--24 Tahun kemudian--"Nenek hanya akan mau berobat jika Zavier menikah," ucap seorang wanita tua dengan nada getir dan letih, menatap sayu pada satu objek yang berada tepat berdiri di hadapannya. Sosok yang ia pandang tersebut berdiri di ujung kaki ranjang, terlihat dingin dengan memasang raut muka flat. Zavier Kingsley Adam, cicitnya yang telah dewasa. Semakin hari dia merasa cicitnya tersebut semakin dingin serta tak acuh pada siapapun. Zavier hanya sibuk pada karier dan pekerjaan. Zavier telah resmi menggantikan ayahnya untuk memegang perusahaan. Mungkin karena terlalu sering berinteraksi dengan pekerjaan, Zavier berubah menjadi kaku. Daddynya--Karl Alarich--dahulu juga begitu. Namun Alarich bisa jauh lebih baik setelah dia menemukan Aeera. Ini yang Ruqayah maksud, sengaja meminta Zavier menikah karena berpikir cicitnya juga akan sembuh dengan bantuan belahan jiwanya. Nenek tua ini mungkin terlalu kuno dalam berpikir, tetapi dia sudah lelah mencari cara untuk mencairkan es dala
Setelah berbicara dengan orang tuanya serta calon mertuanya, Zavier segera menemui dua sahabatnya. Dia baru pulang dari luar negeri dan Sereya memintanya untuk bertemu. Sedangkan Kenan, dia selalu ikut kemanapun Zavier pergi, dia bekerja sebagai sekretaris sekaligus kepercayaan Zavier. "Hai, Zavier," sapa Sereya dengan hangat. Mereka bertemu di sebuah cafe kekinian yang diminati banyak kalangan. Zavier hanya menaikkan sebelah alis untuk menjawab sapaan sahabatnya tersebut. "Hais, semakin beku saja," ucap Sereya, memperhatikan Zavier dan Kenan bergantian. Zavier duduk di depannya sedangkan Kenan duduk di sebelahnya. "Kalian tidak lupa kan oleh-oleh untukku?" Sereya menyengir lebar ke arah kedua sahabatnya tersebut. "Ada di mobil," jawab Zavier singkat. "Aku sudah mengirimkannya ke rumahmu sebenarnya," jawab Kenan ramah. Sereya menganggukkan kepala. Setelah memesan makanan, mereka menunggu sembari mengobrol. Tiga persen Zavier menimbung, sembilan puluh enam persen pria itu diam
"Kak, aku mau duduk di situ," pinta Nara, saking takutnya dia dengan sentuhan Zavier. Sereya mengangkat pandangan, menatap adiknya dengan sebelah alis yang naik. "Kamu duduk di situ, diam! Jangan kayak cacing kepanasan," galak Sereya, melototkan mata untuk memperingati Nara agar tidak pindah tempat. "Cik." Nara berdecak pelan, diam kikuk dengan tubuh panas dingin. Sekarang tangan pria itu sudah berada di atas pahanya. Sial! Nara tidak suka Zavier, pria itu mesum padanya dan sudah beberapa kali melecehkannya. Kenapa Nara tidak pernah mengadukan tindakan Zavier pada keluarganya? Sebab Nara takut. Sampai sekarang Nara bertanya-tanya, kenapa korban pelecehan selalu takut untuk bersuara, kenapa si korban kebanyakan memilih bungkam? Jika dipikir-pikir si korban hanya mengatakan apa yang dia alami pada keluarganya, sangat mudah. Namun, faktanya Nara tidak bisa. Nara tahu pria ini suka padanya, tetapi secara jelas kapan dan kenapa pria ini bisa suka padanya, Nara tidak tahu. Nara juga mem
"Nara, kamu dan Kak Zavier sebentar lagi akan menikah." Uhuk uhuk uhuk Nara yang sedang minum tersebut seketika terbatuk-batuk. Dia dan keluarganya sedang makan malam. 'Harusnya aku curiga kenapa Mama tiba-tiba masak semua makanan kesukaanku.' batin Nara, sudah menatap cengang ke arah Mamanya. "Nenek buyut Kak Zavier sedang sakit, dan beliau meminta Kak Zavier untuk secepatnya menikah," jelas Shila pada putrinya. "Karena Kak Zavier tidak punya kekasih, jadi Kak Zavier memilihmu untuk dinikahi.""No!" tolak Nara dengan cepat. 'Terkabul sih. Tapi kenapa aku, Ya Allah?' batin Nara, menampilkan raut muka terancam, ketar-ketir karena rencana orang tuanya. "Aku tidak mau menikah. Apalagi dengan Kak Zavier," tambah Nara. "Loh, kenapa? Kak Zavier tampan, super tampan, tampan paket komplit, tampan diatas kata tampan. Dia juga punya banyak uang, diatas kata mapan. Orang juga tidak neko-neko. Duh, itu mantu idaman Mama banget!" "Yaudah nikahin dengan Kak Sereya saja. Kenapa ke Nara?!" prot
