Waktu telah berlalu dengan cepat, Elmira sangat menikmati aktivitasnya menjadi mahasiswa di Paris. Ia menghabiskan banyak waktunya untuk menulis dan membaca serta belajar dengan giat agar mendapatkan hasil yang baik dan lulus tepat waktu. Siang ini Elmira masih sibuk dengan laptopnya, ia sedang mengejar deadline lomba desainer. Karena asyiknya mendesain, ia bahkan rela absen kuliah. “El, kamu kok gak masuk kuliah hari ini?” Suara Alex terdengar nyaring dari seberang sana, ia mengingatkan agenda kuliah pada Elmira. “Aku ada kerjaan, nanti aku ke apartemenmu. Mau tanya materi kuliah hari ini.” “Ah, kebiasaan lama, gak perlu. Kali ini aku yang akan datang ke apartemenmu.” “Oke, aku tunggu.” Hari ini materi kuliah yang cukup penting dalam jurusan desain. Tetapi Elmira tidak masuk karena mengejar deadline lomba hari ini, ini akan menjadi awal karir terbaiknya jika berhasil. Ia harus segera menyelesaikan desain agar segera masuk ke meja penjurian, karena setelah ini ia akan mengejar u
Dalam beberapa waktu terakhir Elmira akhirnya menghasilkan banyak karya yang membuatnya dikenal banyak orang dari segala penjuru dunia. Dia juga berhasil mendapatkan gelar juara dalam sebuah perlombaan fashion design dengan karya terbaiknya, hingga berhasil berkolaborasi dengan beberapa brand fashion ternama di Paris. Dia juga menjadi bagian dari Paris Fashion Week yang gelar dengan beberapa model ternama. Hari itu, di mana Refan datang menemuinya dan memintanya dirinya untuk pulang ke tanah air secar paksa. Elmira bersikukuh dengan keputusan yang dia ambil, dia tidak akan pulang. Meski begitu, setidaknya Refan tahu di mana keberadaan istrinya, sehingga tidak begitu khawatir walaupun harus berjarak. Meskipun begitu, kabar keberhasilan Elmira sudah sampai padanya, sebab dia sangat update mengenai berita fashion di dalam maupun luar negeri. Memang, dia tidak di sana mendampingi Elmira, tapi keberhasilan sang istri membuatnya bangga. “Kamu apa kabar, El? Sekarang kehidupanmu sudah leb
Gemuruh angin malam mendesir kalbu, bak nyanyian sendu dari sang ilahi kepada hamba yang sibuk menanti. Menanti fajar menyingsing, pancarkan sinar kehidupan yang memberikan berjuta harapan. Kerlap-kerlip lampu temaram menyelinap di antara gedung-gedung yang menjulang tinggi. Suara klakson mobil mendecit di tengah kemacetan kota, seolah tertawan dalam kerumunan banyak orang. Canda tawa semakin lebar, melukiskan lelucon konyol atau hanya sekedar menertawai kekonyolan rekannya. Celoteh ngalor ngidul semakin tak jelas lagi, seolah tak peduli ada orang lain di sekitar mereka. Elmira menyelipkan headset di telinganya, ia enggan mendengarkan mereka berbicara yang semakin larut semakin semrawut. Belum lagi, kopi di hadapan mereka telah berubah menjadi anggur merah yang memabukan. Elmira duduk sendiri di ujung ruangan sambil melanjutkan desainnya ditemani lagu-lagu favorite yang ia nyalakan melalui aplikasi musiknya. Malam ini ia ada janji bertemu di Les Deux Magots, kafe klasik yang terken
