Danzel berjalan menghampiri adiknya, lalu setelah di dekat Zendaya dia langsung merunduk untuk menatap sosok mahluk mungil yang terlihat sedang mencari sesuatu di bawah meja. "Mochi," panggilnya, membuat sosok itu menoleh–menampilkan raut muka gugup serta senyuman canggung. "Sedang apa?" tanya Danzel, menghampiri istrinya lalu menarik Lachi untuk beranjak dari sana. Lachi cengenges konyol, sedikit panik karena dia tak tahu harus menjawab apa pada Danzel. Jelasnya dia sedang bersembunyi, akan tetapi tak mungkin dia menjawab hal demikian. "Koinku jatuh dan aku mencarinya, Habibi," jawab Lachi, masih menampilkan senyum konyol dan kaku. Zendaya hanya diam, berusaha menahan gelak tawa karena melihat raut muka Lachi yang begitu panik. Begitu juga dengan Kiandra, menunduk dalam untuk menahan tawa. "Hum." Danzel berdehem, menarik pergelangan Lachi agar perempuan tersebut ikut dengannya. "Lachi bilang Lachi rindu …-""Nggak ada nggak ada!" pekik Lachi cepat, setengah berteriak supaya me
"Nathan!" teriak seorang pria dengan marah, membuat langkah Nathan berhenti. Nathan di rumahnya, pulang sejenak untuk mengambil sesuatu yang akan dia berikan pada pujaan hati. Hari ini dia ulang tahun dan dia ingin di hari spesial ini dia memberikan sesuatu yang berharga untuk seseorang yang menghuni hatinya. Sebenarnya setiap kali Nathan berulang tahun, dia selalu memberikan hadiah pada seseorang tersebut. Dan setiap hadiah yang ia berikan memiliki makna tersendiri. Nathan menoleh ke arah ayahnya, menatap kesal bercampur marah. Sejujurnya dia sedang kecewa dan sedih. Ini hari ulang tahunnya dan buru-buru ayahnya memberikan hadiah, mengucapkan saja tidak. Dia yakin ayahnya tak ingat sama sekali. "Brengsek! Anak tidak tahu diri," ucap Tristan pada Nathan, setelah dia berada di hadapan putranya itu. "Aku tidak menyangka jika kamu memperlakukan tunangan mu dengan sangat buruk. Selama di luar kota, kamu membully-nya. Kamu meninggalkannya sendiri di hotel, dan … apa-apaan kamu memutusk
Mata Angel seketika membelalak, benar-benar terkejut karena melihat Lachi. Se-sejak kapan perempuan ini di sini? Gawat!"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Angel, masih menatap kaget ke arah Lachi. Dalam hati dia berharap semoga Lachi tidak melihat perbuatannya tadi. Lachi nyengir ke arah Angel, "sejak gedung ini dibangun. Aku tumbal proyek," candanya. Akan tetapi itu tak membuat Angel merasa lebih tenang, yang ada dia semakin gugup. Sepertinya Lachi tahu sesuatu. "Enggak usah panik, Bu Angel. Aku nggak lihat kok saat kamu memasukkan obat terlarang ke botol minuman itu. Aku juga nggak dengar kalau kamu bilang ingin menjebak Mas Danzel dengan minuman itu," lanjut Lachi--membuat tubuh Angel menegang kaku, wajah panik dengan mata melebar karena gugup, "tenang ajah, Bu Angel. Nggak usah panik kayak gitu. Aku nggak dengar dan nggak lihat apa-apa."Danzel manaikkan sebelah alis, menoleh ke arah meja lalu menatap sebuah botol di sana. Danzel ke sana untuk mengambil botol minuman tersebut se
Bug'"Ahgkkk ….""Mas Danzel!" Ketika Angel melewati Danzel, pria itu menendang pinggang belakangnya dengan sangat kuat. Tubuh Angel terdorong kuat, membuatnya seperti terlempar lalu berakhir tersungkur secara sangat kasar di atas lantai. "Cih," decis Danzel, bersedekap santai di dada sembari menatap remeh ke arah Angel. Devil smirk muncul di bibir, puas melihat ketidak berdayaan Angel. 'Jahat sekali.' batin Lachi, menatap tak percaya pada Danzel. Jantungnya berdebar kencang, panik sekaligus tak tega melihat apa yang Danzel lakukan pada Angel. "Hitungan ke tiga kau tidak bangun dan pergi dari sini, aku akan memotong tiga jari tanganmu." Danzel bersuara, tenang tetapi terasa mengintimidasi serta mengerikan. Lachi menahan napas mendengar kalimat semuanya. Dia tahu Danzel tak pernah main-main dengan perkataannya. "Satu--" Danzel mulai berhitung. Angel yang sedang menangis– menahan sakit, malu serta panas yang mulai menjalar di tubuh–buru-buru berdiri, berlari cepat untuk keluar da
