Nara menoleh ke arah suara tersebut, matanya langsung melotot. Dia reflek melompat dari sofa lalu bergegas menghampiri sosok tersebut."Hehehe … selamat sore, Paman," ucap Nara menyapa dengan hangat, menyalam tangan Daddy dari suaminya tersebut. "Huh." Alarich mendengus pelan. "Kenapa masih memanggilku Paman? Mau kupisah dengan Zavier, heh?" "Wah, bagi …-" Nara menunjukkan wajah cemerlang, merasa ucapan papa mertuanya tersebut adalah hal yang sangat bagus. Namun, melihat tatapan tajam Alarich, Nara langsung mengubah ekspresi wajahnya. Dia reflek menggelengkan kepala, "tidak maksudku, Daddy -- is, Papa saja deh. Aku suka dengan putramu, Pah. Jangan pisahkan kami. Walau kusadari diri ini sangat tidak berguna, sering membuat Kak Zavier kesusahan, hanya bisa merepotkan Kak Zavier dan dapat menggambat pekerjaan Kak Zavier, tapi aku cinta padanya, Papa. Jangan pisahkan kami. Kumohon!" Alarich menatap menantunya tersebut dengan tampang malas. Dia bersedekap di dada, duduk dengan bossy di
"Bukan aku yang mengetiknya," ucap Nara, menggembungkan pipi sembari menatap kesal ke arah Zavier. Pria itu telah membacanya dsn Nara yakin sekali Zavier akan semakin kepedean. 'Ck, gimana ceritanya aku bisa ngetik begituan, dan aku nggak sadar sama sekali?' batin Nara, mundur beberapa langkah secara otomatis saat Zavier mendekat ke arahnya. "Jadi siapa?" tanya Zavier, menyeringai tipis ke arah istrinya. Nara langsung memalingkan wajah, pipinya memerah dan jantungnya berdebar kencang. Melihat ekspresi Zavier yang seperti ini, Nara merasa gugup. Dia ingat sekali, pria ini menunjukkan ekspresi ini saat dia memasuki kamar Nara--ketika ulang tahun ke tujuh belas Nara. "Umm … itu-- Kuning datang mengantar Papa dan Mama. Ah, tidak!" Nara menggelengkan kepala. Dia berniat mengalihkan pembicaraan, akan tetapi dia tak menyangka jika kegugupannya pada sosok pria mengerikan ini akan membuat Nara kehilangan kemampuan untuk merangkai kalimat, "maksudku, Papa Alarich dan Mama Aeera datang untuk
"Ini tempat kamu, dan Mbak ada di sana," ucap perempuan yang ditugaskan oleh Kenan untuk menjaga Nara tersebut sembari menoleh serta menunjuk kubikel-nya sendiri. Nara menganggukkan kepala, setelah menoleh ke arah meja kerja perempuan tersebut. "Kalau kamu ada apa-apa, kamu tinggal ke meja Mbak. Okey?" "Siap, Mbak," jawab Nara, senyum cerah pada perempuan tersebut. "Ini tugas pertama kamu dari Pak Kenan. Kamu disuruh membuat laporan. Kamu kerjakan sendiri dulu yah.""Baik, Mbak." "Kalau begitu, Mbak ke meja Mbak dulu." Nara mengangguk. Setelah perempuan bernama Inggita tersebut pergi, Nara langsung duduk . Dia menghela napas sejenak lalu menyalakan komputer. Mengingat Zavier dan Amanda berdua dalam lift, Nara mendadak tidak tenang. Pikirannya kemana-mana dan otaknya dipenuhi dengan bayang-bayang peristiwa yang tidak-tidak. "Hais, ngapain aku mikirin dia sih? Tidak berpaedah hanya bikin kolestrol naik," monolog Nara, mendengus pelan lalu memilih mengerjakan tugasnya. Ting'Noti
