Saking kagetnya, Riana melongo. Hampir-hampir buah di mulutnya terjatuh. Untungnya tangan David langsung bergerak mengatupkan kembali mulutnya."Eh, maaf," Riana tersadar lalu mengusap-usap mulutnya yang belepotan."Tapi kamu yakin?" Riana kembali menanyakan pertanyaan yang sudah dijawab oleh David. Otaknya sudah berpikir dari awal kalau David akan menolak hal itu. Jadi, jawaban David, membuatnya masih syok dan tak percaya.David mengambil hape Riana. Dia membuka dan mencari nomor Risa. Jempolnya menekan tombol telepon."Halo?" Risa menjawab telepon Riana. Bingung dan kaget juga karena jam segini Riana meneleponnya."Ini aku, David.""Oh, pantes…." desis Risa paham. Sangat tidak mungkin bagi Riana untuk menelepon dia. Apalagi setelah semua hal yang terjadi di antara mereka."Kau menawari istriku paket liburan ya?""Oh iya. Aku dapat paket liburan bulan madu. Endorse iklan.""Oke. Aku ikut. Kirim meeting point-nya di mana besok," David mematikan telepon. Dia menyerahkan kembali hape it
"Bangun, Sayang. Udah mau siang ini," David membelai pipi Riana."Hng…" Riana hanya mengulat. Malas membuka mata. David meniup-niup mata Riana."Hng….!" Riana membalikkan badan. Tangannya menarik selimut lebih rapat dan tinggi sehingga yang terlihat hanyalah ujung kepalanya saja.David menggelengkan kepala. Sekarang sudah hampir jam 10 dan istrinya belum bangun juga. Padahal, hari ini dia ingin mengajak istrinya pergi ke butik untuk mencari baju pernikahan dan prawedding mereka. Walaupun pernikahan mereka masih menunggu sampai Riana lahiran, David ingin mempersiapkan semuanya dengan matang. Tapi, sepertinya Riana sangat kelelahan karena ulahnya semalam.Hape David bergetar. Ada pesan dari Gia. Banci itu menanyakan apa David mau mengajak dirinya pergi ke butik. Sekalian menjelaskan soal berkas yang David terima dari ayahnya saat di Jakarta. Belum sempat membalas, Gia sudah keburu menelepon duluan."Lama amat Bebeb kamu itu responnya?!" omel Gia saat David mengangkat telepon. “Kamu mau
"Waaaah," Riana memandang takjub hamparan lautan yang ada di sekitarnya. Hamparan perairan biru di hadapannya berkilauan tersepuh cahaya matahari siang.Pelayaran menuju Pulau Putri, salah satu pulau yang ada di gugusan Pulau Seribu, menjadi hal yang sangat Riana nanti. Pasalnya, saat di Bali, dia belum mencoba berenang di pinggiran pantai atau main snorkeling karena David terus meminta jatah padanya. Kali ini dia ingin mencoba keliling pulau dan snorkeling."Ayo Riana, kita ke cottage dulu," ajak Risa yang sedari tadi menemani Riana mengobrol.Sekarang Riana semakin lebih akrab dengan Risa. Semua permasalahan dan kesalahpahaman di antara mereka sudah selesai. Riana juga tak ingin menambah musuh dalam hidupnya. Makanya, dia mencoba menerima kehadiran Risa sebagai seorang teman baru baginya."Iya," Riana melempar senyum manis pada Risa. Sebuah senyuman yang bagi Risa masih terlalu canggung sebenarnya. Meski begitu, Risa sadar bahwa Riana memang sosok yang polos dan tak suka mendendam.
