"Kau pengecut, Nyonya Xavier. Sangat pengecut! Kau berani mengungkapkan cintamu padaku di hadapan orang lain namun tidak berani mengakuinya dihadapanku secara langsung."Deg deg deg'Jantung Lachi berpacu lebih cepat dari yang sebelumnya. Dia mendongak, menatap kaget bercampur gugup pada Danzel. Lachi meneguk saliva secara kasar, masih menatap Danzel dengan sorot gelisah. Lachi tahu betul kemana arah bicara Danzel, pria ini menyinggung Lachi yang mengatakan bahwa dirinya mencintai suaminya di hadapan Devson. Bukankah tak ada Danzel di sana? Lalu darimana Danzel tahu hal ini? Lachi mengesampingkan kebingungannya–heran karena Danzel bisa tahu, dia terlalu gugup. Sekarang Danzel sudah tahu jika Lachi mencintai. Entah apa yang Lachi cemaskan, akan tetapi dia takut serta grogi. 'I--ini pertama kalinya aku jatuh cinta. Orang yang aku cintai sudah tahu. Sekarang bagaimana? Aku sangat gugup, Tuhan.' batin Lachi, mengigit bibir bawah lalu menunduk gelisah. "Sekarang aku di hadapanmu. Kata
"Aku sedang demam, Mom," ucap Danzel, berusaha menarik perhatian orangtuanya. Saat ini dia dan keluarganya berkumpul di ruang keluarga. Orangtuanya yang baru pulang dari luar negeri datang untuk menjemput Zendaya, sekaligus menemui Lachi tentunya. Kabar Lachi yang sedang hamil, membuat Nara dan Zavier sangat bahagia. Keduanya sudah tak sabar menimang cucu, terlebih Zavier yang ingin merasakan menjadi seorang kakek. Melihat interaksi anak-anaknya dengan orangtuanya, itu membuat Zavier sedikit iri. "Kamu demam yah, Sayang," sahut Nara dari tempat, sama sekali tak menghampiri Danzel yang duduk di single sofa. Dia hanya menoleh pada Danzel, itupun sebentar, "cepat sembuh putra Mommy."Danzel memijat pelipis, melirik mommynya malas bercampur dongkol. "Hum," dehem Danzel kesal, respon yang tak diinginkan. Hell! Minimal mommynya mencek kondisinya, mengusap surai atau … setidaknya memberi respon yang manis. Jangan hanya cepat sembuh. Respon mommynya membuat Danzel bertanya-tanya, ini mommy
"Ada yang bisa istri bantu, Pak suami?" lanjutnya, berkedip-kedip manja untuk menggoda Danzel–merayu pria itu supaya mau berbicara padanya. Danzel menyender pada sofa, bersedekap dingin di dada sembari menatap intens ke arah istrinya. "Pergi sana!" usir Danzel dengan nada ketus, meskipun tatapannya intens pada Lachi tapi tak bisa dipungkiri Lachi merasa terintimidasi, "tak usah pedulikan aku lagi," lanjutnya, meriah laptop–memangkunya kemudian melanjutkan pekerjaan, masih menyender ke sofa. Lachi cengenges konyol, tegang sekaligus ketar ketir oleh sikap Danzel. "Habibi Danzel sepertinya sakit kepala," ucap Lachi, beralih duduk di sebelah sang suami. Dia langsung memijat kepala pria itu dengan telaten, "aku pijat yah kepalanya supaya nggak sakit." Danzel hanya diam, terus fokus pada pekerjaan dan sama sekali tak menanggapi Lachi. 'Es ini lagi nggak merajuk saja susah diajak ngobrol. Apalagi kalau mode merajuk gini, makin susah. Gemetar aku, lagi kayak ngajak hantu bicara di makam