"Alasan!" bentak Diana, bersedekap di dada dengan melayangkan tatapan penuh kebencian pada Nara. Meskipun perempuan ini adalah adik dari salah satu petinggi di sini, Diana tidak peduli. Selagi Nara bukan keluarga Adam, Diana sama sekali tidak takut. "Aku memang tidak bisa membuat kopi. Lagian ini jam istirahat dan aku bukan office girl di sini," jawab Nara dengan berani, menatap menantang ke arah perempuan tersebut. Wanita ini sangat angkuh, sejenis dengan kakaknya. Nara tidak suka dengan orang-orang berpribadi angkuh. "Yang akan memberikan penilaian padamu adalah aku. Apa kamu mau nilaimu buruk?" Nara mengacungkan pundak, sama sekali tidak peduli dengan ancaman Diana. "Papaku banyak duit," jawab Nara pelan, acuh tak acuh pada Diana. Diana berdecis marah mendengar jawaban Nara. Tangannya terkepal dan tatapannya menghunus tajam. "Jika Papamu orang yang super kaya seperti yang kamu bilang, kenapa kamu tidak magang di tempat papamu, Anak manja? Andalkan uang papamu. Sekalian tidak p
"Bagaimana hari pertama magangmu? Suka?" tanya Zavier pada istrinya. Saat ini mereka berada di ruangan Zavier, hanya berdua sebab Kenan dan Amanda belum kembali. "Cukup menyenangkan, Kak. Aku belajar membuat kopi," jawab Nara sedikit antusias pada bagian membuat kopi. Dia tidak berbohong mengenai tidak pernah membuat kopi sebab Mamanya tidak pernah mengajarinya karena tak percaya pada Nara tentang urusan dapur dan papanya tak pernah mengharapkan kopi buatannya. Nara sangat payah dalam urusan dapur, dan Mamanya sudah angkat tangan. "Hanya membuat kopi yang kau pelajari?" Zavier menaikkan sebelah alis, menatap datar ke arah istrinya. Nara menganggukkan kepala. "Memang cuma membuat kopi yang termasuk pengalaman baru. Kalau membuat laporan, berurusan dengan data dan macam lainnya kan aku sudah terbiasa di kampus. Kemarin-kemarin saat penelitian, tugas kami juga begini.""Humm." Zavier mengangguk pelan. Benar juga. Hampir saja dia melupakan jika makhluk mungil menggemaskan ini cukup ak
Tiba-tiba saja tangan Zavier yang merangkul mesra pundak Nara diturunkan. Pria bahkan menjauh dari Nara, menggeser tempat duduk. Nara melirik ke arah Zavier, memicingkan mata untuk mengamati raut muka datar Zavier. Sialnya selain tembok, Nara tak menemukan apapun dalam mimik wajah pria dingin ini. Sebenarnya hati Nara meringis saat Zavier menurunkan tangan dari pundaknya, sakit tersebut lebih terasa nyata saat Zavier menggeser tempat duduk--seperti ingin menjaga jarak dari Nara. Apa karena ada Amanda? 'Apa Kak Zavier terjebak dalam cinta masa kecilnya? Aku pernah mendengar kalimat jika pria memang sulit melupakan cinta pertamanya. Hais, harusnya aku tidak memikirkan hal seperti ini.' Nara menghadap depan, memperhatikan Amanda yang terlihat tersenyum tipis. Jelas perempuan ini tersenyum pada Zavier. Nara kembali menoleh pada suaminya, memperhatikan jika Zavier juga sedang menatap ke arah Amanda. Keduanya saling bersitatap, melayangkan signal cinta masing-masing. 'Mereka berdua sepe
