Pandu bersujud dan memeluk kaki Romo. Arum di sebelahnya ikut memohon. Nyai Ani tidak tega melihat keadaan Pandu. Dia segera mendekati Romo dan mengatakan agar memikirkan saran Pandu."Romo, tolong pikirkan. Apa yang dikatakan Pandu memang benar. Jangan pernah menantang sebuah maut. Pikirkan baik-baik. Kita harus menyelesaikan ini semua. Jika kau tetap bersikeras dengan hatimu yang sangat kuat itu, maka kita akan mengalami kehancuran yang sama sekali tidak kita duga. Aku sendiri tidak pernah mempeributkan kasta. Aku hanya ingin kehidupan kita bahagia Romo. Apa yang dikatakan Pandu benar. Tolong pikirkan," ucap Nyai Ani dengan memohon. Bahkan dia terus meneteskan air matanya."Itu tidak akan pernah aku lakukan. Aku sudah diajari oleh Ayah dan kakekku dari dulu untuk tetap mempertahankan kasta ini. Sampai nyawaku hilang, aku tidak akan pernah melepaskan kasta ini. Dan, aku tidak akan pernah berlutut di hadapan siapapun. Karena itu adalah pantangan buatku!" Romo tetap dengan keras memper
Pandu terus meronta. Dia masih ingin mendekati Romo. Namun, beberapa pesuruh terus mencegahnya. Pertikaian terjadi di jembatan yang menghubungkan daratan dan kapal. Hingga Pandu tidak bisa menahan tubuhnya, kemudian terjatuh ke laut.Arum yang juga menahan Pandu, ikut terjatuh. Romo melambaikan tangan kepada pesuruhnya untuk masuk segera ke dalam kapal dan membiarkan Arum dan Pandu."Arum! Tunggulah! Aku akan segera ke sana!" teriak Pandu segera berenang dan memegang tubuh Arum. Untung saja Arum pandai sekali berenang hingga tidak membuat dirinya tenggelam."Apakah kau baik-baik saja? Apakah kau tidak terluka, Arum? Maafkan aku sudah membuat kehidupanmu sangat sengsara," ucap Pandu memeluk Arum di dalam air. Hingga Mereka melihat beberapa petugas yang melemparkan mereka tali untuk mereka raih."Raihlah tali itu agar kita bisa mengangkatmu!" teriak salah satu dari mereka. Pandu menganggukkan kepala dan segera melilitkan tali itu di tubuh Arum."Baiklah, kau naik terlebih dahulu. Setela
Pandu benar-benar terkejut dengan ekspresi Arum. Dia tidak menyangka Arum tiba-tiba mual dan segera berlari ke kamar mandi, lalu memuntahkan semua makanan yang berada di dalam perutnya. Pandu sangat resah. Begitu juga dengan Saras yang segera memberikan air hangat kepada Arum."Arum. Apakah kau sakit? Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?" tanya Saras dengan cemas. Sementara Arum menggelengkan kepala dan wajahnya semakin pucat.Pandu segera mengambil alat kedokterannya. Dia memeriksa Arum dengan sangat seksama. Tubuhnya tidak demam hanya saja Arum terus mual dan ingin sekali muntah."Arum lebih baik kau merebahkan tubuhmu di dalam kamar," ucap Pandu kemudian menggendong Arum dan membawanya masuk ke dalam kamar. Lalu merebahkannya dengan sangat pelan."Apakah kau tidak datang bulan Arum?" tanya Pandu dengan sangat serius. Arum mengernyit dan berusaha mengingat-ingat."Entahlah, aku sendiri tidak mengingatnya. Tapi aku merasa sangat mual dan aku tidak suka dengan bau amis, ataupun bau apa p
Mereka tidak mengerti dengan kehadiran Joko. Padahal sebelumnya Joko juga sudah mendekam di dalam jeruji besi dan tidak mungkin membuat dirinya terbebas begitu saja."Joko, apa yang sudah terjadi? Baiklah, sebaiknya kita membicarakan ini di dalam. Kau terlihat sangat berantakan dan wajahmu sangat pucat. Aku akan memberikan minuman dan vitamin yang harus kamu minum." Pandu menarik Joko untuk masuk ke dalam rumahnya. Arum dan Saras mengikutinya dari belakang."Ibu. Bisakah kau memberikan Joko minuman hangat? Karena aku lihat, dia sangat tidak sehat," ucap Pandu membuat Saras menganggukkan kepala."Aku akan membuatkannya, Pandu. Kau jangan khawatir," jawab Saras kemudian segera masuk ke dapur dan membuatkan teh hangat untuk Joko.Arum segera duduk di sebelah Pandu dan mengamati Joko yang terus menundukkan kepalanya, kemudian perlahan dia menarik napas panjang. Sebelum akhirnya berkata, "Raden, bantu aku. Raden, aku membutuhkan bantuan Anda untuk membebaskan Sabrina dari semua tuduhan itu