“Kenapa diam saja? Aku menunggu jawabanmu.” Elmira memaksa. “El, selama kita dekat di Paris. Kamu anggap apa semua kedekatan kita ini?” “Dih, pake nanya balik lagi, ya tentu saja persahabatan yang akrab. Teman terbaikku selama di sini?” “Hanya itu?” “Iya, tentu saja. Pertanyaan kamu aneh.” Padahal Alex berharap bahwa Elmira bisa menganggap dirinya lebih dari sekedar teman. Semua perhatian, waktu dan perjalanan mereka di Paris tentu saja hal berbeda baginya. Sayang sekali, bahwa wanita yang dikaguminya itu hanya menganggap hubungan teman dekat saja. Cukup memberikan rasa kecewa. “Aku selalu ada untukmu, memberikan waktu luangku dan memerhatikan kamu dari jauh saat kamu asyik sendiri dengan duniamu.” Sial. Jadi selama ini, Alex sering memerhatikan Elmira. Akan tetapi, Elmira tidak pernah menyadari itu. Dia selalu sibuk dengan laptopnya dan segala hal tanpa menghiraukan orang-orang sekelilingnya. “Jadi, ini jawabannya? Alasan kamu mengundangku ke tempat ini?” “Kurang lebih begi
Sore itu, usai pulang kerja. Refan segera meninggalkan kantor, dia pulang terlebih dahulu sebelum datang ke tempat Mr. Rasyid Al-Bisyri. Ia diundang ke acaranya, selain rekan bisnis, dia juga salah satu dosen terbaik di kampusnya. Tentu sangat tidak sopan jika menolak undangannya, padahal banyak tamu undangan dari kalangan pejabat. Jantungnya terus berdegup sepanjang perjalanan, ia merasa tidak ingin berangkat tapi juga sulit untuk memberikan alasan penolakan. Ia mengerti bagaimana menghargai sebuah undangan, meski ragu ia tetap melangkah. “Kok, perasaanku tidak enak. Ada apa ini, padahal semalam sudah mempertimbngkan ini,” gumam Refan pada dirinya. “Sudah sampai, silakan Tuan!” ucap sopir mempersilahkan Refan turun dari mobil. Refan pun turun dari mobil, beberapa orang yang datang juga memenuhi undangan. Kali ini dia berangkat sendiri tanpa ditemani Angga. “Semoga ini hanya acara biasa, pesta pengusaha pada umumnya,” ucap Refan sambil menghela napas panjang. “Duh, rasanya kayak
“Bagaimana jawabanmu? Bersediakah kamu menjadi menantu saya, menjadi suami dari gadis semata wayang saya” “T-tidak, ehmm maksud saya, saya tidak siap menjawab sekarang.” “Begitu, baiklah. Saya akan berikan waktu sampai kamu mendapatkan jawaban terbaikmu, saya hanya berharap kamu tidak menolaknya.” Refan terperangah. Jawaban apa yang harus dia berikan kepada Mr. Rasyid. Meskipun benar, kecantikan Aisha bisa membuatnya tersihir. Tapi tetap saja, perihal hati tidak bisa dipaksakan begitu saja. “Saya akan mencoba pertimbangkan terlebih dulu, Mr. dan membicarakan hal ini dengan keluarga saya.” “Saya paham maksudmu.” “Terima kasih, Mr. Saya boleh permisi pulang. Banyak hal yang harus segera saya selesaikan.” “Baiklah, hati-hati di jalan,” ucap Mr. Rasyid disusul dengan uluran tangan Refan menyalaminya. Tidak lupa, Refan juga menyalami seluruh keluarga besar Mr. Rasyid termasuk Aisha, segera ia menundukkan pandangan ketika kedua mata mereka bertemu. Refan mengalihkan pandangan, lalu
“Halo, Selamat siang Naura.” Suara Refan terdengar ramah dari seberang sana. Sudah lama memang keduanya tidak komunikasi. “Hai Refan! Ya ampun, sudah lama banget gak denger kabar kamu. Apa kabar?” “Kabarku baik, kamu apa kabar?” “Aku juga baik. Ada apa? Tumben sekali menghubungi?” “Tidak, hanya ingin mengetahui kabarmu saja. Bagaimana dengan kuliahmu? Katanya kamu lanjut S2?” “Ya menyenangkan, sangat menyenangkan. Aku sedang tesis dan akan segera selesai.” “Waw, kabar baik. Semoga semuanya lancar.” Suara Refan kali ini terdengar sendu, seperti sedang menahan sesuatu. Tentu saja, ingatan tentang Elmira. Dia sebenarnya ingin menanyakan kabar Elmira, tetapi lidahnya kelu untuk mengatakan hal itu. Saat ia mengecewakan Elmira, dia tidak berpikir bahwa sikapnya menyakitkan. Kini ia menyesal dan mungkin saja akan kehilangan Elmira selamanya. Benarkah Refan yang akan kehilangan? Atau justru Elmira yang akan kehilangan harapan bersama Refan. “Refan, everything okey? Are you okey?” “