"Humm." Danzel berdehem rendah, menganggukkan kepala singkat. Setelah itu dia pamit, pergi ke kantor. Setelah Danzel pergi, Lachi memilih bersantai sejenak. Ketika dia bosan, dia beraktivitas di dapur–membuat kue kesukaan Mama mertuanya. Selesai membuat kue, Lachi menyuruh supir mengantar ke kediaman sang mertua. Dia lanjut merapikan kamar, memetik bunga di taman lalu menata di ruang kerja sang suami; agar suaminya semangat saat bekerja. Setelah itu, dia membersihkan taman, beristirahat sejenak lalu kembali memangkas beberapa ranting tanaman hias. "Ck, kenapa aku cemas gini yah," gumam Lachi, lagi-lagi menghentikan kegiatannya dan memilih duduk di lantai teras. Sejak tadi dia beraktivitas ini dan itu akan tetapi hatinya merasa gelisah. "Coba ingat-ingat apa yang aku lupakan atau ini hari penting apa?" gumam Lachi lagi, termenung begitu lama–berupaya mencari penyebab kenapa dia sangat cemas. Hingga tiba-tiba matanya membelalak lebar, reflek dia menepuk jidat lalu menjambak rambut s
Danzel berjalan menghampiri adiknya, lalu setelah di dekat Zendaya dia langsung merunduk untuk menatap sosok mahluk mungil yang terlihat sedang mencari sesuatu di bawah meja. "Mochi," panggilnya, membuat sosok itu menoleh–menampilkan raut muka gugup serta senyuman canggung. "Sedang apa?" tanya Danzel, menghampiri istrinya lalu menarik Lachi untuk beranjak dari sana. Lachi cengenges konyol, sedikit panik karena dia tak tahu harus menjawab apa pada Danzel. Jelasnya dia sedang bersembunyi, akan tetapi tak mungkin dia menjawab hal demikian. "Koinku jatuh dan aku mencarinya, Habibi," jawab Lachi, masih menampilkan senyum konyol dan kaku. Zendaya hanya diam, berusaha menahan gelak tawa karena melihat raut muka Lachi yang begitu panik. Begitu juga dengan Kiandra, menunduk dalam untuk menahan tawa. "Hum." Danzel berdehem, menarik pergelangan Lachi agar perempuan tersebut ikut dengannya. "Lachi bilang Lachi rindu …-""Nggak ada nggak ada!" pekik Lachi cepat, setengah berteriak supaya me
"Nathan!" teriak seorang pria dengan marah, membuat langkah Nathan berhenti. Nathan di rumahnya, pulang sejenak untuk mengambil sesuatu yang akan dia berikan pada pujaan hati. Hari ini dia ulang tahun dan dia ingin di hari spesial ini dia memberikan sesuatu yang berharga untuk seseorang yang menghuni hatinya. Sebenarnya setiap kali Nathan berulang tahun, dia selalu memberikan hadiah pada seseorang tersebut. Dan setiap hadiah yang ia berikan memiliki makna tersendiri. Nathan menoleh ke arah ayahnya, menatap kesal bercampur marah. Sejujurnya dia sedang kecewa dan sedih. Ini hari ulang tahunnya dan buru-buru ayahnya memberikan hadiah, mengucapkan saja tidak. Dia yakin ayahnya tak ingat sama sekali. "Brengsek! Anak tidak tahu diri," ucap Tristan pada Nathan, setelah dia berada di hadapan putranya itu. "Aku tidak menyangka jika kamu memperlakukan tunangan mu dengan sangat buruk. Selama di luar kota, kamu membully-nya. Kamu meninggalkannya sendiri di hotel, dan … apa-apaan kamu memutusk
Mata Angel seketika membelalak, benar-benar terkejut karena melihat Lachi. Se-sejak kapan perempuan ini di sini? Gawat!"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Angel, masih menatap kaget ke arah Lachi. Dalam hati dia berharap semoga Lachi tidak melihat perbuatannya tadi. Lachi nyengir ke arah Angel, "sejak gedung ini dibangun. Aku tumbal proyek," candanya. Akan tetapi itu tak membuat Angel merasa lebih tenang, yang ada dia semakin gugup. Sepertinya Lachi tahu sesuatu. "Enggak usah panik, Bu Angel. Aku nggak lihat kok saat kamu memasukkan obat terlarang ke botol minuman itu. Aku juga nggak dengar kalau kamu bilang ingin menjebak Mas Danzel dengan minuman itu," lanjut Lachi--membuat tubuh Angel menegang kaku, wajah panik dengan mata melebar karena gugup, "tenang ajah, Bu Angel. Nggak usah panik kayak gitu. Aku nggak dengar dan nggak lihat apa-apa."Danzel manaikkan sebelah alis, menoleh ke arah meja lalu menatap sebuah botol di sana. Danzel ke sana untuk mengambil botol minuman tersebut se