"Masuk!" Nara menggelengkan kepala. "Tidak mau! Pulang saja sendiri, ngapain harus mengajakku. Pergi sana jauh jauh!" ketusnya pada akhir kalimat. Setelah itu berjalan cepat dari sana. "Nara Namira Adam, masuk!" perintah Zavier dingin. Akan tetapi Nara sama sekali tidak mendengarnya. Perempuan itu berlari kencang. Zavier masuk dalam mobil kemudian mengejar istrinya. Banyak yang dia khawatirkan, salah satunya kaki istri mungilnya yang tak mengenakan alas. Bagaimana jika Nara menginjak batu runcing, serpihan kaca atau benda berbahaya lainnya? Sejak awal--saat masih di kantor, Zavier sudah menduga istrinya yang sangat bandel ini akan kabur. Zavier membaca pesan di grub chat Nara, di mana teman-teman Nara mengajak untuk berkumpul. Benar saja! Saat Zavier menyuruh Nara untuk berjalan di sebelah atau di depannya, Nara menolak--memilih berjalan di belakang. Zavier sadar dan tahu Nara memperlambat langkahnya. Feeling Zavier istrinya sedang berencana untuk kabur. Zavier diam bukan karena
"Lebih baik kau kembali ke kamar Nara. Anak itu bisa salah paham jika melihat kita," ucap Sereya kemudian, melirik Zavier dengan raut muka muram. "Tidak akan." Zavier berkata tenang, tetapi tetap beranjak dari sana–kembali ke kamar Nara. Begitu dengan Sereya, kembali ke kamarnya sendiri. Ternyata hanya terjadi sedikit masalah, kesalah pahaman yang dua arah. Nara berpikir Zavier meninggalkannya, Zavier terlalu yakin Nara sedang melakukan siasat untuk kabur. "Ah, ada juga manfaatnya aku menakut-nakuti Nara saat itu. 'Aku tidak suka Kak Zavier, aku tidak cinta dan tidak akan pernah." Di akhir kalimat, sereya meniru logat adiknya saat ditanya apa dia suka Zavier atau tidak, "cih. Suaminya baru didekati dedemit saja sudah langsung menangis. Anak konyol."***Nara terbangun dan begitu kaget saat melihat dia tidur di kamarnya. Bukankah dia telah menikah dengan Zavier? Seharusnya dia berada dalam kamarnya dan Zavier, bukan kamarnya di rumah orang tuanya. Butuh beberapa detik agar Nara mem
"Sungguh kau tak ingin ku antar, Tuan?" tanya Bian. Alarich menganggukkan kepala kemudian segera masuk dalam mobil. Bian hanya menghela napas, mengacungkan pundak karena sudah tahu apa yang akan Alarich lakukan. Tentu saja mengikuti Aeera pulang. Ini sudah menjadi rutinitas Alarich semenjak Aeera bekerja di sini. Dan benar! Sekarang Alarich sedang memantau Aeera. Mobilnya tak jauh dari tempat Aeera menunggu taksi. "Sangat cantik," gumam Alarich, terus memandang gasdinya. Saat taksi datang dan Aeera masuk, Alarich langsung bersiap-siap untuk mengikuti. Tibanya di sebuah gang, Aeera turun. Begitu juga dengan Alarich. Biasanya Alarich hanya mengantar hingga gang ini karena mobilnya tak bisa masuk ke dalam. Bisa saja, tetapi gangnya cukup sempit dan Alarich tak suka ribet. Kali ini Alarich memutuskan turun, mengikuti Aeera dengan berjalan tak jauh dari belakang perempuan itu. Alarich perlu tahu seperti apa lingkungan pujaan hatinya tinggal dan seperti apa rumah yang Aeera tempati.
