Akhirnya mereka sampai di tujuan. Karena kondisi yang masih mabuk perjalanan, Lachi buru-buru membawa Danzel ke kamar penginapan. Karena pagi, dini hari, semua orang juga langsung menuju tempat peristirahatan. Lachi membantu Danzel untuk berjalan ke arah ranjang. Pria itu duduk menyender ke kepala ranjang, membiarkan Lachi mengganti pakaiannya. "Minum air hangat ini dulu, Mas. Biar perutnya lebih nyaman," ucap Lachi, membantu Danzel minum. Danzel menurut, meminum air hangat pemberian Lachi. Benar kata Lachi, perutnya lebih nyaman setelah meminum air tersebut. 'Damn it! Rencanaku balik menyerangku. Oh Shit!! terbalik karena malah Mochi yang merawatku. Fucking jerk!' umpat Danzel, memijit pangkalan hidung dengan menampilkan raut muka dingin. Meskipun sayu, akan tetapi matanya membidik tajam–aura intimidasi bahkan menguar darinya. Rencananya untuk menjadi sosok Hero atau pria gentleman di hadapan Lachi hanc
"Kak X, kenapa kita ke penginapan?kenapa bukan paviliun? Aaa … di sini tidak nyaman," adu Zendaya pada sang kakak. Bukan karena tempat yang tak nyaman, tetapi karena matanya yang tak ingin melihat kemesraan Donita dan Nathan. "Apa yang tidak nyaman?" tanya Danzel dengan nada datar akan tetapi menatap adiknya secara lekat. Hal tersebut membuat Zendaya deg deg kan sekaligus gugup. "Ya … tidak nyaman. Aku tidak punya teman, kamarku dan kalian jauh," jawab Zendaya sembari menggaruk telinga secara pelan, menutupi kegugupan karena takut Danzel tahu apa yang membuat dia ingin pindah dari tempat ini. "Humm." Danzel berdehem singkat sebagai jawaban. Zendaya seketika menahan senyum, senang karena Danzel selalu menuruti kemauannya. Dingin dingin begini, kakaknya tetaplah kakak terbaik bagi Zendaya. Walau dia akui dia takut pada sang kakak. "Tumben kamu diam," tanya Zendaya dengan berbisik pada Lachi. Sahabatnya tersebut terlihat makan, lahap tetapi terlihat menahan kemarahan. Zendaya takut
Akan tetapi langkahnya terhenti, Nathan mencekal pergelangan tangannya. Mendadak! Jantung Zendaya berdebar kencang. Selama dia dekat dengan Nathan, ini pertama kalinya Nathan menghentikannya, menahan pergelangan tangannya seolah Nathan takut kehilangan dirinya. "Ada apa, Kak Nathan?" tanya Zendaya, setelah lebih dulu menarik tangannya dari cekalan Nathan. Lagi-lagi dia berusaha bersikap biasa pada Nathan, menatap pria itu tenang walau jantungnya hampir copot di dalam sana. "Aku tidak menyukai ini," ucap Nathan tiba-tiba, berkata serak dan rendah. Ucapannya mengisyaratkan sesuatu, akan tetapi Zendaya tak memahami dengan benar. Zendaya mengerutkan kening, tak paham pada perkataan Nathan. "Hah? Maksud Kak Nathan tidak suka siapa? Aku?" tanya Zendaya memastikan, sedikit cemas jika yang Nathan maksud adalah dirinya. Apa jangan-jangan Nathan sudah tahu tahu kalau Zendaya suka padanya lalu Nathan sengaja mengatakan hal ini karena menganggap rasa suka Zendaya padanya sebagai bentuk ganggu
Setelah Danzel tertidur, Lachi memindahkan kepala Danzel ke atas bantal. Kemudian dia keluar dari kamar secara mengendap-endap, takut jika langkah kakinya mengganggu Danzel. Lachi ingin menemui Zendaya untuk mengatakan sesuatu. Niat Lachi, dia akan mengatakan hal tersebut pada Zendaya lalu Zendaya yang akan menyampaikan pada Danzel. Sumpah! Lachi takut untuk mengutarakan sendiri pada sang suami. "Tapi kalau aku pikir-pikir tidak benar jika aku memberitahu Zendaya. Habibi sangat mudah tersinggung, dia pasti akan tersinggung kalau Zendaya duluan tahu dibandingkan dia," gumam Lachi pelan, berbicara sendiri sembari berjalan menuju kamar Zendaya. "Lachi," panggil Zendaya riang, langsung merangkul pundak Lachi. Sama seperti Lachi, dia juga ingin memberi tahu sesuatu pada Lachi. Dia ingin menceritakan dirinya yang bisa bersikap biasa pada Nathan. "Tadi aku diantar oleh dia. Dan kamu tahu apa yang spesial?" "Umm …-" Lachi memicingkan mata, "kamu baper dan senang?" "Salah!" jawab Zendaya
