Zavier mengerutkan kening, memperhatikan istrinya secara lekat. Apa hubungan petir dengan Nara magang di perusahaannya? "Kata nenek nenek dulu, kalau satu keluarga berada di satu tempat yang sama, mereka bisa disambar petir," kejas Nara, menjawab kebingungan Zavier. "Huh." Zavier mendengus. Sudah dia duga, hanya bagian dari pikiran absurd istrinya. Tuk' Zavier menyentil kening Nara cukup kuat kemudian menatap datar ke arah istrinya yang saat ini menduselkan kening ke lutut Zavier. Tangan Nara ditahan oleh Zavier jadi dia tidak punya tempat untuk mengusap kening, dan kebetulan lutut suaminya menganggur. "Anak sepertimu lumayan berbahaya jika dibiarkan berkeliaran di tempat asing. Sudah benar aku menempatkanmu di perusahaan Daddy," ucap Zavier datar, masih menatap intens pada Nara. Melihat tingkah Nara yang seperti ini, memang sudah tepat jika dia menempatkan istrinya di perusahaannya. Dengan begitu Zavier bisa mengawasi Nara, sekaligus mendidik perempuan ini agar membentuk karakt
Setelah mengobrol singkat dengan dosen pembimbing lapangan istrinya, Zavier beranjak dari ruangan tersebut. Dia berniat kembali ke ruangannya untuk menemui Kenan dan Nara, tetapi langkah Zavier terhenti secara tiba-tiba. Zavier mengamati seorang perempuan yang mengomel tak jelas di depannya. "Argkkk … aku tidak menyangka aku ditolak masuk ke perusahaan ini hanya karena aku make lipstik merah menyala. Apa yang salah dengan lipstik merah? Sialan, siapa sih yang bikin peraturan bodoh ini? Sebagai perempuan, aku merasa terdiskriminasi. Cik," omel perempuan tersebut dengan nada jengkel. Tanpa dia sadari dan ketahui pemilik perusahaan ini memperhatikannya dan tengah tersenyum tipis ke arahnya. "Aku yang membuat peraturan," sahut suara bariton yang seksi dari bekalangnya, membuat perempuan tersebut menoleh kagat. Dengan mudah perempuan tersebut mengenali siapa laki-laki dihadapannya. Akan tetapi dia menahan diri dan berupaya untuk tenang. "Amanda," sapa Zavier tenang, menatap datar pad
"Aku sudah menghubungi Nara tetapi dia tidak menjawab. Bagaimana jika kau yang menghubunginya, Za? Aku yakin dia akan mengang …-" Ucapan Kenan berhenti begitu saja. Tiba-tiba Sereya datang dengan menyeret paksa seorang gadis mungil; gadis hilang yang membuat Kenan merasa jika dia sudah dekat dengan kematian. Hah, syukurlah Nara kembali! Kenan lega, dan hampir saja dia tewas karena insiden ini. Sial! Zavier sangat mengerikan. "Dari mana saja kau?!" marah Zavier, langsung mencekal tangan Nara dan menariknya dengan cukup kuat. Hal tersebut membuat Nara tersentak dan berpindah tempat ke sebelah Zavier. "Zavier, biar aku saja yang memarahi anak ini," ucap Sereya, nadanya mungkin kesal dan lirikannya pada Nara sangat tak bersahabat. Tetapi ada rasa tak rela ketika Zavier membentak adiknya. Sereya begitu menyayangi Nara, walau bentuk cintanya pada sang adik adalah sikap galak dan protektif. "Nara, kamu umur berapa sekarang?" tanya Sereya, menatap galak ke arah adiknya. "Ck." Nara berde
Sayangnya, Nara hanya berani mengatakan hal tersebut dalam batin. Secara langsung, dia mana berani. Dengan langkah gontai, Nara berjalan ke arah sofa. Tanpa peduli pada sosok perempuan di sana, Nara membaringkan tubuhnya--memukul-mukul sofa kemudian menjerit tertahan. Coba saja Sereya tidak menemukannya, pasti saat ini Nara sudah ikut party dengan teman-temannya. Party ala anak mahasiswa dengan budget minim, ditemani minuman dingin rasa jeruk–Nurdin adalah singkatannya. Lalu dipadu dengan biskuit khusus ibu hamil dan biskuit bayi. Mereka bermain gitar, bernyanyi bersama atau melakukan hal lainnya seperti menggosib. Itulah party yang Nara maksud. Namun, gagal sudah!"Zavier, aku meminta maaf dengan kelakuan Nara. Kamu mungkin kerepotan atau kesal. Maaf," ucap Sereya, semakin tak enak ketika melihat Nara yang dengan seenak jidat tidur di sofa ruangan ini. Apa adiknya tersebut tidak takut dengan Zavier? Tingkah Nara yang seperti ini bisa memicu kemarahan Zavier. "Tidak masalah. Aku me
Nara menoleh ke arah suara tersebut, matanya langsung melotot. Dia reflek melompat dari sofa lalu bergegas menghampiri sosok tersebut."Hehehe … selamat sore, Paman," ucap Nara menyapa dengan hangat, menyalam tangan Daddy dari suaminya tersebut. "Huh." Alarich mendengus pelan. "Kenapa masih memanggilku Paman? Mau kupisah dengan Zavier, heh?" "Wah, bagi …-" Nara menunjukkan wajah cemerlang, merasa ucapan papa mertuanya tersebut adalah hal yang sangat bagus. Namun, melihat tatapan tajam Alarich, Nara langsung mengubah ekspresi wajahnya. Dia reflek menggelengkan kepala, "tidak maksudku, Daddy -- is, Papa saja deh. Aku suka dengan putramu, Pah. Jangan pisahkan kami. Walau kusadari diri ini sangat tidak berguna, sering membuat Kak Zavier kesusahan, hanya bisa merepotkan Kak Zavier dan dapat menggambat pekerjaan Kak Zavier, tapi aku cinta padanya, Papa. Jangan pisahkan kami. Kumohon!" Alarich menatap menantunya tersebut dengan tampang malas. Dia bersedekap di dada, duduk dengan bossy di
"Bukan aku yang mengetiknya," ucap Nara, menggembungkan pipi sembari menatap kesal ke arah Zavier. Pria itu telah membacanya dsn Nara yakin sekali Zavier akan semakin kepedean. 'Ck, gimana ceritanya aku bisa ngetik begituan, dan aku nggak sadar sama sekali?' batin Nara, mundur beberapa langkah secara otomatis saat Zavier mendekat ke arahnya. "Jadi siapa?" tanya Zavier, menyeringai tipis ke arah istrinya. Nara langsung memalingkan wajah, pipinya memerah dan jantungnya berdebar kencang. Melihat ekspresi Zavier yang seperti ini, Nara merasa gugup. Dia ingat sekali, pria ini menunjukkan ekspresi ini saat dia memasuki kamar Nara--ketika ulang tahun ke tujuh belas Nara. "Umm … itu-- Kuning datang mengantar Papa dan Mama. Ah, tidak!" Nara menggelengkan kepala. Dia berniat mengalihkan pembicaraan, akan tetapi dia tak menyangka jika kegugupannya pada sosok pria mengerikan ini akan membuat Nara kehilangan kemampuan untuk merangkai kalimat, "maksudku, Papa Alarich dan Mama Aeera datang untuk
"Ini tempat kamu, dan Mbak ada di sana," ucap perempuan yang ditugaskan oleh Kenan untuk menjaga Nara tersebut sembari menoleh serta menunjuk kubikel-nya sendiri. Nara menganggukkan kepala, setelah menoleh ke arah meja kerja perempuan tersebut. "Kalau kamu ada apa-apa, kamu tinggal ke meja Mbak. Okey?" "Siap, Mbak," jawab Nara, senyum cerah pada perempuan tersebut. "Ini tugas pertama kamu dari Pak Kenan. Kamu disuruh membuat laporan. Kamu kerjakan sendiri dulu yah.""Baik, Mbak." "Kalau begitu, Mbak ke meja Mbak dulu." Nara mengangguk. Setelah perempuan bernama Inggita tersebut pergi, Nara langsung duduk . Dia menghela napas sejenak lalu menyalakan komputer. Mengingat Zavier dan Amanda berdua dalam lift, Nara mendadak tidak tenang. Pikirannya kemana-mana dan otaknya dipenuhi dengan bayang-bayang peristiwa yang tidak-tidak. "Hais, ngapain aku mikirin dia sih? Tidak berpaedah hanya bikin kolestrol naik," monolog Nara, mendengus pelan lalu memilih mengerjakan tugasnya. Ting'Noti
"Alasan!" bentak Diana, bersedekap di dada dengan melayangkan tatapan penuh kebencian pada Nara. Meskipun perempuan ini adalah adik dari salah satu petinggi di sini, Diana tidak peduli. Selagi Nara bukan keluarga Adam, Diana sama sekali tidak takut. "Aku memang tidak bisa membuat kopi. Lagian ini jam istirahat dan aku bukan office girl di sini," jawab Nara dengan berani, menatap menantang ke arah perempuan tersebut. Wanita ini sangat angkuh, sejenis dengan kakaknya. Nara tidak suka dengan orang-orang berpribadi angkuh. "Yang akan memberikan penilaian padamu adalah aku. Apa kamu mau nilaimu buruk?" Nara mengacungkan pundak, sama sekali tidak peduli dengan ancaman Diana. "Papaku banyak duit," jawab Nara pelan, acuh tak acuh pada Diana. Diana berdecis marah mendengar jawaban Nara. Tangannya terkepal dan tatapannya menghunus tajam. "Jika Papamu orang yang super kaya seperti yang kamu bilang, kenapa kamu tidak magang di tempat papamu, Anak manja? Andalkan uang papamu. Sekalian tidak p