"Jo, jalan-jalan yuk?" ajak Risa. Saat sunset tiba biasanya menjadi momen tepat untuk berjalan santai sembari bermanja ria dengan pasangan."Ke?""Pantailah. Lihat sunset. Ya?" Risa memeluk manja Jo yang masih asik duduk sambil bermain hape dari belakang."Hmm, oke," jawab Jo. Berlama-lama di kamar cukup membosankan juga. Jo ingin berjalan-jalan ke sekitaran juga. Siapa tahu dirinya bisa bertemu dengan Riana. Ya, walaupun harus melihat David di sisi wanita pujaannya itu."Yeeeeiy!" Risa mengecup dalam-dalam bibir Jo lalu mengambil topi pantainya.Walaupun hanya mengenakan dress sederhana berwarna cokelat susu dan sandal, Risa sudah tampak sangat memukau. Aura modelnya selalu terpancar indah. Tak ayal jika setiap orang asing melihatnya langsung berhenti sebentar untuk melihatnya. Entah itu laki-laki atau perempuan. Mereka terlalu terpukau dengan kecantikan Risa."Jo, kamu nggak cemburu?" tanya Risa ingin tahu pendapat Jo. Harusnya sih Jo sadar kalau orang-orang menatap Risa cukup lama
Keesokan harinya, Riana merasa lebih segar. Tak sepegal kemarin sore setelah bermain dengan David. Dia bersyukur David membiarkannya sungguhan istirahat. Tak mengganggunya sama sekali."Tidur lagi sini. Udah solat kan?" tanya David sambil meraih tangan Riana yang duduk di pinggiran kasur. Matanya masih menyipit karena ngantuk."Udah sih. Tapi pengen jalan pagi.""Bobok aja. Nanti kan mau jalan lihat Undersea World.""Bener juga. Sama snorkeling juga kan ya?""Nggak. Undersea World aja. Nggak usah snorkeling-snorkeling-an.""Aaah! Daviiiid," rengek Riana manja. David menarik istrinya itu agar rebahan di sisinya. Tak lupa dia membungkus tubuh istrinya dengan selimut lalu memeluknya."Kecapekan nanti. Jalan atau makan aja bolehnya.""Makan seafood? Aku mau banyak.""Gampang. Sekarang tidur lagi," David menenggelamkan kepala Riana dalam dadanya. Memaksa istrinya agar kembali beristirahat sebelum waktu mereka jalan-jalan tiba. Riana pun menurutinya. Lagipula dirinya juga merasa nyaman tidu
Risa terkejut saat masuk ke dalam kamar. Tampak Jo sedang berdiri di balik pintu dan menyodorkan buket kecil berisi kumpulan mawar merah."Welcome, Honey!" sambut Jo dengan senyum termanis yang pernah Risa dapatkan."Wow!!" Risa menerima buket bunga itu. Semerbak aroma mawar yang telah Jo siapkan untuknya mewangi hingga menembus lubuk hati terdalamnya."Bukannya kamu lagi demam? Kok malah bikin ginian?" Risa menatap takjub Jo."Cuma pura-pura sakit. Biar bisa bikin kejutan buatmu," Jo meraih tangan kanan Risa," Ayo masuk. Belum makan siang kan kamu?""Heum," senyum Risa tak lagi bisa disembunyikan. Wajahnya benar-benar dipenuhi oleh tatapan penuh cinta. Satu per satu sisi manis dari diri Jo mulai bermunculan. Mengejutkan sekaligus melelehkan seluruh hatinya."Aku tadi minta disiapin aneka seafood sama pihak cottage. Ada es kelapa muda juga. Ini coba deh diminum dulu," Jo mengambil sebuah kelapa hijau berukuran besar yang sudah dibuka bagian ujungnya. Disodorkannya kelapa muda itu ke h
David bangun dari duduknya. Perasaannya mendadak dipenuhi kebimbangan. Seolah ada hal buruk yang siap menanti dirinya. Padahal, Riana pergi baru sebentar saja. Tetap saja perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tak beres. Dorongan-dorongan aneh memaksanya untuk segera mencari Riana."Mendingan aku cari dia sekarang," David menuruti kata hatinya. Dia bergegas mengambil hape dan mengetik pesan untuk Riana.Di mana kamu? Aku mau nyusul. Itulah pesan yang David kirimkan ke istrinya.Tak ada balasan. Semakin menguatkan rasa tak enak yang mengganjal di hati. David bergegas berlari menuju kamar Risa dengan asumsi Riana pasti masih di sekitaran sana.Saat sampai di lorong dekat kamar Risa dan Jo, David melihat pintu kamar terbuka. Segera David mendekat dan mengintip. Tak ada tanda-tanda keberadaan orang. Sunyi senyap. David memutuskan menerobos masuk sambil memanggil-manggil nama Riana."Riana?? Riana??" David menatap ke sekitaran kamar yang senyap itu. Matanya menangkap seseorang merintih ke
