya, “Untuk apa?”“Bukankah Kakak tidak menyukainya? Hah, aku melihatmu. Yah, kalian berdua adalah sepasang musuh. Lagi pula hatimu tetap untuk sang istri, Mariati. Jadi, untuk apa mempertahankannya? Kau hanya akan membuat hatimu sengsara.”Wojo spontan mengalihkan pandangannya. Kini kedua mata itu kembali tersorot pada sosok Arum. Senyuman indah dengan lesung pipi Arum, membuat dirinya menekan kancing kemeja paling atas, tepat di sebelah jantungnya. Detakan itu, semriwing sangat terasa. Wojo berkali-kali menarik napas untuk menghilangkannya.“Ayolah Kak. Apakah berat untukmu mengatakan kata, iya? Hmm, dia tidak berarti untukmu. Untuk apa kau memperlakukannya seperti ini? Seorang wanita itu … membutuhkan kasih sayang. Aku bisa memberikan kepadanya. Kak, lepaskan dia dan berikanlah kepadaku.”“Cukup! Hentikan ocehanmu yang
Hendra mendadak mendorong Arum semakin masuk ke dalam kamarnya."Lepaskan Hendra! Kau tidak bisa melakukan ini kepadaku! Jangan pernah menyentuhku!" Arum terus meronta, berusaha melepaskan Hendra yang terus memaksanya. Kaki Hendra menendang pintu kamar yang sedikit terbuka. Pintu itu akhirnya tertutup rapat. "BRAK!"Sementara Arum masih saja di dalam dekapannya. Hendra mulai menelisik di leher Arum. “Ah, kau sangat harum,” desahnya. Tanganya menekan tengkuk Arum. Kini bibir itu bisa menikmatinya."Terkutuklah kau. Hah, lelaki tidak tahu diri! Lepaskan!" teriak Arum yang masih saja sia-sia. Hendra menariknya, hingga sampai di atas ranjang.Buk!Tubuhnya kini terlentang. Arum masih saja meronta, menampis wajah Hendra yang terus saja memaksa menelusuri kulitnya.PLAK!Tamparan keras Arum layangkan. Hendra geram, semakin menekan tangan Arum ke atas. “Argh!” teriak Arum menahan rasa sakit."Kau sebaiknya diam
“Kota Minang?”Ardi berjalan perlahan mendekat Pandu. Sementara, Pandu tersenyum melanjutkan perkataannya, “Yah, kami bermimpi untuk pergi ke sana. Aku dan Arum selalu bercerita kisah Malin Kundang. Kami hanya ingin menuju ke sana. Kisah itu selalu berarti buat kami. Mencintai Ibu adalah segalanya. Tapi …,” ucapnya terhenti. Pandu mengingat sang ibu yang sudah ditinggalkannya. Apakah ia akan menjadi seperti Malin? Durhaka, itulah yang dia lakukan. Membangkang perintah kedua orang tua yang sudah merawatnya.Tarikan napas panjang kembali dia lakukan. Pandu sesaat mengingat kehidupan bahagia bersama Romo dan Nyai Ani. Kepalanya menggeleng keras. “Aku akan pergi sebentar. Sampai waktunya aku akan bersujud di kaki kedua orang tuaku yang terbaik di jagat raya ini dan meminta maaf. Hanya saja, aku akan membawa Arum sebagai menantu mereka.”Perang yang berkecamuk dalam batin Pandu belum juga berakhir. Jiwanya masih bergejolak.