Enam bulan berlalu, setelah melewati tugas panjang menyusun tesis akhirnya Elmira dan Naura berhasil menyelesaikannya. Nilainya sangat memuaskan, keduanya menjadi mahasiswa terbaik dan sukses menghadapi ujian akhir tesis. Sebagian orang mengatakan itu merupakan suatu hal menegangkan. Akan tetapi, bagi Elmira dan Naura tidak begitu berat saat keduanya mengerjakannya dengan tekun dan enjoy. “Aku senang kita bisa menyelesaikan kuliah di waktu bersamaan,” ujar Naura dari seberang sana.“Aku gak mau wisuda sendirian, kamu harus datang.”“Apapun akan aku lakukan untuk kamu El, jangan khawatir.”“Aku juga akan wisuda, tapi kamu lebih dulu. Jadi, aku bisa datang sekalian menjemput kamu pulang.”Keduanya juga diberikan kemudahan dalam menyusun tesis, meski sebagian orang merasakan tesis seperti mimpi buruk dalam kehidupannya. Belum lagi menghadapi dosen pembimbing killer. ***Hari ini, tepat pada awal bulan Oktober Elmira akan melakukan wisuda. Mendengar hal tersebut, Naura segera terbang ke
Jam menunjukkan pukul delapan pagi saat Rere tengah bersiap, hari ini ia hendak datang ke acara pernikahan Refan dengan Aisha. Meski hatinya sangat berat, tapi ia juga menghormati undangan Refan dan sebagai pembuktian bahwa ia telah merelakan Refan dalam hidupnya. Bukan hanya mengikhlaskan, pun juga menghapus pengharapan yang pernah ia perjuangkan. Bagi Elmira, Refan lelaki yang berhak diperjuangkan sebagaimana pun mestinya. Namun akhirnya ia harus kembali kecewa karena pada akhirnya Refan benar-benar tidak memilih dia dalam hidupnya. Tidak pernah izinkan sekalipun Elmira ada dalam dunianya. “Kamu yakin, El?” tanya Naura terdengar khawatir. “Bismillah, aku menghormati undangannya. Aku harus memastikan bahwa hatiku sudah menerima kenyataan ini, kenyataan bahwa Refa benar-benar pergi dari hidupku selamanya.” “Kamu tidak perlu melakukan hal ini hanya untuk menunjukkan kepada Refan.” Elmira menggulum senyum, dia menggelengkan kepala. Langkah sudah ia buat dan keputusan sudah
Tahun demi tahun yang dihabiskan Elmira untuk melupakan Refan, tapi itu tidak berhasil. Sebab ia tidak pernah benar-benar berusaha melakukannya, ia hanya mencoba tapi tidak sungguh-sungguh. Baginya, Refan ialah lelaki baik dan pendamping yang pantas untuknya. Lelaki yang akan menuntun jalannya, menjadikannya wanita yang baik. Namun harapan itu sirna sudah sejak Refan memberikan undangan pernikahannya dengan gadis bernama Aisha. Tentu sangat sulit bagi Elmira untuk memulihkan lukanya, kepingan hati yang telah retak dan sulit baginya membuat itu utuh kembali.Setelah liburannya ke Turki bersama Naura waktu itu, Elmira yang sempat melakukan percobaan bunuh diri berhasil melewati masa kritisnya. Namun, dia tidak pernah bahwa Refan juga ada di sana mendampingi. Naura menunda kepulangannya untuk menemani Elmira pulih. Refan juga berpesan agar Naura mendampingi, khawatir Elmira akan melakukan hal buruk lagi.“Aku terlalu bodoh perihal lelaki, Naura. Sudah jelas dia tidak menginginkank