"Mana minum untukku, Tuan Putri?" Nathan berkata dingin, bahkan melayangkan tatapan tajam ke arah Zendaya–tak suka karena Zendaya melupakannya. Biasanya Zendaya selalu datang padanya, memperhatikan serta selalu mengutamakan dirinya dibandingkan kedua kakak sepupunya. Namun, entah kenapa akhir-akhir ini Zendaya seperti menjauhinya. Nathan tahu Zendaya sengaja melakukannya, menjaga hubungan Nathan dengan Donita. Zendaya menoleh ke arah tangan Nathan, di mana tangan pria itu memegang sebuah botol minuman dingin. "Kak Nathan sudah punya," ucap Zendaya. Bug'Nathan dengan enteng langsung melempar botol minuman pemberian dari Donita tersebut. Kemudian dia mengulurkan tangan, menagih minuman dari Zendaya. "Kak Nathan haus, Zendaya," ucapnya berusaha tetapi lembut walau kenyataannya terkesan dingin. Shit! Dia tidak bisa mengontrol diri, dia terbiasa dijadikan nomor satu oleh Zendaya. "Ya--yaudah. Aku ambil dulu," ucap Zendaya, buru-buru beranjak dari sana dengan perasaan gugup bercampur
"Habibi, sebentar lagi kamu bakalan jadi Papa," bisik Lachi, berjinjit untuk bisa menggapai daun telinga sang suami. Demi Tuhan, jantung Lachi berdebar kencang–rasanya akan meledak dalam sana. Dia gugup, padahal tak ada yang harus dia takutkan. Yang dia beritahu pada suaminya adalah hal yang baik, tetapi dia sangat nervous. Wajah Danzel yang berbalut dingin langsung lenyap, berganti dengan ekspresi terkejut yang terlihat kentara. Dia merunduk, menatap Lachi tak percaya. "Zendaya adikmu, jadi kamu harus memihak padanya. Jangan memarahinya yah, Habibi," bisik Lachi kembali, nadanya lebih lembut dari yang sebelumnya–menghipnotis Danzel yang masih hanyut dalam perasaan kaget. Seperti terkena magic, Danzel menganggukkan kepala, mendengarkan istrinya dan sangat patuh. "Kau pikir priamu se keren itu sehingga adikku terpesona padanya? Kau terlalu percaya diri, Nathan bukan selera Zendaya. Dia hanya seorang kakak bagi Zendaya," ucap Danzel, yang awalnya ingin memarahi adiknya beralih mend
"Ekhem." Danzel berdehem secara tiba-tiba, membuat Lachi yang sedang menggunakan body lotion seketika menoleh pada suaminya. Setelah masalah tadi, kepala Lachi cukup pusing. Oleh sebab itu dia mandi untuk menyegarkan pikiran serta menenangkan diri. Niat Lachi sekarang adalah bersantai, mungkin membahas masalah tadi pada Danzel supaya suaminya memberikan keringanan pada hubungan Zendaya dan Nathan. Lachi harus menyinggung sekarang, besok Danzel benar-benar akan sibuk. Kesempatannya hanya malam ini. "Aku ingin membahas masalah Zendaya, Habibi," ucap Lachi, meletakkan body lotion lalu mendekati suaminya–duduk di sebelah Danzel. Namun, anehnya, Danzel mendadak berdiri–buru-buru minggat, berjalan cepat untuk keluar dari kamar. "Habibi mau keman--" Lachi ingin menegur sang suami yang terlihat aneh. Wajah Danzel yang plat membuat Lachi sulit menebak. Tetapi sepertinya Danzel marah, mungkin karena masalah tadi. Sebelum ucapan Lachi selesai, tiba-tiba saja sesuatu yang mengej
Urusan mereka di kota ini telah selesai, saatnya mereka kembali ke kota dan melanjutkan pekerjaan di perusahaan pusat. Selama di sini, Lachi tidak melakukan pekerjaan berat. Dia hanya mendampingi sang suami. Saat ini Lachi sedang mengemas barang, mereka akan pulang. "Hehehe …." Lachi cengengesan, tersenyum malu-malu mengingat ucapan suaminya saat itu. Dia pikir Danzel tak senang mendengar kehamilannya karena mungkin Danzel masih belum siap menjadi seorang papa. Namun, pria itu mengejutkan Lachi. Ucapannya kemarin– bukan hanya membuat Lachi senang tak karuan, tetapi juga jatuh cinta se jatuh-jatuhnya. "Dia kadang sangat romantis," gumam Lachi pelan, tersenyum malu-malu hanya karena teringat dengan ucapan Danzel saat itu.Setelah selesai mengemasi barangnya dan Danzel, Lachi memilih keluar dari kamar. Dia ingin menemui Zendaya, mengajak perempuan itu jalan-jalan sebelum mereka pulang. Tempat ini sangat cantik, sayang jika Lachi tak memperbanyak momen. "Lachi, aku berniat memberi gel