Dengan sisa tenaganya David menarik motor yang tergeletak di pinggiran jalan. David segera naik lagi. Tangannya mulai menstarter motor. Deru suara mesin dan asap dari knalpot mulai bermunculan. Suaranya beriringan dengan suara napas David yang masih tersengal. Tak berapa lama, David langsung meluncur ke arah dermaga kecil tempat kapal feri mengantarkan para wisatawan ke pulau ini.Pandangan David agak meremang. Entah karena terlalu banyak kena pukul. Entah karena kondisi sekitar yang masih jarang lampu sehingga pandangannya terhalang.Samar-samar telinganya menangkap suara mesin kapal. Semakin dekat dermaga, suara itu semakin jelas. David langsung menambah kecepatan motornya. Hatinya berharap kapal itu benar kapal di mana Jo berniat membawa Riana kabur.Tepat saat sampai dermaga, David melihat ada sebuah kapal. Tapi, bukan kapal feri. Semacam kapal kecil untuk nelayan mencari ikan.Jantung David bergemuruh tak wajar. Langkahnya cepat turun dari motor. Dia berlari menyusuri jembatan ba
"Pagi, Rafa!" Riana menyapa dengan hangat. Jalan pagi berdua dengan David membuat mood Riana naik drastis.Rafa yang baru keluar kamar tertegun menatap mamanya yang tampak bersemangat. Sudah hampir sebulanan mamanya tampak lesu seperti orang tak ingin hidup. Kata Mbok Shinta, itu karena adiknya tak jadi lahir. Calon adiknya di perut mamanya menghilang dan gara-gara itu mamanya jadi sedih.Mendengar kabar itu, Rafa juga sedih. Tapi, mamanya sudah sangat sedih. Jadi, dia memutuskan untuk tidak tampak bersedih dan melakukan kegiatan sehari-hari dengan lebih mandiri. Intinya, Rafa bertekad lebih mandiri dan tidak bergantung pada mamanya agar tidak menambah duka dan beban pikiran mamanya."Udah mandi? Mau Mama mandiin?" tanya Riana dengan senyum cerah."Mama lagi seneng ya?" tanya balik Rafa. Hatinya ingin memastikan mamanya memang baik-baik saja.Riana tersipu malu sambil memegangi pipinya," Hehehe, senenglah. Kan lihat Rafa pagi ini."Rafa semakin melongo dengan tingkah aneh mamanya itu.
Dulu, saat bangun dari tidur, aku selalu takut melihat ke sisiku karena ada dirimu di sana. Aku sangat takut. Tiap kali berdua denganmu, jantungku seperti berhenti berdetak. Pikiranku selalu berdoa agar suatu saat bisa terlepas darimu.Nyatanya, setelah waktu berlalu. Aku malah berharap selalu bisa berada di sisimu. Hatiku selalu merasa lebih tenang, jika kamu bersamaku.Seperti saat ini. Waktu pagi datang. Kedua kelopak mataku terbuka. Aku langsung menoleh ke samping, mencarimu. Senyumku otomatis berkembang saat indera penglihatanku menangkap bayang dirimu ada di sisiku.Sudah banyak hal yang kami lalui bersama. Suka duka menjalani kehidupan sehari-hari yang terasa seperti naik roller coaster. Aneh. Sejujurnya aku takut naik roller coaster dan tentunya kehidupan seperti roller coaster saat bersama denganmu juga membuat jantungku tak bisa berdetak tenang barang sesaat. Namun, semuanya tak terasa menakutkan saat bersamamu.Memang ada kalanya kesedihan yang teramat menyakitkan membuatku
