Pandu menatap Ardi Sahabatnya yang memiliki sebuah rencana. Namun dia tidak mengerti apa itu rencana Ardi. Pandu menarik lengan Ardi kembali menanyakan dengan pasti apa yang akan dia lakukan.
"Sahabatku, apa yang akan kau lakukan? Bagaimana caranya kita masuk ke dalam sana? Aku tahu aku pasti sangat menderita. Kita harus membawanya keluar. Tapi dia istri orang lain. Hah, bagaimana caranya aku bisa membuat Wojo menceraikannya," ucap Pandu gelisah. Dia memegang kepalanya. Hatinya benar-benar resah. Ardi segera mendekatinya untuk menenangkan hatinya."Aku memiliki kenalan. Dia adalah pelayan yang pernah bekerja di sana. Namanya Maya. Yah, dia mengetahui semua seluk-beluk rumah itu. Dia juga memiliki tetangga yang bekerja di sana. Namun, Maya sekarang telah keluar. Nyai Niye memecatnya karena dulu pernah membantuku untuk memberikan surat kepada Arum dan ketahuan. Sebenarnya aku merasa bersalah dengannya. Tapi, tenang saja. aku selalu membuat dia menikmati kehidupannya. AkuApalah daya. Hati yang masih mengharap dan menunggu, kini sirna. Arum masih saja menundukkan kepala sambil melepaskan tangisan. Dia terisak, semakin … terisak! Air matanya menetes deras. Jantungnya berdebar sangat hebat. Lebih hebat dari biasanya, bahkan berkali-kali lipat.“Ibu, kenapa kau mengatakan sumpah itu. Kini, sumpah itu terlaksana. Apa yang harus aku lakukan untuk membuat Ibu sadar jika sumpah itu sangat haram untuk diucapkan apalagi dari mulut seorang Ibu,” ucapnya masih dengan suara serak akibat tangisan.Kematian kini yang menghampiri Pandu. Arum masih tak kuasa. Dia tidak bisa lagi menahan tubuhnya. Rasanya, dia sudah tidak kuasa untuk bernapas.“Untuk apa aku menjalani kehidupan ini jika aku tidak bersamamu? Bisakah aku hidup tanpamu? Bahkan bernapas saja aku tak kuasa. Mas … kenapa kau melakukan itu? Bukankah kau berjanji akan menjemputku dan menikahiku?”“Dia sudah mati, Nyai!” teriak Must
Arum tersenyum, setelah membaca isinya. Dia meremasnya, kembali terisak.“Mas ….” lirihnya.Arum berlari kembali mendekati jendela kamarnya. Ingin sekali dia berteriak kencang. Rasa terkejutnya membuat dia ingin melakukan itu. Dia tidak tahu akan berkata apa.“Alam menyetujui hubungan kita. Bahkan kau bangkit dari kematian. Aku … aku akan bersemangat. Dia berjanji akan menjemputku kembali. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan ini semua,” batinnya sembari meremas surat yang sudah Ardi tulis dan mengatakan, “Pandu sudah berada di Jakarta. Jika kau mendengar dia tidak bernyawa, itu salah. Memang dia melakukan itu. Namun, dia bangkit dari kematian dan akan menjemputmu. Kami berada di Hotel Monumen.”“Mas, aku akan menunggumu,” batinnya sembari mengusap air matanya. Dia memikirkan cara untuk menuju hotel itu.“Hotel itu tidak jauh dari sini. Aku akan menuju ke sana. Aku akan mencari tah
Ardi menghampiri Maya. Sementara Pandu membuka secarik kertas yang dia terima dari Maya. Pandu melotot ketika membacanya.“Mas, aku akan menemuimu di monumen saat malam. Tunggullah aku di sana. Kekasihmu, Arum,” gumamnya pelan sembari membaca pelan pesan yang sudah dituliskan Arum.Hatinya berdebar seketika. Ardi diam tergugu kehabisan kata-kata. Maya tersenyum, terpana melihat air mata kebahagiaan Pandu. Dia merasa sudah membayar hutangnya saat itu kepada Pandu saat dia gagal memberikan surat pertama.“Aku akan di sini saat sore menjelang malam,” ucap Pandu bersemangat. “Aku akan bersiap. Aku akan kembali ke hotel. Maya, terima kasih semuanya. Aku tidak tahu harus berkata apa,” lanjut Pandu tersenyum. Dia menarik Maya dan memeluknya. Seketika Maya tersenyum sembari menggaruk-garuk rambutnya yang tidak terasa gatal. Hal itu dia lakukan karena ini pertama kalinya dia dipeluk pemuda tampan.“Hmm, kamu itu wajahnya m