Bug'"Ahgkkk ….""Mas Danzel!" Ketika Angel melewati Danzel, pria itu menendang pinggang belakangnya dengan sangat kuat. Tubuh Angel terdorong kuat, membuatnya seperti terlempar lalu berakhir tersungkur secara sangat kasar di atas lantai. "Cih," decis Danzel, bersedekap santai di dada sembari menatap remeh ke arah Angel. Devil smirk muncul di bibir, puas melihat ketidak berdayaan Angel. 'Jahat sekali.' batin Lachi, menatap tak percaya pada Danzel. Jantungnya berdebar kencang, panik sekaligus tak tega melihat apa yang Danzel lakukan pada Angel. "Hitungan ke tiga kau tidak bangun dan pergi dari sini, aku akan memotong tiga jari tanganmu." Danzel bersuara, tenang tetapi terasa mengintimidasi serta mengerikan. Lachi menahan napas mendengar kalimat semuanya. Dia tahu Danzel tak pernah main-main dengan perkataannya. "Satu--" Danzel mulai berhitung. Angel yang sedang menangis– menahan sakit, malu serta panas yang mulai menjalar di tubuh–buru-buru berdiri, berlari cepat untuk keluar da
"Sungguh kau tak ingin ku antar, Tuan?" tanya Bian. Alarich menganggukkan kepala kemudian segera masuk dalam mobil. Bian hanya menghela napas, mengacungkan pundak karena sudah tahu apa yang akan Alarich lakukan. Tentu saja mengikuti Aeera pulang. Ini sudah menjadi rutinitas Alarich semenjak Aeera bekerja di sini. Dan benar! Sekarang Alarich sedang memantau Aeera. Mobilnya tak jauh dari tempat Aeera menunggu taksi. "Sangat cantik," gumam Alarich, terus memandang gasdinya. Saat taksi datang dan Aeera masuk, Alarich langsung bersiap-siap untuk mengikuti. Tibanya di sebuah gang, Aeera turun. Begitu juga dengan Alarich. Biasanya Alarich hanya mengantar hingga gang ini karena mobilnya tak bisa masuk ke dalam. Bisa saja, tetapi gangnya cukup sempit dan Alarich tak suka ribet. Kali ini Alarich memutuskan turun, mengikuti Aeera dengan berjalan tak jauh dari belakang perempuan itu. Alarich perlu tahu seperti apa lingkungan pujaan hatinya tinggal dan seperti apa rumah yang Aeera tempati.
Semenjak hari pertama dia bertemu dengan Aeera, Alarich selalu mengawasi perempuan itu. Dia rasa dia telah jatuh cinta pada perempuan itu dan tergila-gila pada sosok gadis cantik itu. Tahun berganti dan Alarich semakin terjebak oleh perasaan yang dia miliki. Bukan hanya memiliki tingkah lucu, humoris dan menyenangkan, faktanya perempuan yang telah berhasil membuatnya jatuh cinta tersebut seorang yang bertanggung jawab pada pekerjaannya. Dia perempuan cerdas, kompeten dan kreatif. Alarich semakin tenggelam! Sialnya sudah jalan dua tahun lebih dia memantau Aeera, akan tetapi dia tak kunjung punya keberanian untuk mengutarakan perasaan. Hell! Mendekati Aeera secara terang-terangan saja dia tak berani. Pecundang! Alarich memang pecundang! Dulu dia pernah ditolak dan itu menghantui Alarich. Ditolak perempuan yang tak dia sukai saja rasanya sangat menjengkelkan. Apalagi jika Alarich ditolak oleh pujaan hatinya. Lebih sialnya, tiga bulan ini dia diluar negeri. Selain untuk mengurus
