"Habibi, sebentar lagi kamu bakalan jadi Papa," bisik Lachi, berjinjit untuk bisa menggapai daun telinga sang suami. Demi Tuhan, jantung Lachi berdebar kencang–rasanya akan meledak dalam sana. Dia gugup, padahal tak ada yang harus dia takutkan. Yang dia beritahu pada suaminya adalah hal yang baik, tetapi dia sangat nervous. Wajah Danzel yang berbalut dingin langsung lenyap, berganti dengan ekspresi terkejut yang terlihat kentara. Dia merunduk, menatap Lachi tak percaya. "Zendaya adikmu, jadi kamu harus memihak padanya. Jangan memarahinya yah, Habibi," bisik Lachi kembali, nadanya lebih lembut dari yang sebelumnya–menghipnotis Danzel yang masih hanyut dalam perasaan kaget. Seperti terkena magic, Danzel menganggukkan kepala, mendengarkan istrinya dan sangat patuh. "Kau pikir priamu se keren itu sehingga adikku terpesona padanya? Kau terlalu percaya diri, Nathan bukan selera Zendaya. Dia hanya seorang kakak bagi Zendaya," ucap Danzel, yang awalnya ingin memarahi adiknya beralih mend
"Ekhem." Danzel berdehem secara tiba-tiba, membuat Lachi yang sedang menggunakan body lotion seketika menoleh pada suaminya. Setelah masalah tadi, kepala Lachi cukup pusing. Oleh sebab itu dia mandi untuk menyegarkan pikiran serta menenangkan diri. Niat Lachi sekarang adalah bersantai, mungkin membahas masalah tadi pada Danzel supaya suaminya memberikan keringanan pada hubungan Zendaya dan Nathan. Lachi harus menyinggung sekarang, besok Danzel benar-benar akan sibuk. Kesempatannya hanya malam ini. "Aku ingin membahas masalah Zendaya, Habibi," ucap Lachi, meletakkan body lotion lalu mendekati suaminya–duduk di sebelah Danzel. Namun, anehnya, Danzel mendadak berdiri–buru-buru minggat, berjalan cepat untuk keluar dari kamar. "Habibi mau keman--" Lachi ingin menegur sang suami yang terlihat aneh. Wajah Danzel yang plat membuat Lachi sulit menebak. Tetapi sepertinya Danzel marah, mungkin karena masalah tadi. Sebelum ucapan Lachi selesai, tiba-tiba saja sesuatu yang mengej
Urusan mereka di kota ini telah selesai, saatnya mereka kembali ke kota dan melanjutkan pekerjaan di perusahaan pusat. Selama di sini, Lachi tidak melakukan pekerjaan berat. Dia hanya mendampingi sang suami. Saat ini Lachi sedang mengemas barang, mereka akan pulang. "Hehehe …." Lachi cengengesan, tersenyum malu-malu mengingat ucapan suaminya saat itu. Dia pikir Danzel tak senang mendengar kehamilannya karena mungkin Danzel masih belum siap menjadi seorang papa. Namun, pria itu mengejutkan Lachi. Ucapannya kemarin– bukan hanya membuat Lachi senang tak karuan, tetapi juga jatuh cinta se jatuh-jatuhnya. "Dia kadang sangat romantis," gumam Lachi pelan, tersenyum malu-malu hanya karena teringat dengan ucapan Danzel saat itu.Setelah selesai mengemasi barangnya dan Danzel, Lachi memilih keluar dari kamar. Dia ingin menemui Zendaya, mengajak perempuan itu jalan-jalan sebelum mereka pulang. Tempat ini sangat cantik, sayang jika Lachi tak memperbanyak momen. "Lachi, aku berniat memberi gel
"Dia malah lebih dulu mengajak pria lain untuk menemaninya jalan-jalan," ucap Angel, berupaya memanas-manasi keadaan agar Danzel terpancing dan terhasut oleh perkataannya. Angel termasuk dalam bagian rencana Devson. Dialah yang menghasut Victoria supaya mau membantu Devson bertemu dengan Danzel. Angel mengatakan kalau sebenarnya Lachi adalah perempuan pilihan ibu Danzel. Danzel terpaksa menikahi Lachi karena tidak bisa menolak permintaan ibunya. Selama ini pernikahan keduanya penuh tekanan, Danzel berupaya bersikap baik pada Lachi karena menghargai ibunya sedangkan Lachi bersikap baik pada Danzel hanya di depan banyak orang saja. Terbukti interaksi keduanya sangat kaku apabila di depan banyak orang. Victoria terhasut oleh perkataan Angel sehingga dia mau serta bersedia membantu Devson untuk mendapatkan cintanya–Lachi. "Angel, lebih baik kau diam. Jangan membuat situasi semakin panas," peringat Naren, melayangkan tatapan tajam ke arah Angel. "Kau membenci Lachi, dan kau akan terus m
