Lachi menyender ke kepala ranjang, menoleh ke arah sebelahnya–menatap seorang pria dengan paras tampang sedang tertidur pulas. Pria itu tidur dengan posisi tengkurap, punggungnya yang lebar terlihat–dia tidak mengenakan atasan, lalu pada bagian pinggang hingga kaki ditutup oleh selimut. Lachi berdecak pelan, mendumel karena kesal dengan pria yang tidur dengan pulas tersebut. "Ku kira nih orang nggak bisa jinak, saking ganasnya," celetuk Lachi pelan, mencibir suaminya yang suka marah tanpa sebab. Setiap kali Danzel bertemu dengan Devson, pasti Danzel marah. Masalah lukisan? Mungkinkah memang benar jika perempuan yang Devson lukis saat itu memang adalah Lachi? Dan oleh sebab itu Danzel marah? Lachi menatap Danzel dengan mata memicing, mengamati wajah suaminya secara lekat. Keluarga pria ini bilang Danzel menyukainya, Zendaya bilang jika pria di keluarganya sangat possesive pada pasangannya, dan nenek pria ini sendiri pernah mengatakan jika Danzel tak akan melepas Lachi. Apa yang me
"Kau ingin kutemani?" Lachi melotot kaget, pipinya langsung memerah karena malu. "Ti-tidak perlu, Mas." Astaga! Sepertinya Danzel salah paham, mengira Lachi ke kamar ini untuk meminta ditemani memasak. Tentu saja Lachi malu! Dia sudah besar, kenapa memaksa saja masih harus ditemani. "Kau datang ke sini untuk meminta kutemani memasak." Danzel menarik tangan Lachi, membawa istrinya keluar dari kamar. Lachi menggelengkan kepala. "Bukan, Habibi. Aku tadinya ingin …-""Ingin memintaku menemanimu memasak. Mengaku saja." "Astaga. Mana ada!" "Lalu ingin bertanya makanan favoritku? Kau ingin memasak makanan favoritku?" Danzel berhenti sejenak, menaikkan sebelah alis sembari menatap istrinya secara intens. "Aku tahu apa makanan favorit Habibi. Jadi bukan itu." Lachi menjawab cepat. Danzel merunduk, mencondongkan tubuh ke arah Lachi. Menarik! "Oh yah? Apa makanan kesukaanku?" 'Aduuuh, ini namanya menggali kuburan sendiri. Aaa … aku mana tahu! Tahunya cuma-- dia suka masakan rumahan. Fa
"Silahkan cium." Danzel menagih perkataan istrinya, di mana Lachi sudah memasang raut muka kaku dan gugup."Aku hanya bercanda," cicit Lachi pelan, menjauh sedikit saat Danzel mencondongkan wajah ke arahnya. "Cium." Danzel tiba-tiba menarik Lachi, membuat perempuan itu berakhir duduk di atas pangkuannya. Dia mendekatkan wajah ke wajah Lachi, menuntut supaya istrinya menciumnya.'Aku lupa jika dia tipe yang tidak bisa diajak bercanda dan sangat pemaksa.' batin Lachi, menatap Danzel malu-malu. "Kalau begitu, tu-tutup matamu.""Humm." Danzel menurut, menutup matanya. Lachi menarik napas panjang lalu mengeluarkan secara perlahan. Hanya sekedar mencium Danzel, tetapi dia begitu gugup. Bahkan kini punggungnya sudah terasa panas, membakar. 'Ayolah, Lachi. Ini hanya mencium, kamu dan Mas Danzel sudah pernah melakukan hal lebih dari ini. Cuma mencium, kamu pasti bisa.' batin Lachi, mensugesti dirinya supaya dia pede untuk mencium suaminya. Tangan lembut Lachi menangkup pipi Danzel, dia men
"Menggelikkan." Zendaya menatap julid ke arah Lachi, sedangkan Kiandra tertawa geli karena … lucu saja dengan tingkah Lachi yang sedang jatuh cinta. Mendadak menjadi penyair abal-abal! Lachi mengedikkan pundak, tak peduli pada ejekan serta tatapan nyinyir dari Zendaya. Dia melanjutkan pekerjaan, begitu bersemangat karena dia sedang jatuh cinta. Setelah jam makan siang, Lachi dan kedua sahabatnya memutuskan untuk makan bersama. Lachi seharusnya ke ruangan Danzel, akan tetapi pria itu mengatakan akan keluar untuk makan bersama mitra kerja. Jadi Lachi bisa makan siang bersama Zendaya. Saat akan keluar, di loby, Lachi seketika menghentikan langkah–terkejut melihat Danzel bersama seorang perempuan. Dia tak lain adalah Angel, terlihat berjalan berdampingan dengan Danzel. Meskipun tak sampai bergandengan tangan, tetapi bagi Lachi yang sedang merasa jatuh cinta, ini adalah sebuah pukulan menyakitkan untuk hatinya. "Ahahaha … nggak nyanyi kupu-kupu lagi kamu, Lachi?" ledek Zendaya, menert
