"Selamat bertemu di pelaminan, Cantik." Setelah mengatakan hal tersebut Nathan segera beranjak dari sana, meninggalkan Zendaya yang mengerutkan kening sebab tidak paham dengan perkataan Nathan. Zendaya ingin rasanya ge'er dan baper, mengartikan bawah ucapan Nathan sebuah isyarat jika Zendaya lah yang akan bersanding dengan Nathan di pelaminan nanti. Namun, perasaan itu segera ia tepis karena Nathan sendiri sudah bertunangan dengan Donita. Mungkin dalam waktu dekat, pernikahan mereka akan segera diumumkan. Zendaya memengang bandul kalung pemberian Nathan, menoleh ke arah sana lalu tersenyum tipis. "Aku senang mencintaimu dalam diam, aku senang berjuang supaya aku terlihat olehmu, Kak Nathan." Sejenak Zendaya berhenti, menatap kepergian Nathan dengan raut muka sendu. Akan tetapi dia tersenyum lembut, ungkapan kebahagiaan atas cinta yang dia rasakan sekaligus penutup untuk perasaan sesak karena cintanya tak bisa ia miliki. "Tapi jika Kak Nathan memang bukan untukku, tak apa. Mencint
Saat ini Zendaya dan keluarganya sedang menikmati makan malam. Daddynya mungkin lebih banyak diam, akan tetapi mommy, aunty, uncle serta ibu dari Nathan terlihat bercanda. Sejak tadi perasaan Zendaya tak enak. Dia ingin sekali curhat pada Lachi, akan tetapi sahabatnya tersebut tengah sibuk mengurus kakaknya–menyuapi Danzel. Yah, si iblis paling dramatis! Mendadak mengeluh demam dan lemas sehingga tak mampu mengangkat sendok, tak mampu makan sendiri. Hah, sayangnya semua orang mempercayai akting Danzel yang tengah berpura-pura sakit. Padahal Zendaya sangat yakin kakaknya hanya modus. "Zendaya, menurut kamu, Kak Nathan tampan tidak?" tanya Preya tiba-tiba, membuat Zendaya yang sedang asyik makan serta bergelut dengan pikiran sendiri reflek menatap wanita cantik–ibu dari crush-nya tersebut. Gluk' Zendaya menelan susah payah makanan dalam mulut. Semua orang menatapnya, membuat dia gugup setengah mati. "Tampan, Tante. Kak laki-laki," jawab Zendaya, berusaha santai walau sebenarnya di
"Kak Nathan sudah pasangan. Aku nggak mau jadi perebut," jawab Zendaya menggebu-gebu. "Ouh. Jadi kalau Kak Nathan belum ada pasangan, kamu mau, Sayang?" Nara bertanya lembut, menatap putrinya penuh cinta dan hangat. Nara mendukung Nathan dengan putrinya sebab Nathan merupakan putri dari teman kakaknya. Nathan juga sahabat putranya, sering kemari dan pribadinya sudah bisa dinilai oleh Nara. Sejujurnya, Nara sudah lama curiga jika Nathan suka pada putrinya. Beberapa kali dia melihat Nathan memperhatikan Nathan menatap Zendaya dengan tatapan-- seperti ingin memiliki. Di luar, Nathan cukup sarkas dan tajam mulutnya. Akan tetapi, Nara perhatikan, Nathan begitu lembut pada Zendaya. Awalnya, Nara beranggapan karena mungkin Nathan mengganggap Zendaya adalah adiknya. Namun, semakin Nara perhatikan perlakuan Nathan pada putrinya semakin mencurigakan. Nara pernah menyinggung ini pada suaminya, dan tanggapan Zavier hanya simple. Pantau dulu saja' itu tanggapan dari sang ketua perkumpulan es b
Suasana terasa menyentuh dan haru. Zavier yang awalnya ingin marah pada Danzel karena merasa jika Danzel menindas adiknya, seketika meluluh. Dia langsung menatap ke arah putranya, tersenyum lembut karena merasa bangga sekaligus bahagia. Zavier juga menatap putri kesayangannya, tersenyum hangat–juga merasa bangga dan takjub dengan sikap yang Zendaya ambil. Dengan mudah Zendaya bisa mengambil keputusan, itu hak dan kebebasan untuk Zendaya. Akan tetapi karena Zendaya sadar jika hidupnya tak lepas dari bantuan kakaknya, dia membiarkan Danzel yang mengambil keputusan. Mungkin jika Zendaya langsung mengambil keputusan, itu bisa menggores ego seorang kakak yang bisa dikatakan besar perannya untuk Zendaya, dan Zendaya benar-benar memikirkan itu–menghargai kakaknya. Setelah mengatakan hal tersebut, Zendaya langsung menatap kedua orangtuanya, takut jika dia salah bicara. Namun, terlihat kedua orang tuanya tersenyum lembut ke arahnya–menyiratkan perasaan tulus dan dukungan. Preya dan Sereya t
