"Kau cukup bawel har …-" komentar Danzel, akan tetapi perkataannya terhenti begitu saja karena bus tiba-tiba berjalan. Hell! Kenapa Danzel panik? Danzel mendadak diam, menyender ke kursi lalu bersedekap secara cool–menutupi rasa tidak nyaman yang melanda dirinya. "Habibi kenapa diam?" tanya Lachi, menyembulkan kepala dari bawah kepala Danzel–atas pangkuan pria itu, sembari menengadah menatap bingung ke arah sang suami. "Hum." Danzel berdehem singkat sebagai jawaban. "Aih." Lachi menarik tubuhnya, meringsut ke jendela bus sembari menatap sang suami semakin heran. Mendadak hum? Ouh tidak! Hum-nya lebih singkat dibandingkan hum biasa. Dingin! Danzel dingin! "Apa masih jauh?" tanya Danzel tiba-tiba, tak menoleh sedikitpun pada Lachi dan hanya fokus menatap lurus ke arah depan. "Baru lima menit kita jalan, Habibi." Lachi menjawab santai, menyender enak-enakan ke kursi. Namun, diam-diam dia terus memperhatikan sang suami. Ada yang aneh dari gestur tubuh Danzel, pria itu terliha
Akhirnya mereka sampai di tujuan. Karena kondisi yang masih mabuk perjalanan, Lachi buru-buru membawa Danzel ke kamar penginapan. Karena pagi, dini hari, semua orang juga langsung menuju tempat peristirahatan. Lachi membantu Danzel untuk berjalan ke arah ranjang. Pria itu duduk menyender ke kepala ranjang, membiarkan Lachi mengganti pakaiannya. "Minum air hangat ini dulu, Mas. Biar perutnya lebih nyaman," ucap Lachi, membantu Danzel minum. Danzel menurut, meminum air hangat pemberian Lachi. Benar kata Lachi, perutnya lebih nyaman setelah meminum air tersebut. 'Damn it! Rencanaku balik menyerangku. Oh Shit!! terbalik karena malah Mochi yang merawatku. Fucking jerk!' umpat Danzel, memijit pangkalan hidung dengan menampilkan raut muka dingin. Meskipun sayu, akan tetapi matanya membidik tajam–aura intimidasi bahkan menguar darinya. Rencananya untuk menjadi sosok Hero atau pria gentleman di hadapan Lachi hanc
"Kak X, kenapa kita ke penginapan?kenapa bukan paviliun? Aaa … di sini tidak nyaman," adu Zendaya pada sang kakak. Bukan karena tempat yang tak nyaman, tetapi karena matanya yang tak ingin melihat kemesraan Donita dan Nathan. "Apa yang tidak nyaman?" tanya Danzel dengan nada datar akan tetapi menatap adiknya secara lekat. Hal tersebut membuat Zendaya deg deg kan sekaligus gugup. "Ya … tidak nyaman. Aku tidak punya teman, kamarku dan kalian jauh," jawab Zendaya sembari menggaruk telinga secara pelan, menutupi kegugupan karena takut Danzel tahu apa yang membuat dia ingin pindah dari tempat ini. "Humm." Danzel berdehem singkat sebagai jawaban. Zendaya seketika menahan senyum, senang karena Danzel selalu menuruti kemauannya. Dingin dingin begini, kakaknya tetaplah kakak terbaik bagi Zendaya. Walau dia akui dia takut pada sang kakak. "Tumben kamu diam," tanya Zendaya dengan berbisik pada Lachi. Sahabatnya tersebut terlihat makan, lahap tetapi terlihat menahan kemarahan. Zendaya takut