Elmira menatap langit Cappadocia di malam hari, setelah perjalanan ke Cordoba mereka melanjutkan ke Cappadocia. Menginap di sana sekaligus jalan beberapa hari sebelum Naura kembali ke Indonesia. Elmira ditinggal Naura pergi keluar, sementara dirinya termenung sendiri di balkon hotel. Suara pintu hotel di ketuk beberapa kali, Elmira terperanjat. Tanpa berpikir hal aneh, Elmira membuka pintu.‘BRUKKKK!!’Tubuh Elmira tergopoh-gopoh menumpu tubuh seorang lelaki.“Refan!! Astaga, apa yang kamu lakukan di sini?”“Refan mabuk, entahlah. Tadi sudah keperingatkan agar tidak minum berlebihan.”“Tunggu! Angga, Refan! Kenapa kalian bisa di sini bersamaan? Maksudku, kenapa kalian bisa sampai di Cappadocia dan tahu hotel yang kutempati?”“Ceritanya panjang, lebih baik kamu bawa saja Refan masuk. Aku permisi dulu.”“Eh, Angga, tunggu!” Elmira belum sempat memberikan penolakan, Angga sudah pergi sebelum Elmira berhasil mengejarnya. Terpaksa dia menutup pintu kamar hotel dan membawa Refan masuk.“P
“Aku akan usahakan setelah kembali ke tanah air,” ujar Elmira sendu.“Terima kasih, aku akan sangat berterima kasih jika kamu menyempatkannya.”“Maaf, Refan. Temanku pasti mencari, sebaiknya aku pergi,” ucap Elmira sambil berlalu meninggalkan Refan yang masih berdiri mematung.Lagi. Elmira terus menghindar dari Refan. Dan sekali lagi, Refan tidak bisa berbuat apapun dan membiarkan Elmira berlalu. Tidak ada pilihan lagi, sebab saat ini Refan sudah tidak berhak lagi menaruh hati untuk Elmira.“Tunggu, El.” Refan berusaha menghentikan Elmira.“Ada apa?” tanya Elmira sambil sedikit membalikan badan menghadap Refan.“Aku belum menanyakan sesuatu padamu.”“Ya, apa itu?”“Aku masih belum mengerti, mengapa kamu memblokir semua media sosialku?”Elmira terdiam, dia sebenarnya enggan menjelaskan ini kepada Refan. Namun, Refan membutuhkan jawaban dan juga kepastian. Dia ingin tahu alasan Elmira menghindari darinya selama beberapa tahun dan hingga hari ini masih tetap sama. Elmira tidak memberika
Turki memiliki sebuah gereja di zaman Bizantium yang kemudian diubah menjadi masjid, lalu di sulap menjadi museum pada masa Kemal Attaturk. Di Eropa berbeda ceritanya, ada sebuah masjid besar di zaman kekhalifahan Umayyah yang kemudian berubah hari ini menjadi gereja katedral. Cordoba di Andalusia merupakan kota peninggalan Islam di Eropa. Di sini ada Mezquita de Cordoba, gereja yang pernah menjadi masjid kemudian menjadi gereja lagi. Jika berkesempatan liburan ke Spanyol, jangan lupa mampir ke Cordoba untuk melihat salah satu peninggalan Islam di Eropa. Adalah Mosque-Cathedral of Cordoba. Masjid Agung Cordoba yang sekarang beralih fungsi menjadi gereja katedral untuk umat Katolik.Masjid ini pada awalnya merupakan gereja untuk umat Kristen Visigoth. Masjid dibangun di atas tanah tepatnya di Calle del Cardenal Herrero, Córdoba, Andalusia, Spanyol dengan luas sekitar 309 meter persegi. Namun setelah Abd al-Rahman I menguasai daerah Iberia, gereja tersebut dibagi menjadi gereja dan j
Enam bulan berlalu, setelah melewati tugas panjang menyusun tesis akhirnya Elmira dan Naura berhasil menyelesaikannya. Nilainya sangat memuaskan, keduanya menjadi mahasiswa terbaik dan sukses menghadapi ujian akhir tesis. Sebagian orang mengatakan itu merupakan suatu hal menegangkan. Akan tetapi, bagi Elmira dan Naura tidak begitu berat saat keduanya mengerjakannya dengan tekun dan enjoy. “Aku senang kita bisa menyelesaikan kuliah di waktu bersamaan,” ujar Naura dari seberang sana.“Aku gak mau wisuda sendirian, kamu harus datang.”“Apapun akan aku lakukan untuk kamu El, jangan khawatir.”“Aku juga akan wisuda, tapi kamu lebih dulu. Jadi, aku bisa datang sekalian menjemput kamu pulang.”Keduanya juga diberikan kemudahan dalam menyusun tesis, meski sebagian orang merasakan tesis seperti mimpi buruk dalam kehidupannya. Belum lagi menghadapi dosen pembimbing killer. ***Hari ini, tepat pada awal bulan Oktober Elmira akan melakukan wisuda. Mendengar hal tersebut, Naura segera terbang ke