"Kamu ngajuin magang ke mana?" tanya Karina, mendapat tatapan aneh dari Nara. "Bukannya yang menentukan tempat magang itu dari pihak kampus yah?" tanya balik Nara. Karina dan Lex, sahabat Nara tersebut saling bersitatap. Sekarang mereka bisa menebak jika Nara tidak mengisi formulir pendaftaran magang dengan benar. "Nara, jangan bilang kamu tidak mengisi bagian tempat magang yang diinginkan mahasiswa." Karina berhenti melangkah, sejenak menatap Nara dengan tatapan nanar dan muram. Nara menganggukan kepala secara enteng, tersenyum manis pada Karina lalu kembali sibuk dengan ponselnya. "Ngapain diisi kalau ujung-ujungnya pihak fakultas yang menentukan kita magang ke mana? Sayang tinta pulpenku," jawabnya santai. Saat ini Nara berada di kampus. Setelah melakukan pembayaran biaya untuk magang, Nara dan dua sahabatnya ini bergegas mengisi formulir pendaftaran magang. Tentunya juga melengkapi syarat untuk magang, seperti menyiapkan formulir pendukung lainnya. Sekarang mereka berniat pul
"Katakan secara langsung di hadapanku. Silahkan," lanjutannya, berhasil mengubah atmosfer terasa mencekam bagi Nara. Nara menggelengkan kepala dengan kuat, panik setengah mati ketika Zavier mencondongkan tubuh ke arahnya. "Aku tidak pernah menolak, Kak. Aku bersedia," jawab Nara cepat. Dia meringsut ke kursi mobil, menyilangkan tangan di depan dada dengan menatap Zavier pucat pias. "Kau tidak sedang berbohong, Amore?" tanya Zavier kembali, "aku memberimu kesempatan untuk menolak pernikahan ini. Silahkan.""Tidak, Kak. Aku mau--" Nada bicara Nara terbata-bata, "jika bukan dengan Kakak memangnya Nara ingin menikah dengan siapa?" lanjutnya untuk meyakinkan pria mengerikan dihadapannya. Zavier menyunggingkan smirk tipis, mengangguk singkat kemudian menarik tubuhnya untuk menjauh dari Nara. Dia menyalakan mobil lalu segera beranjak dari sana. Sejujurnya Zavier masih ingin bermain-main dengan little girl-nya, tetapi nenek buyutnya sudah menunggu. "Bersikaplah yang sopan, Nenek buyut tid
"Nara?" Langkah Nara berhenti sejenak, menatap panik dan gugup ke arah kakaknya. "Kamu mau kemana?" tanya Sereya dengan nada sedikit nyolot. Nara mendengus pelan, melanjutkan langkah dengan buru-buru. "Bukan urusan kamu!" ketusnya. "Kamu ingin kabur yah?" Sereya langsung menghadang. "Apaan sih, Kak?! Cik, minggir nggak?!" Nara berupaya mencari celah agar bisa kabur dari sang Kakak. Sedangkan Sereya, dia memanggil penjaga agar mengaturnya untuk menangkap Nara. "Bantu aku menangkap Nara. Cepat!" titahnya dengan nada bossy, terkesan galak secara bersamaan. "Siapapun yang menangkapku, dia anak monyet!" pekik Nara, berlari ke sana kemari dengan menyeret koper agar tidak tertangkap. Faktanya, Nara sangat lincah dan lihai untuk menghindar. "Mulut kamu yah!" Meskipun berlari mengejar Nara, tetapi Sereya masih menyempatkan diri untuk menegur adiknya. Seperti biasa, Nara memang suka mengatakan hal-hal berbau umpatan. "Nara, Kakak bilang berhenti!" "Tidak mau!" pekik Nara yang sudah ber
"STOP!" teriak Shila, sudah sangat frustasi melihat tingkah laku putri-putrinya. "Nara, duduk yang benar!" galaknya pada si bungsu. "Dan Reya, sudah tahu adik kamu siluman, ngapain kamu ladeni?!" Shila balik memarahi putri sulungnya. "Aku siluman? Okay, cukup tahu, Mah." Nara berkata tak terima. "Nggak usah dramatis, pergi ke atas dan beresin koper kamu," perintah Shila, mengeluarkan kemampuan emak-emaknya–galak dan tak terkalahkan, sehingga dengan begitu Nara tidak bisa melawan. Nara mendengus pelan, beranjak dari sana dengan menyeret koper. "Gitu saja marah," dongkolnya, berjalan lewat tangga. Tetapi setengah jalan, dia turun lagi. "Apa matamu?!" galak Nara ketika mendapati Sereya menatapnya. Lalu setelah itu dia masuk dalam lift. "Dasar stress," gumam Sereya pelan, tak habis pikir dengan kelakuan adiknya. Sejujurnya sampai sekarang Sereya mempertanyakan adiknya. Meskipun kadang absdur, tetapi mamanya cukup kalem dan anggun. Sedangkan papanya, jangan tanya lagi. Pribadinya sa