Akan tetapi langkahnya terhenti, Nathan mencekal pergelangan tangannya. Mendadak! Jantung Zendaya berdebar kencang. Selama dia dekat dengan Nathan, ini pertama kalinya Nathan menghentikannya, menahan pergelangan tangannya seolah Nathan takut kehilangan dirinya. "Ada apa, Kak Nathan?" tanya Zendaya, setelah lebih dulu menarik tangannya dari cekalan Nathan. Lagi-lagi dia berusaha bersikap biasa pada Nathan, menatap pria itu tenang walau jantungnya hampir copot di dalam sana. "Aku tidak menyukai ini," ucap Nathan tiba-tiba, berkata serak dan rendah. Ucapannya mengisyaratkan sesuatu, akan tetapi Zendaya tak memahami dengan benar. Zendaya mengerutkan kening, tak paham pada perkataan Nathan. "Hah? Maksud Kak Nathan tidak suka siapa? Aku?" tanya Zendaya memastikan, sedikit cemas jika yang Nathan maksud adalah dirinya. Apa jangan-jangan Nathan sudah tahu tahu kalau Zendaya suka padanya lalu Nathan sengaja mengatakan hal ini karena menganggap rasa suka Zendaya padanya sebagai bentuk ganggu
Setelah Danzel tertidur, Lachi memindahkan kepala Danzel ke atas bantal. Kemudian dia keluar dari kamar secara mengendap-endap, takut jika langkah kakinya mengganggu Danzel. Lachi ingin menemui Zendaya untuk mengatakan sesuatu. Niat Lachi, dia akan mengatakan hal tersebut pada Zendaya lalu Zendaya yang akan menyampaikan pada Danzel. Sumpah! Lachi takut untuk mengutarakan sendiri pada sang suami. "Tapi kalau aku pikir-pikir tidak benar jika aku memberitahu Zendaya. Habibi sangat mudah tersinggung, dia pasti akan tersinggung kalau Zendaya duluan tahu dibandingkan dia," gumam Lachi pelan, berbicara sendiri sembari berjalan menuju kamar Zendaya. "Lachi," panggil Zendaya riang, langsung merangkul pundak Lachi. Sama seperti Lachi, dia juga ingin memberi tahu sesuatu pada Lachi. Dia ingin menceritakan dirinya yang bisa bersikap biasa pada Nathan. "Tadi aku diantar oleh dia. Dan kamu tahu apa yang spesial?" "Umm …-" Lachi memicingkan mata, "kamu baper dan senang?" "Salah!" jawab Zendaya
"Mana minum untukku, Tuan Putri?" Nathan berkata dingin, bahkan melayangkan tatapan tajam ke arah Zendaya–tak suka karena Zendaya melupakannya. Biasanya Zendaya selalu datang padanya, memperhatikan serta selalu mengutamakan dirinya dibandingkan kedua kakak sepupunya. Namun, entah kenapa akhir-akhir ini Zendaya seperti menjauhinya. Nathan tahu Zendaya sengaja melakukannya, menjaga hubungan Nathan dengan Donita. Zendaya menoleh ke arah tangan Nathan, di mana tangan pria itu memegang sebuah botol minuman dingin. "Kak Nathan sudah punya," ucap Zendaya. Bug'Nathan dengan enteng langsung melempar botol minuman pemberian dari Donita tersebut. Kemudian dia mengulurkan tangan, menagih minuman dari Zendaya. "Kak Nathan haus, Zendaya," ucapnya berusaha tetapi lembut walau kenyataannya terkesan dingin. Shit! Dia tidak bisa mengontrol diri, dia terbiasa dijadikan nomor satu oleh Zendaya. "Ya--yaudah. Aku ambil dulu," ucap Zendaya, buru-buru beranjak dari sana dengan perasaan gugup bercampur
"Habibi, sebentar lagi kamu bakalan jadi Papa," bisik Lachi, berjinjit untuk bisa menggapai daun telinga sang suami. Demi Tuhan, jantung Lachi berdebar kencang–rasanya akan meledak dalam sana. Dia gugup, padahal tak ada yang harus dia takutkan. Yang dia beritahu pada suaminya adalah hal yang baik, tetapi dia sangat nervous. Wajah Danzel yang berbalut dingin langsung lenyap, berganti dengan ekspresi terkejut yang terlihat kentara. Dia merunduk, menatap Lachi tak percaya. "Zendaya adikmu, jadi kamu harus memihak padanya. Jangan memarahinya yah, Habibi," bisik Lachi kembali, nadanya lebih lembut dari yang sebelumnya–menghipnotis Danzel yang masih hanyut dalam perasaan kaget. Seperti terkena magic, Danzel menganggukkan kepala, mendengarkan istrinya dan sangat patuh. "Kau pikir priamu se keren itu sehingga adikku terpesona padanya? Kau terlalu percaya diri, Nathan bukan selera Zendaya. Dia hanya seorang kakak bagi Zendaya," ucap Danzel, yang awalnya ingin memarahi adiknya beralih mend