“Halo, Selamat siang Naura.” Suara Refan terdengar ramah dari seberang sana. Sudah lama memang keduanya tidak komunikasi. “Hai Refan! Ya ampun, sudah lama banget gak denger kabar kamu. Apa kabar?” “Kabarku baik, kamu apa kabar?” “Aku juga baik. Ada apa? Tumben sekali menghubungi?” “Tidak, hanya ingin mengetahui kabarmu saja. Bagaimana dengan kuliahmu? Katanya kamu lanjut S2?” “Ya menyenangkan, sangat menyenangkan. Aku sedang tesis dan akan segera selesai.” “Waw, kabar baik. Semoga semuanya lancar.” Suara Refan kali ini terdengar sendu, seperti sedang menahan sesuatu. Tentu saja, ingatan tentang Elmira. Dia sebenarnya ingin menanyakan kabar Elmira, tetapi lidahnya kelu untuk mengatakan hal itu. Saat ia mengecewakan Elmira, dia tidak berpikir bahwa sikapnya menyakitkan. Kini ia menyesal dan mungkin saja akan kehilangan Elmira selamanya. Benarkah Refan yang akan kehilangan? Atau justru Elmira yang akan kehilangan harapan bersama Refan. “Refan, everything okey? Are you okey?” “
“Bagaimana jawabanmu? Bersediakah kamu menjadi menantu saya, menjadi suami dari gadis semata wayang saya” “T-tidak, ehmm maksud saya, saya tidak siap menjawab sekarang.” “Begitu, baiklah. Saya akan berikan waktu sampai kamu mendapatkan jawaban terbaikmu, saya hanya berharap kamu tidak menolaknya.” Refan terperangah. Jawaban apa yang harus dia berikan kepada Mr. Rasyid. Meskipun benar, kecantikan Aisha bisa membuatnya tersihir. Tapi tetap saja, perihal hati tidak bisa dipaksakan begitu saja. “Saya akan mencoba pertimbangkan terlebih dulu, Mr. dan membicarakan hal ini dengan keluarga saya.” “Saya paham maksudmu.” “Terima kasih, Mr. Saya boleh permisi pulang. Banyak hal yang harus segera saya selesaikan.” “Baiklah, hati-hati di jalan,” ucap Mr. Rasyid disusul dengan uluran tangan Refan menyalaminya. Tidak lupa, Refan juga menyalami seluruh keluarga besar Mr. Rasyid termasuk Aisha, segera ia menundukkan pandangan ketika kedua mata mereka bertemu. Refan mengalihkan pandangan, lalu
Sore itu, usai pulang kerja. Refan segera meninggalkan kantor, dia pulang terlebih dahulu sebelum datang ke tempat Mr. Rasyid Al-Bisyri. Ia diundang ke acaranya, selain rekan bisnis, dia juga salah satu dosen terbaik di kampusnya. Tentu sangat tidak sopan jika menolak undangannya, padahal banyak tamu undangan dari kalangan pejabat. Jantungnya terus berdegup sepanjang perjalanan, ia merasa tidak ingin berangkat tapi juga sulit untuk memberikan alasan penolakan. Ia mengerti bagaimana menghargai sebuah undangan, meski ragu ia tetap melangkah. “Kok, perasaanku tidak enak. Ada apa ini, padahal semalam sudah mempertimbngkan ini,” gumam Refan pada dirinya. “Sudah sampai, silakan Tuan!” ucap sopir mempersilahkan Refan turun dari mobil. Refan pun turun dari mobil, beberapa orang yang datang juga memenuhi undangan. Kali ini dia berangkat sendiri tanpa ditemani Angga. “Semoga ini hanya acara biasa, pesta pengusaha pada umumnya,” ucap Refan sambil menghela napas panjang. “Duh, rasanya kayak