Pandangan penuh amarah masih terlihat jelas. Sang gadis semakin bergemetar. Dalam pikirannya masih memutar mencari sebuah cara agar Arum mengetahuinya.“Maafkan saya, Nyai. Saya bersalah. Itu surat dari pemuda tampan memikat hatiku. Dia merayuku dan aku menerima perintahnya, dengan syarat menyampaikan surat itu. Apalah daya, saya gadis biasa. Mendapat tawaran seperti itu, pasti sangat membuat saya tak kuasa menolaknya,” ucap sang gadis mendadak bersujud di hadapan Saras.“Tidak! Ini tidak bisa. Jika Arum mengetahui, pasti akan sangat fatal akibatnya,” gumam Saras kebingungan.“Ibu, ada apa ini?” Arum tiba-tiba membuka pintu kamar mandi. Kedua alisnya mengkerut dalam. Kakinya melangkah, mendekati Saras yang bergeming kaku.“Aku harus mengambil kesempatan untuk nekat. Nyai Utama harus mengetahui pesan itu,” batin gadis penjual yang masih saja menunduk, bersiap semakin membuat keributan.“Nyai Utam
Sarah masih terdiam melihat Arum membongkar semua barang yang berada di atas meja. Dia terus mengamati cangkir yang masih tergeletak di sana.Saras menarik napas panjang sebelum dia akhirnya benar-benar masuk ke dalam kamar. Kakinya semakin melangkah, untuk mendekati dan menegur Arum yang masih kebingungan mencari secarik kertas. Sebuah pesan dari Pandu yang sekarang berada di saku jaritnya.“Arum. Apakah sopan, tiba-tiba mendadak pergi seperti itu? Ibu sama sekali tidak pernah mendidikmu untuk meninggalkan sebuah acara dengan sikap mengejutkan itu. Apa yang akan mereka pikirkan kepada Ibu ketika melihat kau melakukan hal demikian?”Arum mendadak menghentikan gerakannya. Dia menatap sang ibu yang kini berada tepat di hadapannya. Sejenak dia memejamkan kedua mata, menyadari jika perkataan Saras memang benar. Kini nama baik Saras sudah dipertaruhkan akibat ulahnya seperti itu. Arum yakin, pasti Wojo akan menganggapnya semakin buruk.“Maafk
Arum masih terpaku. Dia tidak tahu harus berkata apa. Dia sudah terjebak dengan situasi dan kondisi di hadapannya. Mau tidak mau, jawaban yang harus dikeluarkan Arum harus memuaskan hati Mustika.“Saya selalu membuat kue dari tepung beras, dicampur dengan kelapa. Mungkin Romo akan menyukainya, jika aku membuat makanan itu,” ucapnya dengan berat. Sebenarnya Arum tidak mau berpura-pura. Ingin rasanya dia tegas mengatakan itu salah! Namun, Arum berusaha untuk membuat anak gadis pertama Soewojo bahagia.Kedua mata Mustika berbinar, mendengar jawaban Arum yang sangat memuaskan dirinya. Dia memeluk Arum dengan erat, lalu menarik telapak tangannya. Mendadak Mustika menyatukannya dengan telapak tangan Romo. Mereka berdua sontak hanya saling menatap tanpa memperlihatkan ekspresi masing-masing.“Benarkan, apa yang aku katakan, Romo? Mulai sekarang, Romo tidak perlu kawatir dan curiga dengan perlakuan Nyai Utama. Semua pasti ada alasannya. Baiklah, aku ak
Hendra masih nekat mendekati Arum. Spontan Arum menggelengkan kepalanya. Dia menunjukkan jemari kuat menuju pintu. Hendra sejenak memandangnya, kemudian keluar kamar. Mustika yang melihat pamannya dari luar kamar, menutup mulut dengan kelima jarinya. Dia terkejut bukan main. Sang paman masih saja nekat menggoda ibu tirinya.Arum bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Dia menyalakan air shower. Dia akan berpura-pura mandi di sana.“Arum!” teriak Wojo. Kedua matanya mengedar ke seluruh kamar, tidak menemukan sosok wanita yang dia cari. “Di mana dia?” gumamnya sekali lagi.Kakinya melangkah, semakin masuk ke dalam kamar. Gemericik air terdengar cukup keras. Wojo menelisik suara itu. Bola matanya menyorot tajam ke pintu kamar mandi yang sedikit terbuka. Kakinya melangkah, untuk memeriksanya.“Kau …,” batinnya. Hatinya tak percaya, melihat Arum sangat cantik dengan rambut panjang hitam terurai. Sontak wojo meremas sendi
Perputaran nasib tidak ada yang bisa tahu. Segala perubahannya tak pasti datang. Semua makhluk hidup diperbudak oleh nasib. Begitu juga dengan Pandu. Terkadang setelah mengalami kesenangan, seseorang akan merasakan penderitaan.“Plak!”Tamparan kembali Pandu rasakan. Pipinya memerah seketika. Dia seperti orang yang sangat bersalah. Orang yang biadab, memperlakukan wanita dengan sangat kejam. Padahal dirinya selalu memperjuangkan cinta. “Tuan, saya tidak bersalah,” balas Pandu masih menyorotkan pandangan tajam. “Jangan pernah main hakim sendiri. Kau pun pasti juga pernah melakukan kesalahan. Aku akan membuktikan diriku tidal bersalah,” lanjutnya semakin tegas.“Jangan pernah membantahku. Kau sekarang keluar. Kepala Polisi ingin menemuimu!”“Dia … ingin menemuiku? Ini pertanda baik,” gumam Pandu. Wajahnya sedikit semringah.Sebuah berkah yang terjawab. Pandu akhirnya bis