"Ekhem." Danzel berdehem secara tiba-tiba, membuat Lachi yang sedang menggunakan body lotion seketika menoleh pada suaminya. Setelah masalah tadi, kepala Lachi cukup pusing. Oleh sebab itu dia mandi untuk menyegarkan pikiran serta menenangkan diri. Niat Lachi sekarang adalah bersantai, mungkin membahas masalah tadi pada Danzel supaya suaminya memberikan keringanan pada hubungan Zendaya dan Nathan. Lachi harus menyinggung sekarang, besok Danzel benar-benar akan sibuk. Kesempatannya hanya malam ini. "Aku ingin membahas masalah Zendaya, Habibi," ucap Lachi, meletakkan body lotion lalu mendekati suaminya–duduk di sebelah Danzel. Namun, anehnya, Danzel mendadak berdiri–buru-buru minggat, berjalan cepat untuk keluar dari kamar. "Habibi mau keman--" Lachi ingin menegur sang suami yang terlihat aneh. Wajah Danzel yang plat membuat Lachi sulit menebak. Tetapi sepertinya Danzel marah, mungkin karena masalah tadi. Sebelum ucapan Lachi selesai, tiba-tiba saja sesuatu yang mengej
"Sungguh kau tak ingin ku antar, Tuan?" tanya Bian. Alarich menganggukkan kepala kemudian segera masuk dalam mobil. Bian hanya menghela napas, mengacungkan pundak karena sudah tahu apa yang akan Alarich lakukan. Tentu saja mengikuti Aeera pulang. Ini sudah menjadi rutinitas Alarich semenjak Aeera bekerja di sini. Dan benar! Sekarang Alarich sedang memantau Aeera. Mobilnya tak jauh dari tempat Aeera menunggu taksi. "Sangat cantik," gumam Alarich, terus memandang gasdinya. Saat taksi datang dan Aeera masuk, Alarich langsung bersiap-siap untuk mengikuti. Tibanya di sebuah gang, Aeera turun. Begitu juga dengan Alarich. Biasanya Alarich hanya mengantar hingga gang ini karena mobilnya tak bisa masuk ke dalam. Bisa saja, tetapi gangnya cukup sempit dan Alarich tak suka ribet. Kali ini Alarich memutuskan turun, mengikuti Aeera dengan berjalan tak jauh dari belakang perempuan itu. Alarich perlu tahu seperti apa lingkungan pujaan hatinya tinggal dan seperti apa rumah yang Aeera tempati.
Semenjak hari pertama dia bertemu dengan Aeera, Alarich selalu mengawasi perempuan itu. Dia rasa dia telah jatuh cinta pada perempuan itu dan tergila-gila pada sosok gadis cantik itu. Tahun berganti dan Alarich semakin terjebak oleh perasaan yang dia miliki. Bukan hanya memiliki tingkah lucu, humoris dan menyenangkan, faktanya perempuan yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta tersebut seorang yang bertanggung jawab pada pekerjaannya. Dia perempuan cerdas, kompeten dan kreatif. Alarich semakin tenggelam! Sialnya sudah jalan dua tahun lebih dia memantau Aeera, akan tetapi dia tak kunjung punya keberanian untuk mengutarakan perasaan. Hell! Mendekati Aeera secara terang-terangan saja dia tak berani. Pecundang! Alarich memang pecundang! Dulu dia pernah ditolak dan itu menghantui Alarich. Ditolak perempuan yang tak dia sukai saja rasanya sangat menjengkelkan. Apalagi jika Alarich ditolak oleh pujaan hatinya. Lebih sialnya, tiga bulan ini dia diluar negeri. Selain untuk mengurus