"Jadi cara menjambak seperti itu?" Lachi yang sedang membaca sebuah novel seketika menoleh jengah pada suaminya. Saat ini Lachi berada di rumahnya dan Danzel, mereka pulang tengah malam karena Danzel beralasan ada pekerjaan penting. Tahu-tahunya setelah di rumah, Danzel terus-terusan mengganggu Lachi. Bahkan Lachi tak bisa tidur karena anggukan jin bernama Danzel di sebelahnya ini. "Habibi nggak cape yah nanya-nanya begitu terus?" Lachi menatap Danzel dengan lelah, meletakkan buku di atas pangkuannya. "Mas sebaiknya tidur, besok kamu mau ke kantor.""Tapi aku ingin tahu tutorial lain menjambak rambut seseorang." Danzel berkata tanpa dosa, duduk di sebelah Lachi sembari membalik-balik halaman buku yang sedang Lachi baca. Sengaja supaya Lachi kesal. Istrinya sangat menggemaskan ketika sedang kesal. "Hah, ya, Tuhan!" Lachi menghela napas, menyender sembari menengadah. "Mas!" Lachi menoleh kesal ke arah Danzel. "Humm?" dehemnya tanpa merasa bersalah sedikitpun, "ingin berubah menjadi
Tangan Donita terangkat ke arah Zendaya, melayang untuk menampar pipi Zendaya. Namun, pergelangan tangannya tertahan. Bahkan dihempas kasar lalu berakhir dirinya yang terkena tamparan. Plak'"Ahck." Donita menoleh kasar ke sebelah, segera memengang pipi yang terkena tamparan. Donita mendongak, menatap seseorang yang telah menampar pipinya dengan sangat kuat–tak punya hati. "Nathan?" pekik Donita tak percaya, menatap sosok pria tinggi yang berada di sebelah Zendaya. Zendaya menoleh ke arah sebelahnya, mendongak untuk melihat Nathan. Pria tersenyum memasang mimik dingin, melayangkan tatapan tajam yang menghunus tepat ke arah Donita. "Kau akan mendapat yang lebih buruk dari ini jika seandainya tanganmu menyentuh kulit wanitaku," ucap Nathan dingin, mengatupkan rahang–menahan gejolak marah karena perempuan ini berniat menyakiti Zendaya.Zendaya yang masih syok karena Donita berniat menamparnya kemudian tiba-tiba ada Nathan di sini yang mengambil peran melindunginya. Kini semakin syok
"A--aku hanya iseng, tidak ada artinya kok." 'Cinta terpendam.' batin Nathan, terkekeh pelan sembari mengacak pucuk kepala Zendaya secara gemas. Nathan tahu artinya karena salah satu kalung yang dia berikan pada Zendaya–setiap ulang tahunnya, punya bandul bunga mawar putih. Hampir saja dia lupa akan hal itu, dan untuknya dia mengingat. Namun, benarkah Zendaya memberikan kalung ini atas dasar ungkapan cinta terpendam yang perempuan ini rasakan padanya? Atau memang hanya iseng? ***"Nyonya Xavier."Mendengar namanya di panggil, Lachi yang sedang memilih bunga langsung menoleh ke arah seseorang yang memanggilnya. Lachi mengerutkan kening, bingung dan cukup aneh melihat Liora bersama Victoria mendatanginya. "Oh, iya?" ucap Lachi, meletakkan bunga primrose ke tempat semula. Dia menghadap kepada Victoria dan Liora yang telah berada di sebelahnya. "Nyonya sedang membeli bunga untuk Tuan yah?" tanya Liora sembari tersenyum canggung. Lachi membalas dengan senyum tipis, menganggukkan kep
"Dalam rangka apa kau memberiku bunga, Mochi?" tanya Danzel, mengecup kening Lachi. Setelah sebelumnya sang istri menyalam tangannya. "Dalam rangka mencintai Habibi," jawab Lachi dengan nada jelas, nyengir setelahnya karena dia malu-malu. Sial. Padahal dia sudah berlatih berjam-jam di depan cermin. Hanya agar terkesan anggun, tak malu-malu serta tak gugup sedikitpun ketika memberikan hadiah berupa buket bunga primrose ini pada sang suami. Namun nyatanya dia tetap gugup dan malu. "Hum?" Danzel menaikkan sebelah alis, langsung menggendong istrinya secara bridal style–membawa istrinya ke kamar. Ah, masa bodo jika Lachi bermaksud menciptakan adegan romantis. Sungguh, persetan! Toh, di mata Danzel, istrinya tetap terlihat tengah menggodanya. Yah, ini godaan yang manis! Danzel meletakkan bunga pemberian Lachi di atas nakas kemudian membaringkan istrinya di ranjang. "Habibi, tunggu! A-adegan ini tidak ada dalam skenario hayalanku. Harusnya bukan begini. Menjauh dulu," pekik Lachi, meng