Semenjak hari pertama dia bertemu dengan Aeera, Alarich selalu mengawasi perempuan itu. Dia rasa dia telah jatuh cinta pada perempuan itu dan tergila-gila pada sosok gadis cantik itu. Tahun berganti dan Alarich semakin terjebak oleh perasaan yang dia miliki. Bukan hanya memiliki tingkah lucu, humoris dan menyenangkan, faktanya perempuan yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta tersebut seorang yang bertanggung jawab pada pekerjaannya. Dia perempuan cerdas, kompeten dan kreatif. Alarich semakin tenggelam! Sialnya sudah jalan dua tahun lebih dia memantau Aeera, akan tetapi dia tak kunjung punya keberanian untuk mengutarakan perasaan. Hell! Mendekati Aeera secara terang-terangan saja dia tak berani. Pecundang! Alarich memang pecundang! Dulu dia pernah ditolak dan itu menghantui Alarich. Ditolak perempuan yang tak dia sukai saja rasanya sangat menjengkelkan. Apalagi jika Alarich ditolak oleh pujaan hatinya. Lebih sialnya, tiga bulan ini dia diluar negeri. Selain untuk mengurus
--Karl Alarich Adam & Aeera Grizella-- "Ck." Suara decakan kesal terdengar di bibir seorang pria yang sedang duduk di balik setir, sedang mengemudi. Pria tersebut begitu mempesona, sangat tampan dan berkarisma. Dia pria setuju pesona dan love dreams bagi banyak kaum hawa. Bukan hanya dianugerahi ketampanan, dia juga seorang yang sangat sukses–pengusaha yang ditakuti serta berasal dari keluarga terpandang. Hidupnya mendekati kata sempurna! Sayangnya, pria tampan ini digosibkan telah menyimpang. Karena diusia yang ke tiga puluh dua tahun, tak ada issue tentang dirinya yang berkencan dengan perempuan. Dia bersih dari gosip apapun mengenai lawan jenis sehingga banyak orang berspekulasi jika dia seorang homo. Sejujurnya dia bukan pria seperti yang digosibkan. Dia hanya tidak punya waktu untuk meladeni kaum hawa, serta-- fakta jika dia pernah ditolak seseorang. Itulah yang membuat pria tampan ini memilih hidup sendiri–tanpa pasangan. Dertttt' Suara handphone berdering, dia menoleh lal
Hari yang ditunggu pun tiba, Nathan dan Zendaya melangsungkan pernikahan dengan meriah. Sekarang, keduanya telah sah menjadi sepasang suami istri. Keluarga besar Nathan–dari sang Mama, terlihat begitu bahagia. Begitu juga dengan keluarga Zendaya yang penuh suka cita serta keharuan. Tristan dan istri keduanya, maupun Angel tak diundang. Sekalipun mereka ingin mengacau, mereka tidak bisa karena pernikahan Nathan dilakukan di sebuah hotel mewah, dijaga ketat oleh banyak penjaga. Mereka diblacklist dari daftar tamu undangan, sesuai permintaan Preya–yang masih memiliki dendam pada suaminya. Preya juga tidak mau hari bahagia putranya rusak oleh kehadiran Erika dan putrinya. Lagipula makhluk gatal seperti mereka, tak pantas menghadiri acara putranya. Sejak tadi, Danzel terus memandang ke arah adiknya–memperhatikannya dengan lekat. Tatapannya begitu sendu, manik berkaca-kaca sebab merasa sedih tanpa sebab. Sewaktu kecil hingga dia besar, adiknya selalu menyusahkannya. Anak itu cerewet dan p
Sedangkan Victoria yang sudah buntu, menatap penuh harap pada Liora. "Liora, apa kamu bersedia menikah dengan adikku? Apapun akan kuberi padamu asal kamu bersedia membantuku untuk menikah dengan Devson." Liora termenung, menundukkan kepala dengan raut muka sedih. Sedangkan Lachi yang memahami perasaan perempuan itu memilih diam, dia takut salah bicara. Namun, mengejutkannya tiba-tiba saja Liora menganggukkan kepala. "Aku bersedia. Tapi … bawa aku pergi dari sini," ucap Liora, menatap Victoria dengan sendu. "Se-sebenarnya aku sedang bersembunyi dari Angel. Kemarin dia menjebak Tuan Danzel dengan sebuah obat terlarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi secara lengkap, tetapi Angel sendiri yang berakhir meminum minuman itu. Dia menghubungiku untuk menyelamatkannya dan aku …-Liora terdiam sejenak. Lachi menggaruk pipi tak enak karena sejujurnya dia tahu kenapa Angel lah yang berakhir meminum jebakannya sendiri. Dia bahkan mendengar percakapan Liora dengan Angel, dan dari sana Lachi bisa