--Karl Alarich Adam & Aeera Grizella-- "Ck." Suara decakan kesal terdengar di bibir seorang pria yang sedang duduk di balik setir, sedang mengemudi. Pria tersebut begitu mempesona, sangat tampan dan berkarisma. Dia pria setuju pesona dan love dreams bagi banyak kaum hawa. Bukan hanya dianugerahi ketampanan, dia juga seorang yang sangat sukses–pengusaha yang ditakuti serta berasal dari keluarga terpandang. Hidupnya mendekati kata sempurna! Sayangnya, pria tampan ini digosibkan telah menyimpang. Karena diusia yang ke tiga puluh dua tahun, tak ada issue tentang dirinya yang berkencan dengan perempuan. Dia bersih dari gosip apapun mengenai lawan jenis sehingga banyak orang berspekulasi jika dia seorang homo. Sejujurnya dia bukan pria seperti yang digosibkan. Dia hanya tidak punya waktu untuk meladeni kaum hawa, serta-- fakta jika dia pernah ditolak seseorang. Itulah yang membuat pria tampan ini memilih hidup sendiri–tanpa pasangan. Dertttt' Suara handphone berdering, dia menoleh lal
Hari yang ditunggu pun tiba, Nathan dan Zendaya melangsungkan pernikahan dengan meriah. Sekarang, keduanya telah sah menjadi sepasang suami istri. Keluarga besar Nathan–dari sang Mama, terlihat begitu bahagia. Begitu juga dengan keluarga Zendaya yang penuh suka cita serta keharuan. Tristan dan istri keduanya, maupun Angel tak diundang. Sekalipun mereka ingin mengacau, mereka tidak bisa karena pernikahan Nathan dilakukan di sebuah hotel mewah, dijaga ketat oleh banyak penjaga. Mereka diblacklist dari daftar tamu undangan, sesuai permintaan Preya–yang masih memiliki dendam pada suaminya. Preya juga tidak mau hari bahagia putranya rusak oleh kehadiran Erika dan putrinya. Lagipula makhluk gatal seperti mereka, tak pantas menghadiri acara putranya. Sejak tadi, Danzel terus memandang ke arah adiknya–memperhatikannya dengan lekat. Tatapannya begitu sendu, manik berkaca-kaca sebab merasa sedih tanpa sebab. Sewaktu kecil hingga dia besar, adiknya selalu menyusahkannya. Anak itu cerewet dan p
Sedangkan Victoria yang sudah buntu, menatap penuh harap pada Liora. "Liora, apa kamu bersedia menikah dengan adikku? Apapun akan kuberi padamu asal kamu bersedia membantuku untuk menikah dengan Devson." Liora termenung, menundukkan kepala dengan raut muka sedih. Sedangkan Lachi yang memahami perasaan perempuan itu memilih diam, dia takut salah bicara. Namun, mengejutkannya tiba-tiba saja Liora menganggukkan kepala. "Aku bersedia. Tapi … bawa aku pergi dari sini," ucap Liora, menatap Victoria dengan sendu. "Se-sebenarnya aku sedang bersembunyi dari Angel. Kemarin dia menjebak Tuan Danzel dengan sebuah obat terlarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi secara lengkap, tetapi Angel sendiri yang berakhir meminum minuman itu. Dia menghubungiku untuk menyelamatkannya dan aku …-Liora terdiam sejenak. Lachi menggaruk pipi tak enak karena sejujurnya dia tahu kenapa Angel lah yang berakhir meminum jebakannya sendiri. Dia bahkan mendengar percakapan Liora dengan Angel, dan dari sana Lachi bisa
"Karena kebaikan hatinya, Tristan membawa Erika dan putrinya ke rumah. Awal, dia menjadikan Erika sebagai pelayan di rumah kami," cerita Preya pada Nara, mengenai kedatangan Erika dan Angel di keluarga Luis. Nara yang lebih dulu mengungkit Erika, yang ternyata pernah berniat merusak keluarga Nara dan Zavier. Lalu Erika dipecat, diblacklist dari perusahaan manapun serta dari tempat kerja yang berada dinaungan perusahaan Adam. Mendengar itu, Erika tak menyangka. Dia kira Erika yang Nara katakan berbeda dari Erika yang ada di keluarga Luis. Namun, itu Erika yang sama. "Dari awal aku tidak pernah suka pada Erika, sejak Tristan membawanya ke rumah. Katakanlah aku perempuan yang cemburuan. Namun, aku hanya mengikuti feeling sebagai seorang istri dan perempuan yang mencintai suaminya. Benar saja, perempuan itu tidak baik dan dia berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku tidak menyalahkan dia sepenuhnya, perpisahanku dengan Tristan juga terjadi karena Tristan sendiri. Coba saja dia tegas,