--Karl Alarich Adam & Aeera Grizella-- "Ck." Suara decakan kesal terdengar di bibir seorang pria yang sedang duduk di balik setir, sedang mengemudi. Pria tersebut begitu mempesona, sangat tampan dan berkarisma. Dia pria setuju pesona dan love dreams bagi banyak kaum hawa. Bukan hanya dianugerahi ketampanan, dia juga seorang yang sangat sukses–pengusaha yang ditakuti serta berasal dari keluarga terpandang. Hidupnya mendekati kata sempurna! Sayangnya, pria tampan ini digosibkan telah menyimpang. Karena diusia yang ke tiga puluh dua tahun, tak ada issue tentang dirinya yang berkencan dengan perempuan. Dia bersih dari gosip apapun mengenai lawan jenis sehingga banyak orang berspekulasi jika dia seorang homo. Sejujurnya dia bukan pria seperti yang digosibkan. Dia hanya tidak punya waktu untuk meladeni kaum hawa, serta-- fakta jika dia pernah ditolak seseorang. Itulah yang membuat pria tampan ini memilih hidup sendiri–tanpa pasangan. Dertttt' Suara handphone berdering, dia menoleh lal
Hari yang ditunggu pun tiba, Nathan dan Zendaya melangsungkan pernikahan dengan meriah. Sekarang, keduanya telah sah menjadi sepasang suami istri. Keluarga besar Nathan–dari sang Mama, terlihat begitu bahagia. Begitu juga dengan keluarga Zendaya yang penuh suka cita serta keharuan. Tristan dan istri keduanya, maupun Angel tak diundang. Sekalipun mereka ingin mengacau, mereka tidak bisa karena pernikahan Nathan dilakukan di sebuah hotel mewah, dijaga ketat oleh banyak penjaga. Mereka diblacklist dari daftar tamu undangan, sesuai permintaan Preya–yang masih memiliki dendam pada suaminya. Preya juga tidak mau hari bahagia putranya rusak oleh kehadiran Erika dan putrinya. Lagipula makhluk gatal seperti mereka, tak pantas menghadiri acara putranya. Sejak tadi, Danzel terus memandang ke arah adiknya–memperhatikannya dengan lekat. Tatapannya begitu sendu, manik berkaca-kaca sebab merasa sedih tanpa sebab. Sewaktu kecil hingga dia besar, adiknya selalu menyusahkannya. Anak itu cerewet dan p
Sedangkan Victoria yang sudah buntu, menatap penuh harap pada Liora. "Liora, apa kamu bersedia menikah dengan adikku? Apapun akan kuberi padamu asal kamu bersedia membantuku untuk menikah dengan Devson." Liora termenung, menundukkan kepala dengan raut muka sedih. Sedangkan Lachi yang memahami perasaan perempuan itu memilih diam, dia takut salah bicara. Namun, mengejutkannya tiba-tiba saja Liora menganggukkan kepala. "Aku bersedia. Tapi … bawa aku pergi dari sini," ucap Liora, menatap Victoria dengan sendu. "Se-sebenarnya aku sedang bersembunyi dari Angel. Kemarin dia menjebak Tuan Danzel dengan sebuah obat terlarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi secara lengkap, tetapi Angel sendiri yang berakhir meminum minuman itu. Dia menghubungiku untuk menyelamatkannya dan aku …-Liora terdiam sejenak. Lachi menggaruk pipi tak enak karena sejujurnya dia tahu kenapa Angel lah yang berakhir meminum jebakannya sendiri. Dia bahkan mendengar percakapan Liora dengan Angel, dan dari sana Lachi bisa
"Karena kebaikan hatinya, Tristan membawa Erika dan putrinya ke rumah. Awal, dia menjadikan Erika sebagai pelayan di rumah kami," cerita Preya pada Nara, mengenai kedatangan Erika dan Angel di keluarga Luis. Nara yang lebih dulu mengungkit Erika, yang ternyata pernah berniat merusak keluarga Nara dan Zavier. Lalu Erika dipecat, diblacklist dari perusahaan manapun serta dari tempat kerja yang berada dinaungan perusahaan Adam. Mendengar itu, Erika tak menyangka. Dia kira Erika yang Nara katakan berbeda dari Erika yang ada di keluarga Luis. Namun, itu Erika yang sama. "Dari awal aku tidak pernah suka pada Erika, sejak Tristan membawanya ke rumah. Katakanlah aku perempuan yang cemburuan. Namun, aku hanya mengikuti feeling sebagai seorang istri dan perempuan yang mencintai suaminya. Benar saja, perempuan itu tidak baik dan dia berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku tidak menyalahkan dia sepenuhnya, perpisahanku dengan Tristan juga terjadi karena Tristan sendiri. Coba saja dia tegas,