Pandu masih tidak mengerti kenapa Arum sama sekali tidak hadir. Padahal sudah jelas-jelas di surat itu dia mengatakan akan hadir tepat waktu di taman Monumen Monas."Kenapa kau tidak datang Kekasihku, Aku sudah menunggumu. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ada suatu hal yang buruk terjadi kepadamu? Ataukah suamimu tidak memperbolehkanmu? Apa suamimu memergokimu, hingga membuatmu tidak bisa keluar dari sana dan malah mendapatkan hukuman yang sangat berat?"Sekumpulan tanda tanya hadir di dalam pikirannya. Pandu segera mengamati semua arah tidak peduli hujan sudah menderas menerpa tubuhnya dia tetap masih berharap Arum akan segera muncul di sana."Ini benar-benar sangat menyebalkan! Wanita itu sudah membuat sahabatku kecewa lagi dengan janjinya yang selalu saja diberikan. Kenapa dia tidak datang dan membuat sahabatku itu bahagia? Seharusnya Arum bisa keluar dari rumah itu dengan mudah. Dia adalah pemilik sah rumah itu dan pasti memiliki beribu
Lampu yang sangat menyilaukan, membuat Arum tidak bisa memandang jalanan. Dia mengangkat tangannya untuk menutup sebagian matanya. Apalagi hujan sangat deras. Sang pengendara pun tidak mengetahui Arum ternyata berada di tengah jalanan."Argh!"Suara teriakan terdengar cukup keras. Hendra yang semula berlari kencang untuk mendekati Arum, kini spontan menghentikan langkah. Dia tidak percaya dengan penglihatannya. Arum terkena ujung mobil yang sudah melintas. Pengendara itu keluar dari mobil dan sangat panik ketika melihat Arum tergeletak di jalanan dengan luka-luka yang cukup parah. tubuhnya dipenuhi darah!"Ini tidak mungkin! Hah, kenapa Arum mengalami kecelakaan yang sangat mengerikan? Aku ... aku tidak boleh berada di sini. Aku tidak boleh ketahuan. Aku harus pergi dan membiarkan dia. Atau ... aku harus bagaimana?" batin Hendra dengan rasa
Maya menyampaikan dengan terpatah-patah. Pandu semakin menatapnya. Dia … dia sudah menduga. Ini pasti ada hubungannya dengan Arum. Pandu menarik napas, bersiap untuk mendengar perkataan Maya.“Maya, jangan memotongnya. Kenapa kau malah menghentikan ucapanmu. Aku benar-benar ingin mengetahuinya. Aku--”“Nyai Utama koma. Dia tertabrak mobil. Sekarang dia berada di rumah sakit.”Tulang rusuk Pandu seakan retak. Jiwanya merana, sangat … hancur!“Tidak! Ini … tidak mungkin terjadi. Aku tidak percaya,” ucapnya sembari mengepalkan kedua tangan. “Ini salahku. Jika aku tidak memberi pesan itu, dia tidak akan datang. Aku yang bersalah. Aku yang membuat dia seperti ini. Arum … kau …”Pandu beranjak dari duduknya. Dia berjalan gontai menuju pintu balkon kamar. Membukanya lebar-lebar. Kini langkahnya semakin cepat hingga sampai di ujung pagar. Pandu mencengkeram permukaan pagar d
Suara serak, pelan, terdengar mengejutkan semua orang. Pandu menatap ranjang dengan terpaku. Perlahan dia akan melangkah, namun tangan Wojo menghadang. Wojo mengernyit dalam, menggelengkan kepalanya. Dia tidak akan pernah membiarkan Pandu untuk mendekati Arum.“Kau tidak berhak atas dirinya. Kau … bukan siapa-siapa. Aku adalah suaminya. Jangan membuat keributan di sini,” ucap Wojo pelan namun menekan.Pandu tidak menatapnya. Dia hanya mendengarkan perkataan Wojo. Pandangannya masih sangat serius tertuju ke ranjang. Apalagi air mata Arum terlihat menetes. Ingin rasanya Pandu berjalan, mendekati sang pujaan. Ingin rasanya dia memeluk, dan menenangkan jiwanya. Namun, apalah daya. Perkataan Wojo memang benar. Dia tidak berhak untuk melakukannya.“Pandu, kita harus pergi dari sini,” ucap Ardi sembari menekan pundak Pandu. “Hei, paling tidak dia sudah sadar. Arum pasti akan sembuh,” lanjutnya berusaha membuat Pandu mengerti.
Sabrina berkemas untuk pergi ke Jakarta. Dia tidak sabar untuk menemui Pandu. Dia akan merahasiakan hal ini dengan semua orang. Dia berniat akan membawa Pandu ke Yogyakarta. Sabrina menemui Joko yang sebenarnya tidak setuju dengan keinginan Sabrina.“Nona, apakah Anda tidak berpikir dahulu? Bagaimana jika Raden tidak berkenan Anda ke sana. Hati Anda akan semakin sakit.”“Jangan ikut campur. Mana mungkin aku akan membiarkan tunanganku pergi begitu saja. Aku … akan tetap mengejarnya,” balas Sabrina tegas.Joko menundukkan kepala. Menurut perkataan Sabrina. Dia tidak mungkin membantah perintah majikannya.**Pandu semakin memendam amarah. Dia ingin sekali membawa Arum pergi dari sana. Namun, dia sudah bersalah! Benar kata Wojo. Dirinya tidak sepatutnya untuk menemui Arum. Dia miliknya. Wojo milik Arum. Walaupun keajaiban sudah berada di depan mata, itu hanya sesaat. Walaupun kehadirannya membuat Arum terbangun, dia tetap