"Dalam rangka apa kau memberiku bunga, Mochi?" tanya Danzel, mengecup kening Lachi. Setelah sebelumnya sang istri menyalam tangannya. "Dalam rangka mencintai Habibi," jawab Lachi dengan nada jelas, nyengir setelahnya karena dia malu-malu. Sial. Padahal dia sudah berlatih berjam-jam di depan cermin. Hanya agar terkesan anggun, tak malu-malu serta tak gugup sedikitpun ketika memberikan hadiah berupa buket bunga primrose ini pada sang suami. Namun nyatanya dia tetap gugup dan malu. "Hum?" Danzel menaikkan sebelah alis, langsung menggendong istrinya secara bridal style–membawa istrinya ke kamar. Ah, masa bodo jika Lachi bermaksud menciptakan adegan romantis. Sungguh, persetan! Toh, di mata Danzel, istrinya tetap terlihat tengah menggodanya. Yah, ini godaan yang manis! Danzel meletakkan bunga pemberian Lachi di atas nakas kemudian membaringkan istrinya di ranjang. "Habibi, tunggu! A-adegan ini tidak ada dalam skenario hayalanku. Harusnya bukan begini. Menjauh dulu," pekik Lachi, meng
"A--aku hanya iseng, tidak ada artinya kok." 'Cinta terpendam.' batin Nathan, terkekeh pelan sembari mengacak pucuk kepala Zendaya secara gemas. Nathan tahu artinya karena salah satu kalung yang dia berikan pada Zendaya–setiap ulang tahunnya, punya bandul bunga mawar putih. Hampir saja dia lupa akan hal itu, dan untuknya dia mengingat. Namun, benarkah Zendaya memberikan kalung ini atas dasar ungkapan cinta terpendam yang perempuan ini rasakan padanya? Atau memang hanya iseng? ***"Nyonya Xavier."Mendengar namanya di panggil, Lachi yang sedang memilih bunga langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Lachi mengerutkan kening, bingung dan cukup aneh melihat Liora bersama Victoria mendatanginya. "Oh, iya?" ucap Lachi, meletakkan bunga primrose ke tempat semula. Dia menghadap kepada Victoria dan Liora yang telah berada di sebelahnya. "Nyonya sedang membeli bunga untuk Tuan yah?" tanya Liora sembari tersenyum canggung. Lachi membalas dengan senyum tipis, menganggukkan kep
Tangan Donita terangkat ke arah Zendaya, melayang untuk menampar pipi Zendaya. Namun, pergelangan tangannya tertahan. Bahkan dihempas kasar lalu berakhir dirinya yang terkena tamparan. Plak'"Ahck." Donita menoleh kasar ke sebelah, segera memengang pipi yang terkena tamparan. Donita mendongak, menatap seseorang yang telah menampar pipinya dengan sangat kuat–tak punya hati. "Nathan?" pekik Donita tak percaya, menatap sosok pria tinggi yang berada di sebelah Zendaya. Zendaya menoleh ke arah sebelahnya, mendongak untuk melihat Nathan. Pria tersenyum memasang mimik dingin, melayangkan tatapan tajam yang menghunus tepat ke arah Donita. "Kau akan mendapat yang lebih buruk dari ini jika seandainya tanganmu menyentuh kulit wanitaku," ucap Nathan dingin, mengatupkan rahang–menahan gejolak marah karena perempuan ini berniat menyakiti Zendaya.Zendaya yang masih syok karena Donita berniat menamparnya kemudian tiba-tiba ada Nathan di sini yang mengambil peran melindunginya. Kini semakin syok