"Dalam rangka apa kau memberiku bunga, Mochi?" tanya Danzel, mengecup kening Lachi. Setelah sebelumnya sang istri menyalam tangannya. "Dalam rangka mencintai Habibi," jawab Lachi dengan nada jelas, nyengir setelahnya karena dia malu-malu. Sial. Padahal dia sudah berlatih berjam-jam di depan cermin. Hanya agar terkesan anggun, tak malu-malu serta tak gugup sedikitpun ketika memberikan hadiah berupa buket bunga primrose ini pada sang suami. Namun nyatanya dia tetap gugup dan malu. "Hum?" Danzel menaikkan sebelah alis, langsung menggendong istrinya secara bridal style–membawa istrinya ke kamar. Ah, masa bodo jika Lachi bermaksud menciptakan adegan romantis. Sungguh, persetan! Toh, di mata Danzel, istrinya tetap terlihat tengah menggodanya. Yah, ini godaan yang manis! Danzel meletakkan bunga pemberian Lachi di atas nakas kemudian membaringkan istrinya di ranjang. "Habibi, tunggu! A-adegan ini tidak ada dalam skenario hayalanku. Harusnya bukan begini. Menjauh dulu," pekik Lachi, meng
"A--aku hanya iseng, tidak ada artinya kok." 'Cinta terpendam.' batin Nathan, terkekeh pelan sembari mengacak pucuk kepala Zendaya secara gemas. Nathan tahu artinya karena salah satu kalung yang dia berikan pada Zendaya–setiap ulang tahunnya, punya bandul bunga mawar putih. Hampir saja dia lupa akan hal itu, dan untuknya dia mengingat. Namun, benarkah Zendaya memberikan kalung ini atas dasar ungkapan cinta terpendam yang perempuan ini rasakan padanya? Atau memang hanya iseng? ***"Nyonya Xavier."Mendengar namanya di panggil, Lachi yang sedang memilih bunga langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Lachi mengerutkan kening, bingung dan cukup aneh melihat Liora bersama Victoria mendatanginya. "Oh, iya?" ucap Lachi, meletakkan bunga primrose ke tempat semula. Dia menghadap kepada Victoria dan Liora yang telah berada di sebelahnya. "Nyonya sedang membeli bunga untuk Tuan yah?" tanya Liora sembari tersenyum canggung. Lachi membalas dengan senyum tipis, menganggukkan kep
Tangan Donita terangkat ke arah Zendaya, melayang untuk menampar pipi Zendaya. Namun, pergelangan tangannya tertahan. Bahkan dihempas kasar lalu berakhir dirinya yang terkena tamparan. Plak'"Ahck." Donita menoleh kasar ke sebelah, segera memengang pipi yang terkena tamparan. Donita mendongak, menatap seseorang yang telah menampar pipinya dengan sangat kuat–tak punya hati. "Nathan?" pekik Donita tak percaya, menatap sosok pria tinggi yang berada di sebelah Zendaya. Zendaya menoleh ke arah sebelahnya, mendongak untuk melihat Nathan. Pria tersenyum memasang mimik dingin, melayangkan tatapan tajam yang menghunus tepat ke arah Donita. "Kau akan mendapat yang lebih buruk dari ini jika seandainya tanganmu menyentuh kulit wanitaku," ucap Nathan dingin, mengatupkan rahang–menahan gejolak marah karena perempuan ini berniat menyakiti Zendaya.Zendaya yang masih syok karena Donita berniat menamparnya kemudian tiba-tiba ada Nathan di sini yang mengambil peran melindunginya. Kini semakin syok