Walaupun tahu bahwa Jo sudah balikan dengan Risa, Riana tetap masih merasa deg-degan. Baik Jo dan Risa, sama-sama membuatnya gelisah."Oh, udah balik nih orangnya," Risa tersenyum manis pada Riana."Iya," Riana tersenyum kaku. Dia mengambil duduk di samping ibunya. "Bu, minum dulu," Riana menyodorkan soda dingin ke ibunya."Tadi niatnya kami cuma jalan. Tapi kata Jo, ada ibumu. Jadi, kita dateng buat nyapa. Nggak masalah kan?" tanya Risa."Iya. Nggak masalah kok," jawab Riana. Lagipula memang tak ada aturan yang melarang untuk saling sapa saat berpapasan."Kamu mau ikutan makan juga, Sayang?" tanya Jo pada Risa."Iya. Mau. Tapi dibawa pulang aja. Minumnya yang cola dingin aja ya?" pesan Risa."Oke," Jo mengecup pipi Risa lalu bangkit dari duduknya. Pergi memesankan makanan untuk Risa.Riana memilih memperhatikan ibunya saja. Aneh juga jika dirinya berkomentar. Apalagi setelah semua momen aneh dan menyeramkan yang dialaminya karena ulah Risa dan Jo. Mendapati situasi seperti saat ini m
CLANG!Gelas susu cokelat yang Riana pegang merosot jatuh ke lantai. Isinya tumpah mengalir membasahi lantai dapur. Buru-buru Riana mengambil serbet di dekat kompor gas dan mengelap tumpahan susunya."Untung isinya tinggal dikit," gumam Riana sambil berjongkok dan mengelap cairan berwarna cokelat itu sampai lantai menjadi bersih.Sambil mengelap lantai, Riana merasa perasaannya agak tidak enak. Seperti ada sesuatu yang membuatnya berdebar-debar tapi membawa nuansa aneh. Riana mengelus-elus dadanya. Mulutnya menghembuskan napas berulang-ulang untuk menghilangkan perasaan itu."Moga-moga nggak ada apa-apa," gumamnya sambil berdiri lalu menaruh serbet kotor itu di ember cucian khusus lap-lap dapur.Ting tong.…. Ting tong…..Bel rumah Riana berbunyi nyaring. Samar-samar terdengar suara Sena memanggilnya."Riana! Aku udah di luar!" teriakan kencang Sena sudah memasuki ruangan dapur rumahnya. Riana tersenyum simpul lalu segera melangkah ke ruang tamu. Tangannya menarik gagang pintu dan memb
"David!" Riana langsung menjatuhkan sapu ijuknya lalu berlari menghampiri suaminya. Dia memeluk suaminya yang baru saja keluar dari dalam mobil."Hupla!" David mengangkat tubuh Riana lalu memutarnya sambil memeluknya erat. Riana tertawa senang. Mirip bocah TK yang digendong ayahnya.David menurunkan Riana. Takut kepala istrinya bakal pusing kalau kelamaan digendong sambil berputar-putar."Kok cepet pulangnya," tanya Riana tepat ketika kakinya menapak tanah yang dilapisi rerumputan hijau."Kenapa? Nggak suka?""Suka dong! Aku udah kangen banget sama kamu," Riana senyum-senyum manja. Pipinya memerah tomat terkena sepuhan cahaya matahari senja.Kedatangan suaminya bertepatan saat dirinya sedang bebersih halaman depan rumah. Maklum, rumahnya ada banyak pohon-pohon besar nan asri. Membutuhkan sebuah kerajinan ekstra agar rumahnya tak terlihat seperti rumah yang lama tak dihuni."Kamu nyapu sendirian?" pandangannya mengedar ke seluruh halaman rumah."Iyalah. Dulu kan juga gini.""Jangan nya
David segera menyelesaikan makan malamnya yang sudah disiapkan Riana sepenuh hati. Selama di rumah ayahnya, dia jarang menyentuh makanan. Memang para pembantu menyediakan makanan sesuai permintaannya. Akan tetapi, suasana tak menyenangkan di rumah itu membuatnya malas makan.Karenanya, saat tadi Riana menawari dirinya coipan, dia langsung melahapnya dengan rakus. Selain karena rasa segar bengkoang dalam coipan yang memang lezat dan membuat selera makan meningkat. Makan bersama dengan orang yang dikasihi adalah momen yang paling menyenangkan. Apalagi masakan yang dimakan adalah masakan buatan istri tercintanya. Tentu dia sangat senang dan mau menghabiskannya secepat kilat. Bahkan, jika masakan Riana keasinan atau hambar, dia akan tetap menghabiskannya. Karena suasana hangat yang dirasakan saat bersama dengan Riana, sudah lebih dari cukup untuk membuat hatinya bahagia.Untungnya, Riana pandai memasak. Ditambah lagi, Riana juga suka dan mahir eksplorasi resep masakan baru. David cukup be