Ekor mata Riana melirik-lirik gugup ke arah David. Dia tak berani langsung menoleh. Apalagi sekarang adegan panas di layar sedang berjalan.Masih terus melirik-lirik, Riana pura-pura mengambil popcorn yang ada di antara dirinya dan David. Tentu dengan pikiran agar terlihat natural. Namun, jari-jarinya tak bisa menemukan tempat popcorn yang diinginkannya."Kok? Harusnya kan di sini?" gumam Riana. Niatnya pun berubah. Jari-jarinya bergerak menelusuri sekitaran tubuh David. Bodohnya, dia melakukannya sambil tetap melirik. Tidak langsung menoleh."Eh? Kok? Menonjol?" Riana terkaget lalu akhirnya menoleh. Tampak David sudah berdeham-deham saja menatap ke arahnya.Kedua mata Riana membelalak lebar. Gara-gara asal meraba saat mencari popcorn, jarinya malah memegang junior David. Bukan popcorn yang dia cari!"Maaf, David!" buru-buru Riana menarik kembali tangannya. Mukanya sangat panas. Bahkan, suhu dingin AC di bioskop tak bisa meredam hawa panas yang menjalari wajahnya. Yang bisa Riana laku
Sepulang dari menjenguk Risa, David mengajak Riana makan. Dia membelokkan mobilnya ke arah Cihampelas Mall."Kok ke mall?" Riana menatap David bingung."Ke Mujigae. Kamu suka korea-koreaan kan?""Hmm, iya sih. Tapi, kamu doyan?""Kalau sama kamu mah, apa saja bisa jadi enak. Yang penting kamu makannya banyak. Oke?" David membuka pintu mobil lalu keluar. Setelah itu, dia berlari ke tempat Riana berada untuk membukakan pintu mobil buat Riana."Makasih," Riana memegangi erat jemari David sambil melangkah keluar mobil.David terus menggandeng tangan Riana sampai tiba di tempat makan. Dia memesan hampir semua aneka makanan di buku menu yang disediakan oleh pramusaji."David! Siapa yang mau makan itu semua?" Riana melongok pada tab menu pemesanan yang diklik oleh David. Matanya membelalak melihat banyaknya makanan yang David pilih."Kamu. Tugasmu sekarang makan banyak," David menekan tombol order untuk mengakhiri pesanan.Riana terpaksa mengikuti ucapan David. Toh, orderan sudah terlanjur d
Entah ini sudah hari ke berapa aku berada di rumah sakit. Aku tak tahu. Atau mungkin tepatnya tak ingin tahu.Luka di tubuhku sudah mendingan. Seharusnya aku sudah bisa pulang ke apartemenku. Tapi, aku tak mau pulang. Tempat itu hanya akan mengingatkan pada kenangan-kenangan manis yang ternyata hanyalah tipuan. Memikirkannya saja membuat air mataku meleleh.Padahal, aku sudah sangat percaya. Kukira memang sudah benar-benar mau menerimaku. Nyatanya, dia hanya menipu dan merampas semua kenangan indah yang dia berikan padaku secara sepihak. Bahkan, janin dalam kandunganku ikut dia rampas. Betapa dia sangat tidak memiliki hati. Anak di kandunganku kan anaknya juga. Tapi kenapa dia tega melakukan itu? Membuat janin yang belum genap tiga bulan itu sirna dari dunia. Sungguh sangat jahat dirimu, Jo. Harusnya aku menyadari ini semua dari awal. Tapi, semua sudah terlambat. Dari awal, batin dan pikiranku sudah tertutupi oleh cinta butaku padamu, Jo. Jika saja… jika saja aku masih bisa berpikir j
Sudah seminggu lebih waktu berlalu sejak kejadian itu. Kejadian yang sangat memilukan. Bagiku dan Riana.Hari-hari kami di rumah jadi sepi. Riana lebih suka mengurung diri di kamar. Jarang makan. Wajahnya jadi lebih pucat dan tirus.Aku tahu. Ini pasti sangat berat untuknya. Ibunya sudah menginap di rumahku. Bahkan, Sena. Kubiarkan mereka menemani Riana. Karena kupikir, lingkungan yang lebih ramai, bisa membuat dirinya lebih ceria.Memang saat bersama orang lain, dia sudah bisa menanggapi dengan baik. Walau hanya beberapa patah kata dan senyum simpul. Menurut laporan psikolog yang tiap harinya kutugaskan untuk membantu terapi Riana, kondisi Riana memang masih membutuhkan proses. Dikarenakan Riana tipe perasa. Butuh waktu lebih lama menuntaskan rasa duka."Kira-kira ada alternatif lain tidak untuk membantunya?" tanyaku pada sang psikolog. Sejujurnya aku juga tak sanggup jika tiap malam mendengar Riana menangis sendirian. Hatiku selalu ikut teriris mendengarnya. Aku pun sudah tak bisa b