Dia ingin menoleh untuk melihat, akan tetapi tiba-tiba saja Devson berteriak. "Tidak!" Devson berteriak sembari menggelengkan kepala, sakit hati karena Lachi mengakui bahwasanya dia mencintai Danzel. Bukan ini yang ingin Devson dengarkan. Bukan! "Dan mengenai keegoisan suamiku, sayangnya itu nggak berlaku untukku. Sejauh ini dia membuatku bahagia, dia menomor satukan diriku, dia berbagi apapun padaku dan dia berusaha menurunkan egonya hanya demi membuatku bertahan di sisinya. Soal dia tidak romantis-- yah … anda bisa kujambak kalau sampai suamiku bersikap romantis padamu. Enak saja! Aku yang istrinya kenapa malah kamu yang pengen Pak Danzel bersikap romantis?!" kesal Lachi di akhir kalimat. "Maksudku-- dia tidak bersikap manis padamu. Dia dingin--" "Dia menghargaiku, menghormatiku sebagai istrinya, memberikan kasih sayang dan bersikap baik, itu sudah lebih dari cukup, Pak Devson. Sikap manis? Apa itu sikap manis? Pak Danzel tersenyum padaku saja, aku sudah ingin pingsan. Jadi--
"Kau pengecut, Nyonya Xavier. Sangat pengecut! Kau berani mengungkapkan cintamu padaku di hadapan orang lain namun tidak berani mengakuinya dihadapanku secara langsung."Deg deg deg'Jantung Lachi berpacu lebih cepat dari yang sebelumnya. Dia mendongak, menatap kaget bercampur gugup pada Danzel. Lachi meneguk saliva secara kasar, masih menatap Danzel dengan sorot gelisah. Lachi tahu betul kemana arah bicara Danzel, pria ini menyinggung Lachi yang mengatakan bahwa dirinya mencintai suaminya di hadapan Devson. Bukankah tak ada Danzel di sana? Lalu darimana Danzel tahu hal ini? Lachi mengesampingkan kebingungannya–heran karena Danzel bisa tahu, dia terlalu gugup. Sekarang Danzel sudah tahu jika Lachi mencintai. Entah apa yang Lachi cemaskan, akan tetapi dia takut serta grogi. 'I--ini pertama kalinya aku jatuh cinta. Orang yang aku cintai sudah tahu. Sekarang bagaimana? Aku sangat gugup, Tuhan.' batin Lachi, mengigit bibir bawah lalu menunduk gelisah. "Sekarang aku di hadapanmu. Kata
"Aku sedang demam, Mom," ucap Danzel, berusaha menarik perhatian orangtuanya. Saat ini dia dan keluarganya berkumpul di ruang keluarga. Orangtuanya yang baru pulang dari luar negeri datang untuk menjemput Zendaya, sekaligus menemui Lachi tentunya. Kabar Lachi yang sedang hamil, membuat Nara dan Zavier sangat bahagia. Keduanya sudah tak sabar menimang cucu, terlebih Zavier yang ingin merasakan menjadi seorang kakek. Melihat interaksi anak-anaknya dengan orangtuanya, itu membuat Zavier sedikit iri. "Kamu demam yah, Sayang," sahut Nara dari tempat, sama sekali tak menghampiri Danzel yang duduk di single sofa. Dia hanya menoleh pada Danzel, itupun sebentar, "cepat sembuh putra Mommy."Danzel memijat pelipis, melirik mommynya malas bercampur dongkol. "Hum," dehem Danzel kesal, respon yang tak diinginkan. Hell! Minimal mommynya mencek kondisinya, mengusap surai atau … setidaknya memberi respon yang manis. Jangan hanya cepat sembuh. Respon mommynya membuat Danzel bertanya-tanya, ini mommy
"Ada yang bisa istri bantu, Pak suami?" lanjutnya, berkedip-kedip manja untuk menggoda Danzel–merayu pria itu supaya mau berbicara padanya. Danzel menyender pada sofa, bersedekap dingin di dada sembari menatap intens ke arah istrinya. "Pergi sana!" usir Danzel dengan nada ketus, meskipun tatapannya intens pada Lachi tapi tak bisa dipungkiri Lachi merasa terintimidasi, "tak usah pedulikan aku lagi," lanjutnya, meriah laptop–memangkunya kemudian melanjutkan pekerjaan, masih menyender ke sofa. Lachi cengenges konyol, tegang sekaligus ketar ketir oleh sikap Danzel. "Habibi Danzel sepertinya sakit kepala," ucap Lachi, beralih duduk di sebelah sang suami. Dia langsung memijat kepala pria itu dengan telaten, "aku pijat yah kepalanya supaya nggak sakit." Danzel hanya diam, terus fokus pada pekerjaan dan sama sekali tak menanggapi Lachi. 'Es ini lagi nggak merajuk saja susah diajak ngobrol. Apalagi kalau mode merajuk gini, makin susah. Gemetar aku, lagi kayak ngajak hantu bicara di makam