Pemanasan yang diberikan David membuat Riana kembali mendapatkan pelepasannya. Seluruh tubuh Riana kembali lemas dalam kenikmatan.David menelusur naik lagi ke atas. Mulai bersiap melakukan inti dari semua pemanasan yang dilakukannya sedari tadi."Aaahn…. David…. Buruan…" pinta Riana, memburu suaminya agar segera cepat tancap. Dirinya sudah tak sanggup lagi berlama-lama disiksa kenikmatan nanggung seperti ini.David tersenyum menatap istrinya yang merengek meminta kehadiran dirinya. "Siap-siap ya," pesan David sebelum mulai memasuki kedalaman tubuh Riana."Iyaaah…. Hnnn…." Riana mulai memegangi seprei yang menjadi alas tidurnya. Perlahan-lahan David mulai masuk dan keluar dalam dirinya secara berulang-ulang. Membuat punggungnya naik turun secara otomatis sehingga dua gundukan gunung kembarnya semakin menjulang.Tak mau melewatkan kesempatan, David pun mulai menyambarnya. Kali ini agak tak sabar. Ya, setiap kali melihat buah dada istrinya, David selalu tak bisa sabar. Dirinya jadi beru
Saking kagetnya, Riana melongo. Hampir-hampir buah di mulutnya terjatuh. Untungnya tangan David langsung bergerak mengatupkan kembali mulutnya."Eh, maaf," Riana tersadar lalu mengusap-usap mulutnya yang belepotan."Tapi kamu yakin?" Riana kembali menanyakan pertanyaan yang sudah dijawab oleh David. Otaknya sudah berpikir dari awal kalau David akan menolak hal itu. Jadi, jawaban David, membuatnya masih syok dan tak percaya.David mengambil hape Riana. Dia membuka dan mencari nomor Risa. Jempolnya menekan tombol telepon."Halo?" Risa menjawab telepon Riana. Bingung dan kaget juga karena jam segini Riana meneleponnya."Ini aku, David.""Oh, pantes…." desis Risa paham. Sangat tidak mungkin bagi Riana untuk menelepon dia. Apalagi setelah semua hal yang terjadi di antara mereka."Kau menawari istriku paket liburan ya?""Oh iya. Aku dapat paket liburan bulan madu. Endorse iklan.""Oke. Aku ikut. Kirim meeting point-nya di mana besok," David mematikan telepon. Dia menyerahkan kembali hape it
"Bangun, Sayang. Udah mau siang ini," David membelai pipi Riana."Hng…" Riana hanya mengulat. Malas membuka mata. David meniup-niup mata Riana."Hng….!" Riana membalikkan badan. Tangannya menarik selimut lebih rapat dan tinggi sehingga yang terlihat hanyalah ujung kepalanya saja.David menggelengkan kepala. Sekarang sudah hampir jam 10 dan istrinya belum bangun juga. Padahal, hari ini dia ingin mengajak istrinya pergi ke butik untuk mencari baju pernikahan dan prawedding mereka. Walaupun pernikahan mereka masih menunggu sampai Riana lahiran, David ingin mempersiapkan semuanya dengan matang. Tapi, sepertinya Riana sangat kelelahan karena ulahnya semalam.Hape David bergetar. Ada pesan dari Gia. Banci itu menanyakan apa David mau mengajak dirinya pergi ke butik. Sekalian menjelaskan soal berkas yang David terima dari ayahnya saat di Jakarta. Belum sempat membalas, Gia sudah keburu menelepon duluan."Lama amat Bebeb kamu itu responnya?!" omel Gia saat David mengangkat telepon. “Kamu mau
"Waaaah," Riana memandang takjub hamparan lautan yang ada di sekitarnya. Hamparan perairan biru di hadapannya berkilauan tersepuh cahaya matahari siang.Pelayaran menuju Pulau Putri, salah satu pulau yang ada di gugusan Pulau Seribu, menjadi hal yang sangat Riana nanti. Pasalnya, saat di Bali, dia belum mencoba berenang di pinggiran pantai atau main snorkeling karena David terus meminta jatah padanya. Kali ini dia ingin mencoba keliling pulau dan snorkeling."Ayo Riana, kita ke cottage dulu," ajak Risa yang sedari tadi menemani Riana mengobrol.Sekarang Riana semakin lebih akrab dengan Risa. Semua permasalahan dan kesalahpahaman di antara mereka sudah selesai. Riana juga tak ingin menambah musuh dalam hidupnya. Makanya, dia mencoba menerima kehadiran Risa sebagai seorang teman baru baginya."Iya," Riana melempar senyum manis pada Risa. Sebuah senyuman yang bagi Risa masih terlalu canggung sebenarnya. Meski begitu, Risa sadar bahwa Riana memang sosok yang polos dan tak suka mendendam.
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula