Sayangnya, Nara hanya berani mengatakan hal tersebut dalam batin. Secara langsung, dia mana berani. Dengan langkah gontai, Nara berjalan ke arah sofa. Tanpa peduli pada sosok perempuan di sana, Nara membaringkan tubuhnya--memukul-mukul sofa kemudian menjerit tertahan. Coba saja Sereya tidak menemukannya, pasti saat ini Nara sudah ikut party dengan teman-temannya. Party ala anak mahasiswa dengan budget minim, ditemani minuman dingin rasa jeruk–Nurdin adalah singkatannya. Lalu dipadu dengan biskuit khusus ibu hamil dan biskuit bayi. Mereka bermain gitar, bernyanyi bersama atau melakukan hal lainnya seperti menggosib. Itulah party yang Nara maksud. Namun, gagal sudah!"Zavier, aku meminta maaf dengan kelakuan Nara. Kamu mungkin kerepotan atau kesal. Maaf," ucap Sereya, semakin tak enak ketika melihat Nara yang dengan seenak jidat tidur di sofa ruangan ini. Apa adiknya tersebut tidak takut dengan Zavier? Tingkah Nara yang seperti ini bisa memicu kemarahan Zavier. "Tidak masalah. Aku me
Nara menoleh ke arah suara tersebut, matanya langsung melotot. Dia reflek melompat dari sofa lalu bergegas menghampiri sosok tersebut."Hehehe … selamat sore, Paman," ucap Nara menyapa dengan hangat, menyalam tangan Daddy dari suaminya tersebut. "Huh." Alarich mendengus pelan. "Kenapa masih memanggilku Paman? Mau kupisah dengan Zavier, heh?" "Wah, bagi …-" Nara menunjukkan wajah cemerlang, merasa ucapan papa mertuanya tersebut adalah hal yang sangat bagus. Namun, melihat tatapan tajam Alarich, Nara langsung mengubah ekspresi wajahnya. Dia reflek menggelengkan kepala, "tidak maksudku, Daddy -- is, Papa saja deh. Aku suka dengan putramu, Pah. Jangan pisahkan kami. Walau kusadari diri ini sangat tidak berguna, sering membuat Kak Zavier kesusahan, hanya bisa merepotkan Kak Zavier dan dapat menggambat pekerjaan Kak Zavier, tapi aku cinta padanya, Papa. Jangan pisahkan kami. Kumohon!" Alarich menatap menantunya tersebut dengan tampang malas. Dia bersedekap di dada, duduk dengan bossy di
"Bukan aku yang mengetiknya," ucap Nara, menggembungkan pipi sembari menatap kesal ke arah Zavier. Pria itu telah membacanya dsn Nara yakin sekali Zavier akan semakin kepedean. 'Ck, gimana ceritanya aku bisa ngetik begituan, dan aku nggak sadar sama sekali?' batin Nara, mundur beberapa langkah secara otomatis saat Zavier mendekat ke arahnya. "Jadi siapa?" tanya Zavier, menyeringai tipis ke arah istrinya. Nara langsung memalingkan wajah, pipinya memerah dan jantungnya berdebar kencang. Melihat ekspresi Zavier yang seperti ini, Nara merasa gugup. Dia ingat sekali, pria ini menunjukkan ekspresi ini saat dia memasuki kamar Nara--ketika ulang tahun ke tujuh belas Nara. "Umm … itu-- Kuning datang mengantar Papa dan Mama. Ah, tidak!" Nara menggelengkan kepala. Dia berniat mengalihkan pembicaraan, akan tetapi dia tak menyangka jika kegugupannya pada sosok pria mengerikan ini akan membuat Nara kehilangan kemampuan untuk merangkai kalimat, "maksudku, Papa Alarich dan Mama Aeera datang untuk
"Ini tempat kamu, dan Mbak ada di sana," ucap perempuan yang ditugaskan oleh Kenan untuk menjaga Nara tersebut sembari menoleh serta menunjuk kubikel-nya sendiri. Nara menganggukkan kepala, setelah menoleh ke arah meja kerja perempuan tersebut. "Kalau kamu ada apa-apa, kamu tinggal ke meja Mbak. Okey?" "Siap, Mbak," jawab Nara, senyum cerah pada perempuan tersebut. "Ini tugas pertama kamu dari Pak Kenan. Kamu disuruh membuat laporan. Kamu kerjakan sendiri dulu yah.""Baik, Mbak." "Kalau begitu, Mbak ke meja Mbak dulu." Nara mengangguk. Setelah perempuan bernama Inggita tersebut pergi, Nara langsung duduk . Dia menghela napas sejenak lalu menyalakan komputer. Mengingat Zavier dan Amanda berdua dalam lift, Nara mendadak tidak tenang. Pikirannya kemana-mana dan otaknya dipenuhi dengan bayang-bayang peristiwa yang tidak-tidak. "Hais, ngapain aku mikirin dia sih? Tidak berpaedah hanya bikin kolestrol naik," monolog Nara, mendengus pelan lalu memilih mengerjakan tugasnya. Ting'Noti