"Gimana gimana?" tanya Lachi setelah Zendaya kembali di meja mereka. Zendaya cemberut lalu menggelengkan kepala. "Tak ada respon," ucapannya lemah, duduk dengan menyender lesu pada kursi. Lachi mengibas tangan di depan wajah. "Ada itu! Cuma nggak diperlihatkan saja. Namanya juga laki-laki, makhluk yang sama dengan ampibi.""Benar apa kata Lachi, Zen. Pak Nathan pasti ada reaksi sama kamu, cuma karena ada Big boss di sana, jadi dia nggak berani untuk menunjukkan reaksi asli dia." Kiandra menambahi. "Tapi … kuperhatikan Angel sepertinya tidak suka dengan Donita. Apa jangan-jangan Angel suka pada Pak Nathan yah?" Lachi memicingkan mata, sejenak memperhatikan interaksi Angel dan Donita. Di mana dia bisa melihat Donita yang ingin menunjukkan kemesraan dengan Nathan di hadapan semua orang dan terlihat Angel yang menahan kesal sekaligus berupaya menghalangi keromantisan Donita dan Nathan. "Nggak mungkin, Lachi. Angel itu kan adik tiri Kak Nathan." Zendaya memperhatikan sejenak, menghela
Sekitar jam tujuh, Lachi tiba di rumah. Dia memasuki rumah dengan raut muka was-was, meskipun izin akan tetapi entah kenapa Lachi merasa takut jika Danzel lebih dulu tiba di rumah. Untungnya tidak! Danzel seperti belum pulang, kamar kosong begitu juga dengan ruang kerja pria itu. Lachi meletakkan belanjaan di sopa dalam kamar, lalu segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat dia melepas pakaian, tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka–hampir saja membuat Lachi berteriak. "Habibi," sapa Lachi dengan awkward, mempertahankan suaminya yang hanya memasang raut muka dingin. Danzel menutup pintu kamar mandi lalu segera melepas pakaian sendiri. Melihat gerakan suaminya serta raut muka Danzel, entah kenapa Lachi merasa jika pria ini sedang menahan kemarahan. "Apa terjadi sesuatu, Habibi?" tanya Lachi pelan ketika Danzel mendekatinya. Pria itu tak langsung menjawab, menarik Lachi ke arah bath up. Setelah di dalam, pria itu mengungkung tubuh kecil Lachi lalu secara tak sabaran m
"Sa-salam, Mama, Papa," ucap Lachi kikuk, menyalam tangan mertuanya. Nara terlihat menahan tawa, perbuatan Lachi barusan sangat lucu dan menghibur. Namun, entah kenapa Lachi yang seperti itu akan tetapi Nara ikut merasa malu.Sedangkan Zavier, dia hanya menampilkan raut muka datar. Namun, diam-diam mengamati raut muka putranya. Ini yang kata putranya kemarin, istri yang tak memiliki perasaan padanya?"Mama dan Papa ingin minum apa? Aku akan membuatkan …-" Zavier memotong. "Tidak perlu, Lachi. Papa dan Mama hanya sebentar." Zavier sengaja menyebut papa dan mama, menyesuaikan dengan sang menantu yang lebih nyaman memanggil papa mama dibandingkan mommy daddy. "Iya, tidak perlu, Lachi. Mama dan Papa datang cuma untuk mengantar …." Nara menoleh ke belakang, mendengus karena tak melihat putrinya. Dia kembali mendengus saat melihat ada bayangan di dekat tembok pembatas ruang, pertanda seseorang bersembunyi di sana. "Zendaya, kemari." Zendaya keluar dari persembunyian, menarik koper lalu
"Terus?" sambung Danzel dari belakang. "Lanjutkan," gertak Danzel, mendorong pelan kepala adiknya kemudian segera duduk di tempat biasa ia duduk. "Kau sedang tinggal di rumahku." Danzel kembali bersuara, sekedar mengingatkan. Zendaya terlihat panik, menggelengkan kepala secara cepat pada sang kakak. "Kak X salah paham. Aku … membicarakan teman di kantor. Iya kan Lachi?"Lachi mengerjap beberapa kali, menatap Zendaya yang terlihat memohon padanya lalu menatap suaminya sembari menganggukkan kepala. "Iya," jawab Lachi singkat, buru-buru menyiapkan makanan untuk sang suami. Saat akan makan, tiba-tiba saja daddynya menghubungi Danzel–meminta agar Danzel segera memeriksa sebuah dokumen penting. Danzel terpaksa membawa pekerjaan ke meja makan, dokumen tersebut harus segera diserahkan pada sang Daddy–sebelum pesawat berangkat. Zendaya awalnya senang melihat kakaknya tidak ikut makan–masih di meja makan, tetapi harus menyelesaikan pekerjaan. Saah satu kebahagiaan Zendaya adalah melihat ka