"Karena kebaikan hatinya, Tristan membawa Erika dan putrinya ke rumah. Awal, dia menjadikan Erika sebagai pelayan di rumah kami," cerita Preya pada Nara, mengenai kedatangan Erika dan Angel di keluarga Luis. Nara yang lebih dulu mengungkit Erika, yang ternyata pernah berniat merusak keluarga Nara dan Zavier. Lalu Erika dipecat, diblacklist dari perusahaan manapun serta dari tempat kerja yang berada dinaungan perusahaan Adam. Mendengar itu, Erika tak menyangka. Dia kira Erika yang Nara katakan berbeda dari Erika yang ada di keluarga Luis. Namun, itu Erika yang sama. "Dari awal aku tidak pernah suka pada Erika, sejak Tristan membawanya ke rumah. Katakanlah aku perempuan yang cemburuan. Namun, aku hanya mengikuti feeling sebagai seorang istri dan perempuan yang mencintai suaminya. Benar saja, perempuan itu tidak baik dan dia berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku tidak menyalahkan dia sepenuhnya, perpisahanku dengan Tristan juga terjadi karena Tristan sendiri. Coba saja dia tegas,
"Dalam rangka apa kau memberiku bunga, Mochi?" tanya Danzel, mengecup kening Lachi. Setelah sebelumnya sang istri menyalam tangannya. "Dalam rangka mencintai Habibi," jawab Lachi dengan nada jelas, nyengir setelahnya karena dia malu-malu. Sial. Padahal dia sudah berlatih berjam-jam di depan cermin. Hanya agar terkesan anggun, tak malu-malu serta tak gugup sedikitpun ketika memberikan hadiah berupa buket bunga primrose ini pada sang suami. Namun nyatanya dia tetap gugup dan malu. "Hum?" Danzel menaikkan sebelah alis, langsung menggendong istrinya secara bridal style–membawa istrinya ke kamar. Ah, masa bodo jika Lachi bermaksud menciptakan adegan romantis. Sungguh, persetan! Toh, di mata Danzel, istrinya tetap terlihat tengah menggodanya. Yah, ini godaan yang manis! Danzel meletakkan bunga pemberian Lachi di atas nakas kemudian membaringkan istrinya di ranjang. "Habibi, tunggu! A-adegan ini tidak ada dalam skenario hayalanku. Harusnya bukan begini. Menjauh dulu," pekik Lachi, meng
"A--aku hanya iseng, tidak ada artinya kok." 'Cinta terpendam.' batin Nathan, terkekeh pelan sembari mengacak pucuk kepala Zendaya secara gemas. Nathan tahu artinya karena salah satu kalung yang dia berikan pada Zendaya–setiap ulang tahunnya, punya bandul bunga mawar putih. Hampir saja dia lupa akan hal itu, dan untuknya dia mengingat. Namun, benarkah Zendaya memberikan kalung ini atas dasar ungkapan cinta terpendam yang perempuan ini rasakan padanya? Atau memang hanya iseng? ***"Nyonya Xavier."Mendengar namanya di panggil, Lachi yang sedang memilih bunga langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Lachi mengerutkan kening, bingung dan cukup aneh melihat Liora bersama Victoria mendatanginya. "Oh, iya?" ucap Lachi, meletakkan bunga primrose ke tempat semula. Dia menghadap kepada Victoria dan Liora yang telah berada di sebelahnya. "Nyonya sedang membeli bunga untuk Tuan yah?" tanya Liora sembari tersenyum canggung. Lachi membalas dengan senyum tipis, menganggukkan kep
Tangan Donita terangkat ke arah Zendaya, melayang untuk menampar pipi Zendaya. Namun, pergelangan tangannya tertahan. Bahkan dihempas kasar lalu berakhir dirinya yang terkena tamparan. Plak'"Ahck." Donita menoleh kasar ke sebelah, segera memengang pipi yang terkena tamparan. Donita mendongak, menatap seseorang yang telah menampar pipinya dengan sangat kuat–tak punya hati. "Nathan?" pekik Donita tak percaya, menatap sosok pria tinggi yang berada di sebelah Zendaya. Zendaya menoleh ke arah sebelahnya, mendongak untuk melihat Nathan. Pria tersenyum memasang mimik dingin, melayangkan tatapan tajam yang menghunus tepat ke arah Donita. "Kau akan mendapat yang lebih buruk dari ini jika seandainya tanganmu menyentuh kulit wanitaku," ucap Nathan dingin, mengatupkan rahang–menahan gejolak marah karena perempuan ini berniat menyakiti Zendaya.Zendaya yang masih syok karena Donita berniat menamparnya kemudian tiba-tiba ada Nathan di sini yang mengambil peran melindunginya. Kini semakin syok