"Alasan!" bentak Diana, bersedekap di dada dengan melayangkan tatapan penuh kebencian pada Nara. Meskipun perempuan ini adalah adik dari salah satu petinggi di sini, Diana tidak peduli. Selagi Nara bukan keluarga Adam, Diana sama sekali tidak takut. "Aku memang tidak bisa membuat kopi. Lagian ini jam istirahat dan aku bukan office girl di sini," jawab Nara dengan berani, menatap menantang ke arah perempuan tersebut. Wanita ini sangat angkuh, sejenis dengan kakaknya. Nara tidak suka dengan orang-orang berpribadi angkuh. "Yang akan memberikan penilaian padamu adalah aku. Apa kamu mau nilaimu buruk?" Nara mengacungkan pundak, sama sekali tidak peduli dengan ancaman Diana. "Papaku banyak duit," jawab Nara pelan, acuh tak acuh pada Diana. Diana berdecis marah mendengar jawaban Nara. Tangannya terkepal dan tatapannya menghunus tajam. "Jika Papamu orang yang super kaya seperti yang kamu bilang, kenapa kamu tidak magang di tempat papamu, Anak manja? Andalkan uang papamu. Sekalian tidak p
"Bagaimana hari pertama magangmu? Suka?" tanya Zavier pada istrinya. Saat ini mereka berada di ruangan Zavier, hanya berdua sebab Kenan dan Amanda belum kembali. "Cukup menyenangkan, Kak. Aku belajar membuat kopi," jawab Nara sedikit antusias pada bagian membuat kopi. Dia tidak berbohong mengenai tidak pernah membuat kopi sebab Mamanya tidak pernah mengajarinya karena tak percaya pada Nara tentang urusan dapur dan papanya tak pernah mengharapkan kopi buatannya. Nara sangat payah dalam urusan dapur, dan Mamanya sudah angkat tangan. "Hanya membuat kopi yang kau pelajari?" Zavier menaikkan sebelah alis, menatap datar ke arah istrinya. Nara menganggukkan kepala. "Memang cuma membuat kopi yang termasuk pengalaman baru. Kalau membuat laporan, berurusan dengan data dan macam lainnya kan aku sudah terbiasa di kampus. Kemarin-kemarin saat penelitian, tugas kami juga begini.""Humm." Zavier mengangguk pelan. Benar juga. Hampir saja dia melupakan jika makhluk mungil menggemaskan ini cukup ak
Tiba-tiba saja tangan Zavier yang merangkul mesra pundak Nara diturunkan. Pria bahkan menjauh dari Nara, menggeser tempat duduk. Nara melirik ke arah Zavier, memicingkan mata untuk mengamati raut muka datar Zavier. Sialnya selain tembok, Nara tak menemukan apapun dalam mimik wajah pria dingin ini. Sebenarnya hati Nara meringis saat Zavier menurunkan tangan dari pundaknya, sakit tersebut lebih terasa nyata saat Zavier menggeser tempat duduk--seperti ingin menjaga jarak dari Nara. Apa karena ada Amanda? 'Apa Kak Zavier terjebak dalam cinta masa kecilnya? Aku pernah mendengar kalimat jika pria memang sulit melupakan cinta pertamanya. Hais, harusnya aku tidak memikirkan hal seperti ini.' Nara menghadap depan, memperhatikan Amanda yang terlihat tersenyum tipis. Jelas perempuan ini tersenyum pada Zavier. Nara kembali menoleh pada suaminya, memperhatikan jika Zavier juga sedang menatap ke arah Amanda. Keduanya saling bersitatap, melayangkan signal cinta masing-masing. 'Mereka berdua sepe
"Masuk!" Nara menggelengkan kepala. "Tidak mau! Pulang saja sendiri, ngapain harus mengajakku. Pergi sana jauh jauh!" ketusnya pada akhir kalimat. Setelah itu berjalan cepat dari sana. "Nara Namira Adam, masuk!" perintah Zavier dingin. Akan tetapi Nara sama sekali tidak mendengarnya. Perempuan itu berlari kencang. Zavier masuk dalam mobil kemudian mengejar istrinya. Banyak yang dia khawatirkan, salah satunya kaki istri mungilnya yang tak mengenakan alas. Bagaimana jika Nara menginjak batu runcing, serpihan kaca atau benda berbahaya lainnya? Sejak awal--saat masih di kantor, Zavier sudah menduga istrinya yang sangat bandel ini akan kabur. Zavier membaca pesan di grub chat Nara, di mana teman-teman Nara mengajak untuk berkumpul. Benar saja! Saat Zavier menyuruh Nara untuk berjalan di sebelah atau di depannya, Nara menolak--memilih berjalan di belakang. Zavier sadar dan tahu Nara memperlambat langkahnya. Feeling Zavier istrinya sedang berencana untuk kabur. Zavier diam bukan karena