Sabrina terbebas. Dia keluar dengan dua polisi wanita yang mengawalnya. Sabrina berjalan dengan kepala yang menunduk. Dia terus berjalan hingga sampai di depan Joko dan Pandu yang terkejut melihat keadaan Sabrina. Mereka sama-sama menarik napas panjang."Sabrina, kita akan keluar dari sini. Sekarang ikut aku," ucap Joko sembari menarik Sabrina, kemudian memberikan jaketnya. Sementara Pandu mengagukan kepala kepada kedua polisi itu dan segera meninggalkan mereka.Mereka bertiga berjalan hingga sampai di mobil hanya dalam diam, tidak berucap apa pun. Pandu masuk dan duduk di depan kursi. Sementara Sabrina duduk di kursi belakang. Joko meninggalkan Sabrina dalam cemas. Dia menutup pintu mobil, kemudian duduk tepat di sebelah Pandu."Sebaiknya kau menemaninya di belakang. Aku tidak masalah. Lihatlah, dia seperti itu. Kau harus mendekat, Joko. Paling tidak kau berada di sebelahnya."Sabrina mengamati Joko dengan tajam dari kaca spion. Dia memendam amarah. Dia sangat membenci pengawal setia
Arum semakin tidak mengerti kenapa Sabrina melakukan hal itu kepadanya. Bahkan mengatakan jika Pandu sudah menyetujui permintaan itu."Apa yang kau lakukan Sabrina? Kau tidak perlu seperti ini. Berdirilah." Arum terus mencoba mengangkat tubuh Sabrina. Namun, wanita itu masih saja terdiam sambil menunduk dan menangis."Arum. Izinkan aku menjadi istri kedua. Aku sudah membicarakan kepada Pandu. Dia mengerti. dia pasti bisa memperlakukan kita secara adil."Sabrina benar-benar tidak memiliki urat malu. Arum sama sekali tidak mengerti. Bahkan dia melihat Pandu yang memegang kepalanya, tidak tahu harus berkata apa."Nona Sabrina. Tolonglah, jangan membuat masalah seperti ini kembali. Saya berada di sana dan Raden Pandu tidak pernah mengatakan apa yang Nona katakan. Jangan pernah melakukan kebohongan sekali lagi, karena itu sama saja menjerumuskanmu kembali ke dalam masalah. Jangan Nona. Kau seharusnya berterima kasih kepada mereka yang mau menampung kita."Kepala yang semula menunduk akhirn
Pandangan itu. Kedua mata yang semula sendu, kini tajam. Sabrina tersenyum sambil berjalan, menyentuh semua yang ada di dalam."Pandu. Kau ... akan selalu menjadi milikku. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Apa pun itu, aku akan menjadi istrimu."Seseorang membuka pintu kamar. Sabrina terperanjat. Dia terkejut melihat Pandu berada di hadapannya. Senyuman seketika terlihat. Hati Sabrina merasa bahagia."Sabrina. Kita harus bicara. Ini sangat penting. Arum dan ibunya sedang berbelanja. Keluarlah, kita akan berbicara."Sabrina semakin tersenyum. Apa yang bisa dia lakukan saat sendirian bersama Pandu? Tidak ada siapapun di dalam rumah. Sedangkan, posisi mereka berada di dalam kamar. Ini adalah kesempatan emas untuk dia gunakan."Sabrina. Kenapa kau diam saja? ikuti aku, dan kita harus bicara." Pandu masih menatap Sabrina yang terdiam."Aku ... aku sangat pusing. Aku tidak bisa menahannya. Entahlah. Kepalaku sakit. Kedua mata ini tidak bisa melihat dengan jelas. Kau ... argh!"Spontan Pan
Arum tidak percaya. Dia melihat Pandu sangat marah. Bahkan berniat untuk pergi."Mas, kenapa kau pergi? Bukankah kita harus menyelesaikan semua dengan kepala dingin? Kenapa kau malah lari?""Untuk apa menyelesaikan dengan kepala dingin? Sekarang saja kau dipenuhi emosi. Kita sebaiknya berpisah sementara. Tidak baik seorang pria tinggal bersama wanita selain pasangan.""Mas, bukankah ini keputusanmu!" Arum semakin membentak Pandu Iya sama sekali tidak terima dengan keputusan pandu yang mendadak seperti itu."Jika kau menginginkan kita menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, lalu kenapa kau membentakku seperti ini? Arum, kau sudah emosi dengan kecemburuanmu yang tidak jelas seperti itu. Apa yang harus aku lakukan. Percuma saja aku menjelaskan. Tapi, kau tidak mau mendengarkanku. Untuk apa kita bersama? Sebaiknya kita berpisah dan itu adalah keputusanku. Sebagai istri, jangan pernah membantah apa yang suamimu katakan!"Pandu berjalan meninggalkan Arum yang masih menahan amarah. Pandu