"Selamat bertemu di pelaminan, Cantik." Setelah mengatakan hal tersebut Nathan segera beranjak dari sana, meninggalkan Zendaya yang mengerutkan kening sebab tidak paham dengan perkataan Nathan. Zendaya ingin rasanya ge'er dan baper, mengartikan bawah ucapan Nathan sebuah isyarat jika Zendaya lah yang akan bersanding dengan Nathan di pelaminan nanti. Namun, perasaan itu segera ia tepis karena Nathan sendiri sudah bertunangan dengan Donita. Mungkin dalam waktu dekat, pernikahan mereka akan segera diumumkan. Zendaya memengang bandul kalung pemberian Nathan, menoleh ke arah sana lalu tersenyum tipis. "Aku senang mencintaimu dalam diam, aku senang berjuang supaya aku terlihat olehmu, Kak Nathan." Sejenak Zendaya berhenti, menatap kepergian Nathan dengan raut muka sendu. Akan tetapi dia tersenyum lembut, ungkapan kebahagiaan atas cinta yang dia rasakan sekaligus penutup untuk perasaan sesak karena cintanya tak bisa ia miliki. "Tapi jika Kak Nathan memang bukan untukku, tak apa. Mencint
Saat ini Zendaya dan keluarganya sedang menikmati makan malam. Daddynya mungkin lebih banyak diam, akan tetapi mommy, aunty, uncle serta ibu dari Nathan terlihat bercanda. Sejak tadi perasaan Zendaya tak enak. Dia ingin sekali curhat pada Lachi, akan tetapi sahabatnya tersebut tengah sibuk mengurus kakaknya–menyuapi Danzel. Yah, si iblis paling dramatis! Mendadak mengeluh demam dan lemas sehingga tak mampu mengangkat sendok, tak mampu makan sendiri. Hah, sayangnya semua orang mempercayai akting Danzel yang tengah berpura-pura sakit. Padahal Zendaya sangat yakin kakaknya hanya modus. "Zendaya, menurut kamu, Kak Nathan tampan tidak?" tanya Preya tiba-tiba, membuat Zendaya yang sedang asyik makan serta bergelut dengan pikiran sendiri reflek menatap wanita cantik–ibu dari crush-nya tersebut. Gluk' Zendaya menelan susah payah makanan dalam mulut. Semua orang menatapnya, membuat dia gugup setengah mati. "Tampan, Tante. Kak laki-laki," jawab Zendaya, berusaha santai walau sebenarnya di
"Kak Nathan sudah pasangan. Aku nggak mau jadi perebut," jawab Zendaya menggebu-gebu. "Ouh. Jadi kalau Kak Nathan belum ada pasangan, kamu mau, Sayang?" Nara bertanya lembut, menatap putrinya penuh cinta dan hangat. Nara mendukung Nathan dengan putrinya sebab Nathan merupakan putri dari teman kakaknya. Nathan juga sahabat putranya, sering kemari dan pribadinya sudah bisa dinilai oleh Nara. Sejujurnya, Nara sudah lama curiga jika Nathan suka pada putrinya. Beberapa kali dia melihat Nathan memperhatikan Nathan menatap Zendaya dengan tatapan-- seperti ingin memiliki. Di luar, Nathan cukup sarkas dan tajam mulutnya. Akan tetapi, Nara perhatikan, Nathan begitu lembut pada Zendaya. Awalnya, Nara beranggapan karena mungkin Nathan mengganggap Zendaya adalah adiknya. Namun, semakin Nara perhatikan perlakuan Nathan pada putrinya semakin mencurigakan. Nara pernah menyinggung ini pada suaminya, dan tanggapan Zavier hanya simple. Pantau dulu saja' itu tanggapan dari sang ketua perkumpulan es b
Suasana terasa menyentuh dan haru. Zavier yang awalnya ingin marah pada Danzel karena merasa jika Danzel menindas adiknya, seketika meluluh. Dia langsung menatap ke arah putranya, tersenyum lembut karena merasa bangga sekaligus bahagia. Zavier juga menatap putri kesayangannya, tersenyum hangat–juga merasa bangga dan takjub dengan sikap yang Zendaya ambil. Dengan mudah Zendaya bisa mengambil keputusan, itu hak dan kebebasan untuk Zendaya. Akan tetapi karena Zendaya sadar jika hidupnya tak lepas dari bantuan kakaknya, dia membiarkan Danzel yang mengambil keputusan. Mungkin jika Zendaya langsung mengambil keputusan, itu bisa menggores ego seorang kakak yang bisa dikatakan besar perannya untuk Zendaya, dan Zendaya benar-benar memikirkan itu–menghargai kakaknya. Setelah mengatakan hal tersebut, Zendaya langsung menatap kedua orangtuanya, takut jika dia salah bicara. Namun, terlihat kedua orang tuanya tersenyum lembut ke arahnya–menyiratkan perasaan tulus dan dukungan. Preya dan Sereya t