"David...." panggil Riana lemah."Iya, Sayang," David mencoba mencari wajah istrinya yang masih tersembunyi dalam dadanya. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut dan pelipis istrinya."Rumah sakit…. Aku mau ke rumah sakit," rengek Riana. Tangannya meremas kaos polo David yang berwarna hitam pekat."Iya. Ayo," David langsung menggendong Riana keluar kamar. Riana menelusupkan kepalanya dalam dekapan dada David. Memang hatinya masih tak tenang karena obat yang baru ditelannya. Tapi, sudah ada David di sisinya. Bukankah semuanya akan berjalan baik-baik saja kan?"Bos, yang di luar sudah beres," Jono tampak tergopoh-gopoh menghampiri David."Jo di dalam. Jalankan sesuai perintahku tadi," pesan David."Iya, Bos," Jono menyanggupi perintah bosnya.David melangkah menuruni tangga. Dia berjalan membawa Riana masuk dalam mobil Jeep."Pak, ke rumah sakit terdekat," ujarnya pada sopir sewaan yang dari tadi menunggu."Siap, Bos," jawab sang sopir.Sepanjang perjalanan, David terus memangku Riana.
David terbangun dari kantuknya. Perjalanan panjang menuju lokasi Riana disekap membuatnya semakin lelah. Tanpa dia sadari, dirinya sudah terlelap begitu saja tadi."Jam berapa sekarang?" tanya David pada Joni yang ada di sisinya."Jam sembilan, Bos. Sekitar dua puluh menit lagi sampai," jelas Joni.Butuh waktu sehari penuh bagi David untuk mendapatkan lokasi Riana berada. David harus mencari info dari geng preman maupun kepolisian sekitar. Sangat beruntung, David belum pernah memiliki masalah dengan pihak kepolisian. Makanya, urusannya bisa berjalan lebih lancar dan bisa menemukan posisi Riana meski hanya berbekal plat nomor mobil saja.Jalan yang mereka lalui semakin lama kasar. Berulang kali ban mobil Jeep yang David kendarai seolah-olah meloncat melayang terbang saking terlalu sering bersentuhan dengan jalan bebatuan tak rata.David menatap ke belakang. Anak buahnya mengikuti dengan mobil di belakang. Dia kembali menoleh ke depan. Berulang kali dia menghembuskan napas penuh kegelis
Aku pikir aku mati. Ya. Saat ini kematian benar-benar dekat denganku. Malaikat pencabut nyawa ada di sisi. Walaupun aku sudah meraung-raung memohon, tak ada kepeduliannya yang tersisa untukku. Sebaliknya, mulutku malah dibungkam dengan lakban hitam.Hanya tangisku yang bisa kuandalkan. Entah sudah berapa liter air mata kucucurkan. Mataku pun sudah lelah. Tapi, hanya ini protes yang bisa kulakukan. Tak ada yang lain.Aku tak berdaya. Tak bisa melakukan apapun. Jo mengikatku begitu kencang. Tak mau menerima sedikit pun penjelasan dariku. Malah, dia meminumkan obat aneh padaku.Aku tak tahu obat apa itu. Tapi, dia memaksaku meminumnya. Jemarinya menjejalkan buliran pil berwarna putih itu ke dalam mulut dengan kasar. Aku berusaha untuk melawan, memuntahkannya. Tapi, jari-jarinya mendorong masuk pil itu ke pangkal tenggorokanku dan mengguyurnya dengan air mineral sebanyak mungkin. Aku pun tersedak bersamaan dengan pil dan air mineral yang menelusup masuk dalam tenggorokanku."Bagus!" itula